Pemodelan Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO) di Perairan Teluk Benoa
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 6(2), 270-280 (2020)
Pemodelan Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO) di Perairan Teluk Benoa
Dika Madyawan a*, I Gede Hendrawan a, Yulianto Suteja a
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali
* Penulis koresponden. Tel.: +62-813-371-503-41
Alamat e-mail: [email protected]
Diterima (received) 27 Maret 2019; disetujui (accepted) 16 Desember 2020; tersedia secara online (available online) 16 Desember 2020
Abstract
Dissolved oxygen by definition is the total milligrams of oxygen gas dissolved in water which is influenced by atmospheric pressure, temperature, salinity, water turbulence, photosynthesis, respiration and waste. The Finite Volume Coastal Ocean Model (FVCOM) method is one of the ways to study water quality model. This study is aimed to determine the spatial distribution of DO concentration in Benoa Bay during the rainy season on the water surface and the deeper waters. This study was conducted in the waters of the Benoa Bay and rivers which empties into Benoa Bay on January 29 to February 25 2018, representing the rainy season. In carrying out the simulation, two steps are carried out, firstly numerical modeling was done to get ocean current patterns in Benoa Bay, and secondly making a numerical model where DO concentration values are added to get the results of DO distribution horizontally and vertically. The value of DO results ranged from 4.3 to 8.4 mg/l on the surface water of Benoa Bay. Based on tidal results of model during its highest tide, high tide to low tide, and lowest tide conditions, DO concentrations on the surface are higher than the deeper water. However, during low tide to high tide conditions, DO concentrations on the surface water is higher than the deeper water. Conclusions obtained from this research shows that DO concentrations in Benoa Bay waters have a minimum value of 2 mg/l and a maximum of 8.4 mg/l., where conditions of the tidal elevation affects DO concentrations, where it tends to go higher near the land and on sea surface.
Keywords: modeling; FVCOM; water quality; dissolved oxygen;
Abstrak
Oksigen terlarut merupakan jumlah miligram gas oksigen yang terlarut dalam air yang dipengaruhi oleh tekanan atmosfer, suhu, salinitas, turbulensi air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air. Metode Finite Volume Coastal Ocean Model (FVCOM) bisa digunakan untuk kajian tentang pemodelan kualitas perairan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi DO secara spasial di Perairan Teluk Benoa saat musim barat di bagian permukaan perairan dan di bagian kedalaman. Penelitian ini dilakukan di Perairan Teluk Benoa dan 5 Sungai yang bermuara di Teluk Benoa pada tanggal 29 Januari sampai 25 Februari 2018 untuk mewakili musim barat. Dalam menjalankan simulasi model dilakukan dua kali tahapan, yaitu melakukan pemodelan numerik untuk mendapatkan hasil pola arus di Teluk Benoa, yang kedua melakukan pemodelan numerik yang ditambahkan input konsentrasi kualitas perairan untuk mendapatkan pola sebaran DO secara horizontal dan vertikal. Nilai oksigen terlarut yang didapatkan dari hasil model yaitu berkisar antara 4,3 – 8,4 mg/l di permukaan Perairan Teluk Benoa. Berdasarkan hasil model pada kondisi pasang tertinggi, kondisi pasang menuju surut serta kondisi surut terendah konsentrasi oksigen terlarut di permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dasar perairan tetapi untuk kondisi surut menuju pasang kandungan konsentrasi oksigen terlarut di permukaan lebih tinggi. Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu konsentrasi DO di Perairan Teluk Benoa memiliki nilai minimum 2 mg/l dan maksimum 8,4 mg/l. Dimana pada setiap kondisi elevasi pasang surut konsentrasi oksigen terlarut cenderung lebih tinggi pada bagian yang berdekatan dengan daratan dan pada permukaan air laut.
Kata Kunci: pemodelan; FVCOM; kualitas perairan; oksigen terlarut;
Pemantauan kualitas perairan merupakan hal yang penting untuk dilakukan, khususnya di perairan pesisir karena umumnya daerah pesisir rentan terhadap pencemaran perairan (Hamuna dkk., 2018). Beberapa Penelitian mengenai kualitas air sudah pernah dilakukan salah satunya tentang pencemaran organik yang mengakibatkan masalah serius seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk yang bermukim (Said, 2011).
Menurut Mufakkir (2016), jika energi pasang surut dan aliran Sungai cukup kuat, maka di muara Sungai akan terjadi pola stratifikasi suhu dan salinitas serta pengadukan massa air, seperti banyak yang terjadi di daerah estuary. Akibat percampuran massa air laut dengan air tawar memberikan dampak terhadap beberapa komponen kimia dan fisika seperti oksigen terlarut (DO), suhu, pH, salinitas, Total Suspended Solids (TSS), dan kekeruhan. Parameter-parameter tersebut merupakan komponen yang mampu menggambarkan kondisi kualitas air. Oksigen terlarut didefinisikan sebagai jumlah miligram gas oksigen yang terlarut dalam air (Mufakkir, 2016). Keberadaan oksigen terlarut di estuari dipengaruhi oleh tekanan atmosfer, suhu, salinitas, turbulensi air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Paramitha dkk., 2014). Menurut Maharani dkk. (2014), suhu di perairan estuari dipengaruhi oleh penyerapan panas, curah hujan, aliran Sungai dan pola sirkulasi arus.
