Journal of Marine and Aquatic Sciences 8(2), 279-287 (2022)

Pemetaan Distribusi Lamun di Selat Ceningan Menggunakan Drone Komersial

I Gede Andika Wijantara a*, I Wayan Gede Astawa Karang a, Gede Surya Indrawan a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-82144124246

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 14 November 2020; disetujui (accepted) 26 November 2022; tersedia secara online (available online) 1 Desember 2022

Abstract

Remote sensing is growing with the drone which can overcome problems and weaknesses on satellite imagery. This research uses mapping techniques on seagrass to the species level using drones that use the high resolution to generate data. The purpose of this study was to determine the distribution species of seagrass in Ceningan Strait using drone. Data is collected at the date of 12 and 13 march 2020 by using 50 cm x 50 cm transect which is done by systematic random sampling, and images capture using drones phantom 3 standard by performing five flights, and the results will be combined into one form of a mosaic. The method used is the classification of GEOBIA (Geographic Object Based Image Analysis) which is validated with field data. From the results of the research conducted, three species were identified using drones, namely seagrass with the species Thalasia hemprichi, Cymodocea rotundata, and Syringodium isoetifolium. The results of the drone image classification showed that the variation in the area of cover of each species with the highest incidence was seagrass with Cymodocea rotundata (2.46 ha), followed by Thalasia hemprichi (1.02 ha), and Syringodium isoetifolium (0.26 ha). The results of the image classification show a fairly good level of accuracy with an accuracy value of 68% and the kappa coefficient with a value of 0.55. From the results obtained, it was concluded that the mapping of seagrass species using drones was categorized as quite good.

Keywords: mapping; seagrass; distribution; commercial drone; Ceningan Strait

Abstrak

Pengindraan jauh semakin berkembang dengan adanya pesawat tanpa awak (Drone) yang dapat mengatasi permasalahan atau kelemahan yang dialami citra satelit. Tujuan penelitian ini untuk memetakan padang lamun sampai tingkat spesies menggunakan pesawat tanpa awak (Drone), yang berlokasi di Selat Ceningan, Bali. Pegambilan data lapangan dilakukan pada tanggal 12 dan 13 maret 2020 dengan cara menggunakan transek 50 cm x 50 cm secara systematis random sampling, dan pengambilan citra menggunakan drone bertipe phantom 3 standar dengan melakukan lima kali penerbangan yang hasilnya akan digabungkan menjadi satu dalam bentuk mosaic. Metode yang digunakan yaitu klasfikasi GEOBIA (Geographic Object Based Image Analysis) dengan algoritma nearest neighbor yang di validasi dengan data lapangan. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh tiga spesies yang berhasil diidentifikasi menggunakan drone yaitu lamun dengan spesies Thalasia hemprichi, Cymodocea rotundata, dan Syringodium isoetifolium. Hasil klasifikasi citra drone menunjukkan variasi luas tutupan masing- masing spesies dengan tutupan tertinggi adalah lamun dengan spesies Cymodocea rotundata (2,46 ha), berikutnya spesies Thalasia hemprichi (1,02 ha), dan spesies Syringodium isoetifolium (0,26 ha). Hasil klasifikasi citra menunjukan tingkat akurasi yang cukup baik dengan nilai akurasi sebesar 68% dan koefisien kappa dengan nilai sebesar 0,55. Dari hasil yang diperoleh disimpulkan bahwa pemetaan spesies lamun menggunakan drone masuk kedalam kategori cukup baik.

Kata Kunci: pemetaa; lamun; distribusi; drone komersial; Selat Ceningan

  • 1.    Pendahuluan

Lamun berperan penting dalam menyerapan karbon dan mitigasi pada perubahan iklim

sehingga dapat membantu mengurangi dampak pemanasan global (Hartati dkk., 2017). Meskipun memiliki peranan yang begitu penting, sebagian besar padang lamun di dunia berada di bawah

tekanan mulai dari sedimentasi, eutrofikasi, siltation, dan perusakan akibat baling-baling kapal (Rahmawati, 2011). Kegiatan peningkatan ekonomi yang megakibatkan pencemaran dan pergolakan di permukan air mengakibatkan penurunan luasan dan merusak lamun di Indonesia (Poedjirahajoe dkk., 2013). Di Bali kerusakan lamun berkisar dari 8-30,32% (Sudiarta dan Sudiarta, 2011).

