Trend dan Variabilitas Sea Level Anomaly di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 8 1), 118-130 2022)
Trend dan Variabilitas Sea Level Anomaly di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri
I Gusti Putu Ary Wedangga a*, I Gusti Bagus Sila Dharma a, I Dewa Nyoman Nurweda Putra a
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali-Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +6281-353-009-588
Alamat e-mail: [email protected]
Diterima (received) 15 Juni 2020; disetujui (accepted) 20 Mei 2022; tersedia secara online (available online) 1 Juni 2022
Abstract
Global warming become one of the problems currently faced by the world. In general, global warming is a phenomenon where the average temperature of the earth has increased, both the temperature of land, atmosphere, and sea. As a result, global warming can cause global climate change, and sea level rise. Sea level rise is a condition where the increasing of sea water volume that caused by melting of the ice caps or thermal expansion. This study used Sea Level Anomaly (SLA) dan Sea Surface Temperature (SST) data with 1/4° x 1/4° spatial resolution and daily temporal resolution for 10 years (2008 - 2018). The study was conducted in Indonesian waters within coordinates of 10°N – 13°S dan 93°E – 141°E, with 8 areas focused on analyzing sea level anomaly trends. During the period 2008 - 2018 there was a positive trend of sea level anomaly at all research area. The highest sea level rise occurred in area B (Sulawesi Sea) of 4.788 cm with a rate of increase of 0.479 cm / year. In general there was an average increase of 3.686 cm in Indonesian waters with a rate of increase of 0.369 cm / year.
Keywords: sea level anomaly; satellite Altimetry; sea level rise
Abstrak
Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu permasalahan yang saat ini tengah dihadapi dunia. Secara umum global warming merupakan suatu fenomena dimana suhu rata-rata bumi mengalami kenaikan, baik suhu daratan, atmosfer, maupun laut. Sebagai dampaknya pemanasan global dapat menyebabkan perubahan iklim secara global, dan kenaikan permukaan air laut. Kenaikan permukaan air laut merupakan kondisi dimana meningkatnya volume air laut yang disebabkan oleh mencairnya lapisan es di kutub ataupun ekspansi termal. Pada penelitian ini digunakan data Sea Level Anomaly (SLA) dan Sea Surface Temperature (SST) dengan resolusi spasial sebesar 1/4° x 1/4° dan resolusi temporal harian selama 10 tahun (2008 – 2018). Penelitian dilakukan di perairan Indonesia dalam cakupan koordinat 10°LU – 13°LS dan 93°BT – 141°BT, dengan delapan area yang difokuskan untuk menganalisis tren sea level anomaly. Selama kurun waktu 2008 – 2018 terjadi tren positif dari sea level anomaly pada seluruh area penelitian. Kenaikan permukaan laut tertinggi terjadi pada area B (Laut Sulawesi) sebesar 4,788 cm dengan laju kenaikan 0,479 cm/tahun. Secara umum terjadi kenaikan rata rata sebesar 3,686 cm di perairan Indonesia dengan laju kenaikan sebesar 0,369 cm/tahun.
Kata Kunci: sea level anomaly; satelit Altimetri; kenaikan permukaan laut
Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang saat ini tengah dihadapi dunia. Pemanasan global disebabkan oleh faktor alamiah maupun faktor antropogenik, dimana emisi dari pabrik industri meningkatkan jumlah CO2 di udara yang dapat memicu terjadinya global
warming (Partiwi, 2019; Syaifullah, 2015). Sebagai dampaknya pemanasan global dapat menyebabkan perubahan iklim secara global, dan kenaikan permukaan laut.
Salah satu implikasi dari pemanasan global yang sangat rentan terjadi yaitu kenaikan permukaan laut (sea level rise). Kenaikan permukaan laut merupakan kondisi dimana meningkatnya
volume air laut yang disebabkan oleh mencairnya lapisan es di kutub ataupun ekspansi termal (Handoko dkk., 2018; Sidabutar dkk., 2016). Peningkatan suhu bumi yang terjadi secara terus menerus menyebabkan lapisan es yang ada di kutub mencair dan menambah volume air laut secara global. Selain itu, terjadinya ekspansi termal juga secara tidak langsung menyebabkan kenaikan permukaan laut melalui proses pemuaian volume. Fenomena kenaikan permukaan laut merupakan fenomena yang sangat kompleks, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kenaikan permukaan laut, baik faktor lokal pada suatu perairan maupun faktor yang bersifat global (Tamba dkk., 2016).
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan telah terjadi kenaikan permukaan laut pada beberapa perairan di Indonesia. Pada perairan Laut Jawa terjadi kenaikan permukaan laut sebesar 6,80 mm/tahun berdasarkan data rata-rata dari tahun 2006–2016, dimana, kenaikan tertinggi terjadi di perairan Jakarta sebesar 11,043 mm/tahun (Setianingsih dkk., 2018). Dari data pengamatan selama 23 tahun pada periode tahun 1993–2015 terjadi kenaikan sebesar 3,39 cm pada perairan Barat Sumatra, dengan laju kenaikan berkisar 1.35 mm/tahun (Khasanah, 2018). Selain itu dari penelitian yang dilakukan Cahyadi dkk. (2016), dalam kurun waktu 2009–2011 terjadi kenaikan permukaan laut di perairan Semarang dengan laju kenaikan sebesar 12,83 mm/tahun. Bila kenaikan permukaan laut terjadi secara terus menerus maka hal ini dapat berdampak buruk bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan sebagian besar wilayahnya adalah laut (Wuriatmo dkk., 2012; Hakim dkk., 2015).
Pengamatan kenaikan permukaan laut dapat dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran pasang surut. Namun metode ini memiliki kelemahan pada cakupan data dan ketersediaan data terbatas. Untuk mengatasi kendala tersebut dapat dilakukan dengan data pengamatan satelit (Tamba dkk., 2016). Salah satu satelit yang menyediakan data pengamatan tersebut yaitu satelit altimetri, dengan data Sea Level Anomaly (SLA) (Mansawan dkk., 2016). Sea level anomaly adalah salah satu parameter oseanografi yang memiliki peran penting dalam melakukan pengamatan fenomena kenaikan permukaan laut. Sea level anomaly dipengaruhi oleh ekspansi termal melalui suhu permukaan laut, dan penambahan masa air melalui daratan maupun pelelehan lapisan es (Hartanto dkk., 2014). Dimana SLA merupakan selisih antara SSH (Sea Surface Height) dan MSSH
(Mean Sea Surface Height), dimana SSH dan MSSH menggunakan bidang geoid sebagai referensi (Gambar 1.).
