Journal of Marine and Aquatic Sciences 7(2), 224-231 (2021)

Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Pulau Serangan Bali

I Ketut Dedi Ariawan a*, I Gusti Bagus Sila Dharma a, Elok Faiqoh a

a Department of Marine Science, Faculty of Marine and Fisheries, Udayana University, Jimbaran, Badung, Bali-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-857-634-3218

Alamat e-mail: dedy.ariawan21@gmail.com

Diterima (received) 3 September 2019; disetujui (accepted) 3 Agustus 2021; tersedia secara online (available online) 1 Desember 2021

Abstract

Macrozoobentos are organisms that live at the base of the water (Epifauna) or in the substrate (Infauna) with a size greater than 1 mm. Macrozoobenthos play an important role in the process of decomposition of organic matter in the sediment in the mangrove ecosystem. This research was conducted in August 2018 in the mangrove areas of Serangan Island, Bali. This research has purpose to know the structure of the Macrozoobenthos community in the mangrove ecosystem. It using a purposive sampling method, which consists of 2 stations, located in the north (adjacent TPA Suwung) as station 1 and on the south (directly facing the sea) as station 2. Each station consists of 5 substations with the distance between the substations adjusted to the condition of the existing mangrove community and each substation has 3 plots with a distance between the plot 10 m. The transect is drawn towards the sea for 50 m. The results obtained at station 2 had higher abundance of macrozoobenthos than Station 1, his shows the condition of the substrate at station 2 it supportive for the survival of macrozoobenthos organisms. The difference in the substrate in each station is thought to be one of the factors that influence the difference in macrozoobenthos density. At stations 1 and 2 have medium diversity, high Eveness and low dominance. This shows that the macrozoobenthos community in the mangrove ecosystem in the north and south of Serangan Island is in a stable condition but if the environment experiences a change, the change will affect the structure of the macrozoobenthos community in the ecosystem environment so that the value of species diversity is at a medium level.

Keywords: community structure; makrozoobenthos; mangrove; serangan

Abstrak

Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup di dasar perairan (epifauna) atau di dalam substrat dasar perairan (infauna) dengan ukuran lebih besar dari 1 mm. Makrozoobenthos berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik pada sedimen di ekosistem mangrove. Penelitian ini Dilakukan Pada Bulan Agustus 2018 di ekosistem mangrove Pulau Serangan Bali dengan tujuan untuk mengetahui struktur komunitas makrozoobenthos di ekosistem mangrove. Metode yang dilakukan adalah metode purposive sampling , Penelitian ini terdiri dari 2 stasiun yang terletak di bagian utara (berdekatan TPA suwung) stasiun 1 dan pada bagian selatan (berhadapan langsung dengan laut lepas) stasiun 2. Setiap stasiun terdiri dari 5 substasiun dengan jarak antar substasiun disesuaikan dengan kondisi komunitas mangrove yang ada dan setiap substasiun memiliki 3 plot dengan jarak antar plot 10 m. Transek ditarik kearah laut sepanjang 50 m. Hasil yang didapat pada stasiun 2 memiliki kepadatan makrozoobenthos yang lebih tinggi daripada stasiun 1, hal ini memperlihatkan kondisi substrat pada stasiun 2 lebih mendukung bagi kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos. Perbedaan substrat yang terdapat disetiap stasiun diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan kepadatan makrozoobenthos. Pada stasiun 1 dan stasiun 2 tergolong keanekaragamaan sedang, keseragaman tinggi dan dominansi rendah. Hal ini menunjukan komunitas makrozoobenthos pada ekosistem mangrove pada bagian utara dan selatan Pulau Serangan dalam keadaan stabil tetapi jika pada lingkungan tersebut mengalami perubahan, perubahan tersebut akan mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos pada lingkungan ekosistem tersebut sehingga nilai keanekaragamaan jenisnya berada pada level sedang.