Dari penelitian sebelumnya oleh Setiawan dkk. (2017), yang mengatakan hasil analisis BOD di Sungai Badung yang merupakan salah satu sungai yg bermuara di Teluk Benoa memiliki nilai yang tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran organik yang mempengaruhi DO di Teluk Benoa. Penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian Saraswati dkk. (2017), di Perairan Pulau Serangan bagian utara yang juga merupakan kawasan Teluk Benoa memiliki nilai Oksigen terlarut masih di bawah nilai baku mutu air laut.
Teluk Benoa merupakan daerah estuari atau perairannya semi tertutup yang memiliki fase dua kali pasang dan dua kali surut dalam waktu 24 jam (semi diurnal tide) dengan komponen pasang surut S2, M2, K1, dan O1 (Maharta dkk., 2018). Luas Teluk Benoa yaitu sekitar 1.998,1 Ha (Sudiarta dkk., 2013). Teluk Benoa merupakan daerah tempat bermuaranya beberapa Sungai
yaitu Sungai Bualu, Sungai Sama, Sungai Mati, Sungai Badung, Sungai Buaji dan Sungai Loloan. Adanya Sungai tersebut akan berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian akan menghasilkan limbah yang memberi sumbangan pada penurunan kualitas air Sungai (Damaianto & Masqudi, 2014). Tingginya konsentrasi total padatan tersuspensi pada suatu perairan akan mengakibatkan berkurangnya oksigen dalam perairan akibat penurunan aktivitas fotosintesa dari tumbuhan laut baik yang mikro maupun makro (Bilotta and Brazier, 2008).
Pada dekade belakangan ini telah dikembangkan metode pemodelan numerik seperti metode Finite Volume Coastal Ocean Model (FVCOM) untuk melakukan kajian tentang kualitas perairan. Pemodelan numerik memiliki beberapa keunggulan, yaitu waktu yang singkat, biaya yang rendah dan cakupan wilayah observasi yang luas. Penelitian menggunakan FVCOM di teluk benoa sudah pernah dilakukan oleh Maharta dkk. (2018), dengan memprediksi laju sedimentasi di Perairan Teluk Benoa. Mengenai sebaran oksigen terlarut sudah pernah dilakukan oleh Simanjuntak (2012), akan tetapi penelitian tersebut hanya mencari pola sebaran yang terjadi di teluk dan belum pernah dilakukan simulasi mengenai oksigen terlarut yang ada di Perairan Teluk Benoa.
Dari permasalahan yang ada di Teluk Benoa penting halnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait oksigen terlarut di daerah tersebut, Sementara untuk penelitian yang dilakukan adalah mengatahui konsetrasi oksigen terlarut di bagian permukaan perairan dan di bagian kedalaman menggunakan model FVCOM 3-D yang disimulasikan secara spasial saat musim barat. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi DO secara spasial di Teluk Benoa saat musim barat di bagian permukaan perairan dan di bagian kedalaman.
Penelitian observasi dilakukan di Perairan Teluk Benoa dan Sungai yang bermuara di Teluk Benoa pada tanggal 29 Januari sampai 25 Februari 2018 untuk mewakili musim barat. Penelitian ini mengambil 6 titik untuk pengambilan sampel
pada Perairan Teluk Benoa dan 1 titik pengambilan sampel pada setiap Sungai yang bermuara di perairan Teluk Benoa. Lokasi pengambilan sampel dapat di lihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Penelitian
Untuk validasi model diambil pada 14 Februari 2018. Data sampel air yang diambil untuk validasi hanya DO di wilayah Perairan Teluk Benoa saat kondisi pasang menju surut. Lokasi pengambilan data untuk validasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta validasi penelitian
-
2.2 Metode Penelitian
-
2.2.1. Pengumpulan data
-
-
1. Data input model
Pada penelitian ini menggunakan data primer dan data skunder. Data primer yang dimaksud adalah data insitu atau data lapangan. Pengambilan data primer dilakukan pada tanggal 29 Januari 2018, dimana pengambilan data primer dan sampel air dilakukan di 11 titik yang telah ditentukan seperti yang digambarkan pada Gambar 1.
