Journal of Marine and Aquatic Sciences 8 2), 244-253 2022)

Potensi Sumber dan Sebaran Sampah Laut di Ekosistem Terumbu Karang Perairan Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, dan Pulau Harapan, DKI Jakarta

Muhamad Gilang Arindra Putra a*, Neviaty Putri Zamani b, Nyoman Metta N. Natih b, Amir Yarkhasy Yuliardi c

a Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian – Universitas Lampung, Bandar Lampung, 35145, Indonesia

a Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB Unversity, Bogor, 16680, Indonesia

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan – Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, 62351, Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-881-257-9588

Alamat e-mail: muhamad.gilang@fp.unila.ac.id

Diterima (received) 28 April 2022; disetujui (accepted) 30 Oktober 2022; tersedia secara online (available online) 1 Desember 2022

Abstract

Pollution is a threat to coral reefs in Indonesian waters. The number of coral reefs that are in very good condition denies very little compared to the total area of coral reefs in Indonesia. One form of pollution that can threaten coral reefs is marine debris. This study aims to identify potential sources of marine debris that can disrupt the health of coral reefs. the research was carried out in the waters of Kelapa Island, Kelapa Dua Island and Harapan Island, DKI Jakarta. The data used includes current data obtained using secondary data, data on the amount of marine debris,and the water base data substrate obtained using the LIT method. The results showed that the waste was thought to come from community activities, tourism and fisheries. The location that can be a source of marine debris in the research location comes from the mainland of Jakarta Bay. The bottom substrate conditions are in the "bad" to "medium" category. The range of the lowest proportion of live coral cover is 10,8% and the highest live coral cover at 31.1%. The coral reefs in the research location are in a state of worry and their existence is threatened by pollution of marine debris.

Keywords: current; marine debris; coral reefs

Abstrak

Pencemaran menjadi salah satu ancaman bagi terumbu karang yang ada di perairan Indonesia. Jumlah terumbu karang yang berada dalam kondisi sangat baik jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan total luasan terumbu karang di Indonesia. Salah satu bentuk pencemaran yang dapat mengancam terumbu karang yaitu sampah laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengindetifikasi potensi-potensi sumber sampah laut yang dapat mengganggu kesehatan terumbu karang. penelitian dilaksanakan di perairan Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, dan Pulau Harapan, DKI Jakarta. Data yang digunakan meliputi data arus yang diperoleh dengan menggunakan data sekunder, data jumlah sampah laut, dan data substrat dasar perairan yang diperoleh dengan menggunakan metode LIT. Hasil penelitian menunjukan sampah yang ditemukan diduga berasal dari kegiatan masyarakat, pariwisata, dan perikanan. Terdapat potensi lain yang dapat menjadi sumber sampah laut dilokasi penelitian yaitu kegiatan pelayaran maupun yang berasal dari daratan melalui Teluk Jakarta. Kondisi substrat dasar perairan termasuk dalam kategori “buruk” hingga “sedang”. Kisaran persentase tutupan karang hidup paling rendah yaitu 10,8% dan tutupan karang hidup paling tinggi yaitu 31,1%. Terumbu karang di lokasi penelitian sudah berada di kondisi cukup mengkhawatirkan dan keberadaannya semakin terancam dengan adanya pencemaran berupa sampah laut.

Kata Kunci: arus; sampah laut; terumbu karang

  • 1.    Pendahuluan

Meningkatnya populasi di dunia mengakibatkan semakin meningkatnya pencemaran yang berasal dari kegiatan antropogenik. Pencemaran yang masuk ke lingkungan laut memiliki berbagai macam bentuk namun, salah satu yang banyak menjadi perhatian adalah sampah laut yang sering disebut dengan marine debris. Secara umum sampah laut diartikan sebagai bahan padat yang masuk ke dalam laut dengan cara dibuang langsung maupun masuk dari daratan melalui aliran sungai baik sengaja atau tidak sengaja (Galgani et al., 2010). Jumlah sampah laut yang berasal dari aktivitas di sekitar wilayah pesisir dan laut diprediksi akan semakin meningkat jika penanganan sampah tidak ditangani secara baik(Syakti et al., 2017). Saat ini, Indonesia menempati peringkat kedua setelah negara Cina sebagai penyumbang puing sampah terbanyak di dunia (Jambeck et al., 2015).

Sampah laut dapat menyebar akibat terbawa arus atau tenggelam akibat pertambahan bobot oleh biofouling. Selain itu sampah laut dapat tercacah menjadi ukuran lebih kecil akibat faktor cuaca terutama ketika terpapar matahari secara terus menerus (Fazey & Ryan, 2016). Sampah laut menyebar karena terbawa arus laut yang merupakan pergerakan massa air secara horizontal yang disebabkan karena pengaruh pasang surut air laut, perbedaan densitas maupun pergerakan angin. Di Indonesia pergerakan angin dipengaruhi oleh kondisi musim yang dikenal dengan istilah angin muson. Wilayah Indonesia sepanjang tahun dilalui oleh dua angin muson secara bergantian yaitu angin muson barat dan muson timur (Dida dkk., 2016) . Akibat pengaruh tersebut maka akan terbentuk suatu pola sirkulasi arus yang khusus (Hadi & Radjawane, 2009).