Studi dan penggalian informasi tentang lamun dapat dilakukan dengan metode konvensional seperti yang dilakukan oleh Poedjirahajoe dkk. (2013), menggunakan metode transek untuk mengetahui tutupan lamun dan kondisi ekosistem perairan. Hal serupa juga dilakukan oleh Fajarwati dkk. (2015), menggunakan metode kuadrat transect untuk analisis keadaan lamun. Dengan luasnya ekosistem lamun dan lokasi yang sulit terjangkau maka metode konvensional kurang efektif, sehingga dewasa ini muncul alternative pemetaan habitat bawah air dengan teknologi penginderaan jauh. Menurut Supriyadi (2012), untuk mendapatkan informasi keadaan ekosistem lamun pada suatu wilayah dapat diperoleh melalui pemetaan lamun menggunakan pengindraan jarak jauh.

Pemetaan lamun menggunakan pengindraan jauh telah banyak dilakukan diantaranya yaitu Pamungkas (2016), dengan memanfaatkan citra landsat 8 memetakan perubahan habitat padang lamun di pantai Sanur Bali. Hasl serupa juga dilakukan Agus dkk. (2018), menggunakan citra SPOT-7 untuk memetakan distribusi lamun di Pulau Mawonii. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan tentunya dibutuhkan infomasi pemetaan lamun yang semakin baik seperti halnya dapat memberikan informasi sampai dengan tingkat spesies.

Upaya mendapatkan informasi lamun sampai dengan tingkat spesies dapat dilakukan menggunakan citra satelit beresolusi tinggi seperti halnya yang sudah dilakukan oleh Kumara (2018), menggunakan satelit Wordview-3, dan resolusi medium Landsat 8 dengan klasifikasi menggunakan Spectral Angle Mapper (SAM) dan Linear Spectral Unmixing LSU, meskipun hasil analisis karakteristik tiap jenis lamun dapat dibedakan namun tetap mendapatkan overall acucuracy yang rendah dimana akurasi optimal SAM citra WorlView-3 sebesar 17,11 % dan LSU citra Landsat 8 OLI sebesar 14,34 %. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Aziizah dkk. (2016), menggunakan Citra Satelit WorldView-2,

dimana meskipun mendapatkan klasifikasi jenis lamun tetapi hasil akurasi yang didapat sangat rendah yaitu sebesar 35,6 %.

Selain tingkat akurasi hasil yang didapat masih rendah, permasalahan pemetaan menggunakan satelit resolusi tinggi yaitu biaya pengadaan yang mahal, tidak dapat digunakan dengan waktu yang fleksibel, dan masih dibatasi dengan keadaan cuaca, awan, dan letak geografis (Xiang dan Tian, 2011).

Seiring perkembangan jaman, teknologi terus dikembangkan dan teknologi yang terbaru yaitu drone. Drone adalah pesawat tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh maupun auto pilot atau melakukan penerbangan sendiri yang memanfaatkan hokum aerodinamika (Saroinsong dkk., 2018).

Pada penelitian sebelumya yaitu pemetaan substrat perairan dangkal menggunakan drone komersial dan fotogrametri oleh Wahidin dan Abdullah (2018), yang mengatakan bahwa pesawat tanpa awak komersial efektif untuk memetakan substrat perairan dangkal, dan pesawat ini dapat dioperasikan tanpa diketahui dan di bawah tutupan awan yang selalu menjadi hambatan bagi pesawat terbang dan satelit pada misi yang sama.

Salah satu area yang terdapat lamun dengan tingkat aktifitas mausia yang tinggi ialah Selat Ceningan, karena Selat Ceningan merupakan jalur aktifitas kapal dimana pendudukya sebagian besar berfrofesi sebagai nelayan, petani rumput laut dan di sektor pariwisata (Santhyasa, 2014). Dengan alasan tersebut perlu perhatian lebih terhadap lamun yang hidup didaerah tersebut, namun sebelumnya diperlukan informasi tentang keadaan lamun di Selat Ceningan.

Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukannya penelitian pemetaan jenis lamun menggunakan drone di Selat Ceningan yang nantinya dapat menjadi kajian awal untuk upaya pelestarian lamun di Selat Ceningan.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan tempat pelaksanaan penelitian

Penelitian berlokasi di Selat Ceningan, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Penelitian dilakukan pada bulan Maret tahun 2020. Selat Ceningan terletak diantara pulau Nusa Lembongan di bagian utaranya dan Nusa

Ceningan di bagian selatannya. Secara geografis Selat Ceningan Berada pada pada pusat koordinat 8041’45.9132”S, 115026’50.7444”E dan Gambaran lokasi penelitian dan batas area penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 yang memiliki luas sebesar 8,2 hektar.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

  • 2.2    Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu software google eart pro, drone dji phantom 3 standart, software pix4d capture, software agisoft metashape versi trial, software ecognition versi trial, software qgis, komputer, dan transek kuadran. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu citra lamun yang diambil dengan drone phantom 3 standar yang berada di selat ceningan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupatan Klungung, Provinsi Bali. Adapun spesifikasi alat dan bahan diatas dapat dilhat pada Tabel 1.

  • 2.3    Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode deskriptif exploratif dengan teknik pengindraan jauh menggunakan drone. Adapun tahapan dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data, pegolahan data, klasifikasi, dan uji akurasi

menggunakan data lapangan.

  • 2.3.1.    Pengambilan Data

Persiapan yang dilakukan yaitu penentuan luasan, penentuan jalur terbang, dan resolusi piksel atau ground sample distance (GSD) yang diinginkan. Pada penelitian ini dilakukan lima kali penerbangan untuk mencakup seluruh area penelitian dengan ketinggian 30 m, dan lama penerbangan setiap pengambilan data selama 16 menit 30 detik. Adapun rumus yang digunakan untuk mencari resolusi spasial atau GSD adalah persamaan 1 (Setiawan dkk., 2019).

Ketinggian terbang

GSD =---------------------× Ukuran piksel

Kemampuan lensa

(1)


GSD yang diperoleh dengan kemampuan lensa 3,57 mm, dan ukuran piksel 1,56 micrometer yaitu sebesar 1,31 cm/px.

Cepat penerbangan drone adalah 2 m/s, frontlap dan sidelap antar foto 80% agar proses penyambungan (matching) dan mosaik bisa optimal, kemudian hasil citra yang didapat yaitu citra yang bertampilan RGB (Salim dkk., 2018).

Akuisi data dilakukan pada pukul 07.00 – 08.30 WITA selama dua hari yaitu tanggal 12 dan 13 Maret 2020. Pemilihan waktu tersebut dikarenakan mempertimbangkan cuaca cerah, angin tidak berhembus kencang dan sudut matahari tidak mengakibatkan pantulan sehingga pemetaan terlihat jelas (Salim dkk., 2018). Selain menggunakan drone, akuisi juga dilakukan menggunakan transek berukuran 50 cm x 50 cm yang tersebar secara sistematis random sampling. Pada pengambilan data transkek dilakukan sebanyak 400 titik, dimana 200 titik untuk klasifikasi dan 200 titik untuk uji akurasi yang dilakukan menyebar sehingga semua objek terwakili dengan baik.

Tabel 1

Spesifikasi alat dan bahan.

Alat dan Bahan

Spesifikasi (Kapasitas, Ketelitian)

Kegunaan

Drone DJI Phantom 3 Standard

12 mega pixel, wide angle,

Mengambil data Gambar visual

Software Google Earth Pro

Versi 7.3.2.5776

Menentukan luas area penelitian

Software Pix4DCapture

Versi 4.6.0

Membuat rencana terbang

Software QGIS

Versi 2.4

Pengolahan data citra dan layout peta

Software Agisoft Metashape

Versi 1.5.0

Menggabungkan data Gambar visual

Software eCognition

Versi 9.1

Mensegmentasikan foto udara

Buku catatan dan alat tulis

-

Mencatat data lapangan

Transek kuadran 50 x50 cm

-

Mengambil data lapangan


  • 2.3.2.    Pengolahan Data

Seleksi foto dilakukan pada foto yang miring, tidak tegak 900, blur, dan memotret kaki drone disisihkan agar foto yang didapat adalah foto yang siap diolah. Adapun Alur pengolahan atau flowchart dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Flowchart Pengolahan Data

  • Penggabungan Citra

  • a.    Alligning photo

Alligning photo dilakukan untuk mengidentifikasi titik-titik pada setiap photo dan melakukan matching titik pada dua atau lebih photo yang sama. Proses alligning photo menghasilkan model 3d awal dan sparse point clouds.