Data primer yang diambil dalam penelitian ini adalah DO yaitu data DO, BOD, fitoplankton (Chl-a), NH3, NO3, suhu, salinitas, dan debit Sungai dengan kondisi pengambilan data saat pasang menuju surut. Konsentrasi perairan untuk input simulasi yaitu menggunakan data rata-rata DO, BOD, fitoplankton (Chl-a), NH3, NO3 dari data observasi. Untuk data suhu serta salinitas di input dengan uniform. Untuk data debit Sungai di input secara berkala setiap minggu sekali.
Data skunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data batimetri yang diperoleh dari pengukuran observasi oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) untuk data batimetri yang berada di dalam teluk benoa dan Dishidros untuk data batimetri yang berada di luar teluk (laut lepas). Untuk data lama waktu penyinaran matahari didapatkan dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Input elevasi pasang surut didapatkan dari model pasang surut yang dikembangkan oleh Ocean Research Institute (ORI), Universitas Tokyo (ORI-Tide). Untuk data arah dan kecepatan angin hanya menggunakan pengukuran angin yang berada di darat, didapatkan dari data meteorogical oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada musim barat tahun 2001-2010.
-
2. Validasi data
Data validasi yang diambil yaitu data sampel air, arah dan kecepatan arus, serta elevasi pasang surut. Data sampel air di ambil di 15 titik seperti yang digambarkan pada gambar 2. Validasi arah dan kecepatan arus dilakukan dengan membandingkan data sekunder yang bersumber dari PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) dengan koordinat (115°13’12,50” BT dan 8°45’8,60”). Sementara untuk data validasi elevasi pasang surut diperoleh dari pengamatan observasi di perairan teluk benoa pada bulan Desember 2016.
-
2.2.2. Pengukuran debit Sungai
Pengkuran debit Sungai dilakukan selama 1 bulan dimana data debit yang diambil setiap 1 minggu sekali dari tanggal 29 Januari sampai dengan 25 Februari 2018. Menurut Norhadi dkk. (2015), pengukuran debit Sungai dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Q = F × V
(1)
dimana Q adalah Debit (m3/s); F adalah Luas Penampang (m2); dan V adalah Kecepatan Arus (m/s).
Untuk menghitung debit berdasarkan pembagian ruas tersebut kemudian digunakan persamaan (2).
untuk mendapatkan hasil pola arus di Teluk Benoa, yang kedua melakukan pemodelan numerik dengan menambahkan input konsentrasi kualitas perairan untuk mendapatkan hasil pola sebaran DO secara horizontal dan vertikal. Proses pengolahan data digambarkan dalam bagan alir seperti pada Gambar 4.
Q = v ((di-1 + di )∕2)(b.- b—1)
(2)

Gambar 3. Bagian penampang Sungai

Gambar 4. Bagan alir penelitian
-
2.2.3. Metode Interpolasi Inverse Distance Weight (IDW)
Inverse Distance Weight (IDW) digunakan untuk menginterpolasi data masukan simulasil yaitu, data kedalaman serta interpolasi output simulasi DO yang dilayout Bentuk paling sederhana dari interpolasi (IDW) dengan menggunakan metode Shepard (Shepard, 1968) yaitu:
w =
h' p
∑ n==0 h Ip
(3)
dimana p adalah bilangan positif sembarang disebut power parameter.
Menurut Pasaribu dan Haryani (2012), nilai power akan mempengaruhi hasil dari interpolasi tersebut, dimana jika nilai power lebih besar akan memberikan hasil interpolasi yang lebih baik sedangkan hj adalah jarak dari titik disperse ke titik interpolasi yang didapatkan dari persamaan 15.
hι = 4(x - x∙)1 + (y - yi)2 (4)
dimana (x; y) merupakan koordinat interpolasi; dan (xi; yi) merupakan koordinat sebaran semua titik.
-
2.2.4. Desain model
Dalam menjalankan simulasi dilakakukan dua kali tahapan yakni, melakukan pemodelan numerik
Dalam menjalankan simulasi dilakakukan dua kali tahapan yakni, melakukan pemodelan numerik untuk mendapatkan hasil pola arus di Teluk Benoa, yang kedua melakukan pemodelan numerik dengan menambahkan input konsentrasi kualitas perairan untuk mendapatkan hasil pola sebaran DO secara horizontal dan vertikal. Proses pengolahan data digambarkan dalam bagan alir seperti pada Gambar 4.
-
1. Model Hidrodinamika
Pemodelan numerik hidrodinamika untuk pola pergerakan dan arah arus di wilayah Perairan Teluk Benoa diasumsikan bahwa arus dibangkitkan oleh pasang surut. Dalam hal ini kecepatan arus perairan laut akan didapatkan dengan menggunakan Finite Volume Coastal Ocean Model (FVCOM). FVCOM terdiri dari mode eksternal dan intenal yang dihitung secara terpisah.
