Aplikasi Teknologi Drone Sebagai Pelengkap Data Survei Lapang Untuk Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang Menggunakan Citra Worldview-2
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 8(2), 202-209 (2022)
Aplikasi Teknologi Drone Sebagai Pelengkap Data Survei Lapang Untuk Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang Menggunakan Citra Worldview-2
Ayub Sugara a*, Amelia Suryanita a, Alfiqi Maulana a, Ari Anggoro a, Vincentius P. Siregar b
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu, 38371, Indonesia b Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB University, Bogor, 16680, Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +62-813-8620-2028
Alamat e-mail: ayubsugara@unib.ac.id
Diterima (received) 9 Juni 2022; disetujui (accepted) 15 Juli 2022; tersedia secara online (available online) 1 Desember 2022
Abstract
Coral reefs are one of the important ecosystems that need data inventory in order to manage marine resources both spatially and temporally. Remote sensing with drone technology is one of the vehicles for collecting data related to coral reef ecosystems in real time. Along with the times, drones are widely used in research both in terrestrial and in coastal areas. This research was conducted on December 4 – 10, 2018 in the Karang Lebar, Seribu Islands, Jakarta. The purpose of this research was to explored the ability of drones as a vehicle to complement field survey data for coral reef mapping. In addition, conducting a pixel-based analysis for coral reef classification based on WorldView-2 satellite imagery using field survey data and additional data from drone data. Based on the results of the study, information was obtained that drone imagery can help visual interpretation in detecting coral reefs. Thus, field survey data that are not covered in the research area can be assisted by the use of drones as a complementary vehicle for field survey data. The coral reef classification process using WorldView-2 imagery can be mapped well. Drone imagery has proven to be an alternative in field data collection as a training area in identifying coral reef objects, such as with massive coral lifeforms that can be clearly seen from drone images. It's just that visual interpretation is limited because of the water column, making it difficult to identify objects.
Keywords: drone; worldview-2; coral reefs
Abstrak
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem penting yang perlu dilakukan inventarisasi data dalam upaya pengelolaan sumberdaya laut baik secara spasial dan temporal. Penginderaan jauh dengan teknologi drone merupakan salah satu wahana dalam pengumpulan data terkait ekosistem terumbu karang secara realtime. Seiring per kembangan zaman, drone banyak dimanfaatkan dalam penelitian baik di teresterial maupun di area pesisir. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 4 – 10 Desember 2018 di Kawasan Karang Lebar Kepulauan Seribu. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengeksplorasi kemampuan drone sebagai wahana pelengkap data survei lapang untuk pemetaan terumbu karang. Selain itu, dilakukan analisis berbasis pixel base untuk klasifikasi terumbu karang berdasarkan citra satelit WorldView-2 dengan menggunakan data survei lapang dan data tambahan data drone. Berdasarkan hasil penelitian didapat informasi bahwa citra drone dapat membantu interpretasi visual dalam melakukan deteksi terumbu karang. Sehingga, data survei lapang yang tidak terjangkau di area penelitian dapat dibantu dengan penggunaan drone sebagai wahana pembantu pelengkap data survei lapang. Proses klasifikasi terumbu karang menggunakan citra WorldView-2 dapat dipetakan dengan baik. Citra drone terbukti dapat menjadi alternatif dalam pengambilan data lapang sebagai training area dalam identifikasi objek terumbu karang, seperti dengan lifeform coral massive dapat terlihat jelas dari citra drone. Hanya saja interpretasi visual terbatas karena faktor kolom air sehingga menyulitkan dalam proses identifikasi objek.