  • b.    Build Dense Cloud

Build dense cloud dilakukan untuk memisahkan titik-titik tinggi dan rendah yang teridentifikasi sebagai rumah, permukan tanah, vegetasi, air, dan lain-lain yang membedakan ketinggian medan (terrain) dengan ketinggian penutup lahan (surface). c. Build Mesh

Build mesh dilakukan untuk membangun model 3d suatu objek dengan membuat bidang berdasarkan dense cloud. Adapun fungsi lainnya yaitu memperbaiki permukaan yang berlubang karena adanya bagian dari foto yang tidak terkena cahaya. Pembangunan mesh menggunakan pendekatan model data Triangulasi Irregular Networks (TIN).

  • d.    Build DEM

Build DEM dilakukan untuk membangun model elevasi digital yang menggunakan data hasil olahan model cloud atau mesh yang rapat. Pada tahap eksport hasil dilakukan proyeksi ke sistem kordinat geografis WGS 84.

  • e.    Build Orthomosaik

Pada tahap Orthomosaik merupakan tahapan akhir yang menyatukan setiap Gambar menjadi kesatuan dan kemudian diolah pada software eCognition.

  • Klasifikasi Lamun

  • a.    Multiresolution Segmentation

Klasifikasi dilakukan dengan proses segementasi citra, yaitu membagi citra menjadi segmen atau objek berdasarkan homogennya karakteristik piksel-pikselnya, selanjutnya menjadi unit analisis dalam klasifikasi. Pada tahap ini segmentasi berbasis region groing dijalankan berdasarkan lima parameter yaitu skala, warna, bentuk, kehalusan, dan kekompakan. Pada tahap ini dimasukan parameter skala dengan nilai 200, bentuk dengan nilai 0,3, dan kekompakan dengan nilai 0,7. Menurut Simamora dkk. (2015), mengatakan bahwa dengan skala 200, bentuk 0,3, dan kekompakan 0,7 merupakan besaran parameter di nilai terbaik karena setiap segmennya mewakili satu klasifikasi.

  • b.    Memilih sampel (ROI) untuk klasifikasi

Langkah ini dilakukan untuk membuat kelas-kelas penutupan lahan baik itu lamun, jenis lamun, pasir, karang dan sebagainya. Pada tahap ini dilakukan dengan memilih segmen sesuai dengan kelas yang di buat.

  • c.    Mengatur Feature Space

Langkah ini dilakukan untuk memilih feature yang digunakan untuk mengklasifikasikan segmen yang lain diluar sampel ROI.

  • d.    Mengatur klasifikasi Nearest Neighbor

Langkah ini dilakukan untuk kelas atau sampel sebelumnya yang di klasifikasi dengan menerapkan klasifikasi nearest neighbor yang diinginkan yaag akan di dissolve di langkah selanjutnya.

  • e.    Eksekusi klasifikasi

Pada tahap ini dlakukan eksekusi klasifikasi berdasarkan featur space dan neirest neighbor sebelumnya.

  • f.    Melakukan dissolve

Langkah ini merupakan langkah terakhir dimana menghasilkan dissolve setiap klasifikasi yang kita buat pada tahap-tahap sebelumnya.

  • 2.3.3.    Menghitung Luasan

Setelah melakukan klasifikasi citra, kemudian dilakukan perhitungan luasan setiap spesies lamun yang digabungkan menjadi satu terlebih dahulu menggunakan software qgis yang kemudian dilakukan perhitungan luasan atau area shp menggunakan calculate geometry (Ermando dkk., 2017). Penggabungan dilakukan dengan teknik merge, teknik merge merupakan teknik menyatukan beberapa peta dengan menyatukan feature dari dua atau lebih theme menjadi satu (Kristiyanto dkk., 2017).

  • 2.3.4.    Uji Akurasi

Uji akurasi dilakukan dengan cara membandingkan data lapangan dengan data citra drone yang di peroleh dengan menggunakan matrix kontingensi atau matrix kesalahan (Short, 1982).

