Journal of Marine and Aquatic Sciences 7(1), 1-9 (2021)

Keanekaragaman Kepiting pada Dead Coral (Pocillopora sp. dan Acropora sp.) Berdasarkan Perbedaan Kedalaman Di Perairan Teluk Pemuteran, Buleleng, Bali

I Gede Budi Astrawan a*, Elok Faiqoh a, I Gusti Bagus Sila Dharma a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-878-630-567-26

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 19 Desember 2018; disetujui (accepted) 2 Februari 2021; tersedia secara online (available online) 3 Februari 2021

Abstract

The Indonesian archipelago is a region with high marine diversity, especially in the coral reef ecosystem. Coral reefs have ecological functions such as habitat and foraging. However, coral reefs facing various threats including land pollution, fishing effects, climate change, and coral reef depletion caused by ocean acidity. The condition of coral reefs in Pemuteran waters now is much different from a few years ago. Many organisms symbiosis in living and dead corals, especially crabs. Water depth can affect the abundance of crabs. This study was to determine the level of crab diversity on dead corals (Acropora sp. And Pocillopora sp.) Based on differences in depth. The water depth was divided into 5 and 20 meters. Each depth is taken by three Acropora sp. and three Pocillopora sp. The types of crabs that obtained consist of the family Cheiragonidae, Eriphiidae, Leucosiidae, Majidae, Pilumnidae, Pinnotheridae, Porcellanidae, Xanthidae, Portunidae, and Goneplaciade. Highest composition of crab species in Acropora sp. depth of 5 meters 60% (Xanthidae) and depth of 20 meters 37% (Portunidae and Pilumnidae). Highest composition of crab species in Pocillopora sp. A depth of 5 meters 34% (Xanthidae) and depth of 20 meters by 37% (Pilumnidae). The highest density of Acropora sp. is 37.03 ind/cm2 and Pocillopora sp. is 229.63 ind / cm2. The diversity index analysis of crabs at 2 depths category is moderate, which means that the balance in the ecosystem is unstable, where there are some of species with low and high tolerance levels if there is a change in pressure from the environment.

Keywords: dead coral; crab; diversity; Pemuteran

Abstrak

Kepulauan Indonesia adalah wilayah dengan keanekaragaman laut yang tinggi, terutama di ekosistem terumbu karang. Terumbu karang memiliki fungsi ekologis seperti habitat dan mencari makan. Namun, terumbu karang menghadapi berbagai ancaman termasuk polusi dari daratan, efek pemancingan, perubahan iklim, dan penipisan terumbu karang karena meningkatnya keasaman laut. Kondisi terumbu karang di perairan Pemuteran kini jauh berbeda dengan kondisi beberapa tahun lalu. Banyak organisme bersimbiosis pada karang hidup yang mati dan hidup, terutama kepiting. Kedalaman air dapat mempengaruhi kelimpahan kepiting. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman kepiting terhadap karang mati (Acropora sp. dan Pocillopora sp.) Berdasarkan perbedaan kedalaman. Kedalaman air dibagi menjadi dua, yaitu 5 meter dan 20 meter. Setiap kedalaman diambil tiga Acropora sp. dan tiga Pocillopora sp. Jenis kepiting yang diperoleh terdiri dari famili Cheiragonidae, Eriphiidae, Leucosiidae, Majidae, Pilumnidae, Pinnotheridae, Porcellanidae, Xanthidae, Portunidae, dan Goneplaciade. Komposisi tertinggi spesies kepiting di Acropora sp. 5 meter kedalaman 60% (Xanthidae) dan kedalaman 20 meter sebesar 37% (Portunidae dan Pilumnidae). Komposisi tertinggi spesies kepiting di Pocillopora sp. 5 meter kedalaman 34% (Xanthidae) dan kedalaman 20 meter sebesar 37% (Pilumnidae). Kepadatan jenis Acropora sp. tertinggi sebesar 37.03 ind/cm2 dan jenis Pocillopora sp. sebesar 229.63 ind/cm2. Analisis indeks keanekaragaman kepiting pada 2 kedalaman termasuk kategori sedang yang berarti keseimbangan dalam ekosistem tidak stabil, di mana ada spesies dengan tingkat toleransi rendah dan tinggi jika ada perubahan tekanan dari lingkungan.