Kata Kunci: drone, worldview-2, terumbu karang
Berdasarkan analisis pemantauan dari citra satelit yang dilaporkan Giyanto dkk. (2017), terumbu karang di Indonesia memiliki luasan sekitar 2,5 juta hektar dengan total jenis karang keras (ordo Scleractinia) mencapai 569 jenis atau sekitar 67% dari 845 total spesies karang di dunia. Keberadaan ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting bagi kehidupan manusia, karena didalamnya terdapat keanekaragaman flora dan fauna laut (Xin et al.,2016) yang dapat memberikan nilai ekonomi yang signifikan terutama pada sektor industri perikanan (Arini 2013; Arifin et al., 2020). Meskipun memiliki potensi yang luar biasa, namun ekosistem terumbu rentan sekali terhadap kerusakan akibat dari berbagai ancaman, terutama di daerah padat penduduk dengan aktivitas yang beragam (Tran et al., 2012; Macharia et al., 2016).
Kajian terhadap perubahan ekosistem terumbu karang telah berlangsung sejak lama dan terus dipelajari hingga beberapa dekade terakhir, hal ini dilakukan karena dapat memberikan informasi penting, baik untuk memeriksa struktur terumbu karang, inventarisasi sumber daya maupun estimasi fungsi ekologis (Yamano, 2013). Pemantauan luasan dan kondisi ekosistem terumbu karang dapat dilakukan melalui survei lapangan maupun dengan teknologi penginderaan jauh. Penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk memetakan ekosistem terumbu karang yang diintegrasikan dengan data lapangan untuk mengetahui kesesuaian dan validasi data (Fuad dkk., 2022).
Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang ada saat ini tidak terlepas dari semakin berkembangnya teknologi satelit yang diluncurkan (Mastu, 2018). Anggoro dkk. (2020), menjelaskan bahwa berbagai satelit penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan untuk pemetaan habitat perairan dangkal seperti pada ekosistem terumbu karang, satelit yang digunakan bervariasi mulai dari resolusi spasial tingkat rendah (NOAA-AVHRR) hingga resolusi tinggi (Geoeye, Quickbird, Ikonos, SPOT, dan WorldView) (Saputra, 2019) dan dari data citra yang gratis hingga data citra yang berbayar (Mastu, 2018).
Pemetaan terumbu karang dengan teknologi penginderaan jauh menggunakan citra satelit resolusi tinggi telah banyak digunakan karena dapat meningkatkan akurasi deteksi terhadap habitat terumbu karang serta sangat efisien dalam
hal biaya dan waktu dibandingkan dengan pengamatan langsung dilapangan (Wahiddin et al., 2014; Anggoro et al., 2016). Selain itu, Anggoro dkk. (2020), menambahkan bahwa kemampuan teknologi penginderaan jauh juga dapat menjangkau wilayah yang luas dengan resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal yang baik.
Teknologi penginderaan jauh melalui kombinasi citra satelit dan foto udara menggunakan drone (pesawat tanpa awak) mampu melakukan pengamatan dalam jangka panjang dan kontinu untuk pemetaan dan deteksi perubahan terumbu karang. Penggunaan citra satelit seperti WorldView-2 sangat memungkinkan untuk digunakan karena citra satelit ini merupakan satelit beresolusi tinggi yang memiliki 8 kanal atau saluran multispektral dengan resolusi spasial sebesar 1,8-meter dan kanal pankromatik memiliki resolusi spasial sebesar 0,5-meter sehingga memungkinkan dalam mengkaji dan memetakan ekosistem di perairan dangkal (Madaul, 2015; Saputra, 2019). Disamping itu, penggunaan drone sebagai pelengkap data survei lapangan dapat memberikan alternatif baru dalam penyediaan data dan informasi spasial skala detail dengan kualitas citra yang tinggi serta biaya yang lebih rendah (Mastu, 2021). Kemudian dengan visualisasi citra foto udara dapat melihat perbedaan pada tingkat bentuk pertumbuhan karang dengan jelas (Sugara dkk., 2020). Ramadhani dkk. (2015), menambahkan bahwa ukuran drone yang kecil memungkinkan untuk terbang mendekati area yang diinginkan tanpa memerlukan area terbuka yang luas untuk take-off dan landing serta perolehan data yang didapatkan lebih cepat dan real-time.