Pada tahap pertama dilakukan uji akurasi untuk menghitung akurasi kebenaran seluruh kelas dengan menggunakan rumus overall accuracy.

Jumlah titik yang yang terklasifikasi benar

Overallaccuracy (%) =---------------------------------------------x 100

Jumlah sample uji akurasi

Setelah melakukan uji akurasi semua kelas, selanjutnya dilakukan uji akurasi setiap kelas untuk mengetahui tingkat kebenaran klasifikasi setiap kelas dengan rumus producer accuracy dan user accuracy (persamaan 3 dan 4).

Jumlah sample uji suatu kelas yang benar

Pr Oduseraccuracy (%) =                                              ×100

Jumlah sample uji akurasi pada suatu kelas

Jumlah sample uji suatu kelas yang benar

Useraccuracy (%) =                                            ×100

Jumlah sample uji terklasifikasi kelas itu

(3)


(4)


Setelah melakukan uji akurasi tiap kelas, selanjutnya dilakukan perhitungan kappa untuk mendapatkan perbandingan hasil klasifikasi yang diuji dengan klasifikasi yang acak maka diperlukan uji akurasi kappa (persamaan 5).

II

n∑Xχl+χ+l

ii                i +    + i

Kotfisienkappa = —i=1------=^--------×100

N2-∑ Xi+x+i

i=1

(5)


dimana N adalah total sampel untuk uji akurasi; Xii adalah jumlah sampel yang terklasifikasi benar; Xi+ adalah jumlah sampel seluruh kolom pada suatu baris; dan X+i adalah jumlah sampel seluruh baris pada suatu kolom.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Didapatkan tiga jenis lamun yang berada di Selat Ceningan yaitu Talasia hemprichi, Cymodecea rotundata, dan Syringodium isoetifolium dapat dilihat pada (Gambar 3).

(2)

Gambar 3.  (a). Thalasia hemprichi,  (b). Syringodium

isoetifolium, (c). Cymodocea rotundata


Gambar 4. Titik observasi lapangan untuk training area pada algoritma klasifikasi, I dan II.


Gambar 5. Citra drone yang diambi pada misi I pukul 07.00


Lamun jenis Thalasia hemprichi memiliki ciri daun berbentuk sabit dengan panjang daun 10-40 cm yang memiliki bintik-bintik hitam pada daunnya, lamun jenis Cymodocea rotundata memiliki ciri helai daun meyempit dengan panjang 7-15 cm dan ujung daun yang membulat, kemudian lamun jenis Syringodium isoetifilium memiliki ciri daun berbentuk silinder dengan panjang 7-30 cm yang mengecil pada satu titik daun (Azkab, 1999). Persebaran titik transek untuk klasifikasi dan uji akurasi yang dilakukan dapat dlihat pada Gambar 4.

Hasil penerbangan drone dengan lima kali misi penerbangan memiliki jumlah 1067 photo, dengan jumlah masing-masing penerbangan yaitu misi I sebanyak 219 photo, misi II sebanyak 219 photo, misi III sebanyak 219 photo, misi IV sebanyak 219

photo, dan misi V sebanyak 191 photo. Salah satu contoh data citra drone dapat dilihat pada Gambar 5.

  • 3.1    Pengolahan Data

    • 3.1.1.    Penggabungan Citra

Hasil penggabungan citra pada kelima misi penerbangan dapat dilihat pada Gambar 6.

  • 3.1.2.    Klasifikasi Citra

Hasil klasifkasi citra drone dapat dilihat pada Gambar 7, dimana hasil klasifikasi yang diperoleh yaitu lamun jenis Thalasia hemprichi, Cymodecea rotundata, dan Syringodium isoetifolium.

Gambar 6. Hasil penggabungan citra misi I sampai V


Gambar 7. Hasil penggabungan citra misi I sampai V


  • 3.2    Hasil Klasifikasi

Dari hasil penggabungan citra drone yang telah diklasifikasi menggunakan klasifikasi GEOBIA yang ditambah dengan data lapangan menggunakan transek kuadrat dihasilkan distribusi spesies lamun di Selat Ceningan. Hasil distribusi dapat dilihat pada Gambar 8.