Kata Kunci: struktur komunitas; makrozoobenthos; mangrove; serangan

  • 1.    Pendahuluan

    2. Metode


Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup di dalam substrat dasar perairan (infauna) atau di dasar perairan (epifauna) dengan ukuran lebih besar dari 1 mm (Pelealu dkk., 2018). Peranan makrozoobenthos sangat penting dalam perairan, yaitu sebagai komponen jaring-jaring makanan di dalam ekosistem, serta makrozoobenthos juga berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik pada sedimen di ekosistem mangrove (Muhammad dkk., 2017). Peranan makrozoobenthos di ekosistem mangrove akan lebih signifikan, karena tidak banyak makrozoobenthos yang dapat hidup pada zona peralihan dari darat ke laut atau pun air tawar ke air laut (Monika dkk., 2013)

Ekosistem mangrove dimanfaatkan organisme makrozoobenthos sebagai habitat utama. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai daerah tempat mencari makanan, untuk berkembangbiak, dan tempat memijah untuk berbagai organisme laut tumbuh seperti makrozoobenthos (Selviani dkk., 2018).

Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kawasan hutan mangrove adalah Bali. Tahura (Taman Hutan Raya) Ngurah Rai Bali memiliki hutan mangrove dengan luas kawasan 62,9% dari semua luas total mangrove yang ada di Bali, kawasan Tahura meliputi beberapa desa salah satunya adalah Serangan (Lugina dkk., 2017).

Ekosistem mangrove pada bagian utara dan selatan yang ada di Pulau Serangan memiliki kondisi lingkungan yang berbeda. Ekosistem mangrove bagian utara berdekatan dengan TPA Suwung dan dipengaruhi oleh kegiatan antropogenik sedangkan pada bagian selatan jauh dari aktivitas TPA Suwung dan jauh dari kegiatan antropogenik. Fungsi TPA Suwung yang tentunya sebagai tempat penampungan sampah akan mengurangi kualitas perairan lingkungan disekitarnya. Selain itu tingkat kualitas perairan juga dapat dikaji melalui keadaan makrozoobenthos (Rachman dkk., 2016). Di Serangan sendiri sebelumnya belum pernah ada penelitian terkait keadaan makrozoobenthos, sehingga dari itu penting halnya mengetahui keadaan makrozoobenthos di Serangan melalui keadaan struktur komunitasnya, yang dimana makrozoobenthos tersebut berperan untuk mengetahui kondisi perairan di daerah tersebut.

  • 2.1    Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan juli 2018 di kawasan mangrove Pulau Serangan. Serangan berada di Kecamatan Denpasar Selatan, Bali. Secara topografi wilayah ini dicirikan dengan dataran rendah den ketinggian maksimum 3 m dari permukaan laut. Pulau Serangan Denpasar Bali tergolong kategori pulau kecil yang memiliki luas 412 ha (Darmawan dan Sastrawan, 2018).

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Pulau Serangan.

  • 2.2    Alat dan Bahan

Alat penelitian: Pipa (corer) berdiameter 10 cm dengan tinggi 10 cm, saringan ukuran (1 mm), toples plastik, kantong plastik, GPS, refraktometer, termometer, pH meter, cool box, kamera, buku identifikasi, pinset, kaca pembesar. Bahan penelitian: organisme makrozoobenthos, alkohol 70%, aquades.

  • 2.3    Metode Pengambilan Data

    • 2.3.1.    Penetuan Stasiun Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi penelitian ini yaitu purposive sampling dimana pengambilan sample yang sudah ditentukan dengan pertimbangan tertentu yang dapat mewakili obyek yang diteliti atau dianggap relevan (Purwandari, 2018), dimana penelitian ini dilakukan pada ekosistem mangrove Pulau Serangan Bali. Penelitian ini terdiri dari 2 stasiun yang terletak di bagian utara dan pada bagian selatan Pulau Serangan. Setiap stasiun terdiri dari 5 substasiun dengan jarak antar substasiun yang

disesuaikan dengan keadaan ekosistem mangrove yang ada, dan setiap substasiun memiliki 3 transek dengan jarak antar transek 10 m. Line transek ditarik kearah laut sepanjang 50 m.

  • 2.3.2.    Pengambilan Data Mangrove dan Sampel Makrozoobenthos

Pengambilan data kerapatan mangrove dengan menempatkan transek kuadran (10 m x 10 m) pada setiap titik sampling pada transek line tersebut. Pengamatan data kerapatan mangrove dilakukan dengan cara menghitung banyaknya individu yang terdapat dalam setiap plotnya.

Metode pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan menurut Norén and Lindegarth (2005), yaitu menggunakan alat pipa yang berlubang (corer) untuk pengambilan sampel sedimen dengan diameter 10 cm dan tinggi 10 cm. Dalam transek diambil sampel makrozoobenthos, setiap masing-masing diambil pada keempat sudut transek kuadran dan pada bagian tengah transek kuadran. Skema penentuan stasiun dan pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema Penentuan Stasiun dan Pengambilan Data.