Kata Kunci: karang mati; kepiting; keanekaragaman; Pemuteran

  • 1.    Pendahuluan

Kepulauan Indonesia merupakan daerah dengan keanekaragaman laut yang tinggi, terutama pada ekosistem terumbu karang (Myers et al., 2000). Kekayaan terumbu karang dan ikan membuat Indonesia disebut daerah segitiga karang (coral triangle) (Allen, 2008). Sepanjang garis pantai dari bagian timur hingga barat Indonesia memiliki panjang 5000 km dan luas area terumbu karang sebesar 12.639 km2 dengan 1.430 jenis biota laut endemik (Roberts et al., 2002).

Terumbu karang dibentuk dari endapan massif padat kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan oleh biota karang (polip) dan tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) serta biota lain yang juga menghasilkan kalsium karbonat (CaCo3) (Veron, 2002). Terumbu karang pula memiliki fungsi ekologis dan ekonomis bagi dunia. Fungsi ekologis dari terumbu karang antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar, serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut (Sembiring et al., 2012). Fungsi ekonomis terumbu karang antara lain sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi, dan sebagai daerah wisata dan rekreasi yang menarik (Luthfi et al., 2018). Meskipun demikian, terumbu karang menghadapi sejumlah ancaman serius, termasuk polusi dari daratan, dampak pemancingan, perubahan iklim, dan penipisan terumbu akibat dari peningkatan keasaman laut (Aulia et al., 2012). Sebanyak 35,15% terumbu karang di Indonesia masuk dalam kategori rusak atau jelek.

Perairan Teluk Pemuteran terletak di sebelah barat Kabupaten Buleleng, Bali. Kondisi terumbu karang di Perairan Teluk Pemuteran sekarang ini jauh berbeda dengan kondisi beberapa tahun yang lalu. Pada era tahun 1990, nelayan di daerah Pemuteran melakukan penangkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan, yakni menggunakan potasium dan bahan peledak, sehingga mengakibatkan terumbu karang menjadi rusak (Alif et al., 2017). Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan (Yuliani et al., 2016). Penggunaannya di sekitar terumbu karang menimbulkan rusaknya terumbu karang dan menyebabkan kematian biota lain. Faktor lain yang mempengaruhi kerusakan terumbu karang

adalah peningkatan suhu permukaan air laut dari kondisi normal (Setiawan et al., 2017). Rata-rata persentase pemutihan karang di Bali sekitar 10%, dengan tingkat kematian kurang dari 5% (Simarangkir et al., 2015). Persentase tutupan terumbu karang hidup di Bali sebesar ±50,3%, sedangkan sisanya masih dalam keadaan rusak atau mati.

Karang mati adalah koloni karang yang polip atau hewan karangnya sudah mati (Ardiansyah et al., 2013). Dilihat secara visual, karang mati tidak memiliki fungsi tetapi diduga menjadi habitat yang penting bagi kelimpahan, dan produktivitas dari biota avertebrata laut, salah satunya kepiting (Tawakkal et al., 2017). Celah-celah pada karang merupakan tempat yang sesuai bagi kepiting untuk berlindung dari predator dan mencari makanan seperti algae. Peranan kepiting terhadap ekosistem terumbu karang antara lain membantu daur hidup karbon dalam konversi nutrien dan mineralisasi, dan penyedia makanan alami bagi biota laut seperti ikan (Hamidah et al., 2014). Salah satu faktor yang mempengaruhi hidup dari kepiting adalah kedalaman perairan. Rosenquist (2017), mengatakan meningkatnya kedalaman air maka semakin banyak jumlah spesies yang ditemukan.

Terumbu karang memiliki beberapa bentuk pertumbuhan, Pocillopora sp. Memiliki bentuk pertumbuhan submassive dan Acropora sp. memiliki bentuk pertumbuhan bercabang (branching). Pocillopora sp. memiliki ciri-ciri koloni dapat mencapai ukuran besar dengan percabangan yang agak tegak ke atas, besar pada pangkal dan agak melebar di bagian atas dengan rcabang (Veron, 2002). Acropora sp. memiliki ciri ciri cabang tegak tebal yang tidak beraturan, biasanya berwarna pucat hingga coklat tua (Veron, 2002).