Sampah laut yang tersebar dapat menyebabkan dampak pada organisme laut seperti biota dapat terjerat, terluka atau bahkan menelan sampah laut (Abu-Hilal & Al-Najjar, 2009; Gall & Thompson, 2015). Terumbu karang merupakan salah satu organimse yang dapat terdampak seperti luka, penjeratan dan patahan struktur terumbu (Edward et al., 2019; Valderrama et al., 2018). Dengan adanya pencemaran seperti sampah laut di ekosistem terumbu karang, maka dikhawatirkan keberadan terumbu karang dan organisme lainnya akan semakin terancam. Penelitian ini bertujuan guna mengetahui potensi sumber dan sebaran sampah laut dan kondisi terumbu karang di Pulau

Kelapa, Pulau Kelapa Dua dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan sampah laut khusunya di wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Pulau Kelapa Dua, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada bulan Oktober hingga November 2019 meliputi pengambilan data selama 7 hari yang dilanjutkan dengan pengolahan data. Terdapat 10 titik lokasi pengambilan data yang tersebar di wilayah Pulau Kelapa Dua, Pulau Kelapa, dan Pulau Harapan ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling.

  • 2.2    Teknik Pengambilan Data

    • 2.2.1.    Pengambilan Data Sampah Laut

Pengambilan data mengikuti panduan pemantauan sampah laut menurut Galgani et al. (2013). Penelitian diawali dengan melakukan penilaian awal dengan melakukan selam permukaan atau snorkeling untuk menentukan ukuran transek. Panjang dan lebar transek ditentukan berdasarkan kepadatan sampah laut di suatu wilayah (Galgani et al., 2013; Lippiatt et al., 2013). Ukuran panjang dan lebar transek yang digunakan yaitu 20 m x 4 m (Gambar 1), kemudian setiap titik lokasi pengambilan data dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali dengan jarak 5 meter pada setiap ulangannya.

Gambar 1. Ilustrasi ukuran transek yang digunakan

  • 2.2.2.    Pengambilan Data Substrat Dasar Perairan

Metode pengambilan data substrat dasar perairan yang digunakan pada penelitian ini adalah metode LIT (Line Intercept Transect) yaitu metode pengamatan dengan ketelitian 1 cm yang diukur dengan menggunakan tali atau roll meter. Kode pencatatan pada metode ini menggunakan versi AIMS (English et al., 1997).

  • 2.2.3.    Pengambilan Data Arus

Data arus yang digunakan tersebar di daerah pesisir utara Jawa dari Teluk Jakarta sampai bagian barat pesisir utara Jawa dan maksimal pada 4 LS di utara Kepulauan Seribu. Data yang digunakan dicuplik pada bulan Januari (musim barat), April (musim peralihan I), Juli (musim timur) dan Oktober (musim peralihan II) yang didapatkan dari situs https://ncss.hycom.org dengan resolusi 1/12°. Analisis, visualisasi dan komputasi data oseanografi menggunakan bahasa pemrograman Python 3.8 dengan Integrated Development Environment (IDE) Jupyter Notebook dan perangkat lunak oseanografi Ocean Data View (ODV) versi 5.2.0 untuk tampilan wilayah

  • 2.3    Teknik Analisis Data

    • 2.3.1    Analisis Data Arus

Komponen vector arus terdiri dari arah dan kecepatan (θ dan r) yang didapat dari komponen arah zonal (u) dan meridional (v) atau sebaliknya melalui proses penguraian. Penguraian ini digunakan untuk melihat komponen yang dominan/lebih berpengaruh. Proses ini selanjutnya dapat dihubungkan dengan faktor yang lain, seperti orientasi arah gerak, geometri perairan dan distribusi terhadap ruang dan waktu. Nilai resultan kecepatan angin dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

r = √(U)!+^(U)!^                     (1)

Dimana r merupakan resultan kecepatan arus dengan unit satuan (m/s). Komponen u sebagai arus zonal dan v sebagai komponen meridional. Arah arus ditentukan berdasarkan nilai komponen u dan v arus, dituliskan dengan persamaan berikut:

U

θ = arctan-

V

Nilai rata-rata untuk komponen arus ditentukan dengan persamaan (Emery & Thomson, 1997):

x = $ ∑‰ Xi

Nilai standar deviasi data:

s! = %⅛ ∑%√xi-x)2

s = √^2

Dimana s2 varian, s standar deviasi, N banyak data, xi nilai data x ke-i dan x rata-rata nilai x