Tujuan dari penelitian ini yaitu mengeksplorasi kemampuan drone sebagai wahana pelengkap data survei lapang untuk pemetaan terumbu karang. Selain itu, melakukan analisis berbasis pixel base untuk klasifikasi terumbu karang berdasakan citra satelit WorldView-2 dengan menggunakan data survei lapang dan data tambahan data drone.
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Karang Lebar di Kepulauan Seribu (Gambar 1) dengan posisi (05°43’38” LS 106°34’85” BT dan (05°43’23” LS 106°36’48” BT ). Survei lapang dilaksanakan pada tanggal 04 – 10 Desember 2018.
-
2.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis serta laptop, kertas bawah air (newtop), underwater camera, GPS Handheld Garmin 64S dan 78S, transek kuadrat (Roelfsema dan Phinn, 2008; Siregar, 2010) berukuran 1m x 1m dan Drone DJI Mavic Pro (Tabel 1).
Tabel 1
Spesifikasi Drone DJI Mavic Pro.
Spesifikasi |
Tipe Drone |
DJI Mavic Pro | |
Sensor |
CMOS 1/2.3” |
Lensa |
FOV 78.8°, 28 mm f/2.2 |
Resolusi Kamera |
12 MP |
Rentang ISO |
100 - 3200 untuk video dan 100 - 1600 untuk foto |
Ukuran foto |
4000 x 3000 |
Focal length Frekuensi Remote |
4.73 mm |
Control |
2.400 GHz - 2.4835 GHz |
Kapasitas Baterai |
3830 mAh |
Sistem Posisi Satelit |
GPS/GLONASS |
Sedangkan bahan yang digunakan yaitu Citra Worldview-2 (standar level 1B 11 bit) akuisisi pada 27 Mei 2018. Citra Worldview-2 memiliki resolusi spasial 2-meter dilengkapi 8 band multispektral dengan sistem koordinat UTM 48S - WGS84.
-
2.3 Desain Survey Lapang
Survei lapang dilaksanakan dengan dua tahapan yaitu pengambilan data ekosistem terumbu karang dan pengambilan data foto udara menggunakan drone. Pengambilan data terumbu karang dilakukan dengan teknik foto kuadran menggunakan transek kuadrat ukuran 1m x 1m dan underwater camera. Setelah itu dilakukan marking lokasi setiap plot area survei menggunakan GPS.
Pengambilan data foto udara menggunakan drone diawali dengan pembuatan rencana jalur terbang drone. Jalur terbang drone dibuat pada area yang tidak memungkinkan dilakukan survei lapang langsung dengan menggunakan transek kuadran. Rencana terbang drone atur pada perangkat lunak berbasis android yaitu Ctrl DJI dan Pix4D Capture. Sementara itu untuk pengaturan
ISO kamera, kalibrasi kompas dan home point drone dibantu perangkat lunak DJI Go 4. Desain survei lapang dapat dilihat pada Gambar 2.
-
2.3.1. Pra-processing Citra Satelit
Tahapan Citra Worldview-2 sebelum proses sebelum klasifikasi yaitu dilakukan koreksi radiometrik adalah selesai untuk mengurangi efek atmosfer pada sinyal pancaran air di masing-masing pixel. Ini dilakukan dengan menggunakan metode Dark Object Substraction (DOS).
-
2.3.2. Pra-processing Citra Foto Udara
Sebelum prosesing citra foto udara, dilakukannya verifikasi metadata masing-masing foto di setiap jalur terbang drone. Setiap foto udara yang dihasilkan memiliki informasi koordinat x dan y. Informasi tersebut yang akan mempermudah dalam pendefinisian posisi setiap foto saat prosesing citra foto udara. Apabila ada foto yang kurang fokus dikarenakan faktor angin sehingga membuat wahana drone tidak stabil sangat pengambilan data maka foto tersebut dihapus untuk menghasilkan citra kualitas bagus.