Pada pemodelan yang dilakukan menggunakan model hidrodinamika yang digabungkan dengan model kualitas perairan. Pada model hidrodinamika pada FVCOM menggunakan input kedalaman, elevasi pasang surut, suhu, salinitas dan angin sedangkan input dalam model DO pada FVCOM adalah DO, Fitoplankton (Chl-a), NH3, NO3, dan BOD (Chen et al., 2006). Grid yang digunakan dalam model secara horizontal adalah unstructural triangular grid dengan resolusi 200meter untuk bagian teluk, 500meter untuk daerah open boundary (batas terbuka) dan untuk grid vertikal menggunakan sigma koordinat dengan 9 lapisan dengan jarak antara grid uniform.
Desain untuk pemodelan numerik secara horizontal dan vertikal dapat dilihat Gambar 5 dan Gambar 6.
Gambar 5. Desain grid untuk model secara horizontal
Gambar 6. Desain grid untuk model secara vertikal
-
2. Model konsentrasi oksigen terlarut (DO)
Dalam pemodelan numerik untuk konsentrasi awal pada perairan Teluk Benoa yaitu konsentrasi BOD, NO3, Fitoplankton (Chl-a), NH3, DO di input sesuai data analisis konsentrasi sampel air yang diambil secara insitu. Untuk konsentrasi DO yang berasal dari 5 Sungai yaitu Sungai Sama, Sungai Loloan, Buaji, Badung dan Mati diasumsikan bahwa input model konsentrasi DO yaitu konsentrasi DO, BOD, fitoplankton (Chl-a), NH3 dan NO3.
Konsentrasi parameter untuk model DO menggunakan bebarapa input koefisien untuk memodelkan konsentrasi oksigen terlarut di Teluk Benoa. Koefisien yang digunakan dalam model bersumber dari beberapa daerah penelitian yang diasumsikan memiliki karakateristik daerah yang sama seperti Teluk Benoa. Adaupun koefisien
yang digunakan seperti yang dituliskan pada tabel 5.
Tabel 1
Koefisien model oksigen terlarut.
Koefisien |
Nilai |
Sumber |
km (Day-1) |
18 × 10-2 |
Zheng et al., 2004 |
kni (Day-1) |
9 × 10-2 |
Zheng et al., 2004 |
kr2 (Day-1) |
1 × 10-1 |
Zheng et al., 2004 |
κr3 (Day-1) |
2 × 10-1 |
Zheng et al., 2004 |
^NTR (mg O2 l-1) |
5 × 10-1 |
Zheng et al., 2004 |
θn1 (Unitless) |
1080× 10-3 |
Zheng et al., 2004 |
θr1 (Unitless) |
1080× 10-3 |
Zheng et al., 2004 |
anc (Unitless) |
25× 10-2 |
Zheng et al., 2004 |
SOD (g m-2 Day-1) |
2 × 10-1 |
Zheng et al., 2004 |
θsoo (Unitless) |
1080× 10-3 |
Zheng et al., 2004 |
D (m) |
5 × 10-1 |
Zheng et al., 2004 |
kb0d (mg O2 l-1) |
5 × 10-1 |
Zheng et al., 2004 |
kmN (μg N l-1) |
25 |
Zheng et al., 2004 |
kar (Day-1) |
25 × 10-1 |
Zheng et al., 2004 |
θqr (Unitless) |
1066 × 10-3 |
Zheng et al., 2004 |
-
2.3 Analisis data
-
2.3.1. Konsentrasi DO, BOD, Fitoplankton, NH3 dan NO3
-
Analisis DO dan BOD menggunakan Metode
Winkler (Bryan et al., 1966), untuk fitoplankton (Chl-a), NH3 dan NO3 menggunakan metode
spektofotometer yang dilakukan di Laboratorium Analitik, Universitas Udayana.
-
2.3.2. Spasial
Pada analisis data secara spasial akan dibagi menjadi 2 yaitu, analisis dibagian permukaan dan dibagian kolom perairan. Analisis dibagian permukaan akan dispasialkan untuk mengetahui bagaimana konsentrasi dari DO di Perairan Teluk Benoa dan bagaimana pola sebarannya kemudian membaginya sesuai dengan pembagian daerah. Sementara untuk analisis pada kolom perairan akan dilakukan analisis cross section.
-
2.3.3. Validasi data
-
1. Korelasi
Dalam memvalidasi data hasil model dan data validasi dilakukan dengan menghitung korelasi (r) yang dimana hal tersebut dilakukan untuk mengetahui hubungan antara data hasil model dan
data validasi. Formula untuk persamaan korelasi adalah sebagai berikut (Sugiyono, 2010),:
r=
v (∑ x )(∑ y)
∑ xy -n
(5)
(∑ x2 - -;:' )(∑ y2
(∑y )2) n
dimana r adalah Koefisien Korelasi; n adalah banyaknya sampel; x adalah Jumlah skor keseluruhan untuk item pertanyaan variabel x; dan y adalah jumlah skor keseluruhan untuk item pertanyaan variabel y.