  • 2.3.3.    Pengukuran Parameter Lingkungan

Adapun pengukuran parameter lingkungan yang diambil antara lain, pengukuran parameter kimia (suhu, pH, salinitas) yang di amati secara langsung (insitu) dan parameter fisika (substrat) yang diuji di Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Udayana, adapun pengambilan contoh sedimen dilakukan untuk mengetahui tipe substrat atau fraksi sedimen.

  • 2.4    Analisis data

    • 2.4.1.    Identifikasi Sampel Makrozoobenthos

Makrozoobenthos diidenfikasi di laboratorium Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana sampai dengan tingkat spesies.

  • 2.4.2.    Kepadatan jenis

Kepadatan digunakan untuk menunjukan jumlah individu suatu jenis per satuan luas atau persatuan volume. Untuk perhitungan kepadatan makrozoobhentos berpedoman pada (Brower et al., 1990), rumus dapat dilihat pada persamaan 1.

ni

Ni = —

V

(1)


dimana Ni adalah kepadatan makrozoobenthos jenis ke-i (individu/m3); ni jumlah individu makrozoobenthos jenis ke-i yang ditemukan (individu); dan V adalah volume (m3).

  • 2.4.3.    Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman dapat diartikan sebagai hubungan kelimpahan spesies di dalam komunitasnya. Keanekaragaman jenis dihitung dengan menghitung Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon Wienner (H’) (Brower et al., 1990), dengan rumus yang dapat dilihat pada persamaan 2.

H ’ ∑       • ln-*-

Ntotal    Ntotak

(2)


dimana H’ adalah indeks keanekaragaman makrozoobenthos; Ni jumlah individu makrozoobenthos (individu/m3); dan Ntotal adalah jumlah total individu makrozoobenthos (individu/m3).

  • 2.4.4.    Keseragaman Jenis

Keseragaman jenis yaitu untuk menunjukan komposisi individu pada tiap jenis yang terdapat di dalam komunitasnya. Keseragaman dihitung dengan menghitung Indeks Keseragaman Jenis Evenness (E) (Brower et al., 1990). Pada persamaan 3.

H'

E =--

ln S

(3)


dimana E adalah indeks keseragaman makrozoobenthos; H’ indeks keanekaragaman makrozoobenthos; dan S adalah jumlah species makrozoobenthos yang ditemukan.

  • 2.4.5.    Dominansi Jenis

Dominansi digunakan untuk melihat adanya dominnasi oleh jenis tertentu oleh pada populasi makrozoobenthos. Dominansi jenis dihitung dengan menghitung Indeks Dominansi Simpson (Brower et al., 1990). Dengan rumus dapat dilihat pada persamaan 4.

D =


Ni


^N total y


(4)


dimana D adalah indeks dominansi makrozoobenthos; Ni kepadatan makrozoobenthos jenis ke-i (individu/m3); dan Ntotal adalah kepadatan jenis makrozoobenthos yang teridentifikasi.

  • 2.4.6.    Kerapatan Mangrove

Kerapatan mangrove (K) merupakan banyaknya jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area (Supriadi, 2015). Untuk menghitung kerapatan mangrove (Bengen, 2001), menggunkan rumus yang dapat dilihat pada persamaan 5.

ni

K = —

A

(5)


dimana K adalah kerapatan mangrove (pohon/m2); ni jumlah tegakan dari setiap jenis mangrove; dan A adalah luasan kuadrat (10 m x 10 m).

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Parameter Lingkungan

Kondisi lingkungan yang mencakup parameter lingkungan yang akan dapat mempengaruhi kehidupan organisme secara langsung atau tidak langsung. Adapun hasil pengukuran beberapa parameter lingkungan yang dilakukan selama penelitian seperti suhu, salinitas, pH, tipe substrat, dan kerapatan mangrove.

Suhu yang diperoleh pada penelitian ini, yaitu pada stasiun 1 berkisar antara  28,3-30,5oC,

sedangkan suhu yang diperoleh pada stasiun 2 berkisar 28-32,5oC. Suhu di stasiun 1 lebih rendah dibandingkan stasiun 2, diduga karena hasil dari kerapatan mangrove pada stasiun 1 lebih tinggi daripada stasiun 2. Mennurut Effendi (2003) yang mnyatakan energi panas yang di hasilakan di peraiaran adalah karena adanya cahaya matahari yang masuk ke suatu media air akan mengalami penyerapan sehingga mengalami perubahan suhu pada perairan.