  • 2.3.2    Analisis Distribusi Probabilitas

Variabel random X dapat dikatakan sebagai variabel random diskrit jika himpunan nilai yang mungkin muncul dari X merupakan himpunan terhitung. Jika X merupakan variabel random diskrit, fungsi peluang variabel random diskrit didefiniskan sebagai berikut, untuk nilai positif, x > 0 (Bain & Engelhardt, 1991):

f(x) = P[X = x] X = x1,x2,x3, dst (6)

Distribusi probabilitas dari variabel X merupakan himpunan semua pasangan (x,f(x)). f(x) adalah fungsi untuk menujukkan probabilitas dari masing-masing nilai X yang memungkinkan. Distribusi Weibull merupakan distribusi yang sering digunakan karena menggambarkan keseluruhan data secara jelas terutama dalam pengujian dan memodelkan data. Distribusi kecepatan arus permukaan mengikuti distribusi Weibull pada skala mesoscale dan skala yang lebih besar (Chu, 2008). Dituliskan sebagai berikut:

f(x,k,λ)= , Q   e “(")              (7)

Dimana λ adalah parameter skala (kecepatan arus) dan k adalah parameter bentuk (arah arus).

  • 2.3.2    Analisis Data Sampah Laut

Sampah laut pada setiap stasiun dihitung jumlahnya kemudian dikalkulasikan untuk mengetahui kepadatan di setiap stasiun penelitian. Persamaan yang digunakan dalam perhitungan kepadatan sampah laut menurut Lippiatt et al, (2013) adalah sebagai berikut:

Gambar 2 Arah dan kecepatan arus di wilayah perairan Kepulauan Seribu pada bulan (a) Januari; (b) April; (c) Juli dan (d) Oktober.


D =


n

(w x l)


(8)


Dimana D adalah kepadatan sampah laut (item/m2); n adalah jumlah sampah laut; w adalah lebar area transek (m); l adalah panjang area transek (m).

  • 2.3.3    Analisis Data Substrat Perairan

Kondisi substrat dasar perairan diperoleh dari hasil pengamatan dengan metode Line Intercept Transect, yang kemudian diolah dengan menggunakan persamaan menurut English et al., (1997) sebagai berikut :

Persen Cover (%) = !→^%'")s*^ x 100% Total Transek (m')

(9)


Hasil perhitungan akan disandingkan dengan indeks kesehatan terumbu karang menurut Zamani & Madduppa, (2011).

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Arus

Arus merupakan aliran massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, gelombang laut dan pasang surut (Nontji, 2005). Pola arus yang terbentuk di perairan Kepulauan Seribu mengikuti pola musiman yang cukup kuat. Kepulauan Seribu mendapat pengaruh kuat siklus musim yang ada di Perairan Indonesia. Arus pada perairan Laut Jawa umumnya bergerak dengan arah barat - timur mengikuti pola morfologi Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan yang memiliki orientasi barat - timur. Perairan Laut Jawa khususnya di Kepulauan Seribu memiliki arah arus yang cukup dominan pada setiap musim. Musim barat (Januari) dan musim peralihan I (April) arus bergerak dominan dari barat ke timur dengan variasi arah timur laut – tenggara. Arus pada musim barat tidak memiliki variasi arah menuju barat sedangkan pada musim peralihan I terlihat adanya pembalikan arah arus menuju ke barat dengan nilai yang kecil.

Puncak tertinggi jumlah sampah laut yang masuk ke wilayah Teluk Jakarta berada pada bulan Februari dan Desember (Cordova & Nurhati, 2019) yang merupakan musim hujan di wilayah Indonesia. Sampah laut yang masuk melalui muara akan menyebar ke wilayah perairan di sekitarnya dengan cara terbawa oleh arus yang berada di wilayah tersebut. Bulan Desember hingga Februari diprediksi menjadi puncak tertinggi masuknya puing sampah laut melalui sungai, yang kemudian akan mudah menyebar ke wilayah perairan Kepulauan Seribu. Arah dan kecepatan arus pada bulan Januari dan April (Gambar 2) di wilayah perairan Laut Jawa yang meliputi perairan Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta, terlihat sebagian arus bergerak ke arah timur. Pengaruh pembelokan yang arus yang terjadi akan berpotensi menyebarkan sampah laut ke wilayah perairan Kepulauan Seribu.

Musim timur dan musim peralihan II menunjukkan pola yang berbeda. Kedua musim ini memiliki arah dominan dari timur menuju barat dengan variasi arah barat daya – barat laut. Musim barat memiliki arah yang lebih dominan menuju barat daya dan musim peralihan II memiliki arah yang lebih menyebar antara barat daya – barat laut (Gambar 2). Hal ini disebabkan karena pada bulan Juni sampai November di belahan bumi bagian utara bertiup Angin Muson Tenggara yang mengakibatkan angin permukaan bergerak ke arah barat (Wyrtki, 1961).