Pengambilan data foto udara dengan pengaturan overlapping 80%, sehingga jarak antara side lap dan front lap setiap foto berdekatan. Tahapan pengolahan foto udara di Software Agisoft Metashape yaitu Align Photo, Tie Point, Build Dense Cloud, Mesh, DEM dan Orthomosaic. Proses pengolahan foto udara dilakukan sampai tahapan orthomosaic, setelah itu citra foto udara di export untuk diolah ketahapan selanjutnya yaitu interpretasi objek citra foto udara.
-
2.3.3. Klasifikasi Citra Satelit
Klasifikasi citra satelit dilakukan dengan metode pixel base dengan algoritma Maximum Likelihood. Metode algoritma Maximum Likelihood Classification merupakan metode klasifikasi yang mengategorikan pixel dengan mempertimbangkan faktor peluang dalam kelas tertentu (Sampurno dan Thoriq, 2016).
Algoritma klasifikasi ini memiliki tujuan untuk memperkecil kelas overlap dengan memperhatikan probabilitas maksimum dari sejumlah piksel citra yang diklasifikasikan. Proses awal dalam pengklasifikasian algoritma Maximum Likelihood Classification adalah mendapatkan dengan mendapatkan nilai statistik dari kelas–kelas potensial yang telah ditetapkan. Proses
pengelompokan pixel ke dalam kelas-kelas potensial tertentu berdasarkan nilai kecerahan piksel (brightness value/ BV/ digital number) pada citra merupakan bagian dari klasifikasi citra (Danoedoro, 2012).
Citra Worldview-2 setelah dilakukan koreksi radiometrik selanjutnya akan dilakukan identifikasi sebaran ekosistem terumbu karang. Sebaran ekosistem terumbu karang dengan interpretasi visual pada citra Worldview-2 kurang informatif dilakukan hanya memiliki resolusi spasial 2 meter, sehingga terdapat pixel pada area yang memiliki variasi tutupan bentik. Citra satelit memiliki berbagai jenis sensor dari resolusi multispektral (menengah) hingga hiperspektral (tinggi) (Mastu, 2018). Identifikasi sebaran ekosistem terumbu karang secara signifikan akan terlihat jelas jika menggunakan data citra satelit beresolusi tinggi(Andréfouët et al., 2001; Scopélitis et al., 2009; Iovan et al., 2015; Ampou et al., 2018).
Gambar 3. Perbandingan citra foto udara dan citra Worldview-2
Citra foto udara memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi dengan satuan cm. Tingginya Resolusi spasial yang dihasilkan karena pada umumnya resolusi spektral yang dimiliki citra drone masih tergolong rendah (Ramadhani et al., 2015). Semakin rendah terbang drone dalam proses akuisisi foto udara terhadap objek yang difoto maka akan menghasilkan resolusi spasial yang lebih tinggi (Mastu, 2018). Perbandingan citra Worldview-2 dan citra foto udara dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Perbedaan objek pada citra foto udara dan citra Worldview-2 dapat dilihat secara visual. Perbedaan dari ke 2 citra tersebut terjadi karena adanya perbedaan tingkat resolusi spasial antara citra drone dan citra Worldview-2. Penggunaan drone dalam melakukan pemetaan terumbu karang mampu menghasilkan citra foto udara beresolusi tinggi sehingga visualisasi objek perbedaan tingkat pertumbuhan dan sebaran karang terlihat dengan sangat jelas.
Interpretasi visual yang dihasilkan citra Worldview-2 kurang informatif dikarenakan beberapa pixel pada area memiliki variasi tutupan. Mastu, (2018) mengatakan bahwa penggunaan citra satelit selalu dihadapkan dengan pengaruh atmosfer sehingga tutupan awan lebih sering
terbentuk.Paragraf teks utama setelah paragraf pertama setelah bab/sub-bab/sub-sub-bab.