-
2. Root Mean Square Error (RSME)
Data hasil model dan data validasi selain dianalisis menggunakan analisis korelasi juga dianalisis menggunakan Root Mean Square Error (RMSE). Hal tersebut dilakukan untuk dapat mengetahui nilai error dari hasil model dengan data validasi. Formula untuk persamaan RMSE adalah sebagai berikut (Soliwoda, 2014):
RMSE =
ΣI (X - X . , )2
I-i vz 1 insitu,i 1 mod el,i )
(6)
n
dimana Xinsitu adalah nilai hasil pengamatan dilapangan; Xmodel adalah nilai yang didapatkan dari hasil model; dan n adalah jumlah data.
Secara umum pola pergerakan arus di Permukaan Perairan Teluk Benoa ini memiliki kecepatan yang tinggi di daerah mulut teluk yang berdekatan dengan Tanjung Benoa.
Nilai kecepatan arus di Perairan Teluk Benoa pada saat pasang (Gambar 7A), relatif lebih rendah yaitu dengan kecepatan maksimum 0,42 m/s dibandingkan dengan pasang menuju surut (Gambar 7B), dengan nilai kecepatan maksimum 1,15 m/s dan surut menuju pasang (Gambar 7D) dengan nilai kecepatan maksimum 0,53 m/s. Pada kondisi surut terendah (Gambar 7C), nilai kecepatan arus maksimum yaitu 0,95 m/s, pergerakan arus pada kondisi ini cenderung dipengaruhi aliran Sungai karena tidak lagi dipengaruhi oleh air laut (Maharta dkk., 2018). Kecepatan arus pada saat pasang tertinggi dan surut terendah dominan kecil dan cenderung tidak bergerak, sedangkan pada kondisi pasang menuju
surut pergerakan arus di perairan teluk dominan menuju keluar teluk dan pada saat surut menuju pasang pergerakan arus yang di luar teluk dominan masuk ke dalam Teluk Benoa.
-
3.2 Validasi Elevasi Pasang surut dan pola arus
-
1. Validasi pasang surut
Grafik elevasi pasang surut menunjukan bahwa antara elevasi hasil model dengan elevasi data lapangan memiliki selisih yang cukup kecil ini terlihat dari pola keduanya yang hampir berimpit (Gambar 8). Selisih nilai elevasi hasil model dengan data observasi yang didapat cukup tinggi yaitu nilai dari perhitungan RMSE nya diperoleh hasil 0,2 m dan korelasinya sebesar 0,9.

Gambar 8. Grafik validasi elevasi pasang surut model dengan observasi
-
2. Validasi Pola Arus
Validasi arus dilakukan dengan membandingakan komponen kecepatan arus komponen timur-barat (U) dan komponen utara-selatan (V) antara hasil simulasi model dengan data observasi lapangan.
Gambar 9. Grafik validasi komponen arus U
Validasi dari komponen kecepatan arus U antara hasil model dengan data observasi memiliki pola yang serupa dan nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu 0,88 dan RMSE sebesar 0,25 m/s (Gambar 9). Sedangkan pada komponen kecepatan
arus V antara hasil model dengan data observasi memiliki pola yang serupa dan nilai korelasi yang cukup tinggi juga yaitu sebesar 0,88 dengan nilai RMSE 0,11 m/s (Gambar 10).
Gambar 10. Grafik validasi komponen arus V
Validasi pola pergerakan serta kecepatan arus antara hasil model dengan data observasi memiliki nilai korelasi kecepatan arus yaitu sebesar 0,5 dengan nilai RSME 0,25 m/s. Hasil grafik kecepatan arus ini terlihat tidak terlalu berhimpitan tetapi memiliki pola yang cukup sama (Gambar 11). Adanya error pada komponen kecepatan arus serta kecepatan arus dikarenakan pada model tidak mempertimbangkan adanya aktivitas seperti gelombang pecah dan aktivitas kapal serta model hanya menggunakan empat komponen pasang surut, hal tersebut sesuai menurut Tanto dkk. (2017), yang menyatakan kondisi arus dipengaruhi oleh gelombang, pasang surut air laut, serta aktivitas lalu lintas kapal.
Gambar 11. Grafik validasi kecepatan arus
-
3.3 Pola Sebaran Oksigen Terlarut di Teluk Benoa
-
1. Secara horizontal
Kondisi oksigen terlarut di Perairan Teluk Benoa hasil sebaran oksigen terlarut di bagi menjadi sebaran secara horizontal dan vertikal. Adapun rentang nilai oksigen terlarut yang didapatkan dari hasil model yaitu berkisar antara 4,3 – 8,4 mg/l terlihat pada (Gambar 12).