Di Indonesia penelitian dan informasi terkait kepiting pada karang mati masih sangat minim, tercatat ada satu publikasi terkait keanekaragaman Decapoda pada karang mati di Pemuteran yaitu Pertiwi dkk. (2014), pada Pocillopora sp. di pemuteran. Akan tetapi, penelitian terkait keanekaragaman kepiting pada karang mati pada kedalaman kedalaman yang berbeda 5 dan 20 meter belum pernah dilakukan. Pemilihan kedalaman tersebut terkait faktor antropogenik yang mempengaruhi dan kesukaan kedalaman untuk kehidupan kepiting. Hasil dari penelitian ini dapat merepresentasikan biodiversitas laut.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel lapangan dilakukan di perairan Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali sesuai dengan Gambar 1, dan untuk pengolahan sampel dilakukan di laboratorium Biodiversitas Indonesia yang terletak di Jalan Tukad Balian, Denpasar. Waktu pengambilan dilakukan pada 31 Maret – 1 April 2018.

Gambar 1. Lokasi penelitian

  • 2.2    Metode pengambilan data

Koloni karang yang diambil adalah dari jenis Acropora sp. dan Pocillopora sp. Koloni jenis Acropora sp. berdasarkan Suharsono (2008), adalah koloni dengan bentuk pertumbuhan branching yang mempunyai axial koralit dan radial koralit. Bentuk radial koralit juga bervariasi dari bentuk tubular nariform. Memiliki koralit kecil, tanpa kolumella, septa sederhana dan tidak mempunyai struktur tertentu dan koralit dibentuk secara ekstratentakuler. Koloni jenis Pocillopora berdasarkan Suharsono (2008), merupakan merupakan koloni bercabang dengan bentuk pertumbuhan submassive. Memiliki koralit hampir tenggelam, septa bersatu dengan kolumela. Percabangan relatif besar dengan permukaan berbintil-bintil dan diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil. Koloni karang Acropora sp. dan Pocillopora sp. yang sudah mati akan sulit dibedakan secara morfologi, karena itu untuk mendapatkan sampel dari dua jenis karang yang sudah mati ini dengan cara mematahkan salah satu cabang dari masing-masing koloni. Koloni

karang Pocillopora sp. memiliki struktur yang lebih rapuh dibandingkan Acropora sp., sehingga karang pocillopora lebih mudah dipatahkan.

Koloni karang yang diambil adalah dari jenis Acropora sp. dan Pocillopora sp. Koloni jenis Acropora sp. berdasarkan Suharsono (2008), adalah koloni dengan bentuk pertumbuhan branching yang mempunyai axial koralit dan radial koralit. Bentuk radial koralit juga bervariasi dari bentuk tubular nariform. Memiliki koralit kecil, tanpa kolumella, septa sederhana dan tidak mempunyai struktur tertentu dan koralit dibentuk secara ekstratentakuler. Koloni jenis Pocillopora berdasarkan Suharsono (2008), merupakan merupakan koloni bercabang dengan bentuk pertumbuhan submassive. Memiliki koralit hampir tenggelam, septa bersatu dengan kolumela. Percabangan relatif besar dengan permukaan berbintil-bintil dan diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil. Koloni karang Acropora sp. dan Pocillopora sp. yang sudah mati akan sulit dibedakan secara morfologi, karena itu untuk mendapatkan sampel dari dua jenis karang yang sudah mati ini dengan cara mematahkan salah satu cabang dari masing-masing koloni. Koloni karang Pocillopora sp. memiliki struktur yang lebih rapuh dibandingkan Acropora sp., sehingga karang pocillopora lebih mudah dipatahkan.

Karang mati yang diambil memiliki panjang 30 cm dan lebar 30 cm (Head et al., 2015), pada dua stasiun di perairan pemuteran. Disetiap stasiun, diambil masing-masing 3 koloni dari karang jenis Pocillopora sp. dan Acropora sp. yang mati dari kedalaman 5 meter dan 20 meter. Koloni karang dapat dikatakan mati apabila tidak ada polip, terdapat alga dan kerak, dan terdapat pengikisan (Head et al., 2015).

Saat pengambilan karang mati, koloni dipahat dengan menggunakan palu dan pahatan secara perlahan untuk meminimalisir gangguan pada lingkungan disekitarnya. Kemudian koloni karang dimasukkan kedalam plastik polietilen untuk menampung koloni dan menjaga fauna bergerak (motile) keluar dari koloni. Segala koloni yang patah dan atau hancur pada saat pengambilan dimasukkan juga pada plastik. Setelah terlepas dari substratnya, koloni yang sudah berada di dalam plastik kemudian di bawa ke laboratorium (Head et al., 2015).

Koloni yang sudah diambil, diukur volumenya dengan menggunakan metode celup (water spill).