Dari hasil klasifikasi didapatkan pemetaan dan luasan dari distribusi lamun di Selat Ceningan, dimana Cymodecea rotundata lebih mendominasi di

dibandingan dengan jenis lamun lainnya dengan luasan 2,46 hektar, kemudian Thalasia hemprichi sebesar 1,02 hektar, dan Syringodium isoetifolium seluas 0,26 hektar.

Hasil uji akurasi yang dilakukan meliputi user acuration (UA), producer acuration (PA), dan overall acuration (OA) yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari hasil uji akurasi diperoleh overall acuration sebesar 68% dan koefisien kappa sebesar 0,55, hasil ini tentunya lebih baik dibanding penggunaan satelit beresolusi tinggi seperti yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Aziizah dkk.

Gambar 8. Pemetaan distribusi spesies lamun di Selat Ceningan


Tabel 2

Uji akurasi

Data Citra

C. rotundata

T. hemprichi

Pasir

S. isoetifolium

PA

C. rotundata

38

8

9

4

64%

T. hemprichi

13

21

3

5

50%

Pasir

6

3

63

2

85%

S. isoetifolium

3

0

8

14

56%

UA

63%

65%

75%

56%

OA (pemetaan klasifikasi jenis lamun)

= 68%

Koefisien kappa = 0,55

(2016),   dengan menggunakan citra satelit

worldview-2 yang mendapatkan overall acuration sebesar 35,6 %, dan oleh Kumara (2018), dengan menggunakan citra satelit WorlView-3 sebesar 17,11 %, dan Landsat 8 OLI sebesar 14,34 %.

Tingginya akurasi hasil pemetaan distribusi spesies lamun menggunakan drone dikarenakan resolusi spasial yang lebih tinggi yaitu 1,31 cm/piksel dibandingkan dengan citra satelit beresolusi tinggi seperti WorldView-3, citra satelit worlview-2, dan landsat 8 yang masing – masing memiliki resolusi 0,31 m, 0,5 m, dan 30 m. Selain dipengaruhi oleh resolusi spasial hasil yang baik juga dipengaruhi oleh penggunaan klasifikasi GEOBIA yang dinilai lebih unggul dibandingkan klasifikasi piksel, karena tidak hanya memperhatikan     spectral     tetapi     juga

memperhatikan klasifikasi secara spasial (Wibowo dan Suharyadi, 2012).

  • 4.    Simpulan

Kemampuan drone dalam pemetaan distribusi lamun sampai tingkat spesies mendapatkan tingkat akurasi sebesar 68%, dengan nilai koefisien kappa sebesar 0,55 yang mengindekasikan hasilnya kedalam kategori cukup baik.

Dari hasil pemetaan distribusi lamun, jenis lamun Cymodecea rotundata lebih mendominasi dibanding jenis lainnya dengan luasan 2,46 hektar, kemudian Thalasia. hemprichi 1,02 hektar, dan Syringodium isoetifolium seluas 0,26 hektar.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Laboratorium Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana yang telah memfasilitasi pengolahan data, dan ucapan terimaksih juga kepada Gusi Anom Andika Harnanditya yang telah membantu pengambilan data dan Hanggar Prasetio

Kadarisman, S.Pi yang telah memberikan panduan dalam pengolahan data.

Daftar Pustaka

Agus, S. B., Subarno, T., Sunudin, A., Aziizah, N. N., & Takwir, A. (2018). Pemanfaatan citra spot-7 untuk pemetaan distribusi lamun pada zona intertidal dan pendugaan kedalaman perairan Pulau Wawonii. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 10(1), 197207.

Aziizah, N. N., Siregar, V. P., & Agus, S. B. (2016). Penerapan algoritma spectral angle mapper (SAM) untuk klasifikasi lamun menggunakan citra satelit worldview-2. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, 13(2), 61-72.

Azkab, M. H. (1999). Pedoman inventarisasi lamun. Oseana, 24(1), 1-16.

Ermando, M., Sasono, N., & Susetyo, C. (2017). Analisis potensi perubahan pemanfaatan lahan berdasarkan model spasial harga lahan di Kecamatan Tembelang Kabupaten Jombang. Jurnal Teknik ITS, 6(2), 407-412.

Fajarwati, S. D., Setianingsih, A. I., & Muzani, M. (2015). Analisis kondisi lamun (seagrass) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. SPATIAL: Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi, 13(1), 22-32.