Gambar 4. Proses orthomosaic di perangkat lunak Agisoft PhotoScan
-
3.2 Tahapan Orthomosaic Citra Foto Udara
Data foto udara yang dari hasil pemetaan di lokasi pengamatan, telah masuk sampai proses orthomosaic di perangkat lunak Agisoft PhotoScan (Gambar 3). Orthomosaic citra foto udara yang dihasilkan tidak memiliki nilai reflektan seperti citra satelit, dikarenakan hanya single image yang didapatkan dari kamera non-metrik (Agisoft 2016). Tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 4.
Data foto udara yang dari hasil pemetaan di lokasi pengamatan, telah masuk sampai proses orthomosaic atau digabungkan menjadi satu di perangkat lunak Agisoft PhotoScan (Gambar 3).
Orthomosaic citra foto udara yang dihasilkan tidak memiliki nilai reflektan seperti citra satelit, dikarenakan hanya single image yang didapatkan dari kamera non-metrik (Agisoft 2016). Proses orthomosaic foto udara dilakukan dengan beberapa tahapan pengolahan yang harus dikerjakan secara berurutan untuk menghasilkan citra foto udara, dimana prosesnya dimulai dari mencari titik ikat (Tie Point) atau kesamaan piksel yang terdapat pada setiap foto yang dihasilkan, lalu dilakukan penyelarasan antara masing-masing foto dengan dibentuk titik awan padat (build dense cloud) berdasarkan ketentuan titik awan jarang dengan memperkirakan posisi kamera dalam mencari kesamaan piksel berdasarkan titik awan sebelumnya, kemudian membentuk mesh untuk menghasilkan 3D Model dengan membentuk bidang di antara titik-titik awan yang memiliki nilai koordinat x, y dan z.
Tahapan terakhir yaitu pembentukan citra orthophoto hasil dari orthomosaic. Tahapan proses dapat dilihat pada Gambar 4. Citra foto udara yang dihasilkan merupakan citra dua dimensi yang telah dilengkapi dengan informasi geografis dan koordinat X dan Y (Ahmad et al., 2013), mengingat semua foto udara hasil akuisisi telah dilengkapi dengan informasi geografis berupa titik koordinat dan informasi geografis yang di input pada proses orthomosaic.
-
3.3 Interpretasi Citra Foto Udara
Pemetaan ekosistem terumbu dengan menggunakan drone sangat memungkinkan karena dengan visualisasi citra foto udara dapat melihat perbedaan pada tingkat bentuk pertumbuhan karang dengan jelas dan resolusi spasial yang lebih tinggi. Citra foto udara resolusi tinggi yang dihasilkan dengan drone dapat dilakukannya pengulangan secara time series pada lokasi yang sama, sehingga dapat melakukan kajian tentang dampak perubahan pada penutupan ekosistem terumbu karang dihubungkan dengan fenomena tertentu (Casella et al., 2017). Interpretasi visual objek terumbu karang pada citra foto udara dapat dilihat pada Gambar 5.
Penggunaan drone dapat menjadi penyedia informasi yang sangat baik dalam pemantauan pertumbuhan ekosistem terumbu karang
menggunakan perekaman foto udara. Selain dengan resolusi yang dimiliki sangat tinggi, kelebihan lainnya dalam penggunaan citra drone ini dapat membantu peneliti melakukan kegiatan survei dan pengumpulan data lapangan pada daerah yang sulit dijangkau (Colomina dan Molina, 2004).
Pemetaan ekosistem terumbu karang didasarkan dengan data pengamatan lapangan dan hasil foto udara. Hasil foto didasarkan dengan pengambilan data terumbu karang dengan teknik foto kuadran menggunakan underwater camera, serta dilakukan marking lokasi setiap plot area survei menggunakan GPS. Sinkronisasi waktu perekaman GPS dengan pengambilan foto transek akan menghasilkan informasi secara georeferensi (Wahidin dan Abdulah, 2018).