Koloni dimasukkan kedalam ember yang penuh terisi air, kemudian terdapat air yang tumpah. Air tumpahan tersebut yang diukur volumenya dengan menggunakan gelas ukur yang dianggap sebagai volume dari setiap koloni karang mati. Kemudian koloni dikeluarkan dari ember dan dihancurkan dengan menggunakan palu dan pahat hingga sekecil mungkin agar sampel mudah untuk dipilah.

Semua sampel dipilah terlebih dahulu, kemudian direndam pada wadah yang berisi air laut (Stella et al., 2010). Setiap sampel diberikan label dan kemudian dilakukan relaksasi dengan cara dimasukkan ke lemari pendingin selama ± 30 menit. Fungsi dari relaksasi ini adalah memudahkan dalam melakukan proses identifikasi dan dokumentasi. Kemudian untuk dokumentasi, sampel diletakkan pada petri dish yang beralaskan kain beludru hitam dan dilakukan dokumentasi tegak lurus dengan sampel menggunakan kamera. Selanjutnya, sampel diidentifikasi sampai tingkatan takson family berdasarkan karakteristik morfologi dengan menggunakan buku identifikasi kepiting Crabs oleh Ng (1998). Sampel yang ukurannya kecil diamati dengan menggunakan mikroskop agar memudahkan dalam melihat karakteristik morfologinya.

  • 2.3    Analisis data

    • 2.2.1.    Komposisi jenis

Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi jenis kepiting dihitung dengan menggunakan rumus English et al. (1997).

ni

Ki =—× 100% N

(1)


dimana Ki adalah komposisi jenis (%); ni adalah jumlah individu jenis; dan N adalah jumlah total individu.

  • 2.2.2.    Indeks Keanekaragaman

Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks ini adalah persamaan Shanon-Wiener (English et al., 1997).

s

H ' = - (pi)ln(pi)                             (2)

i=1

dimana H’ adalah Indeks Keanekaragaman; s adalah jumlah spesies; pi adalah proporsi jumlah individu jenis dengan jumlah individu total (ni/N); ni adalah jumlah individu jenis; dan N adalah jumlah individu total.

  • 2.2.3.    Kepadatan Jenis

Kekayaan dan kepadatan jenis satu jenis karang mati dari setiap kedalaman dihitung dengan menggunakan rumus dari English et al. (1997), sebagai berikut :

ni

Xi = A                                        (3)

dimana Xi adalah kepadatan jenis; Ni adalah jumlah individu; dan A adalah luasan area.

  • 3.    Hasil

    • 3.1    Kondisi umum perairan

Berdasarkan pengamatan secara visual pada daerah penelitian, pada titik 1. terdapat banyak aktivitas dari faktor antropogenik (hotel dan resort, masyarakat lokal dan asing), wisata diving dan snorkling, serta kapal. Pengamatan pada titik 2 hanya terdapat aktivitas diving saja. Titik 1 hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai, sedangkan untuk titik 2 berjarak ± 1 km dari bibir pantai yang membutuhkan waktu 10-15 menit untuk kesana. Aktivitas yang terdapat pada kedua titik tentunya dapat menentukan pola hidup dan habitat dari setiap jenis kepiting yang hidup pada karang mati.

  • 3.2    Komposisi jenis

    • 3.2.1.    Acropora sp.

Hasil komposisi jenis pada karang mati jenis Acropora sp. pada kedalaman 5 meter dan 20 meter dapat dilihat pada Gambar 2. Pada gambar tersebut terlihat persentase kepiting yang ditemukan pada karang mati jenis Acropora sp. di kedalaman 5 meter terdiri dari lima family yaitu Xanthidae,       Pinnotheridae,       Eriphiidae,

Cheiragonidae, dan Pilumnidae, sedangkan kedalaman 20 meter terdiri dari family Portunidae, Pilumnidae, Porcellanidae, dan Xanthidae.

Gambar 2. Komposisi jenis karang mati Acropora sp. pada kedalaman 5 meter (a) dan 20 meter (b).


Jumlah kepiting yang dikumpulkan dari tiga karang mati pada setiap kedalaman yaitu sebanyak 10 individu (5 meter) dan 8 individu (20 meter). Persentase family terbesar pada kedalaman 5 meter adalah Xanthidae sebesar 60% (6 individu) dan pada kedalaman 20 meter adalah Portunidae dan Pilumnidae sebesar masing-masing 37% (3 individu). Family Eriphidae, Pinnotheridae dan Cheiragonidae tidak ditemukan pada kedalaman 20 meter, sedangkan Family Porcellanidae dan Portunidae tidak ditemukan pada kedalaman 5 meter.