Gambar 1. Prinsip kerja satelit Altimetri (Sarsito et al., 2018).
Penelitian ini mempergunakan data Sea Level Anomaly (SLA) dan Sea Surface Temperature (SST) dengan resolusi spasial sebesar 1/4° x 1/4° dan resolusi temporal harian selama 10 tahun (2008– 2018). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tren kenaikan Sea Level Anomaly, variabilitasnya di perairan Indonesia, serta hubungannya dengan Sea Surface Temperature.
Penelitian dilakukan di perairan Indonesia dengan koordinat 10° LU – 13° LS dan 93° BT – 141° BT, dengan delapan area difokuskan sebagai area penelitian, mengacu pada penelitian Nababan dkk. (2015) yang telah dilakukan sebelumnya. Delapan area penelitian tersebut mencakup berbagai wilayah perairan di Indonesia. Adapun koordinat dari delapan area tersebut yaitu, area A meliputi Laut Natuna (1° LU – 3° LU, 104° BT – 109° BT); area B meliputi bagian Laut Sulawesi (1° LU – 3° LU, 120° BT – 125° BT); area C mencakup bagian Utara Papua (1° LU – 3° LU, 130° BT – 135° BT); area D mencakup Laut Banda (5° LS – 8° LS, 125° BT – 109° BT); area E yaitu bagian Selatan Nusa Tenggara (9° LS – 12° LS, 115° BT – 120° BT); area F terletak di bagian Laut Jawa (4° LS – 7° LS, 111° BT – 116° BT); area G bagian Selatan Jawa (9° LU – 12° LS, 107° BT

Gambar 2. Peta area enelitian di Perairan Indonesia.
– 112° BT); dan area H mencakup bagian Barat Sumatra (1° LS – 3° LS, 95° BT – 100° BT). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
-
2.2 Data penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sea level anomaly (SLA) yang diunduh melalui laman (ftp://ftp.aviso.oceanobs.com) dan data sea surface temperature (SST) yang diunduh melalui laman (http://www.remss.com). Data yang telah di unduh merupakan data global sea level anomaly dan sea surface temperature dengan resolusi temporal harian dan resolusi spasial 1/4° x 1/4°. Untuk proses pengolahan data dipergunakan software berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu SAGA 5.0.0. dan untuk proses layout peta dilakukan dengan menggunakan software Quantum GIS (QGIS) 2.18.2.
-
2.3 Metode analisis
-
2.3.1. Analisi sea level anomaly satelit Altimetri
-
Data SLA yang digunakan adalah data level 4 dalam bentuk map of sea level anomaly yang merupakan data global dari SLA. Data SLA merupakan hasil perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya oleh pihak produsen atau penyedia data. SLA merupakan selisih antara SSH dan MSSH. Adapun persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Sarsito et al., 2018).
SLA =SSH - MSSH (1)
SSH diperoleh melalui selisih tinggi satelit dari bidang ellipsoid dengan tinggi satelit dari permukaan laut bersama dengan error correction dan biasnya. Nilai koreksi dan bias satelit altimetri dibahas lebih detail pada penelitian Pujol et al., (2016), dimana nilai koreksi dan bias ditentukan berdasarkan data pengamatan maupun model yang direkomendasikan untuk satelit altimetri. Untuk nilai SSH dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Sarsito et al., 2018).
SSH =Hell - Robs - cion -ctw-ctd - cins -
(2)
Z’ , — — Z’ — Z’ — Z’ ,
cssb cot clt cset cpt cib
dimana Hell merupakan tinggi satelit dari bidang ellipsoid; Robs merupakan tinggi satelit dari permukaan laut; cion merupakan koreksi ionosfer; ctw merupakan koreksi wet troposphere; ctd merupakan koreksi dry troposphere; cins merupakan koreksi instrumen satelit altimetry; cssb merupakan koreksi sea state bias; cot merupakan koreksi ocean tide; clt merupakan koreksi loading tide; cset merupakan koreksi solid earth tide; cpt merupakan koreksi pole tide; dan cib merupakan koreksi atmospheric tide.
-
2.3.2. Analisis tren sea level anomaly
Untuk mengetahui tren sea level anomaly dilakukan analisis regresi linier pada delapan area penelitian. Trend linear merupakan kecenderungan data dimana perubahannya terhadap waktu adalah tetap (konstan). Adapun persamaan regresi linier sebagai berikut (Khasanah, 2018):
dimana
dimana y merupakan nilai variabel terikat (sea level anomaly); x merupakan variabel bebas (waktu); a merupakan konstanta atau intersep garis regresi terhadap sumbu y; dan b merupkan koefisien regresi.
-
2.3.3. Analisis hubungan sea level anomaly dengan sea surface temperature
Untuk mengetahui hubungan antara SLA dan SST dilakukan analisis korelasi pada setiap area penelitian. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui tingkat hubungan antara variabel tetap (SLA) dengan variabel bebas (SST). Adapun berikut merupakan persamaan dari korelasi (Fadholi, 2013):
(∑ x)(∑ y)
(∑ χ)2 'l
i


∑ yy
(∑ y )2'
n
(6
dimana r merupakan koefisien korelasi; x merupakan nilai suhu permukaan laut; dan y merupakan nilai sea level anomaly. Tingkat hubungan antara variabel x dan y dipresentasikan dengan nilai koefisien korelasi dengan kisaran nilai -1< r < +1. Untuk menginterpretasikan besarnya koefisien korelasi digunakan klasifikasi koefisien korelasi pada tabel berikut (Fadholi, 2013).
Tabel 1.