Arus yang terjadi pada bulan Juli dan Oktober diduga tidak membawa banyak puing sampah laut dari Teluk Jakarta menuju Kepulauan Seribu, karena tidak adanya daratan utama yang berada di Timur wilayah perairan Kepulauan Seribu secara langsung dan terdapat efek pembelokan sehingga sampah teresirkulasi di Teluk Jakarta. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah jalur pelayaran yang berada di wilayah Kepulauan Seribu dapat berpotensi menjadi sumber puing sampah laut. Terdapat 2 alur pelayaran yang berada di bagian Timur dan Barat Kepulauan Seribu yaitu Alur Laut

Kepulauan Indonesia (ALKI) I (Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan) dan ALKI II (Selat Lombok, Selat Makasar, dan Laut Sulawesi) (Rustam, 2016).

Djurdjani, (1998) menyatakan kecepatan arus dikategorikan lemah jika kecepatannya < 0,4 m/s, Sedang jika kecepatannya 0,4 – 1 m/s dan Kuat jika kecepatannya >1 m/s. Data ini menunjukkan bahwa kecepatan arus di lokasi dikategorikan memiliki kecepatan arus lemah dan sedang. Kisaran kecepatan arus bulanan disajikan pada Tabel 1. Kecepatan arus tergolong kuat terjadi pada bulan Januari dan April. Bulan Juli dan Oktober memiliki arus yang cukup lemah. Nilai rata-rata kecapatan arus antara musim barat – musim peralihan I dan musim timur – musim peralihan II memiliki perbedaan kecepatan yang cukuk signifikan. Musim barat – musim peralihan I memiliki nilai pada kisaran rentang 10-1 dan musim timur -musim peralihan II pada rentang nilai 10-2.

Kategori arus lemah di lokasi memiliki hubungan yang cukup erat dengan musim angin timur. Musim timur angin yang bergerak dari benua Australia ke benua Asia yang memiliki kelembaban udara yang rendah (udara kering). Berdasarkan fungsi densitas probabilitas terhadap kecepatan arus (Gambar 3), pada musim timur kecepatan arus didominasi angin yang memiliki kecepatan rendah dengan nilai tertinggi pada kisaran kecepatan arus 0.1 – 0.2 m/s. Musim barat dan musim peralihan I memiliki nilai kecepetan angin yang yang lebih besar dibandingkan pada musim timur dan musim peralihan II.

Nilai densitas probabilitas kecepatan arus terbesar pada bulan Januari dan April pada kisaran 0.1 – 0.2 m/s. Nilai lain yang lebih besar memiliki nilai yang cukup signifikan. Hal ini sesuai dengan area pembangkitan angin yang mempengaruhi kecepatan arus. Angin musim barat terbentuk di Laut Cina Selatan yang secara geografis relative dekat dengan wilayah kajian di Kepulauan Seribu. Angin yang bergerak dari Laut Cina Selatan langsung mengarah ke Laut Jawa sehingga penjalarannya dapat optimal sehingga

Tabel 1.

Nilai kecepatan arus setiap musim

Bulan

Musim

Kecepatan Arus (m/s)

Min

Rata-rata

Maks

Std.dev

Januari

Barat

0.0015

0.1433

0.5953

0.0946

April

Peralihan I

0.0004

0.1038

0.5443

0.0749

Juli

Timur

0.0008

0.0725

0.2708

0.0402

Oktober

Peralihan II

0.0009

0.0878

0.3573

0.0543


menghasilkan arus permukaan yang cukup kuat. Nilai densitas probabilitas pada bulan Juli dan Oktober menunjukkan arus yang bergerak adalah arus lemah dengan kisaran 0.1 – 0.2 m/s. Pembangkitan angin yang cukup jauh dan selama perjalanannya melewati daratan Pulau Jawa yang memiliki banyak bentang gunung sehingga kecepatan angin tereduksi dan intensitas semakin melemah. Hal ini akan menyebabkan arus permukaan yang terbentuk akan signifikan lemah.

Gambar 3 Densitas probabilitas kecepatan arus di wilayah perairan Kepulauan Seribu pada bulan (a) Januari, (b) April, (c) Juli dan (d) Oktober.

  • 3.2    Kepadatan Relatif Sampah Laut

Sampah laut atau marine debris saat ini menjadi salah satu konsen dalam penelitian yang terkait dengan pencemaran perairan. Sumber sampah laut dapat melalui berbagai macam sumber namun umumnya kurang lebih 80% berasal dari wilayah daratan, sedangkan 20% berasal dari kegiatan di perairan laut seperti kegiatan perikanan maupun pelayaran (Niaounakis, 2017). Sampah laut dapat masuk melalui sungai atau dibuang secara langsung ke wilayah laut. Selain dari daratan, kegiatan yang berkaitan langsung dengan wilayah laut dapat menjadi potensi masuknya sampah laut seperti pariwisata (Chen et al., 2019; Wilson &

Verlis, 2017) maupun masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir (Syakti et al., 2017).