Pada kondisi pasang tertinggi (Gambar 12A) konsentrasi oksigen terlarut terlihat lebih besar di perairan yang berdekatan dengan daratan dengan nilai tertinggi 6,6 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut dominan lebih tinggi di daerah yang berdekatan dengan pantai dibandingkan dengan pada laut lepas (Patty, 2015). Pada perairan yang berdekatan dengan Sungai konsentrasi oksigen terlarut terlihat kecil dengan nilai paling rendah 2,1 mg/l, hal ini dikarenakan pada saat pengamatan observasi konsentrasi DO yang masuk dari Sungai ke teluk konsentrasinya kecil. Seperti halnya dari penelitian Damaianto & Masqudi (2014), Adanya Sungai yang bemuara ke laut akan berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran.
Pada kondisi pasang menuju surut (Gambar 12B), terlihat konsentrasi DO di teluk lebih tinggi dari pada saat kondisi pasang tertinggi. Hal ini disebabkan karena tinggnya pergerakan massa air sehingga terjadinya difusi oksigen dari udara. Seperti halnya yang dikatakan Sinaga dkk. (2016), difusi oksigen dari udara tergantung dari beberapa faktor, seperti suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut.
Pada saat kondisi surut terendah (Gambar 12C), terlihat konsentrasi DO di teluk paling tinggi di perairan yang berdekatan dengan daratan, dengan konsentrasi DO tertinggi 8,4 mg/l dan paling rendah 2,4 mg/l. Hasil penelitian oleh Suteja dan Dirgayusa (2018), juga mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut lebih tinggi di daerah muara sungai, hal ini diduga akibat tingginya inputan nutrien yang berasal dari daratan terutama melalui aliran sungai (Suteja dan Purwiyanto, 2018). Pada saat surut di Teluk Benoa ada daerah yang sudah tidak terendam oleh air laut sehingga terlihat menjadi daratan.

Gambar 12. Sebaran oksigen terlarut secara horizontal pada saat kondisi: (A) pasang tertinggi, (B) pasang menuju surut, (C) surut terendah, (D) surut menuju pasang
Pada saat kondisi surut menuju pasang (Gambar 12D), konsentrasi DO di teluk dominan memiliki nilai lebih tinggi di perairan yang berdekatan dengan daratan dengan konsentrasi tertinggi yaitu 6,5 mg/l. Seperti penelitian oksigen terlarut di Perairan Teluk Benoa sebelumnya oleh Saraswati dkk. (2017), Nilai oksigen terlarut cenderung memiliki nilai konsentrasi rendah pada saat pasang menuju surut dibandingkan pada saat surut menuju pasang.
Gambar 13. Grafik rata rata DO permukaan pada saat kondisi: (A) pasang tertinggi, (B) pasang menuju surut, (C) surut terendah, (D) surut menuju pasang
Konsentrasi DO terlihat kecil di perairan yang berdekatan dengan sungai loloan dan sungai buaji
dengan konsentrasi paling rendah 2,1 mg/l. hal ini diduga banyaknya zat yang mempengaruhi DO dari sungai tersebut. Adanya masukan air dari sungai ke perairan teluk mempengaruhi nilai oksigen terlarut yang berada di perairan teluk, hal ini dikarenakan keruhnya air dan banyaknya zat zat yang terbawa aliran sungai menuju ke Perairan Teluk Benoa (Maharta dkk., 2018). Dilihat dari penelitian sebelumnya oleh Maharta dkk. (2018), mengatakan bahwa laju sedimentasi tinggi terjadi di bagian kanal aliran sungai. Pada pengambilan data konsentrasi DO yang masuk ke teluk dari Sungai Sama yaitu sebesar 1.4 mg/l, Sungai Loloan sebesar 1.3 mg/l, Sungai Buaji sebesar 1.2 mg/l, Sungai Badung sebesar 1.4 mg/l, dan Sungai Mati sebesar 1.2 mg/l.
-
2. Secara vertikal
Kondisi oksigen terlarut di Perairan Teluk Benoa di analisis menggunakan cross section dengan menggelar transek sepanjang 4,5 km dan lebar transek 0,35 km.
Pada hasil model pada saat kondisi pasang tertinggi (Gambar 14A), terlihat konsentrasi DO rendah di bagian dasar perairan yang berdekatan dengan darat yaitu konsentrasi paling rendah 2,1 mg/l dan di dasar perairan yang berada di mulut teluk yaitu dengan konsentrasi paling rendah 2,6 mg/l. Pada kondisi pasang menuju surut (Gambar 14B) dan surut terendah (Gambar 14C), terlihat

Jarak (km)
Gambar 14. Sebaran oksigen terlarut secara vertikal pada saat kondisi: (A) pasang tertinggi, (B) pasang menuju surut, (C) surut terendah, (D) surut menuju pasang
konsentrasi DO lebih rendah di bagian dasar perairan, dengan konsentrasi minimum pada kondisi pasang menuju surut (Gambar 14B) yaitu 3,5 mg/l dan kondisi surut terendah (Gambar 14C) yaitu 2,9 mg/l. Pada kondisi surut menuju pasang (Gambar 14D) terlihat konsentrasi DO lebih rendah pada permukaan perairan dengan konsentrasi DO minimum 2,4 mg/l.