Klasifikasi koefisien korelasi
Koefisien Korelasi |
Tingkat Hubungan |
0 |
Tidak ada korelasi |
0,01 – 0,25 |
Korelasi sangat lemah |
0,26 – 0,5 |
Korelasi cukup kuat |
0,51 – 0,75 |
Korelasi kuat |
0,76 – 0,99 |
Korelasi sangat kuat |
1 |
Korelasi sempurna |
-
2.3.4. Analisis variabilitas sea level anomaly
Untuk mengetahui variabilitas temporal SLA di perairan Indonesia digunakan metode moving average pada setiap area penelitian. Metode ini bertujuan untuk mengetahui variabilitas yang terjadi pada setiap area penelitian dengan membandingkan moving average periode 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Analisis moving average dihitung berdasarkan persamaan berikut (Putra and Tanaka, 2013).
Persaman moving average 6 dan 12 bulan:
k-1 1/ ∖
+ X + χ∣xt
'='=-( k-1) ‘+ j 2' i-k i+ k'
Xi = — Σ
2 k
Moving average 3 bulan:
Xi = - [∑ k Λ 3k L^ j=-k i
(7
(8
dimana Xi adalah nilai moving average; xi adalah nilai SLA bulanan; k adalah konstanta dengan nilai (k=1) untuk moving average 3 bulan; (k=3) untuk moving average 6 bulan; dan (k=6) untuk moving average 12 bulan.
Data yang digunakan merupakan data level 4 sea level anomaly yang sebelumnya sudah diproses oleh penyedia data. Menurut Pujol et al. (2016), data processing yang dilakukan meliputi beberapa tahapan yaitu akuisisi, homogenisasi, kontrol kualitas data input, multi mission cross calibration, product generation, merging, dan kontrol kualitas akhir.
-
a. Akuisisi: data diakuisisi dari beberapa misi satelit altimetri meliputi TOPEX/Poseidon, Jason-1, Jason-2. ERS-1, ERS-2, Geosat, Cryosat-2, AltiKa, dan Haiyang-2A.
-
b. Homogenisasi: Proses homogenisasi dilakukan untuk mendapatkan data yang homogen dari beberapa misi altimetri yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan cara menerapkan koreksi, model dan referensi yang sama untuk semua misi dengan standar yang direkomendasikan untuk produk altimetri.
-
c. Kontrol kualitas data input: proses ini
dilakukan untuk memastikan tidak ada kesalahan pada proses sebelumnya sehingga
dapat menjamin data yang digunakan merupakan data dengan akurasi tinggi.
-
d. Multi mission cross calibration: proses cross calibration dilakukan untuk memastikan setiap misi satelit altimetri menyediakan data yang konsisten dan akurat. Cross calibration dilakukan meliputi orbit error reduction (OER) dengan meminimalisir perbedaan crossover pada data referensi yang diamati. Koreksi long wavelength error (LWE) dilakukan untuk mereduksi eror yang disebabkan pengaruh geografis. Optimal interpolation (OI) juga dilakukan untuk mengurangi residu sinyal frekuensi tinggi yang tidak sepenuhnya terkoreksi sebelumnya.
-
e. Product generation: proses pembentukan data dilakukan meliputi perhitungan data mentah SLA. Nilai SLA ini diperoleh melalui selisih antara nilai SSH dan nilai referensi temporal. Referensi temporal tersebut berupa mean profile (MP), dimana MP merupakan rata-rata temporal dari data SSH pengamatan satelit altimetri dengan periode tahun pengamatan antara (1993-2012).
-
f. Merging: proses ini merupakan proses penggabungan data beberapa satelit altimetri. Proses penggabungan data meliputi pemetaan data menggunakan optimal interpolation (OI) sehingga didapatkan data level 4 grided SLA.
-
g. Kontrol kualitas akhir: kontrol kualitas data merupakan proses terahir yang dilakukan sebelum data distribusikan yang akan menghasilkan data dengan format Network Common Data Form (NetCDF).
-
3.2 Tren sea level anomaly
Area penelitian tren sea level anomaly dibagi kedalam 3 kelompok. Area Laut Natuna, Laut Sulawesi, dan Utara Papua (area A, B, dan C) dikelompokan menjadi satu, meliputi daerah bagian utara ekuator. Sedangkan area Selatan Nusa Tenggara, Selatan Jawa, Barat Sumatra (area F, G, dan H) dikelompokan dalam area selatan ekuator, dan area Laut Banda dan Laut Jawa (area D, dan E) dikelompokan kedalam satu kelompok.
Satelit microwave altimetri mampu mengukur Sea Surface Height (SSH) dengan ketelitian hingga 4,1 cm (Nababan dkk., 2014). Pada penelitian ini nilai error satelit tidak lagi dihitung. Hal ini dikarenakan data SLA yang digunakan merupakan
data pengamatan satelit altimetri yang sudah diolah dan dihilangkan pengaruh error correction dan biasnya (Sarsito et al., 2018).
Nilai kenaikan permukaan laut dianalisis berdasarkan selisih nilai tren pada titik akhir dan titik awal, sedangkan untuk nilai laju kenaikan permukaan laut diestimasikan dengan membagi nilai kenaikan permukaan laut dengan jumlah tahun (2008–2018). Tren SLA disajikan dalam bentuk grafik kecenderungan yang mewakili setiap area penelitian (Gambar 3–5).
Secara umum terjadi tren positif pada SLA di perairan Indonesia. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi kenaikan permukaan air laut selama kurun waktu 10 tahun. Nilai kenaikan muka air laut pada delapan stasiun dapat dilihat pada Tabel 2. Kenaikan muka air laut tertinggi terjadi di stasiun Laut Sulawesi dengan nilai 4,788 cm, dan yang terkecil terjadi di stasiun Selatan Nusa Tenggara dengan nilai 2,678 cm. Sedangkan rata-rata kenaikan muka air laut dari delapan stasiun yaitu 3,686 cm. Hal ini searah dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Nababan dkk. (2015) yang menyatakan laju rata rata kenaikan permukaan laut di perairan Indonesia sebesar 5,84 mm/thn.
Tabel 2.