Wilayah penelitian yang berada di Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua dan Pulau Harapan merupakan salah satu pulau terpadat yang ada di wilayah Kepulauan Seribu. Pulau Kelapa Dua merupakan pulau dengan penduduk paling sedikit dibandingkan dengan kedua pulau lainnya. menurut Dinas Komunikasi DKI Jakarta, (2017) menyebutkan terdapat 337 jiwa yang bertempat tinggal di Pulau Kelapa Dua. Sedangkan, menurut Direktorat Pendayagunaan PPK, (2012) jumlah masyarakat yang tinggal di Pulau Kelapa kurang lebih 5.795 jiwa dan untuk Pulau Harapan sebanyak 2.205 Direktorat Pendayagunaan PPK, (2012a). Selain tingginya jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Kelapa dan Pulau harapan, kedua pulau ini merupakan salah satu destinasi wisata favorit di Kepulauan Seribu. Berdasarkan data Suku Dinas Perhubungan Administrasi Kepulauan Seribu, (2018) pada tahun 2017 terdapat 1.311.667 orang wisatawan yang datang ke Pulau Kelapa dan orang wisatawan yang datang ke 1.318.111 Pulau Harapan. Besarnya jumlah wisatawan yang datang dan tingginya jumlah penduduk dapat menjadi potensi sumber sampah laut. Berikut adalah beberapa contoh sampah yang ditemukan (Gambar 4 )

Gambar 4. Contoh sampah yang ditemukan di lokasi penelitian : A) Jaring ; B) Plastik kemasan ; C) Botol kaca D) Ember plastik

Wisatawan maupun masyarakat yang tingga dapat dikatakan sebagai salah satu kandidat kuat sumber sampah laut di lokasi penelitian. Dugaan ini diperkuat dengan memperhatikan peta kepadatan relatif sampah laut (Gambar 5).

Gambar 5. Peta sebaran kepadatan relatif sampah laut

Tabel 3

Nilai kepadatan dan jenis sampah yang ditemukan

Stasiun

Jenis Sampah

Kepadatan item/m2)

1

Tali Pancing, Kemasan Plastik, Botol Kaca

0.0102

2

Kemasan Plastik, Kain Sarung, Karung Plastik

0.0023

3

Tambang plastik, Kemasan Plastik, Baju

0.0133

4

Kemasan plastik

0.0016

5

Tambang plastik, Ban, Talang air, lembaran karet, tali pancing

0.0070

6

Botol kaca, plastik bening, tali pancing, lembaran karet, tali plastik, tambang, bubu

plastik, karung plastik, spanduk plastik, jaring,

0.0133

7

Kemasan plastik, ember plastik, disk, botol plastik, pampers, kaleng cat

0.0047

8

Tambang plastik

0.0016

9

Tambang plastik, Karung plastik, ember plastik, jaring, piring plastik, botol plastik

0.0188

10

Botol kaca, pampers, pipa plastik, lembaran kaca

0.0031


Terdapat 4 kategori kepadatan sampah laut di lokasi penelitian yaitu sangat padat, padat, cukup padat, dan kurang padat. Peta kepadatan tersebut didapat berdasarkan perbandingan kepadatan sampah laut antar stasiun, sehingga kepadatan yang didapat merupakan kepadatan relatif antar stasiun penelitian. Hasil penelitian menunjukan stasiun 1, 3, 6, dan 9 memiliki kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pada lokasi tersebut merupakan pelabuhan yang menyambungkan Pulau Kelapa Dua dan Pulau Kelapa, selain itu lokasi ini juga digunakan oleh warga sebagai salah satu lokasi utama yang digunakan oleh warga untuk mengangkut barang keperluan harian yang dibeli di daratan utama atau kota Jakarta. Jarak perumahan warga dengan tubir terbilang cukup dekat dibandingkan stasiun lainnya, hamparan karang atau pasir terbilang

hanya sedikit sehingga jarak rumah warga dan perairan sangat dekat. Beberapa contoh jenis sampah yang ditemukan di lokasi penelitian merupakan benda sehari-hari yang biasa digunakan oleh warga (Tabel 3).

Pada stasiun 9 merupakan lokasi yang memiliki kepadatan paling tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnnya. Selain ditemukan benda sehari-hari pada lokasi ini ditemukan juga beberapa benda yang terkait dengan kegiatan perikanan yaitu seperti jaring yang memiliki ukuran cukup besar. Sisa dari alat tangkap dapat membahayakan organisme yang ada di laut karena dapat menyebabkan ghost fishing (Beneli et al, 2020). Dari seluruh lokasi penelitian, sampah laut yang dominan ditemukan merupakan plastik kemasan. Dengan melihat jenis sampah yang ditemukan maka diduga sampah yang berada di lokasi penelitian berasal dari sisa kegiatan masyarakat.