Nilai salinitas yang diperoleh pada stasiun 1 berkisar 25-27 ppt. Sedangkan salinitas yang diperoleh pada stasiun 2 berkisar 28-32 ppt. Nilai salinitas pada stasiun 2 menunjukan lebih tinggi dengan stasiun 1, hal ini di karenakan oleh suhu di stasiun 2 lebih tinggi dengan suhu pada stasiun 1. Dimana suhu berbanding lurus dengan salinitas, hal tersebut dikarenakan jika semakin rendah suhu maka penguapan yang terjadi akan semakin kecil sehingga kadar garam atau salinitas akan semakin rendah pula. Selain itu adanya masukan air tawar dari salah satu sungai ke sekitar perairan stasiun 1 juga menyebabkan salinitas pada stasiun 1 akan lebih rendah. Sedangkan pada stasiun 2 salinitas lebih tinggi dikarenakan kondisi yang tidak ada sungai disekitarnya dan stasiun 2 berhadapan langsung dengan laut lepas.

Nilai pH yang diperoleh pada stasiun 1 dan 2 adalah sama dengan nilai 7. pH adalah suatu faktor pembatas bagi organisme bentos yang hidup di suatu perairan. Perubahan pH tinggi atau rendah di dalam perairan akan mempengaruhi sebagian besar organisme biota akuatik yang sangat sensitif terhadap perubahan pH, organisme dalam perairan yang bisa bertahan hidup dengan kisaran pH sekitar 7 – 8,5 (Effendi, 2003).

Hasil pengamatan di laboratorium nilai tipe substrat pada stasiun 1 memiliki tipe substrat pasir, pasir berlempung, dan lempung berpasir. Sedangkan pada stasiun 2 memiliki tipe substrat pasir berlempung.

Selain parameter lingkungan di atas jenis parameter lain yang di ambil adalah kerapatan mangrove, nilai yang diperoleh pada setiap stasiun penelitan tidak jauh berbeda. Kerapatan jenis mangrove stasiun 1 mendapatkan nilai sebanyak 0.093 ind/m2, sedangkan stasiun 2 nilai kerapatan jenis mangrove memperoleh sebanyak 0,067 ind/m2. Kerapatan jenis mangrove yang paling tinggi diperoleh pada stasiun 1 dengan jumlah nilai yaitu 0,093 ind/m2. Dari hasil pengamatan yang sudah

dilakukan pada stasiun 1 didapat 6 spesies pohon mangrove antara lain yaitu spesies Soneratia alba sebesar 0,055 ind/m2, Rhizophora apiculata 0.012 ind/m2, Bruguera 0.001 ind/m2, Rhizophora stylosa 0.009 ind/m2, Soneratia casiolaris 0.007 ind/m2, dan spesies Rhizophora mucronata 0.008 ind/m2. Pada stasiun 2 terdapat 4 spesies yaitu Soneratia alba dengan nilai yang diperoleh 0,017 ind/m2, Rhizophora apiculata 0.022 ind/m2, Rhizophora mucronata 0.026 ind/m2, dan spesies Aegeciras comiculatum 0.001 ind/m2. Dari hasil penelitian ini diperoleh korelasi antara kepadatan makrozoobenthos dengan kerapatan mangrove dengan nilai -0,5. Menurut Monika dkk. (2013), menyatakan bahwa dengan meningkatnya kerapatan mangrove pada stasiun 1 makrozoobenthos semakin berkurang. Sedangkan sebaliknya kerapatan mangrove pada stasiun 2 yang rendah maka secara umum memiliki kepadatan makrozoobenthos yang berlimpah.

  • 3.2    Struktur Komunitas

    • 3.2.1.    Kepadatan dan Komposisi Jenis

Makrozoobenthos

Berdasarkan hasil grafik pada Gambar 3, menjelaskan bahwa stasiun 2 memiliki kepadatan makrozoobenthos lebih tinggi daripada stasiun 1, hal ini memperlihatkan kondisi substrat pada stasiun 2 lebih mendukung bagi kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos. Perbedaan substrat yang terdapat disetiap stasiun diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan kepadatan makrozoobenthos menurut Syury dkk. (2018), dan Ernawati dkk. (2013), menyatakan bahwa substrat dasar perairan merupakan komponen pertama yang menjadi dasar adaptasi makrozoobenthos, karena substrat ini digunakan sebagai habitatnya.