Laju Kenaikan Kenaikan Permukaan Laut
Are a |
Lokasi |
Kenaikan Permukaan Laut (cm) |
Laju Kenaikan Rerata Permukaan Laut (cm/thn) |
A |
Laut Natuna |
2,892 |
0,289 |
B |
Laut Sulawesi |
4,788 |
0,479 |
C |
Utara Papua |
4,596 |
0,460 |
D |
Laut Banda |
4,068 |
0,407 |
E |
Laut Jawa |
2,916 |
0,292 |
Selatan | |||
F |
Nusa |
2,676 |
0,268 |
Tenggara | |||
G |
Selatan Jawa |
2,892 |
0,289 |
H |
Barat Sumatra |
4,656 |
0,466 |
Rata-rata |
3,686 |
0,369 |
-
3.2.1. Tren SLA perairan Laut Natuna, Laut Sulawesi, dan Utara Papua
Berdasarkan grafik kecenderungan, pada area Laut Natuna, Laut Sulawesi dan Utara Papua menunjukan adanya tren positif, yang ditampilkan pada Gambar 3. Hal ini menandakan adanya kenaikan permukaan laut pada area tersebut. Kenaikan nilai SLA dapat diketahui berdasarkan selisih slope grafik pada data awal hingga data akhir, yang menunjukan terjadi kenaikan pada area A, B, dan C secara berturut turut sebesar 2,892 cm, 4,788 cm, 4,596 cm.
Gambar 3. Grafik kecenderungan SLA pada area A (Laut Natuna), area B (Laut Sulawesi), dan area C (Utara Papua)
Grafik dari area A, B, dan C menunjukan adanya pola yang relatif sama, dimana terjadi penurunan dan peningkatan setiap enam bulan sekali. Peningkatan terjadi pada akhir tahun hingga awal tahun antara bulam November sampai bulan Februari. Sedangkan penurunan terjadi antara bulan Mei sampai dengan Agustus. Pada area A berdasarkan rata-rata SLA, nilai minimum terjadi pada bulan Agustus 2011 dengan nilai -7,848 cm sedangkan nilai maksimum terjadi pada bulan Februari 2009 dengan nilai 26,581 cm.
-
3.2.2. Tren SLA perairan Laut Banda dan Laut Jawa Berdasarkan grafik kecenderungan terjadi tren positif pada area D, dan area E. Berdasarkan selisih dari slope data awal dan data akhir menunjukan terjadinya peningkatan permukaan air laut sebesar 4,068 cm dengan rata rata kenaikan 0,407 cm/thn.
Sedangkan pada area E terjadi kenaikan sebesar 2,916 cm dengan rata-rata kenaikan sebesar 0,292 cm/thn.
Grafik kecenderungan SLA yang pada area D menunjukan pola yang fluktuatif. Periode puncak dan lembah pada grafik kecenderungan di Laut Banda terlihat tidak teratur setiap tahunnya. Nilai SLA maksimum pada perairan Laut Banda terjadi pada bulan September 2015 dengan nilai 20,206 cm, sedangkan nilai minimum terjadi pada bulan Februari 2011 dengan nilai -10,584 cm.
Sedangkan pada perairan Laut Jawa menunjukan pola fluktuasi yang lebih teratur mengikuti pola musiman. Nilai minimum umumnya terjadi pada bulan Juli atau Agustus dan nilai maksimum terjadi pada bulan Desember atau Januari. Berdasarkan nilai rata-rata bulanan, pada perairan Laut Jawa nilai minimum terjadi pada Mei 2011 dengan nilai -9,296 cm, sedangkan nilai maksimum terjadi pada bulan Januari 2016 dengan nilai 23,075 cm.
Gambar 4. Grafik kecenderungan SLA pada area D (Laut Banda), dan area B (Laut Jawa).
-
3.2.3. Tren SLA perairan Selatan Nusa tenggara, Selatan Jawa, dan Barat Sumatra
Hasil anlaisis regresi linier dari data rata rata SLA pada perairan Selatan Nusa Tenggara, Selatan Jawa, dan Barat Sumatra (area F, G, dan H) menunjukan terjadi tren sea level anomaly positif. Berdasarkan selisih slope antara data awal dan data akhir SLA maka diketahui nilai kenaikan permukaan laut. Dimana pada perairan Selatan Nusa Tenggara terjadi kenaikan sebesar 2,676 cm, sedangkan pada perairan Selatan Jawa kenaikan terjadi sebesar 2,892 cm, dan pada perairan Barat Sumatra terjadi kenaikan sebesar 4,656 cm. Berdasarkan rata-rata
selama 10 tahun laju kenaikan terjadi sebesar 0,268 cm/thn pada area F, sedangkan pada area G mengalami kenaikan sebesar 0,289 cm/thn dan sebesar 0,466 pada area H dalam kurun waktu 10 tahun.
Gambar 5. Grafik kecenderungan SLA pada area F (Selatan Nusa Tenggara), area G (Selatan Jawa), dan area H (Barat Sumatra).
-
3.3 Variabilitas sea level anomaly
-
3.3.1. Variabilitas temporal sea level anomaly
-
bulan Februari 2009. Berdasarkan grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukan pola sinyal yang sama, dimana puncak dan lembah terjadi setiap 6 bulan dapat dilihat pada gambar. Hal ini mengindikasikan tidak adanya variabilitas 6 bulanan. Sedangkan grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukan perbedaan pola yang menunjukan adanya variabilitas musiman.
Variabilitas temporal SLA di perairan Indonesia dianalisis menggunakan persamaan moving average data bulanan SLA yang terbagi menjadi 8 area. Moving average 3 bulan dari rata-rata SLA bulanan digunakan untuk mengidentifikasi sinyal variabilitas 6 bulan. Moving average 6 bulan dari SPL bulanan mengidentifikasi sinyal variabilitas musiman. Jika ada siklus variabilitas yang lebih dari 12 bulanan, maka akan muncul dalam moving average 12 bulan (Putra dan Tanaka, 2013).
Setelah dilakukan analisis pada 8 area penelitian, diketahui terjadi variabilitas musiman pada area (A, E, F, dan G) sedangkan variabilitas 6 bulanan terjadi pada area H. Pada area (B, C, dan D) berdasarkan grafik tidak menunjukan adanya variabilitas 6 bulanan maupun variabilitas musiman. Hasil dari analisi ditampilkan dalam bentuk grafik moving average berikut (Gambar 6 – 13).