Hasil interpretasi visual menggunakan citra foto udara diperoleh sebaran tutupan terumbu karang yang berada pada Kawasan Karang Lebar di Kepulauan Seribu. Resolusi spasial yang tinggi dari citra foto udara yang dihasilkan mampu menunjukkan dengan jelas bentuk tutupan karang masive dengan diameter berkisar 1-5 meter. Menurut Pichon (2011), tipe karang massive biasanya ditemukan dengan ukuran diameter berkisar 1-10 meter.
-
3.4 Hasil Klasifikasi
Klasifikasi citra Worldview-2 menggunakan metode klasifikasi secara digital dengan algoritma Maximum Likelihood Classification. Algoritma ini bekerja berdasarkan nilai statistik probabilitas pada setiap training area kelas objek terhadap kelas objek yang lainnya, sehingga dapat meminimalisasi piksel yang tidak terklasifikasi melalui pengaturan nilai batas (Richards dan Jia, 2006; Danoedoro 2012; Prayudha 2014). Hasil klasifikasi dapat dilihat pada Gambar 6.
Berdasarkan Gambar 6, hasil klasifikasi citra Worldview-2 dengan algoritma Maximum Likelihood Classification menghasilkan kelas sebaran tutupan terumbu karang. Algoritma ini mengelompokan pixel citra yang belum diketahui identitasnya berdasarkan vektor rata – rata dan matriks ragam dari setiap pola spektral kelas informasi. Pixel citra dimasukan menjadi salah satu kelas yang memiliki probabilitas (peluang) paling tinggi (Richards, 2013). Warna biru pada Gambar 6 menjelaskan pola sebaran distribusi terumbu karang pada area penelitian yang didominasi oleh
tipe karang massive. Tipe karang massive masuk dalam karang hermatipik yaitu karang yang mampu membentuk terumbu. Bentuk tipe karang massive seperti batu dengan struktur bulat dan tidak memiliki rongga antara struktur terumbu karang dengan warna cokelat muda. Berdasarkan hal ini tipe karang massive jadi mudah dikenali dengan citra foto udara.
Gambar 6. Hasil klasifikasi ekosistem terumbu karang pada citra Worldview-2
Hanya saja memiliki kekurangan yaitu faktor pengaruh kolom air yang menjadi kendala dari proses interpretasi objek pada citra foto udara. Walaupun proses interpretasi objek terumbu karang pada citra foto udara memiliki kekurangan terhadap faktor kolom air. Hal ini tidak mengurangi keuntungan yang didapat dalam memanfaatkan wahana drone sebagai alat membantu melakukan survei lapang di kawasan perairan dangkal. Integrasi data survei lapang dan interpretasi citra foto udara sangat membantu dalam proses klasifikasi terbimbing (supervised classification) pada citra Worldview-2 secara digital.
Citra foto udara terbukti dapat menjadi alternatif dalam pengambilan data lapang sebagai training area dalam identifikasi objek terumbu karang. Hanya saja interpretasi visual terbatas karena faktor kolom air sehingga menyulitkan dalam proses identifikasi objek. Hasil interpretasi visual menggunakan citra foto udara hanya mampu menunjukkan sebaran tutupan bentuk tutupan karang masive dengan diameter berkisar 1-5 meter.
Ucapan terimakasih
Terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Republik Indonesia melalui program hibah Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) yang diketuai oleh Bpk. Prof. Dr. Vincentius Paulus Siregar, DEA dan Laboratorium Pemodelan Spasial ITK IPB University dalam mendukung terlaksana survei lapang penelitian.
Daftar Pustaka
Ahmad, A., Tahar, K. N., Udin, W. S., Hashim, K. A., Darwin, N. H., Hafis, M., Room, M., Hamid, N. F. A., Azhar, N. A. M., Azmi, S. M. (2013). Digital Aerial Imagery of Unmanned Aerial Vehicle for Various Applications. In IEEE International Conference on Control System. Penang, Malaysia, 29 November – 1 december 2013 (pp. 535-540).