Gambar 3. Kepadatan Makrozoobenthos (ind/m3).

Menurut Hawari dkk. (2014), bahan organik yang memiliki tekstur halus dan padat lebih mudah terikat pada sedemen belumpur, sedangkan bahan organik yang memiliki tekstur yang kasar yang memiliki partikel lebih besar akan cendrung terikat pada sedimen berpasir. Karakteristik substrat pada stasiun 1 beragam salah satunya substrat berpasir, hal tersebut menyebabkan makrozoobenthos di stasiun 1 lebih sedikit dibandingkan stasiun 2 yang memiliki karakteristik substrat berlumpur, sesuai dengan penelitian Sulistiyanto dkk. (2012), menyatakan bahwa makrozoobenthos akan lebih mudah beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berlumpur karena ditempat yang berlumpur biota iniakan lebih mudah menggali untuk dijadikan tempat tinggal. Sedangkan makrozoobenthos kurang baik hidup di dalam substrat berpasir karena makrozoobenthos akan kesulitan menahan pengaruh pergerakan gelobang secara terus menerus dapat merusak habitat.

Perbedaan kepadatan jenis ini disebabkan karena adanya kegiatan atropogenik akibat dari dampak perbedaan kondisi lingkungan di sekitar kawasan, khususnya substrat yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis makrozoobenthos (Zulkifli dan Setiawan, 2011). Melalui hasil identifikasi jenis, makrozoobenthos yang didapatkan lebih banyak dari kelas gastropoda. Menurut Suzila dkk. (2016), hal ini dikarenakan kebiasaan hidup kelas gastropoda relatif tidak berpindah karena pergerakan yang lambat dan cenderung menetap pada habitatnya. Janestia dkk. (2017), mendapatkan hasil yang sama pada penelitian yang di Kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak, Riau diketahui bahwa banyaknya individu dari kelas Gastropoda yang ditemukan. Dikatakan bahwa, banyaknya gastropoda yang ditemukan dikarenakan kemampuan adaptasinya yang sangat besar terhadap perubahan lingkungan yang ada. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Rizka dkk. (2016), bahwa gastropoda adalah organisme bentos yang dapat hidup di berbagai jenis substrat yang memiliki cadangan makanan yang tinggi akan mempengaruhi perkembangan fisiknya.

Gambar 4. Komposisi Jenis Makrozoobenthos.

Dari hasil diagram pada Gambar 4, menunjukan bahwa pada setiap stasiun memiliki komposisi jenis kelas gastropoda yang lebih tinggi daripada bivalvia menurut Silaen dkk. (2013), hal ini diduga karena gastropoda lebih menyukai daerah yang memiliki jenis subsrat berlumpur, dimana gastropoda merupakan predator sisa pengurai di akar mangrove dan lumpur.

Pada stasiun 1 kelas gastropoda diperoleh 19 famili dan 30 spesies, sedangkan pada kelas bivalvia diperoleh 3 famili dan 3 spesies. Spesies yang paling dominan adalah jenis Clypcomorus pellucida yang merupakan kelas gastropoda (Gambar 5.) sebanyak 984 individu. Jenis Clypcomorus pellucida mendominasi ditemukan pada masing-masing substasiun pada stasiun 1, hal ini diduga karena jenis ini lebih menyukai daerah yang memiliki jenis subsrat berlumpur. Menurut Ledheng dan Naisumu (2018), hal ini dikarenakan Clypcomorus pellucida merupakan pemakan deposit materi di permukaan lumpur dan akar mangrove.

Gambar 5. Clypcomorus pellucida.

Kelas gastropoda pada stasiun 2 diperoleh 17 famili dan 21 spesies, sedangkan kelas bivalvia memperoleh 1 famili dan 1 spesies. Spesies yang paling dominan adalah jenis Babylonia ambulacrum pada kelas gastropoda (Gambar 6.) sebanyak 680. Jenis spesies Babylonia ambulacrum ditemukan paling banyak pada substasiun 5, dimana substasiun 5 berlokasi paling dekat dengan laut yang terdapat ekosistem karang. Sesuai yang di nyatakan oleh Altena and Gittenberger (1981) bahwa spesies Babylonia ambulacrum hidup pada zona intertidal hingga kedalaman 100 m dengan kondisi substrat pasir berlumpur dan spesies ini hidup pada mangrove yang hidup didekat ekosistem trumbu karang.