Pada area A nilai SLA berkisar antara -7,848 cm – 26,581 cm. Nilai SLA terendah terjadi pada bulan Agustus 2011 sedangkan SLA tertinggi terjadi pada

Gambar 7. (atas) Grafik moving average 3 bulan SLA, (tengah) grafik moving average 6 bulan SLA, (bawah Grafik moving average 12 bulan SLA pada area B.
Gambar 6. (atas) Grafik moving average 3 bulan SLA, (tengah) Grafik moving average 6 Bulan SLA, (bawah Grafik moving average 12 bulan SLA pada area A.
Sea level anomaly pada area B terendah terjadi pada bulan November 2010 sedangkan nilai SLA tertinggi terjadi pada bulan September 2015 dengan kisaran nilai -5,279 – 22,789 cm. Berdasarkan perbandingan pada grafik moving average 3 bulan, 6 bulan maupun 12 bulan (Gambar 7) tidak menunjukan adanya variabilitas yang terjadi pada area B. Puncak dan lembah sinyal menunjukan pola yang tidak beraturan sehingga tidak dapat diketahui variabilitasnya. Diduga hal ini disebabkan pada area B terjadi pola siklus variabilitas yang lebih rendah dari 3 bulan. Seperti pola variabilitas yang dipengaruhi pasang surut.
Gambar 8. (atas) Grafik moving average 3 bulan SLA, (tengah) Grafik moving average 6 bulan SLA, (bawah) grafik moving average 12 bulan SLA pada area C
Pada area C nilai SLA berkisar antara -13,024 – 19,163 cm, dimana SLA terendah terjadi pada bulan September 2010 sedangkan SLA tertinggi terjadi pada bulan September 2015. Berdasarkan gambar, grafik moving average 3 bulanan, 6 bulanan maupun 12 bulanan menunjukan kemiripan pola, namun tidak mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan maupun musiman. Puncak dan lembah sinyal menunjukan pola yang fluktuatif. Hal ini diduga disebabkan oleh bias data yang dipengaruhi oleh pasang surut.
SLA pada area D memiliki nilai yang berkisar antara -10,584 – 20,206 cm. Nilai terendah terjadi pada bulan Februari 2011 sedangkan nilai tertinggi terjadi pada bulan September 2015. Berdasarkan rata-rata bulanan, nilai SLA memiliki pola yang bersifat fluktuatif. Dapat dilihat pada gambar 12.
puncak dan lembah sinyal menunjukan pola yang tidak beraturan. Berdasarkan gambar 12. grafik moving average 3 bulanan, 6 bulanan maupun 12 bulanan menunjukan kemiripan pola, namun tidak mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan maupun musiman.
Gambar 9. (atas) Grafik moving average 3 bulan SLA, (tengah) Grafik moving average 6 Bulan SLA, (bawah Grafik Moving average 12 Bulan SLA pada area D
Gambar 10. (atas) Grafik moving average 3 bulan SLA, (tengah) Grafik moving average 6 bulan SLA, (bawah Grafik moving average 12 bulan SLA pada area E
Rentang nilai SLA pada area E berkisar antara -9,296 sampai dengan 23,075 cm, dimana nilai terendah terjadi pada bulan Mei 2011 sedangkan
nilai tertinggi terjadi pada bulan Januari 2016. Grafik moving average 3 bulanan dan 6 bulan menunjukan kemiripan pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 6 bulan. Hal ini mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulan yang bersifat lemah. Sedangkan moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukan adanya perbedaan pola, yang mengindikasikan adanya variabilitas musiman yang bersifat kuat.
SLA pada area F memiliki rentang nilai yang berkisar antara -7,248 cm – 26,841 cm. Berdasarkan rata-rata SLA selama 10 tahun, SLA minimum terjadi pada bulan April 2012 sedangkan nilai SLA maksimum terjadi pada bulan Januari 2016. Pada gambar 14 dapat dilihat moving average 3 bulan dan 6 bulan menunjukan kemiripan pola, dimana puncak dan lembah sinyal terjadi setiap 6 bulan. Hal ini mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulan yang bersifat lemah. Perbandingan antara grafik moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukan perbedaan pola puncak dan lembah pada sinyal, menunjukan adanya variabilitas musiman.
Gambar 11. (atas) Grafik moving average 3 bulan SLA, (tengah) Grafik moving average 6 bulan SLA, (bawah) Grafik moving average 12 bulan SLA pada area F
Berdasarkan rata-rata SLA selama 10 tahun, pada area G SLA minimum terjadi pada bulan September 2010 sedangkan nilai SLA maksimum terjadi pada bulan Februari 2011, dengan rentang nilai berkisar antara -8,266 cm – 22,647 cm. Berdasarkan Gambar 11. terlihat kemiripan pola yang terjadi pada moving average 3 bulan dan 6
bulan. Pola puncak dan lembah terjadi setiap 6 bulan sekali, yang mengindikasikan adanya variabilitas 6 bulanan namun bersifat lemah. Perbandingan antara moving average 6 bulan dan 12 bulan terlihat perbedaan pola sinyal. Hal ini mengindikasikan pada area G terjadi variabilitas musiman yang bersifat kuat.
Gambar 12. (atas) Grafik moving average 3 bulan SLA, (tengah) Grafik moving average 6 bulan SLA, (bawah Grafik moving average 12 bulan SLA pada area G
Gambar 13. (atas) Grafik moving average 3 bulan SLA, (tengah) Grafik moving average 6 bulan SLA, (bawah Grafik moving average 12 bulan SLA pada area H
Pada area H nilai SLA minimum terjadi pada bulan September 2011 sedangkan nilai SLA
maksimum terjadi pada bulan Juni 2016 dengan rentang nilai berkisar antara -11,631 cm – 34,826 cm. Moving average 3 bulan menunjukan adanya pola puncak dan lembah yang terjadi setiap 3 bulan sekali. Perbandingan antara grafik moving average 3 bulan dan 6 bulan pada Gambar 12 menunjukan perbedaan pola sinyal. Hal ini mengindikasikan pada area H terjadi variabilitas 6 bulan yang bersifat kuat. Sedangkan perbandingan antara moving average 6 bulan dan 12 bulan menunjukan kemiripan pola sinyal yang menunjukan tidak adanya variabilitas musiman.