  • 3.2.2.    Pocillopora sp.

Hasil komposisi jenis pada karang mati jenis Pocillopora sp. pada kedalaman 5 meter dan 20 meter dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut terlihat persentase kepiting yang ditemukan pada karang mati jenis Pocillopora sp. kedalaman 5 meter yaitu family Xanthidae,

Porcellanidae, Eriphiidae, Majidae, Leucosiidae, Pilumnidae, dan Goneplacidae, sedangkan kedalaman 20 meter terdiri dari family Pilumnidae, Xanthidae, Porcellanidae, Goneplacidae, dan Eriphiidae.

Jumlah kepiting yang ditemukan di karang mati jenis Pocillopora sp. pada kedalaman 5 meter sebanyak 45 individu, sedangkan kedalaman 20 meter sebanyak 62 individu. Persentase family terbesar pada kedalaman 5 meter yaitu dari family Xanthidae sebesar 34% (15 individu), dan pada kedalaman 20 meter yaitu Pilumnidae sebesar 37% (23 individu). Family Majidae dan Leucosiidae tidak ditemukan pada karang mati kedalaman 20 meter.

  • 3.3    Kepadatan jenis

Hasil kepadatan jenis dari karang mati Acropora sp. dan Pocillopora sp. di kedua kedalaman terdapat pada Gambar 4.


(a)

  •    XANTHIDAE

  •    PORCELLANIDAE

  •    ERIPHIIDAE

  •    MAJIDAE

  •    LEUCOSIIDAE

  •    PILUM NI DAE

  •    GON EPLACIDAE



(b)

  •    PILUM NI DAE

  •    XANTHIDAE

  •    PORCE LLANIDAE

  •    GON EPLACIDAE

  •    ERIPHI IDAE


Gambar 3. Komposisi jenis karang mati Pocillopora sp. pada kedalaman 5 meter dan 20 meter.


Gambar 4. Kepadatan jenis Acropora sp. dan Pocillopora sp. pada kedalaman 5 meter dan 20 meter.

Kepadatan jenis dari kepiting yang hidup pada terumbu karang mati, dinyatakan dalam satuan individu per luas permukaan (individu/cm2). Berdasarkan diagram batang diatas didapatkan kepadatan jenis dari Acropora sp. pada kedalaman 5 meter yaitu sebesar 37.03 ind/cm2, lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman 20 meter yaitu sebesar 29.62 ind/cm2. Kepadatan jenis dari Pocillopora sp. kedalaman 5 meter sebesar 166.67 ind/cm2, lebih rendah dibandingkan kedalaman 20 meter yaitu sebesar 229.63 ind/cm2.

  • 3.4    Indeks keanekaragaman

Indeks keanekaragaman dapat menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis dalam suatu ekosistem. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman karang mati Acropora sp. dan Pocillopora sp. pada kedalaman 5 meter dan 20 meter dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai indeks keanekaragaman karang mati Acropora sp. yaitu 1,228 pada kedalaman 5 meter dan sebesar 1,255 pada kedalaman 20 meter. Nilai indeks keanekaragaman karang mati Pocillopora sp. yaitu sebesar 1,498 pada kedalaman 5 meter dan sebesar 1,262 pada kedalaman 20 meter.

Jenis koloni dan kedalaman

Gambar 5. Indeks keanekaragaman karang mati Acropora sp. dan Pocillopora sp. pada kedalaman 5 meter dan 20 meter.

  • 4.    Pembahasan

    • 4.1    Komposisi jenis

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling kaya species penghuninya, namun ekosistem ini juga paling rentan mengalami kerusakan dan kematian. Persentase karang mati di Indonesia sebesar 35,15% yang dapat disebabkan banyak hal. Keberadaan karang mati yang tidak diperhitungkan dalam penyumbang keanekaragaman dilaut, khususnya untuk kepiting, ternyata didapatkan hal yang berbeda pada penelitian ini. Pada dua species karang mati yang di teliti, pada ukuran karang mati 30 x 30 cm2 didapatkan 18 species dari Acropora sp. dan 107 species dari Pocillopora sp.

Family Xanthidae dan Pilumnidae ditemukan pada Acropora sp. dan Pocillopora sp. dikedua kedalaman. Family Xanthidae dapat hidup berasosiasi pada semua terumbu karang (Putriningtias et al., 2019). Xanthidae merupakan family yang memiliki jenis yang paling banyak dari kepiting. Jenis kepiting family Pilumnidae memiliki habitat di daerah pasang surut dengan substrat dasar pecahan batu karang yang telah mati dan kepiting ini dapat hidup mencapai kedalaman 75 meter (Spivak and Rodriguez, 2002).