Agisof. [online] Tersedia di https://www.agisoft.com/ [diakses: 5 Agustus 2021]
Ampou, E. E., Ouillon, S., Iovan, C., & Andréfouët, S.
-
(2018) . Change detection of Bunaken Island coral reefs using 15 years of very high resolution satellite images: A kaleidoscope of habitat trajectories. Marine Pollution Bulletin, 131, 83-95.
Andréfouët, S., Muller-Karger, F. E., Hochberg, E. J., Hu, C., & Carder, K. L. (2001). Change detection in shallow coral reef environments using Landsat 7 ETM+ data. Remote Sensing of Environment, 78 (1-2), 150-162.
Anggoro, A., Siregar, V. P., & Agus, S. B. (2016). The effect of sunglint on benthic habitats mapping in Pari Island using worldview-2 imagery. Procedia Environmental Sciences, 33, 487-495.
Anggoro, A., Zamdial, D. H., Bakhtiar, D., Herliany, N. E., & Utami, M. A. F. (2020). Pemetaan habitat perairan dangkal menggunakan citra resolusi menengah dengan metode klasifikasi berbasis piksel (studi kasus Pulau Tikus). Jurnal Enggano, 5(1), 78-90.
Arifin, T., Daulat, A., Ramdhan, M., Rahmania, R., Yulius, N. A. S., Gusmawati, N., & Kusuma, L. C. (2020). The use of high resolution satellite imagery to identify coral reef cover and its correlation with the abundance of reef fish in Nias Island, North Sumatera, Indonesia. AACL Bioflux, 13 (3), 1703-1714.
Arini, D. I. D. (2013). The challenge and conservation efforts of Indonesian coral reefs. Info BPK Manado, 3 (2), 147-172.
Casella, E., A. Collin, D. Harris, S. Ferse, S. Bejarano, V.
Parravicini, J.L. Hench, & A. Rovere. 2017. Mapping
coral reefs using consumer-grade drones and structure from motion photogrammetry techniques. Coral Reefs, 36(1): 269-275.
Colomina, I., & Molina, P. (2014). Unmanned aerial systems for photogrammetry and remote sensing: A review. ISPRS Journal of photogrammetry and remote sensing, 92, 79-97.
Danoedoro, P. (2012). Pengantar pengindraan jauh digital. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Andi.
Fuad, M. A. Z., Ramadhani, M. F. N., Dewi, C. S. U., Fikri, M. A., & Herdikusuma, E. B. (2022). Pemetaan
terumbu karang dengan citra satelit Sentinel-2 dan analisis kondisi karang di kawasan Pantai Pasir Putih, Situbondo Jawa Timur. Jurnal Pendidikan Geografi, 27(1), 73-87.
Giyanto., Muhammad, A., Hadi, T. A., Budiyanto, A., Hafizt, M., Salatalohy, A., & Iswari, M. Y. (2017). Stastus terumbu karang Indonesia 2017. Jakarta Utara: Pusat Oseanografi-LIPI.
Iovan, C., Ampou, E., Andréfouët, S., Ouillon, S., & Gaspar, P. (2015). Change detection of coral reef habitats from multi-temporal and multi-source satellite imagery in Bunaken, Indonesia. In 2015 8th International Workshop on the Analysis of Multitemporal Remote Sensing Images (Multi-Temp). Annecy, France, 22-24 July 2015 (pp. 1-4).
Macharia, D., Grimsditch, G., Abdulla, A., & Obura, D. (2016). Mapping factors that contribute to coral reef resilience using in situ and satellite data in East Africa. In Diop, S., Scheren, P., Ferdinand Machiwa, J. (eds). Estuaries: A Lifeline of Ecosystem Services in the Western Indian Ocean. Switzerland: Springer, pp. 259-276.