Sampah berbahan dasar plastik ditemukan di seluruh stasiun penelitian, yang menandakan bahwa lingkungan laut semakin terancam dengan adanya sampah plastik yang termasuk bahan sulit diurai. Plastik banyak ditemukan karena memiliki harga yang murah, cukup tahan lama, dan mudah dibentuk menjadi berbagai macam bentuk. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah sampah laut menurut Niaounakis, (2017) yaitu jumlah masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, perilaku pengguna produk terkait, pengelolaan limbah yang tidak memadai, kurangnya kesadaran masyarakat, perangkat perundang-undangan yang tidak efektif dalam pengelolaan limbah.

  • 3.3    Kondisi substrat dasar perairan

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman terumbu karang paling tinggi di dunia namun, keberadaan terumbu karang di Indonesia semakin terancam. Menurut Giyanto et al., (2017) saat ini dari seluruh luasan terumbu karang hanya 6,56 % terumbu karang dalam kondisi sangat baik. Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari alam maupun akibat kegiatan antropogenik. Beberapa contoh yang menyebabkan kerusakan pada terumbu karang seperti pengasaman laut akibat global warming (Kleypas et al., 2006; Raven et al., 2005), predasi oleh Acanthaster planci (Kayal et al., 2012; Roche et al., 2015), maupun kerusakan akibat kegiatan antropogenik seperti pencemaran.

Sampah laut memiliki dampak yang cukup besar, karena dapat mematahkan struktur terumbu, mengurangi intensitas cahaya, dan menyebabkan luka pada jaringan karang (Fachrurrozie dkk, 2012; Lamb et al., 2018; Valderrama et al., 2018) Keberadaan sampah laut di terumbu karang akan menambah ancaman kerusakan, terutama pada wilayah terumbu karang yang memiliki kondisi cukup buruk.

Hasil penelitian menunjukan secara berurutan dari stasiun 1 hingga 9 tutupan terumbu karang berada pada nilai 21,6%; 14%; 19,4%; 10,82%; 14,1%; 23,8%; 24,5%; 21,6%; 31,1%; 19,1%. nilai tutupan terumbu karang paling tinggi berada di stasiun 9 dengan nilai persentase sebesar 31,1% yang termasuk dalam kategori sedang. Nilai tutupan paling rendah berada di stasiun 4 dengan nilai persentase sebesar 10,82%.

Kondisi tutupan terumbu karang di lokasi penelitian umumnya berada pada level sedang hingga buruk. Dibandingkan dengan penelitian lainnnya, kondisi terumbu karang hasil dari penelitian ini terbilang cukup rendah. Penelitian yang dilakukan Faizal et al., (2019) menunjukan tutupan terumbu karang berada pada kisaran 63.17% namun jika dibandingkan, lokasi penelitian yang dilakukan berada di bagian luar Pulau Harapan dan memiliki jarak yang cukup jauh dari lokasi kegiatan masyarakat. Aktivitas manusia yang berada dekat dengan terumbu karang dapat menjadi sumber tekanan bagi ekosistem dan berpotensi mengurangi kesehatan terumbu karang (Lamb & Willis, 2011).

Persentase tutupan terumbu karang stasiun 4

(Coral milepora) CME

(Coral foliose) CF

(Coral massive) CM

(Acropora branching) ACB

(Coral foliose) CF

(Coral submassive) CS

(Coral massive) CM

(Coral Branching) CB

(Acropora digitate) ACD

(Acropora branching) ACB

stasiun 9

14   16 IS 20

14   16   18   20

Gambar 7. Nilai persentase tutupan terumbu karang dengan nilai terendah (stasiun 4) dan nilai tertinggi (stasiun 9)

Indeks mortalitas terumbu karang berada pada kisaran “Baik” hingga “sedang”. Kondisi indeks mortalitas yang berada pada kisaran “Baik” hingga “sedang” tidak menjamin keberlangsungan terumbu karang akan hidup secara optimal. Indeks mortalitas dapat menjadi salah satu pengingat jika kesehatan terumbu karang terus menurun maka kemungkinan besar indeks mortalitas akan terus meningkat hingga ke level buruk.

Gambar 8. Indeks mortalitas terumbu karang di seluruh stasiun penelitian

Terdapat beberapa Ancaman bagi terumbu karang yang dapat ditemukan dilokasi penelitian. Ancaman tersebut tidak jauh berbeda dengan yang terjadi seperti riset yang sudah dilakukan di lokasi lainnya yaitu melalui pariwisata (Laapo dkk., 2009; Lamb & Willis, 2011), sampah laut (Chen et al.,

2019; Wilson & Verlis, 2017), dan eutrofikasi yang berasal dari pemukiman (Djaelani dkk., 2011).

  • 4.    Simpulan

Sumber sampah laut dilokasi penelitian diduga lebih dominan berasal dari aktivitas masyarakat, pariwisata, dan perikanan. Potensi sumber sampah laut dianalisis berdasarkan arah arus yang bergerak pada bulan Oktober cenderung dari arah timur ke barat namun, terdapat potensi lainnya seperti alur pelayaran atau sampah laut yang terbawa arus dari Teluk Jakarta. Kepadatan sampah laut lebih padat di lokasi dekat penduduk, dan sampah laut yang ditemukan berupa benda sehari-hari maupun berkaitan dengan aktivitas perikanan. Kondisi terumbu karang berada pada kondisi “Buruk” hingga “Sedang” dengan indeks mortalitas berada pada kisaran “Baik” hingga “Sedang”.