Gambar 6. Family Porcellanidae (a); dan Eriphiidae (b)

Porcellanidae, Eriphiidae, dan Goneplacidae juga ditemukan pada dua kedalaman namun hanya pada karang jenis Pocillopora sp. seperti pada Gambar 6. Karang mati jenis Acropora sp. memiliki jarak antar cabang yang berjauhan, sehingga Dekapoda, Brachyura khususnya, yang hidup disana memiliki ukuran yang besar dibandingkan dengan karang jenis lain. Werding et al. (2003), mengatakan bahwa kepiting Eriphiidae kebanyakan hidup pada kedalaman lebih dari 7 meter karena pada kedalaman kurang

Gambar 7. Family Xanthidae (a); Majidae (b); dan Pilumnidae (c)


dari 7 meter dianggap memiliki aspek ekologi yang rendah dan penyebarannya yang sempit. Family Eriphiidae hidup pada substrat berlumpur dan berbatu (Trivedi et al., 2013).

Keberadaan Xanthidae, Majidae, Pilumnidae dan Porcellanidae pada karang Pocillopora sp. ini sama dengan hasil yang didapatkan oleh Pertiwi et al. (2018), di Pemuteran Bali dan Malik (2017), di Pulau Bunaken, Sulawesi Utara bahwa family Xanthidae, Majidae, Pilumnidae, dan Porcellanidae ditemukan pada karang mati Pocillopora sp. Family Majidae hanya ditemukan pada kedalaman 5 meter pada Gambar 7. Kepiting family Majidae dapat hidup pada substrat berpasir dengan pecahan karang dan batu berpasir (Naderloo et al., 2013), seperti substrat dasar yang terdapat pada kedalaman 5 meter.

Family Eriphiidae, Pinnotheridae, dan Cheiragonidae ditemukan pada karang Acropora sp. kedalaman 5 meter namun tidak ditemukan pada kedalaman 20 meter seperti pada Gambar 8. Menurut Trivedi et al. (2012), Family Cheiragonidae dapat hidup pada substrat pasir berlumpur dan berpasir dan family Pinnotheridae hidup pada daerah pesisir.

Gambar 8. Family Pinnotheridae (a); dan Cheiragonidae (b)

Family Portunidae pada karang mati jenis Acropora sp. tidak ditemukan pada kedalaman 5 meter namun ditemukan pada kedalaman 20 meter. Hal tersebut diduga, dari hasil pengamatan di lapangan, substrat pada kedalaman 5 meter adalah batu berpasir, dan substrat pada kedalaman 20 meter adalah berpasir seperti pada Gambar 9. Oleh karena itu, family Portunidae tidak ditemukan disana. Menurut Pratiwi (2012), kepiting Portunidae sering dijumpai pada substrat dasar pasir kasar atau halus dan pasir berlamun.

Gambar 9. Family Portunidae

  • 4.2    Keanekaragaman

Kepadatan jumlah individu pada kedalaman 5 untuk jenis Acropora sp. tidak jauh berbeda dengan kedalaman 20 meter, sedangkan pada jenis Pocillopora sp. nilai kepadatannya cukup jauh berbeda. Hal tersebut berarti jenis kepiting yang terdapat pada koloni Pocillopora sp. lebih padat dibandingkan koloni Acropora sp. Rosenquist (2017), mengatakan bahwa semakin dalam perairan maka semakin banyak individu yang

ditemukan. Hal ini berarti banyak jenis kepiting yang mampu beradaptasi pada tekanan tinggi dari kedua kedalaman. Malik (2017), menemukan kepadatan kepiting pada Pocillopora sp. kedalaman 5 meter di Taman Nasional Bunaken sebesar 0.0114 ind/cm3. Pertiwi et al. (2018), menemukan kepadatan kepiting pada Pocillopora sp. kedalaman 8-12 meter sebesar 7.04 ind/cm3.