Berdasarkan hasil model pada kondisi pasang tertinggi (Gambar 14A), kondisi pasang menuju surut (Gambar 14B) serta kondisi surut terendah (Gambar 14C) konsentrasi oksigen terlarut di permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dasar perairan, hal ini dikarenakan adanya proses difusi oksigen dari atmosfer ke perairan di lapisan permukaan dan adanya klorofil-a sehingga adanya proses fotosintesis yang terjadi dalam mensuplai oksigen ke perairan, seperti halnya pada penelitian sebelumnya oleh Sinaga dkk. (2016), semakin bertambahnya kedalaman maka konsentrasi oksigen terlarut semakin kecil dikarenakan tidak adanya proses difusi oksigen dari atmosfer, makin sedikitnya proses fotosintesis dan oksigen terlarut lebih banyak digunakan.
Pada kondisi surut menuju pasang (Gambar 14D), terlihat konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah pada permukaan perairan yang berdekatandengan daratan dibandingkan dengan
daerah dasar perairan, Hal ini diduga adanya massa air naik dari dasar perairan naik ke permukaan sehingga DO di permukaan perairan lebih kecil dibandingkan dengan dasar perairan.
-
3.4 Validasi oksigen terlarut
Grafik hubungan antara oksigen terlarut hasil model dengan oksigen terlarut data lapangan memiliki nilai korelasi 0.85. hal ini terlihat dari pola keduanya yang hampir berimpit (Gambar 15). Selisih nilai elevasi hasil model dengan data lapangan relatif kecil dan sudah baik dimana nilai dari perhitungan RMSE nya mencapai 0.19 mg/l.
Gambar 15. Grafik Validasi Oksigen terlarut
Adanya selisih nilai ini didapatkan karena pada model tidak memperhitungkan adanya proses pengurangan oksigen terlarut di perairan seperti bakteri dekomposisi bahan organik seperti serasah mangrove (Sari dkk., 2016), sehingga hasil data observasi terlihat lebih kecil dari pada hasil dari hasil model.
Adapun kesimpulan yang dapat di peroleh adalah dari penelitian ini, konsentrasi DO di Perairan Teluk Benoa memiliki nilai minimum 2 mg/l dan maksimum 8,4 mg/l. Dimana pada setiap kondisi elevasi pasang surut konsentrasi oksigen terlarut cenderung lebih tinggi pada bagian yang berdekatan dengan daratan dan pada permukaan air laut.
-
4.2 Saran
Adapun saran dari penelitian ini perlu dilakukannya model kualitas air lainnya seperti biological oxygen demand, nutrien, hingga klorofil-a, hal ini dikarenakan kualitas air di perairan saling berhubungan. Sehingga dapat mengetahui bagaimana konsentrasi kualitas air di Perairan Teluk Benoa.
Ucapan terimakasih
Terima kasih kepada kepala laboratorium komputasi Bapak I Gede Hendrawan, tim laboratorium komputasi, dan seluruh pihak yang turut ikut membantu dalam pengambilan data, pengolahan data, dan segala aspek dalam penyelesaian jurnal ini.
Daftar Pustaka
Bilotta, G. S., & Brazier, R. E. (2008). Understanding the influence of suspended solids on water quality and aquatic biota. Water Research, 42(12) , 2849-2861.
Bryan, J. R., Rlley, J. P., & Williams, P. L. (1976). A Winkler procedure for making precise measurements of oxygen concentration for productivity and related studies. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 21(3), 191-197.
Chen, C. R. C., Beardsley, & Cowles, G. (2006). An unstructured grid, finite-volume coastal ocean model (FVCOM) system. Oceanography, 19(1), 78-89.
Damaianto, B. B., & Masduqi, A. A. (2014). Indeks
pencemaran air laut pantai utara Kabupaten Tuban dengan parameter logam. Jurnal Teknik ITS, 3(1), D1-D4.
Hamuna, B., Tanjung, R. H., Suwito, S., Maury, H. K., & Alianto, A. (2018). Kajian Kualitas Air Laut dan Indeks Pencemaran Berdasarkan Parameter Fisika-Kimia di Perairan Distrik Depapre, Jayapura. Jurnal Lingkungan Hidup, 16(1), 35-43.
Maharani, W. R., Setiyono, H., & Setyawan, W. B. (2014). Studi Distribusi Suhu, Salinitas dan Densitas Secara Vertikal dan Horizontal di Perairan Pesisir, Probolinggo, Jawa Timur. Journal of Oceanography, 3(2), 151-160.
Maharta, I. P. R. F., Hendrawan, I. G., & Suteja, Y. (2018). Prediksi Laju Sedimentasi di Perairan Teluk Benoa Menggunakan Pemodelan Numerik. Journal of Marine and Aquatic Science, 5(1), 44-54.