-
3.3.2. Variabilitas spasial sea level anomaly
Secara spasial variabilitas SLA di perairan Indonesia dijelaskan melalui Gambar 14 dan 15. Variabilitas SLA di perairan Indonesia ditunjukan dengan peta variabilitas SLA dan kondisi SLA di perairan Indonesia pada setiap musimnya. Peta variabilitas SLA diperoleh melalui perata rataan secara spasial data SLA selama 10 tahun. Kisaran nilai dari SLA di perairan ditunjukan dengan gradasi warna. Nilai rendah ditunjukan dengan gradasi warna biru dan nilai tinggi berwarna merah, dengan rentang nilai 4 – 10 cm.
Variabilitas SLA di perairan Indonesia cenderung heterogen, dimana nilai SLA tinggi terjadi pada Samudra Pasifik sedangkan nilai SLA rendah ditemukan pada Samudra Hindia. Selain itu
perairan Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Arafaura, dan Laut Flores memiliki nilai yang lebih tinggi dari perairan sekitarnya. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya pengaruh ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yang melewati perairan tersebut. ARLINDO membawa massa air dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia sehingga hal ini dapat mempengaruhi volume air pada setiap rute perairan yang dilalui ARLINDO (Limantara dkk., 2013).
Pada perairan sekitar Pulau Jawa, perairan bagian selatan memiliki nilai SLA yang lebih tinggi dibandingkan dengan peraian utara Pulau Jawa. Kondisi permukaan laut ini diduga disebabkan oleh angin monsoon yang mempengaruhi perubahan massa air pada perairan tersebut. Pada penelitian yang dilakukan Khasanah dan Marzuki (2017) menyatakan bahwa permukaan laut pada perairan selatan Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan perairan sekitarnya, yang dipengaruhi oleh angina monsoon. Selain itu variabilitas ini juga disebabkan oleh kondisi geografis dari perairan tersebut. Laut Selatan Jawa merupakan perairan terbuka yang mendapat pengaruh sirkulasi Samudra Hindia sedangkan Laut Utara Jawa merupakan perairan tertutup (Marpaung and Harsanugraha, 2017).
Kondisi SLA di perairan Indonesia pada setiap musimnya diperoleh melalui rata-rata spasial SLA

Gambar 14. Peta variabilitas rata-rata SLA di perairan Indonesia tahun 2008 - 2018.
selama 10 tahun yang terbagi menjadi 4 periode musim yaitu, periode Desember, Januari dan Februari (DJF), periode Maret, April, dan Mei (MAM), periode Juni, Juli dan Agustus (JJA), dan September, Oktober, dan November (SON). Gradasi warna menunjukan kisaran nilai SLA pada perairan, dengan warna biru menunjukan nilai terendah hingga warna merah nilai tertinggi. Rentang nilai SLA di perairan Indonesia berkisar antara -20 – 30 cm.
Kondisi SLA di perairan Indonesia pada periode DJF cenderung rendah, dengan SLA terendah terjadi pada samudra Hindia dan Pasifik dengan kisaran nilai antara -20 - -15 cm. Sedangkan pada area perairan yang dekat dengan daerah pesisir SLA relatif lebih tinggi yang terjadi pada perairan Selatan Jawa, Laut Jawa, Laut Natuna, dan Laut Maluku. Hal ini diduga berkaitan dengan musim hujan yang terjadi pada periode DJF. Sehingga perairan sekitar pesisir memperoleh input runoff yang berasal dari daratan sehingga menyebabkan kenaikan SLA pada area perairan dekat pesisir. Kondisi seperti ini merupakan pengaruh lokal dari input river runoff dan pergerakan secara vertikal regional masa air serta sirkulasi musiman massa air (Thomson et al., 2008).
Pada periode MAM Indonesia mulai memasuki musim peralihan 1. Pada musim peralihan matahari berada tepat di atas ekuator yang menyebabkan perairan menghangat. Dapat dilihat pada peta spasial yang menunjukan adanya perubahan SLA dari periode DJF ke periode MAM. Dimana terjadi peningkatan SLA diantaranya pada perairan Selatan Jawa, Laut Jawa, Selatan Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, dan Laut Arafura dengan nilai SLA berkisar antara 26 – 30 cm. Pada perairan bagian Barat Sumatra juga terjadi peningkatan SLA jika dibandingkan dengan periode DJF, dengan nilai SLA berkisar antara 11 – 15 cm. Sedangkan nilai SLA rendah ditunjukan terjadi pada perairan Samudra Hindia dengan nilai SLA berkisar antara -20 – 15 cm.
Melalui analisis secara visual dari Gambar 15 kondisi SLA cenderung tinggi pada musim timur (JJA). Hal ini diduga disebabkan ketika periode JJA Indonesia sedang mengalami musim kemarau. Pada musim kemarau Indonesia mendapatkan intensitas cahaya matahari yang lebih banyak sehingga terjadi ekspansi termal yang menyebabkan meningkatnya SLA. Bindoff et al. (2007), menyatakan bahwa kenaikan permukaan air laut dipengaruhi secara dominan oleh ekspansi

Gambar 15. Peta variabilitas spasial SLA di perairan Indonesia pada musim DJF, MAM, JJA, dan SON.
termal dan mencairnya es di kutub. Dimana nilai SLA tertinggi terjadi pada perairan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia dengan kisaran nilai SLA 26 – 30 cm. Sementara nilai SLA rendah terjadi di perairan Laut Arafura dengan kisaran nilai SLA -14 - -10 cm.
Pada periode SON Indonesia memasuki musim peralihan 2. Berdasarkan Gambar 15 nilai SLA cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode JJA. Penurun terjadi diantaranya pada perairan Selatan Jawa, Laut Jawa, Selat Makasar, Perairan Selatan Bali hingga Selatan Nusa Tenggara, Laut Banda, dan Laut Aru. Dimana nilai SLA terendah terjadi di perairan Selatan Bali hingga Laut Sawu dan Laut Aru dengan nilai SLA berkisar antara -14 - -10 cm. Sedangkan pada perairan Laut Jawa hingga Laut Banda nilai SLA berkisar antara -9 - -5 cm. Pada periode SON nilai SLA tertinggi terjadi pada perairan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia dengan kisaran nilai SLA 26 – 30 cm.