Keanekaragaman suatu individu dapat menggambarkan jenis atau komunitas tersebut terhadap perubahan yang terjadi dari lingkungannya, pendekatan yang digunakan adalah nilai indeks keanekaragaman (Malik, 2017). Nilai tolak ukur indeks keanekaragaman dibagi menjadi tiga yaitu, H’<1,0 berarti keanekaragaman rendah, 1,0<H’<3,222 berarti keanekaragaman sedang, dan H’>3,222 berarti keanekaragaman tinggi. Nilai indeks keanekaragaman kepiting pada kedua jenis karang mati (Acropora sp. dan Pocillopora sp.) di dua kedalaman termasuk dalam kategori sedang dimana nilainya diantara 1-3.322. Hal tersebut berarti keseimbangan di ekosistem tersebut tidak stabil, dimana ada jenis yang tingkat toleransinya rendah dan tinggi jika adanya perubahan tekanan dari lingkungan.

Nilai kepadatan yang besar tidak menggambarkan keanekaragaman yang tinggi karena kepadatan jenis menghitung jumlah dari spesies secara keseluruhan, sedangkan indeks keanekaragaman menghitung banyaknya jenis dari spesies yang ditemukan. Berdasarkan hasil yang didapatkan jumlah kepiting bervariasi berdasarkan kedalaman karena jumlah kepiting tidak bertambah besar seiring bertambah kedalaman.

  • 5.    Simpulan

Kepiting yang didapatkan terdiri dari family Cheiragonidae, Eriphiidae, Leucosiidae, Majidae, Pilumnidae, Pinnotheridae, Porcellanidae, Xanthidae, Portunidae, dan Goneplaciade. Indeks keanekaragaman kepiting pada karang Acropora sp. dan Pocillopora sp. termasuk dalam kategori sedang dan tingkat keanekaragamannya tidak ada perbedaan.

Ucapan terimakasih (bila ada)

Terimakasih saya ucapkan kepada Biodiversitas Indonesia (BIONESIA) karena sudah memfasilitasi penelitian ini.

Daftar Pustaka

Alif, S. A., Karang, I. W. G. A., & Suteja, Y. (2017). Analisis Hubungan Kondisi Perairan dengan Terumbu Karang di Desa Pemuteran Buleleng Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 3(2), 142-153.

Allen, G. R. (2008). Conservation hotspots of biodiversity and endemism for Indo‐Pacific coral reef fishes. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems, 18(5), 541-556.

Ardiansyah, E. F., Hartoni, & Litasari, L. (2013). Kondisi Tutupan Terumbu Karang Keras dan Karang Lunak di Pulau Pramuka Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Maspari Journal, 5(2), 111-118.

Aulia, K. N., Kasmara, H., Erawan, T. S., & Natsir, S. M. (2012). Kondisi Perairan Terumbu Karang dengan Foraminifera    Bentik    Sebagai    Bioindikator

Berdasarkan Foram Index di Kepulauan Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(2), 335-345.

English, S., Wilkinson, C., & Baker, V. (1997). Survey Manual for Tropical Marine Resources.  (2nd  ed.).

Townsville, Australia: Australian Institute of Marine Science.

Hamidah, A., Fratiwi, M.,  & Siburian, J. (2014).

Kepadatan kepiting biola (Uca spp.) jantan dan betina di Desa Tungkal I Tanjung Jabung Barat. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains, 16(2), 43-50.

Head, C. E. I., Bonsall, M. B., Koldewey, H., Pratchett, M. S., Speight, M., & Rogers,. A. D. (2015). High

prevalence of obligate coral-dwelling decapods on dead corals in the Chagos Archipelago, central Indian Ocean. Coral Reefs, 34(3), 905-915.

Luthfi, O. M., Rahmadita, V. L., & Setyohadi, D. (2018). Melihat kondisi kesetimbangan ekologi terumbu karang di pulau sempu, malang menggunakan pendekatan luasan koloni karang keras (Scleractinia). Jurnal Ilmu Lingkungan, 16(1), 1-8.

Malik, M. D. A. (2017). Hubungan Antara Jumlah Dekapoda dengan Volume Karang Mati Pocillopora sp. di Pulau Bunaken, Kota Manado, Sulawesi Utara. Skripsi. Semarang, Indonesia: Program Studi Ilmu Kelautan, Program Sarjana Universitas Diponegoro.

Myers, N., Mittermeier, R. A., Mittermeier, C. G., & Kent J.  (2000).  Biodiversity hotspots for conservation

priorities. Nature, 403, 853-858.

Naderloo, R., Turkay, M., & Sari, A. (2013). Intertidal habitats and decapod (Crustacea) diversity of Qeshm Island, a biodiversity hotspot within the Persian Gulf. Marine biodiversity, 43(4), 445-462.

