ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.12,DESEMBER, 2020



Diterima:03-12-2020 Revisi:14-12-2020 Accepted: 23-12-2020

MEMPERKIRAKAN INTERVAL WAKTU KEMATIAN DENGAN ANALISIS KEKERUHAN KORNEA BERDASARKAN MODEL WARNA RGB PADA JENAZAH DI RSUP SANGLAH

Putu Ayu Dyah Paramitha Laksmi Utami1, Henky2, Kunthi Yulianti2

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2SMF Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Denpasar Koresponding : Putu Ayu Dyah Paramitha Laksmi Utami

Email: [email protected]

ABSTRAK

Interval waktu kematian merupakan hal yang penting dalam ilmu kedokteran forensik. Walaupun sebelumnya telah ada metode untuk memperkirakan waktu kematian, namun teknik ini lebih bersifat subjektif. Salah satu perubahan setelah kematian pada tubuh jenazah adalah mengeruhnya kornea. Sebelumnya kekeruhan kornea telah digunakan untuk memperkirakan interval waktu kematian namun metode yang digunakan masih bersifat subjektif dengan kemungkinan human error yang tinggi. Sehingga, dalam penelitian ini dilakukan pengukuran kekeruhan kornea dengan lebih objektif untuk mengetahui hubungan antara kekeruhan kornea dengan interval waktu kematian. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. Data berasal dari sumber data primer berupa foto mata jenazah dan data sekunder dari surat keterangan kematian pada jenazah yang meninggal Bulan Juli-Oktober 2018 yang dilakukan di Bagian Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah. Teknik pengumpulan sampel dengan metode consecutive sampling sejumlah 35 jenazah. Dilakukan analisis nilai RGB untuk mengetahui tingkat kekeruhan kornea mata jenazah. Kemudian diuji korelasi untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara waktu kematian jenazah dengan kekeruhan kornea. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang lemah dan tidak bermakna secara statistik antara kekeruhan kornea (didefinisikan dengan nilai RGB) dengan interval waktu kematian sehingga dalam memperkirakan interval waktu kematian tidak bisa digunakan metode ini, dimana khususnya pada kematian kurang dari 7 jam.

Kata Kunci: interval waktu kematian, kekeruhan kornea, RGB.

ABSTRACT

Postmortem interval is an important aspect in forensic medicine. Although there are some methods to estimate postmortem interval, but the methods are subjective. One of the postmortem changes in human body is corneal opacity. Previously, corneal opacity is used to estimate the postmortem interval but this method was subjective and has a great risk of human error. Therefore, the purpose of this study is to determine the relationship between corneal opacity and postmortem interval by using more objective measurement. This is an analytical study with cross-sectional design, the primary data was collected from the photograph of corpses’ eye and the secondary data from death certificate from corpses who died in July-October 2018 that conducted in Forensic Medicine Instalation, Sanglah General Hospital. Thirty five samples were collected by using consecutive sampling method. RGB value analysis was performed to determine the level of corneal opacity. Then, correlation study was conducted to find out the correlation between postmortem interval and corneal opacity. In this study a weak relationship was found and there is no significant correlation between corneal opacity (defined using RGB value) and postmortem interval so this method can not be used to determined postmortem interval for death less than seven hours.

Keywords:postmortem interval, corneal opacity, RGB.

PENDAHULUAN

Waktu kematian merupakan hal penting untuk diketahui. Terutama kasus yang melibatkan pembunuhan, mengetahui waktu kematian sangat membantu dalam proses penyidikan. Maka dari itu penting untuk memberikan suatu perkiraan terhadap waktu kematian yang tepat. Namun dalam beberapa keadaan, waktu kematian tidak dapat ditentukan secara pasti.

Oleh karena sulitnya untuk menentukan waktu kematian dengan pasti, maka yang dapat dilakukan adalah memperkirakan interval waktu kematian. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk memperkirakan interval waktu kematian dimana semuanya berdasarkan atas penilaian secara terhadap perubahan pada tubuh jenazah dari waktu ke waktu. Beberapa perubahan dalam tubuh jenazah yang sering dikombinasikan untuk memperkirakan interval waktu kematian adalah livor mortis, rigor mortis, algor mortis, dekomposisi dan berbagai perubahan lainnya.1 Namun, metode ini cenderung bersifat subjektif karena berdasarkan penilaian pemeriksa, sehingga bisa timbul perbedaan hasil pemeriksaan antar pemeriksa yang berbeda. Oleh karena itu, banyak ahli forensik yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai metode untuk memperkirakan interval waktu kematian dengan lebih objektif tanpa mengurangi reliabilitasnya.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah ditemukan berbagai metode untuk memperkirakan interval waktu kematian salah satunya adalah perubahan pada mata. Namun beberapa metode tersebut bersifat invasif dengan mengambil sampel pada mata sampai pengangkatan organ mata sehingga dapat memengaruhi penampilan fisik dari jenazah.