Gambar 6. Babylonia ambulacurm.

  • 3.2.2.    Indeks Struktur Komunitas

Struktur komunitas makrozoobenthos terdiri dari indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D) (Ulfah, 2012). Kondisi lingkungan suatu perairan dikatakan masih baik apabila diperoleh nilai indeks keanekaragaman yang tinggi serta indeks dominansi yang rendah (stabil) (Asriani dkk., 2013).

Pada Gambar 7 dapat dijelaskan bahwa pada stasiun 1 dan stasiun 2 tergolong keanekaragamaan (H’) sedang, keseragaman tinggi dan dominansi rendah. Hal ini menunjukan komunitas makrozoobenthos pada ekosistem mangrove pada bagian utara dan selatan Pulau Serangan dalam keadaan stabil tetapi jika pada lingkungan tersebut mengalami perubahan, perubahan tersebut akan mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos pada lingkungan ekosistem tersebut sehingga nilai keanekaragamaan jenisnya berada pada level sedang (Alfin, 2014). Perubahan yang diduga akan mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos karena adanya masukan ke lingkungan ekosistem mangrove dari limbah yang keluar dari TPA Suwung.

Gambar 7. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominasi.

  • 4.    Simpulan

Kepadatan makrozoobenthos di di ekosistem mangrove pulau Serangan Bali diperoleh pada stasiun 2 dengan nilai 243566,88 ind/m3 lebih tinggi daripada stasiun 1 dengan nilai 173418,26 ind/m3. Hal ini memperlihatkan kondisi substrat pada stasiun 2 lebih mendukung bagi kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos. Karakteristik substrat pada stasiun 1 beragam salah satunya substrat berpasir, hal tersebut menyebabkan makrozoobenthos di stasiun 1 lebih sedikit dibandingkan stasiun 2 yang memiliki karakteristik substrat berlumpur.

Struktur komunitas makrozoobenthos di ekosistem mangrove pulau Serangan Bali meliputi keanekaragaman, keseragaman dan dominansi. Pada stasiun 1 dan stasiun 2 tergolong keanekaragamaan sedang, keseragaman tinggi dan dominansi rendah. Hal ini menunjukan komunitas makrozoobenthos pada ekosistem mangrove pada bagian utara dan selatan Pulau Serangan dalam keadaan stabil tetapi jika pada lingkungan tersebut mengalami perubahan, perubahan tersebut akan mempengaruhi       struktur       komunitas

makrozoobenthos pada lingkungan ekosistem tersebut sehingga nilai keanekaragamaan jenisnya berada pada level sedang. Perubahan yang diduga akan mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos karena adanya masukan ke lingkungan ekosistem mangrove dari limbah yang keluar dari TPA Suwung.

Daftar Pustaka

Alfin, E. (2014). Kelimpahan Makrozoobentos di Perairan Situ Pamulang. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 7(2), 69-73.

Altena, C. O. R., & Gittenerger, E. (1981). The genus Babylonia (Prosobranchia, Buccinidae).    Leiden,

Netherland: Brill.

Asriani, W. O., Emiyarti, & Ishak, E. (2013). Studi Kualitas Lingkungan di Sekitar Pelabuhan Bongkar Muat Nikel (Ni) dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Desa Motui Kabupaten Konawe Utara. Jurnal Mina Laut Indonesia, 3(12), 22-35.

Bengen, D. G. (2001). Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Bogor, Indonesia: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor.

Brower, J. E., Zar, J. H., & Von Ende, C. (1990). Field and Laboratory Methods for General Ecology. Michigan, USA: W. C. Brown Publiser.

Darmawan, I. G. S., & Sastrawan, I. W. W. (2018). Faktor-Faktor Pengaruh Perubahan Kondisi Fisik Lahan Pascareklamasi di Pulau Serangan. Jurnal Anala, 2(18), 14-26.

Effendi, H. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta,

Indonesia: Kanisius.

Ernawati, S. K., Niartiningsih, A., Nessa, M. N., & Omar, S. B. (2013). Suksesi makrozoobentos di hutan mangrove alami dan rehabilitasi di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Jurnal Kajian dan Penelitian biologi, 14(1), 49-60.

Hawari, A., Amin, B., & Efriyeldi, E. (2014). Hubungan Antara Bahan Organik Sedimen Dengan Kelimpahan Makrozoobenthos Di Perairan Pantai Pandan Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, 1(2), 1-11.