Pertiwi, N. P. D., Kurniasih, E. M., Rintiantoto, S. A., Dharmawan, I. G. W. D., Mustari, T. R., Basuki, F., & Cahyani, N. K. D. (2014). Revealing Hidden Diversity in Menjangan Besar Island, Karimunjawa: Reef-

Associated Decapods as a Proxy of Biodiversity Estimation    (Mengungkap    Keanekaragaman

Tersembunyi di Pulau Menjangan Besar, Karimunjawa: Estimasi Biodiversitas Menggunakan Dekapoda). Indonesian Journal of Marine Sciences, 19(4), 195-201.

Pertiwi, N. P. D., Malik, M. D. A., Kholilah, N., Kurniasih, E. M., Sembiring, A., Anggoro, A. W., Ambariyanto, & Meyer,  C.  (2018).  Community

Structure of Decapod Inhabit Dead Coral Pocillopora sp. in Pemuteran, Bali. In Proceedings of IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Yogyakarta, Indonesia, 2-4 Oktober 2017 (p. 012055).

Pratiwi, R. (2012). Jenis dan Pola Sebaran Fauna

Krustasea di Padang Lamun Pulau Tikus, Kepulauan Seribu. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38(1), 43-55.

Putriningtias, A., Faisal, T. M., Komariyah, S., Bahri, S., & Akbar, H. (2019). Keanekaragaman Jenis Kepiting di Ekosistem Hutan Mangrove Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh. Jurnal Biologi Tropis, 19(1), 101-107.

Roberts, C. M., McClean, C. J., Veron, J. E. N., Hawkins, J. P., Allen, G. R., McAllister, D. E., Mittermeier, C. G., Schueler, F. W., Spalding, M., Wells, F., Vynne, C., & Werner, T. B. (2002). Marine biodiversity hotspots and conservation priorities for tropical reefs. Science, 295(5558), 1280-1284.

Rosenquist, J. (2017). The effect of environmental and

disturbance factors on the presence of different crab species in Pranburi Forest Park, Thailand. Degree Project. Stockholm, Swedia: Faculty of Agricultural Sciences, Uppsala University.

Sembiring, I., Wantasen, A. S., & Ngangi, E. L. (2012). Manfaat Langsung Terumbu Karang di Desa Tumbak Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, 8(2), 58-63.

Setiawan, F., Muttaqin, A., Tarigan, S. A., Muhidin, M., Hotmariyah, M., Sabi, A., & Pingkan, J. (2017).

Pemutihan Karang Akibat Pemanasan Global Tahun

2016 Terhadap Ekosistem Terumbu Karang: Studi Kasus Di TWP Gili Matra (Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan) Provinsi NTB. Journal of Fisheries and Marine Research, 1(2), 39-54.

Simarangkir, O. R., Yulianda, F., & Boer, M. (2015). Pemulihan komunitas karang keras pasca pemutihan karang di Amed Bali. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20(2), 158-163.

Spivak, D.  E., & Rodriguez, A. (2002). Pilumnus

reticulatus Stimpson, 1860 (Decapoda: Brachyura: Pilumnidae) a reappraisal of larval characters from laboratory reared material. Scientia Marina, 66(1), 5-19.

Stella, J. S., Jones, G. P., & Pratchett, M. S. (2010).

Variation in the structure of epifaunal invertebrate assemblages among coral hosts. Coral Reefs, 29(4), 957–973.

Tawakkal, M., Devira, C. N., Ulfah, M., Sembiring, A., Kurniasih, E. M., Ambariyanto, & Meyer, C. (2017). Komposisi Organisme Kriptik Brachyura (Krustasea) Pada Karang Mati Pocillopora di Perairan Sabang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Perikanan Unsyiah, 2(4), 547-555.

Trivedi, J. N., Gadhavi, M. K., & Vachhrajani, K. D. (2012). Diversity and habitat preference of brachyuran crabs in Gulf of Kutch, Gujarat, India. Arthropods, 1(1), 13-23.

Veron, J. E. N. (2002). New species described in Corals of the World. (11st ed.). Townsville, Australia: Australian

Institute of Marine Science.

Werding, B., Hiller, A.,  & Lemaitre, R. (2003).

Geographic and Depth Distributional Patterns of Western Atlantic Porcellanidae    (Crustacea:

Decapoda: Anomura), with an updated list of species. Memoirs of Museum Victoria, 60(1), 79-85.

Yuliani, W., Ali, M. S., & Saputri, M. (2016). Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang oleh Masyarakat di Kawasan Lhokseudu   Kecamatan Leupung

Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Biologi, 1(1), 1-9.

© 2021 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 7: 1-9 (2021)