Mufakkir, A. D. (2016). Fluktuasi Oksigen Terlarut, Suhu, dan pH Air Selama 3x24 Jam, Periode Juli 2015-Januari 2016 di Cengkareng Drain, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Skripsi. Bogor, Indonesia: Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Norhadi, A., Marzuki, A., Wicaksono, L., & Yacob, R. A. (2015). Studi Debit Aliran Pada Sungai Antasan Kelurahan Sungai Andai Banjarmasin Utara. Poros Teknik, 7(1), 7-14.
Paramitha, A., Utomo, B., & Desrita. (2014). Studi
Klorofil-a di Kawasan Perairan Belawan Sumatera Utara. Jurnal Aquacoastmarine, 3(2), 106-119.
Pasaribu, J. M., & Haryani, N. S. (2012). Perbandingan teknik interpolasi DEM SRTM dengan metode inverse (IDW), natural neightbor dan spline (comparison of DEM SRTM interpolation techniques using inverse distance weighted (IDW), natural neighbor and spline method. Jurnal Penginderaan Jauh, 9(2), 126-139.
Patty, S. I. (2015). Karakteristik Fosfat, Nitrat dan Oksigen Terlarut di Perairan Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan laut tropis, 2(1), 1-7.
Said, N. I. (2011). Penghilangan Deterjen dan Senyawa Organik Dalam Air Baku Air Minum dengan Proses Biofilter Ungun Tetap Tercelup. Journal BPPT, 7(1), 97–108.
Saraswati, N. L. G. R. A., Arthana, I. W., & Hendrawan, I. G. (2017). Analisis Kualitas Perairan Pada Wilayah Perairan Pulau Serangan Bagian Utara Berdasarkan Baku Mutu Air Laut. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 3(2), 163-170.
Sari, M. A., Purnomo, P. W., & Haeruddin, H. (2016). Analisis Kebutuhan Oksigen Untuk Dekomposisi Bahan Organik Sedimen Di Kawasan Mangrove Desa
Bedono Demak. Management of Aquatic Resources Journal, 5(4), 285-292.
Setiawan, D., Dharma, I. G. B. S., & Budiarsa, S. I. (2017). Daya Tampung Beban Pencemar Sungai Badung di Desa Dauh Puri Kota Denpasar dengan Model QUAL2KW. ECOTROPHIC: Journal Of Environmental Science, 11(2), 116 – 124.
Shepard, D. (1968). A two-dimensional interpolation function for irregularly-spaced data. In Proceedings of the 1968 23rd ACM national conference. New York, USA, 27-29 August 1968 (pp. 517-524).
Simanjuntak, M. (2012). Kualitas Air Laut Ditinjau Dari Aspek Zat Hara, Oksigen Terlarut Dan Ph Di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah Sea Water Quality Observed From Nutrient Aspect, Dissolved Oxygen And Ph In The Banggai Waters, Central Sulawesi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(2), 290-303.
Sinaga, E. L. R., Muhtadi, A., & Bakti, D. (2016). Profil Suhu, Oksigen Terlarut, dan pH Secara Vertikal Selama 24 Jam di Danau Kelapa Gading Kabupaten Asahan Sumatera Utara. Omni-Akuatika, 12(2), 114– 124.
Soliwoda, J. (2014). Methods of Vessel Casualty Process Assessment. TransNav: International Journal on Marine
Navigation and Safety of Sea Transportation, 8(2), 211216.
Sudiarta, K., Hendrawan, I. G., Putra, K. S., &
Dewantama, I. M. I. (2013). Kajian Modeling Dampak Perubahan Fungsi Teluk Benoa untuk Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System) dalam Jejaring KKP Bali. Jakarta, Indonesia: Conservation International Indonesia (CII).
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (9th ed.). Bandung, indonesia: Alfabeta.
Suteja, Y., & Dirgayusa, I. G. N. P. (2018). Detection of Eutrophication In Benoa Bay-Bali. Omni-Akuatika, 14(3), 18-25.
Suteja, Y., & Purwiyanto, A. I. S. (2018). Nitrate and phosphate from rivers as mitigation of eutrophication in Benoa bay, Bali-Indonesia. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Denpasar, Indonesia, 3-5 Agustus 2017 (pp. 1755-1315).
Tanto, T. A., Wisha, U. J., Kusumah, G., Pranowo, W. S., Husrin, S., Ilham, I., & Putra, A. (2017). Karakteristik Arus Laut Perairan Teluk Benoa – Bali. Jurnal Ilmiah Geomatika, 23(1), 37-48.
Zheng, L., Chen, C., & Zhang, F. Y. (2004). Development of water quality model in the Satilla River Estuary Georgia. Ecological modelling, 178(3), 457-482.
© 2020 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 6: 270-280 (2020)
Discussion and feedback