Janestia, N. R., Sarong, M. A., & Purnawan, S. (2017). Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Perairan Paru Keudee, Kabupaten Pidie Jaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Perikanan Unsyiah, 2(3), 406-414.

Ledheng, L., & Naisumu, Y. G. (2018). Studi Komunitas Makrozoobentos di Hutan Mangrove Kecamatan Insana Utara Kabupaten Timor Tengah Utara. Politeknik Pertanian Negeri Kupang, 23(2), 682-695.

Lugina, M., Alviya, I., Indartik, & Pribadi, M. A. (2017). Strategi Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove Di Tahura Ngurah Rai Bali. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1), 61-77.

Muhammad, F., Izzati, M., & Mukid, M. A. (2017).

Makrobenthos Sebagai Indikator Tingkat Kesuburan Tambak Di Pantai Utara Jawa Tengah. Bioma: Berkala Ilmiah Biologi, 19(1), 38-46.

Norén, K., & Lindegarth, M. (2005). Spatial, temporal and interactive variability of infauna in Swedish coastal sediments. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 317(1), 53-68.

Monika, N. S., Niartiningsih, A., & Omar, S. B. A. (2013). Struktur Komunitas Makrozoobentos pada Ekosistem Mangrove di Pesisir Distrik Merauke Kabupaten Merauke. Tesis. Marauke, Indonesia:  Fakultas Pertanian,

Universitas Musamus.

Pelealu, G. V. E., Koneri, R., & Butarbutar, R. R. (2018). Kelimpahan dan Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Air Terjun Tunan, Talawaan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains, 18(2), 97-102.

Purwandari, G. F. P. (2018). Perencanaan Partisipatif Dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Di Kabupaten Pangandaran. Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 4(3), 87-93.

Rachman, H., Priyono, A., & Mardianto, Y. (2016).

Makrozoobentos sebagai Bioindikator Kualitas Air Sungai di Sub DAS Ciliwung Hulu. Media Konservasi, 21(3), 261-269.

Rizka, S., Muchlisin, Z. A., Akyun, Q., Fadli, N., Dewiyanti, I.,  & Halim, A. (2016). Komunitas

Makrozoobentos di Perairan Estuaria Rawa Gambut Tripa Provinsi Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Perikanan Unsyiah, 1(1), 134-145.

Selviani, Muliadi,  & Nurdiansyah, S.  I. (2018).

Keanekaragaman Makrozoobentos di Kawasan Hutan Mangrove Desa Sungai Bakau Kecil, Kabupaten

Mempawah. Jurnal Laut Khatulistiwa, 1(3), 67-72.

Silaen, I. F., Hendrarto, B., & Supardjo, M. N. (2013). Distribusi dan kelimpahan gastropoda pada hutan mangrove Teluk Awur Jepara. Management of Aquatic Resources Journal, 2(3), 93-103.

Sulistiyanto, Y. A., Endrawati, H., & Zainuri, M. (2012). Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Morosari, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Journal Of Marine Research, 1(2), 235-242.

Supriadi, Romadhon, A., & Farid, A. (2015). Struktur Komunitas Mangrove di Desa Martajasah Kabupaten Bangkalan. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 8(1), 44-51.

Suzila, Efriyeldi, & Nurrachmi, I. (2016). The Abundance and the Distribution Pattern of Sucker Snail (Cerithidea Quadrata) in Mangrove Forest of Untut Island of Teluk Meranti District of Pelalawan Regency of Riau Province. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, 3(1), 1-9.

Syury, R. P., Dharma, I. G. B. S., & Faiqoh, E. (2019). Diversitas Makrozoobentos Berdasarkan Perbedaan Substrat Di Kawasan Ekosistem Mangrove Desa Pejarakan, Buleleng. Journal Of Marine Research And Technology, 2(1), 1-7.

Ulfah, Y., Widianingsih, & Zainuri, M. (2012). Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Wilayah Morosari Desa Bedono Kecamatan Sayung Demak. Journal of Marine Research, 1(2), 188-196.

Zulkifli, H., & Setiawan, D. (2011). Struktur komunitas makrozoobentos di Perairan Sungai Musi Kawasan Pulokerto sebagai instrumen biomonitoring. Jurnal Natur Indonesia Wacana Sains Indonesia, 14(1), 95-99.

© 2021 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 7: 224-231 (2021)