Ucapan terimakasih

Kami berterima kasih kepada Riswanto, Cakra Adiwijaya, Ridlo, Fadel, dan Delilla Suhanda atas bantuannya penelitian ini.

Daftar Pustaka

Abu-Hilal, A., & Al-Najjar, T. (2009). Marine litter in coral reef areas along the Jordan Gulf of Aqaba, Red Sea. Journal of Environmental Management, 90(2), 1043–1049.

Bain, J. L., & Engelhardt, M. (1991). Introduction to Probability and Mathematical Statistics (Duxbury Classic) (2nd ed). Pacific Grove: Duxbury.

Beneli, T. M., Pereira, P. H. C., Nunes, J. A. C. C., & Barros, F. (2020). Ghost fishing impacts on hydrocorals and associated reef fish   assemblages.   Marine

Environmental Research, 161(June), 105129.

Chen, H., Wang, S., Guo, H., Lin, H., Zhang, Y., Long, Z., & Huang, H. (2019). Study of marine debris around a tourist city in East China: Implication for waste management. Science of the Total Environment, 676, 278–289.

Chu, P. C. (2008). Probability distribution function of the upper equatorial Pacific current speeds. Geophysical Research Letters, 35(12), 1–6.

Cordova, M. R., & Nurhati, I. S. (2019). Major sources and monthly variations in the release of land-derived marine debris from the Greater Jakarta area, Indonesia. Scientific Reports, 9(1), 1–8.

Dida, H., Suparman, S., & Widhiyanuriyawan, D. (2016). Pemetaan Potensi Energi Angin di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Satelit QuikScat dan WindSat. Jurnal Rekayasa Mesin, 7(2), 95–101.

Dinas Komunikasi, I. dan S. P. D. J. (2017). PULAU KELAPA DUA. [online] Tersedia   di:i

https://jakarta.go.id/artikel/konten/3909/pulau-kelapa-dua, [diakses: 24 Oktober 2020].

Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil. (2012). Pulau Harapan. [online] Tersedia di: http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/397, [diakses: 24 Oktober 2020].

Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil. (2012a). Pulau Kelapa. [online] Tersedia di: http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/396, [diakses: 24 Oktober 2020].

Djaelani, A., Damar, A., & Rahardjo, S. (2011). Kajian Kondisi Terumbu Karang Dan Kaitannya Dengan Proses Eutrofikasi Di Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 17(1), 187–194.

Djurdjani. (1998). Konsep Pemetaan PUC PIC. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Edward, J. K., Mathews, G., Raj, K. D., Laju, R. L., Bharath, M. S., Kumar, P. D., … Grimsditch, G. (2019). Marine debris — An emerging threat to the reef areas of Gulf of Mannar, India. Marine Pollution Bulletin, 151(November), 110793.

Emery, J. W., & Thomson, E. R. (1997). Data Analysis Methods in Physical Oceanography. Oxford: Pergamon Press.

English, S. A., Wilkinson, C., & Baker, V. (1997). survey manual for tropical marine resources. Townsville: AIMS (Australian Institut of Marine Science).

Fachrurrozie, A., Patria, M. P., & Widiarti, R. (2012). Pengaruh Perbedaan Intensitas cahaya Terhadap Kelimpahan Zooxanthella Pada Karang Bercabang (Marga: Acropora) Di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Akuatika, 3(2), 115–124.

Faizal, I., Iriana, D., Riyantini, I., & Purba, N. P. (2019). The Status Of Coral Reefs in The Seribu Islands National Park, Indonesia in Various Zones. Global Scientific Journal, 7(10), 165–175.

Fazey, F. M. C., & Ryan, P. G. (2016). Biofouling on buoyant marine plastics: An experimental study into the effect of size on surface longevity. Environmental Pollution, 210, 354–360.

Galgani, F., Hanke, G., Werner, S., Oosterbaan, L., Nilsson, P., Fleet, D., … Liebezeit, G. (2013). MSDF Guidance on Monitoring Marine   Litter.   Luxembourg(LUX):

Publications Office of the European Union.

Galgani, Oosterbaan, L., Poitou, I., Hanke, G., Thompson, R., Amato, E., … Maes, T. (2010). Marine Strategy Framework Directive: Task Group 10 Report Marine Litter. Luxembourg (LUX): Publications Office of the European Union.

Gall, S. C., & Thompson, R. C. (2015). The impact of debris on marine life. Marine Pollution Bulletin, 92(1–2), 170–

179.