Hartati, R., Pratikto, I., & Pratiwi, T. N. (2017). Biomassa dan estimasi simpanan karbon pada ekosistem padang lamun di Pulau Menjangan Kecil dan Pulau Sintok, Kepulauan Karimunjawa. Buletin Oseanografi Marina, 6(1), 74-81.

Kristiyanto, D. Y., Widiastuti, S., & Aryotejo, G. (2017). Pendekatan geoprosessing pada GIS untuk menentukan pembangunan infrastruktur bisnis di Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Komputasi, 16(1), 1-10.

Kumara, I. S. W. (2018). Pemetaan sepsies lamun melalui integrasi citra multispektral dan pola respon spectral di Nusa Lembongan, Bali. Skripsi. Yogyakarta, Indonesia: Fakultas Geografi, Universitas Ghajah Mada.

Pamungkas, M. W. T. (2016). Pemodelan persamaan hubungan kualitas perairan menggunakan citra landsat 8 untuk pendugaan habitat padang lamun

(studi kasus: Pantai Sanur, Bali). Jurnal Teknik ITS, 5(2), 170-175.

Poedjirahajoe, E., Mahayani, N. P. D., Sidharta, B. R., & Salamuddin, M. (2013). Tutupan lamun dan kondisi ekosistemnya di kawasan pesisir Madasanger, Jelenga, dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(1), 34-46.

Rahmawati, S. (2011). Ancaman terhadap komunitas padang lamun. Oseana, 36(2), 49-58.

Salim, H. L., Ati, R. N. A., & Kepel, T. L. (2018). Pemetaan dinamika hutan mangrove menggunakan drone dan penginderaan jauh di P. Rambut,

Kepulauan Seribu. Jurnal Kelautan Nasional, 13(2), 8997.

Santhyasa, I. K. G. (2014). Problematika pengelolaan lingkungan dan keruangan pariwisata di desa lembongan bali. Dalam Prosiding Seminar Nasional Integrasi Keanekaragaman Hayati dan Kebudayaan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Bali, Indonesia, 27 Nopember 2014 (pp. 241-246).

Saroinsong, H. S., Poekoel, V. C., & Manembu, P. D. (2018). Rancang bangun wahana pesawat tanpa awak (fixed wing) berbasis ardupilot. Jurnal Teknik Elektro dan Komputer, 7(1), 73-84.

Setiawan, M. A., Wahyono, E. B., & Suyudi, B. (2019). Hasil pemotretan unmanned aerial vehicle pada variasi topografi untuk pengukuran dan pemetaan. Jurnal Tunas Agraria, 2(1), 21-44.

Short, N. M. (1982). The Landsat tutorial workbook: Basics of satellite remote sensing. (Eds). Wasington DC, US: NASA References Publication.

Simamora, F. B., Sasmito, B., & Haniah, H. (2015). Kajian metode segmentasi untuk identifikasi tutupan lahan dan luas bidang tanah menggunakan citra pada google earth (studi kasus: Kecamatan Tembalang, Semarang). Jurnal Geodesi Undip, 4(4), 43-51.

Sudiarta, I. K., & Sudiarta, I. G. (2011). Status kondisi dan identifikasi permasalahan kerusakan padang lamun di Bali. Jurnal Mitra Bahari, 5(2), 104-126.

Supriyadi, I. H. (2012). Pentingnya informasi peta ekosistem lamun. Oseana, 37(1), 25-38.

Wahidin, N., & Abdullah, R. M. (2018). Pemetaan substrat dasar perairan dangkal menggunakan drone komersial dan teknik fotogrametri. Dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Iptek Perikanan dan Kelautan Bagi Kesejahteraan Masyarakat. Maluku, Indonesia, 28 Agustus 2018 (pp. 621-633).

Wibowo, T. S., & Suharyadi, R (2012). Aplikasi objectbased image analysis (OBIA) untuk deteksi perubahan penggunaan lahan menggunakan citra alos avnir-2. Jurnal Bumi Indonesia, 1(3), 130-138.

Xiang, H., & Tian, L. (2011). Development of a low-cost agricultural remote sensing system based on an autonomous unmanned aerial vehicle (UAV). Biosystems Engineering, 108(2), 174-190.

© 2022 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 8(2): 279-287 (2022)