-
3.4 Hubungan sea level anomaly dengan sea surface temperature
Kenaikan permukaan laut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu ekspansi termal. Menurut Sofian (2011), peningkatan absorbsi gelombang pendek sinar matahari oleh lautan, menyebabkan meningkatnya sea surface temperature. Hal ini diduga menyebabkan meningkatnya permukaan laut akibat proses pemuaian volume. Dengan demikian pada penelitian dilakukan analisis hubungan antara sea level anomaly (SLA) dan sea surface temperature (SST).
Tabel 3.
Tabel Korelasi SLA dengan SST
Area |
Lokasi |
Korelasi |
Kategori |
A |
Laut Natuna |
0,48 |
Cukup Kuat |
B |
Laut Sulawesi |
0,23 |
Sangat Lemah |
C |
Utara Papua |
0,27 |
Cukup Kuat |
D |
Laut Banda |
-0,32 |
Cukup Kuat |
E |
Laut Jawa |
-0,25 |
Sangat Lemah |
Selatan Nusa | |||
F |
Tenggara |
-0,54 |
Kuat |
G |
Selatan Jawa |
0,42 |
Cukup Kuat |
H |
Barat Sumatra |
0,24 |
Sangat Lemah |
Hubungan antara SLA dan SST di perairan Indonesia diperoleh melalui analisis korelasi dari data rata bulanan SLA dan SST. Analisis korelasi dilakukan pada delapan area penelitian di perairan Indonesia. Dari hasil analisis korelasi diperoleh nilai koefisien korelasi yang menunjukan tingkat hubungan antara dua variabel tersebut. Nilai koefisien korelasi pada setiap area penelitian disajikan dalam table berikut.
Nilai positif menunjukan adanya hubungan searah antar kedua variabel atau disebut dengan korelasi positif, sedangkan nilai negatif menunjukan hubungan yang berlawanan arah atau disebut korelasi negatif. Dari hasil analisis diketahi terjadi korelasi positif pada area (A, B, C, G, dan H), sedangkan korelasi negatif terjadi pada area (D, E, dan F). Korelasi positif dan negatif pada area – area tersebut dijelaskan dalam grafik hubungan SST dan SLA berikut (Gambar 16 dan 17).
Gambar 16. Grafik hubungan SLA dan SST pada area A, area B, area C, area G, dan area H.
Terjadi korelasi positif pada area A, B, C, G, dan H dengan nilai koefisien korelasi berturut yaitu 0.48, 0.23, 0.27, 0.42 dan 0.24. Hal ini menunjukan adanya hubungan searah antara SLA dan SST. Yang dimaksud dengan hubungan searah yaitu saat
terjadi peningkatan pada SST maka juga terjadi peningkatan pada SLA. Pada Gambar 16 ditampilkan grafik hubungan SLA dan SST pada area A, B, C, G dan H. Pola sinyal berwarna biru menunjukan SLA sedangkan yang berwarna merah menunjukan SST. Dapat dilihat pada gambar, area A, B dan G dengan kategori korelasi cukup kuat menunjukan adanya pola yang relatif sama. Dimana ketika terjadi peningkatan nilai SST maka nilai SLA juga akan meningkat, dan sebaliknya ketika terjadi penurunan nilai SST maka diikuti juga dengan penurunan nilai SLA.
Gambar 17. Grafik hubungan SLA dan SST pada area D, area E, dan area F.
Pada area D, E, dan F terjadi korelasi negatif dengan nilai koefisien korelasi berturut turut yaitu -0.32, -0.25, -0.54. Hal ini menunjukan adanya hubungan yang berlawanan arah antara dua variabel tersebut, dengan kategori korelasi cukup kuat pada area D, sangat lemah pada area E dan kategori korelasi kuat pada area F. Dapat dilihat pada gambar 17 adanya hubungan yang berlawanan arah ditunjukan dengan pola yang berlawanan antara sinyal SST dan SLA. Dimana ketika SST meningkat SLA justru mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya ketika SST mengalami penurunan SLA meningkat.
Dari delapan area penelitian, secara umum hubungan antara SLA dengan SST di perairan Indonesia menunjukan korelasi positif atau hubungan searah, dengan kategori korelasi cukup kuat lebih dominan. Dengan demikian diduga SST secara tidak langsung mempengaruhi SLA, namun
selain itu ada beberapa faktor lain yang juga dapat mempengaruhi peningkatan SLA, seperti pelelehan lapisan es di kutub, pelelehan gletser, dan penambahan masa air tawar dari darat turut mempengaruhi kenaikan permukaan laut global (Hartanto dkk., 2014).
Selama kurun waktu 2008 – 2018 terjadi tren positif dari sea level anomaly pada 8 stasiun di perairan Indonesia. Kenaikan permukaan laut tertinggi terjadi pada area B (Laut Sulawesi) sebesar 4,788 cm dengan laju kenaikan 0,479 cm/tahun. Secara umum terjadi kenaikan rata rata sebesar 3,686 cm di perairan Indonesia dengan laju kenaikan sebesar 0,369 cm/tahun.
Variabilitas musiman terjadi pada area (A, E, F, dan G) sedangkan variabilitas 6 bulanan terjadi pada area H. Pada area (B, C, dan D) berdasarkan grafik tidak menunjukan adanya variabilitas 6 bulanan maupun variabilitas musiman. Secara spasial nilai sea level anomaly di perairan Indonesia cenderung tinggi terjadi pada perairan Samudra Pasifik dan beberapa Perairan yang dilalui ARLINDO.
Korelasi antara sea level anomaly dengan sea surface temperature menunjukan hubungan yang searah dengan nilai positif pada area (A, B, C, G dan H) sedangkan korelasi negatif terjadi pada area (D, E, dan F). Korelasi dengan kategori kuat terjadi pada area F dengan nilai -0,54.