Madaul, U. K. (2015). Pemetaan geomorfologi terumbu menggunakan citra Worldview-2 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Skripsi. Bogor, Indonesia: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Mastu, L. O. K. (2018). Pemetaan habitat bentik berbasis objek menggunakan citra Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dan satelit Sentinel-2 di Perairan Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Tesis. Bogor, Indonesia: Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Mastu, L. O. K. (2021). Teknologi drone untuk pemetaan habitat perairan laut dangkal. Dalam Proseding Seminar Nasional Geomatika 2020: Informasi Geospasial untuk Inovasi Percepatan Pembangunan Berkelanjutan. Bogor, Indonesia, 15-16 Oktober 2020 (pp 689-698).
Pichon, M. (2011). Porites. In Hopley, D. (Eds).
Encyclopedia of Modern Coral Reefs. Netherlands:
Springer, pp. 815-821.
Prayudha, B. (2014). Panduan teknis pemetaan habitat dasar perairan laut dangkal. Jakarta, Indonesia: COREMAP CTI LIPI 2014.
Ramadhani, Y. H., Rokhmatulloh, Poniman, A. & Susanti, R. (2015). Pemetaan Pulau Kecil dengan pendekatan berbasis objek menggunakan data Unmanned Aerial Vehicle (UAV) studi kasus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Majalah Ilmiah Globe, 2(17), 125-134.
Richards, J. A., & Jia, X. 2006. Remote sensing digital image analysis: an introduction. Berlin: Springer Verlag.
Richards, J. A. 2013. Remote sensing digital image analysis an introduction fifth edition. Berlin: Springer–Verlag.
Roelfsema, C., & Phinn, S. (2008). Evaluating eight field and remote sensing approaches for mapping the benthos of three different coral reef environments in Fiji. In Remote Sensing of Inland, Coastal, and Oceanic Waters. Noumea, New Caledonia, 19 December 2008 (pp. 95108).
Sampurno, R. M., & Thoriq, A. (2016). Klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra Landsat 8 Operational Land Imager (Oli) di Kabupaten Sumedang. Jurnal Teknotan, 2(10), 62-71.
Saputra, G. (2019). Pemetaan habitat bentik perairan dangkal Pulau Lancang menggunakan metode OBIA dengan citra satelit Worldview-2. Skripsi. Bogor, Indonesia: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Scopélitis, J., Andréfouёt, S., Phinn, S., Chabanet, P., Naim, O., Tourrdan, C., & Done, T. (2009). Changes of coral communities over 35 years: integrating in situ dan remote-sensing data on Saint-Leu Reef (La Réunion, Indian Ocean). Estuarine, Coastal and Shelf Science, 84, 342–52.
Sugara, A., Siregar, V. P., & Agus, S. B. (2020). Klasifikasi habitat bentik perairan dangkal dari Citra Worldview-2 menggunakan data in-situ dan drone. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 12(1), 135-150.
Tran, V. D., Phinn, S. R., & Roelfsema, C. M. (2012). Coral reef mapping in Vietnam’s coastal waters from high-spatial resolution satellite and field survey data. Asian Journal of Geoinformatics, 12(2), 1-12.
Wahiddin, N., Siregar, V. P., Nababan, B., Jaya, I., & Wouthuyzen, S. (2014). Deteksi perubahan habitat terumbu karang menggunakan Citra Landsat di Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(2), 507-523.
Wahidin, N., & Abdullah, R. M. (2018). Pemetaan substrat dasar perairan dangkal menggunakan drone komersial dan teknik fotogrametri. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Iptek Perikanan dan Kelautan I. Ambon, Maluku, 16-17 November 2017 (pp 621-633).
Xin, L. H., Adzis, K. A. A., Hyde, J., & Cob, Z. C. (2016). Growth performance of acropora formosa in natural reefs and coral nurseries for reef restoration. AACL Bioflux, 9(5), 1090-1100. |
Yamano, H. (2013). Multispectral application: In Goodman, J. A., Purkis, S. J., & Phinn, S. R. (eds.) (2013). Coral reef remote sensing: a guide for mapping, monitoring and management. Springer, pp. 51-78. |
© 2022 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 8: 202-209 (2022)
Discussion and feedback