Giyanto, Abrar, M., Hadi, T. A., Budiyanto, A., Muhammad Hafizt, Salatalohy, A., & Iswari, M. Y. (2017). Status Terumbu Karang Di Indonesia 2017. Jakarta: PuslitOseanografi - LIPI.

Hadi, S., & Radjawane, I. (2009). Arus Laut. Bandung: Institu Teknologi Bandung.

Jambeck, J. R., Ji, Q., Zhang, Y.-G., Liu, D., Grossnickle, D. M., & Luo, Z.-X. (2015). Plastic waste inputs from land into the ocean. Science, 347(6223), 768–770.

Kayal, M., Vercelloni, J., Lison de Loma, T., Bosserelle, P., Chancerelle, Y., Geoffroy, S., … Adjeroud, M. (2012). Predator Crown-of-Thorns Starfish (Acanthaster planci) Outbreak, Mass Mortality of Corals, and Cascading Effects on Reef Fish and Benthic Communities. PLoS ONE, 7(10).

Kleypas, J., Feely, R., Fabry, V., Langdon, C., Sabine, C., & Robbins, L. (2006). Impacts of Ocean Acid- ification on Coral Reefs and Other Marine Calcifiers: A Guide for Future Research. St. Petersburg: NOAA/Pacific Marine Environmental Laboratory.

Laapo, A., Fahrudin, A., Bengen, D. G., & Damar, A. (2009). Pengaruh Aktivitas Wisata Bahari terhadap Kualitas Perairan Laut di Kawasan Wisata Gugus Pulau Togean Pendahuluan. ILMU KELAUTAN Indonesian Journal of Marine Sciences, 14(4), 215–221.

Lamb, J. B., & Willis, B. L. (2011). Using Coral Disease Prevalence to Assess the Effects of Concentrating Tourism Activities on Offshore Reefs in a Tropical Marine Park. Conservation Biology, 25(5), 1044–1052. https://doi.org/10.1111/j.1523-1739.2011.01724.x

Lamb, J. B., Willis, B. L., Fiorenza, E. A., Couch, C. S., Howard, R., Rader, D. N., … Kelly, L. A. (2018). Plastic waste associated with disease on coral reefs. Science, 359(6374), 460–462.

Lippiatt, S., Opfer, S., & Arthur, C. (2013). Marine Debris Monitoring and Assessment. In NOAA Technical Memorandum   NOS-OR&R-46.   Diambil dari

http://marinedebris.noaa.gov/sites/default/files/Lippi att_et_al_2013.pdf.

Niaounakis, M. (2017). The Problem of Marine Plastic Debris. In Management of Marine Plastic Debris.

Norwich City (GB): William Andrew.

Nontji, A. (2005). Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Raven, J., Caldeira, K., Elderfield, H., Hoegh-Guldberg, O., Liss, P., Riebesell, U., ... & Watson, A. (2005). Ocean acidification due to increasing atmospheric carbon dioxide. London, England: The Royal Society.

Roche, R. C., Pratchett, M. S., Carr, P., Turner, J. R., Wagner, D., Head, C., & Sheppard, C. R. C. (2015). Localized outbreaks of Acanthaster planci at an isolated and unpopulated reef atoll in the Chagos Archipelago. Marine Biology, 162(8), 1695–1704.

Rustam, I. (2016). Tantangan ALKI dalam Mewujudkan Cita-cita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Indonesian Perspective, 1(1), 1–21.

Suku Dinas Perhubungan Administrasi Kepulauan Seribu. (2018). Data Jumlah Wisatawan Di Wilayah Kepulauan Seribu 2017. [online] Dinas Perhubungan Provinsi               DKI               Jakarta,

(https://data.jakarta.go.id/dataset/data-jumlah-penumpang-di-wilayah-kepulauan-seribu-tahun-2017), [diakses: 6 November 2020].

Syakti, A. D., Bouhroum, R., Hidayati, N. V., Koenawan, C. J., Boulkamh, A., Sulistyo, I., … Wong-Wah-Chung, P. (2017). Beach macro-litter monitoring and floating microplastic in a coastal area of Indonesia. Marine Pollution Bulletin, 122(1–2), 217–225.

Valderrama, L., Matthews, J. L., & Hoeksema, B. W. (2018). Pollution and coral damage caused by derelict fi shing gear on coral reefs around Koh Tao , Gulf of Thailand. Marine Pollution Bulletin, 135(March), 1107–1116.

Wilson, S. P., & Verlis, K. M. (2017). The ugly face of tourism: Marine debris pollution linked to visitation in the southern Great Barrier Reef, Australia. Marine Pollution Bulletin, 117(1–2), 239–246.

Wyrtki, K. (1961). Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. (2nd ed). San Diego, California: Scripps Institution of Oceanography.

Zamani, N. P., & Madduppa, H. H. (2011). A Standard Criteria for Assesing the Health of Coral Reefs: Implication for Management and Conservation. Indonesia Coral Reefs, 1(2), 137–146.

© 2022 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 8: 244-253 (2022)