Daftar Pustaka
Bindoff, N. L., Willebrand, J., Artale, V. Cazenave, A., Gregory, J., Gulev, S., Hanawa, K., Le Quéré, C., Levitus, S., Nojiri, Y., Shum, C. K., Talley, L. D., & Unnikrishnan, A. (2007). Observations: oceanic climate change and sea level. In Solomon, S., Qin, D., Manning, M., Chen, Z., Marquis, M., Averyt, K. B., Tignor, M., & Miller, H. L. (Eds.). Climate change 2007: the physical science basis. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press, pp. 385–432.
Cahyadi, M. N., Jaelani, L. M., & Aryasandah, H. D. (2016). Studi kenaikan muka air laut menggunakan data satelit altimetri Jason-1 (studi kasus: Perairan Semarang). Jurnal Geoid, 11(2), 176-183.
Fadholi, A. (2013). Persamaan regresi prediksi curah hujan bulanan menggunakan data suhu dan kelembapan udara di Ternate. Journal of Theoretical Statistics and Its Applications, 13(1), 7-16.
Hakim, M. R., Nababan, B., & Panjaitan, J. P. (2015). Peningkatan akurasi estimasi tinggi paras laut melalui analisis retracking waveform satelit Jason-2 di Laut Jawa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 7(2), 771-790.
Handoko, E. Y., Yuwono, Y., Ariani, R., & Filaili, R. B. (2018). Korelasi multivariate el niño southern oscillator index dan variasi permukaan laut di Perairan Indonesia. Geoid, 14(1), 1-5.
Hartanto, P., Prijatna, K., & Nurmaulita, S. L. (2014). Perubahan muka air laut berdasarkan data satelit Altimetri dan data argo pada rentang 1992-2012 di wilayah Samudra Pasifik bagian Barat. Majalah Ilmiah Globe, 16(1), 17-24.
Khasanah, I. U. (2018). Sea level rise of Sumatra waters based on multi-satellite altimetry data. Indonesian Journal of Geography, 50(2), 162-167.
Khasanah, U. N., & Marzuki, M. I. (2017). Analisis kenaikan muka air laut menggunakan data altimetri untuk aplikasi mitigasi perubahan iklim di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 573. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2017. Depok, Indonesia, 17 Oktober 2017 (pp. 265-270).
Limantara, Y., Sudarsono, B., & Sasmito, B. (2013). Analisis sea level rise menggunakan data satelit altimetri Jason-2 periode 2008-1012 (studi kasus: Laut Utara Jawa dan Laut Selatan Jawa). Jurnal Geodesi Undip, 2(4), 183-193.
Mansawan, A. A., Gaol, J. L., & Panjaitan, J. P. (2016). Variation and trend of sea level derived from altimetry satellite and tide gauge in Cilacap and Benoa coastal areas. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences [IJReSES], 13(1), 59-66.
Marpaung, S., & Harsanugraha, W. K. (2017). Analysis of sea surface height anomaly characteristics based on satellite altimetry data (case study: seas surrounding Java island). International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences [IJReSES], 11(2), 137-142.
Nababan, B., Hadianti, S., & Natih, N. M. N. (2015). Dinamika anomali paras laut perairan Indonesia. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 7(1), 259-272.
Nababan, B., Hakim, M. R., Adrian, D., & Gaol, J. L. (2014). Identifikasi waveform data satelit altimeter pada perairan pesisir dan laut dalam di perairan selatan Jawa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(2), 445-459.
Partiwi, A. (2019). Pengenalan pemicu pemanasan global menggunakan teknologi augmented reality berbasis
desktop. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Rekayasa, 24(1), 4556.
Pujol, M. I., Faugère, Y., Taburet, G., Dupuy, S., Pelloquin, C., Ablain, M., & Picot, N. (2016). DUACS DT2014: the new multi-mission altimeter data set reprocessed over 20 years. Ocean Sci, 12(5), 1067-1090.
Putra, I. D. N. N., & Tanaka, T. (2013). The local characteristics of Indonesian Seas and its possible connection with ENSO and IOD: ten years analysis of satellite remote sensing data. Earth Science Research, 2(2), 153-180.
Sarsito, D. A., Prijatna, K., Wijaya, D. D., Fajar, T. N., Radjawane, I. M., Windupranata, W., & Bramanto, B. (2018). Long term variation of sea level anomaly (September 1992-January 2017) in the Indonesian Sea from multi-mission satellite altimetry data. IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science, 162(1), 1-9.
Setianingsih, W., Sasmito, B., & Bashit, N. (2018). Analisis sea level rise di Laut Utara Jawa terhadap perubahan garis pantai wilayah Demak pada tahun 2006-2016. Jurnal Geodesi Undip, 7(2), 53-64.
Sidabutar, Y. L., Sasmito, B., & Amarrohman, F. J. (2016). Analisis sea level rise dan komponen pasang surut dengan menggunakan data satelit altimetri Jason-2. Jurnal Geodesi Undip, 5(1), 243-252.
Sofian, I. (2011). Proyeksi pengaruh pencairan es terhadap sea level rise dengan menggunakan data Altimeter dan model. Majalah Ilmiah Globe, 13(1), 15-21.
Syaifullah, M. D. (2015). Suhu permukaan laut perairan Indonesia dan hubungannya dengan pemanasan global. Jurnal Segara, 11(2), 103-113.
Tamba, A. Y. P., Sasmito, B., & Haniah, H. (2016). Analisis sea level rise dan penentuan komponen pasut dengan menggunakan data satelit altimetri Jason-2 tahun 2011-2014 (studi kasus: Perairan Sumatra bagian Timur). Jurnal Geodesi Undip, 5(2), 76-86.
Thomson, R. E., Bornhold, B. D., & Mazzotti, S. (2008). An examination of the factors affecting relative and absolute sea level in coastal British Columbia. Technical Report. Sidney, Canada: Hydrography and Ocean Sciences, Institute of Ocean Sciences.
Wuriatmo, H., Koesuma, S., & Yunianto, M. (2012). Analisa sea level rise dari data satelit altimetri Topex/Poseidon, Jason-1 dan Jason-2 di Perairan Laut Pulau Jawa periode 2000–2010. Indonesian Journal of Applied Physics, 2(02), 65-72.
© 2022 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 8: 118-130 (2022)
Discussion and feedback