Memperkirakan interval waktu kematian dengan melihat hubungannya dengan kekeruhan kornea telah menarik perhatian peneliti sejak tahun 1965.2 Kemudian oleh Liu dkk4 dan Zhou dkk3 dilakukan penelitian pada kelinci dengan menggunakan metode analisis gambar.2,3,4 Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa terdapat korelasi diantara keduanya. Kemudian Wataru Kawashima dkk2 melakukan penelitian yang serupa namun dengan objek kornea manusia dimana terdapat korelasi positif antara waktu kematian dengan kekeruhan kornea. Semakin lama seorang individu mengalami kematian maka kekeruhan kornea akan meningkat. Kemudian, Ismail Canturk melakukan penelitian yang serupa dimana mendukung hasil dari penelitian yang telah ada sebelumnya bahwa kekeruhan akan meningkat bersamaan dengan meningkatkan waktu kematian.5

Mengingat pentingnya memperkirakan waktu kematian dalam suatu penyidikan kasus-kasus yang melibatkan pembunuhan serta dalam kasus otopsi lainnya maka topik ini sangat baik untuk diteliti dengan lebih mendalam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan analitik observasional dengan pendekatan kuantitatif yang dirancang secara cross-sectional (potong-lintang). Dilaksanakan di Instalasi Kedokteran Forensik, RSUP Sanglah pada Bulan Juli hingga Oktober 2018. Subjek penelitian yang dipilih merupakan masyarakat Provinsi Bali yang menjadi pasien dan meninggal di RSUP Sanglah. Secara rinci dipilih sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu informed consent terhadap keluarga/wali almarhum, meninggal di RSUP Sanglah dengan waktu kematian yang diketahui secara pasti, meninggal dalam kurun waktu ≤ 24 jam, jenazah dititipkan di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, dan belum dilakukan proses pengawetan baik pada pendingin maupun pembalseman (embalming). Selain itu, dihindari jenazah yang mengalami gangguan/kelainan pada mata, meninggal dalam media air/akibat tenggelam serta mengalami kondisi yang dapat memengaruhi kekeruhan kornea seperti terkena luka bakar, dekomposisi berat, serta trauma pada regio craniocervical.

Penelitian ini telah telah dinyatakan laik etik dari komisi etik penelitian dengan nomor 2018.01.1.0332.

Sampel ditentukan dengan teknik consecutive sampling. Penghitungan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus besar sampel untuk koefisien korelasi dengan sampel tunggal. Diperlukan minimal 11 sampel jenazah sebagai sampel penelitian ini.

Beberapa instrumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain kamera, kartu memori, komputer dan alat pelindung diri (APD). Data primer yang dikumpulkan berupa foto mata jenazah berformat RAW. Data sekunder berupa umur jenazah pada saat penelitian dan waktu kematian jenazah yang tercantum dalam surat keterangan kematian jenazah. Masing-masing foto mata akan dihitung nilai RGB-nya pada lima titik kornea yang berbeda menggunakan perangkat lunak pengolah gambar. Kemudian semua data, baik primer maupun sekunder, dianalisis secara bivariat menggunakan uji korelasi dan multivariat dengan menggunakan ANCOVA.

Uji korelasi dilakukan untuk menilai hubungan antara interval waktu kematian dengan kekeruhan kornea pada jenazah.

Sedangkan, ANCOVA dilakukan untuk menilai apakah terdapat pengaruh yang bermakna antara perbedaan lokasi pengambilan foto sampel terhadap nilai RGB setelah menghilangkan pengaruh waktu setelah kematian. Dalam uji ini variabel independen merupakan waktu setelah kematian dan pengambilan foto mata jenazah sedangkan variabel dependen adalah nilai R, nilai G dan nilai B.

HASIL

Proses pengumpulan sampel penelitian dilakukan dari Bulan Juli hingga Oktober 2018, selama periode tersebut diperoleh 35 sampel yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Semua sampel merupakan Warga Negara Indonesia, meninggal dalam posisi supinasi dengan keadaan palpebra yang tertutup.

Dari keseluruhan sampel, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (68,6%). Kategori umur dengan proporsi terbanyak yaitu 51-60 tahun (34,30%). Hampir keseluruhan sampel berada pada kelompok dengan interval waktu kematian kurang dari enam jam (97,10%). Pengambilan foto mata jenazah terbanyak pada ruang pemandian jenazah (45,70%). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Karakteristik Umum Sampel Penelitian

Karakteristik

Rerata ± SB

Median

Minimal

Maksimal

Umur

54,54 ±

14,21

55,00

24,00

84,00

Waktu Setelah Kematian

2,52 ±

1,19

2,46

0,45

7,00

Nilai R

45,46 ±

9,39

43,30

34,60

78,30

Nilai G

48,83 ±

10,44

46,70

36,20

85,70

Nilai B

50,51 ± 9,72

48,60

33,80

77,00

Tabel 2. Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik

N

%

Kategori Umur

≤30 tahun

3

8,60

31-40 tahun

3

8,60

41-50 tahun

5

14,30

51-60 tahun

12

34,30

61-70 tahun

8

22,90

71-80 tahun

3

8,60

>80 tahun

1

2,90

Jenis Kelamin

Laki-laki

24

68,60

Perempuan

11

31,40

Kategori Waktu Setelah Kematian

<6 jam

34

97,10

6-12 jam

1

2,90

Lokasi Pengambilan Foto

Ruang Otopsi

8

22,90

Ruang Pemandian

16

45,70

Ruang Jenazah

4

11,40

Lorong

6

17,10

Exit

1

2,90

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data

Karakteristik

Shapiro-Wilk

Umur

0,615

R

0,001

G

0,002

B

0,444

Waktu Setelah Kematian

0,016

Suatu data dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05. Sehingga dalam penelitian ini hanya umur dan nilai B saja yang berdistribusi normal (tabel 3).

Berdasarkan tabel 4 didapatkan informasi bahwa antara nilai R (red) yang dikorelasikan dengan waktu setelah kematian didapatkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,206 dengan nilai p 0,235. Walaupun nilai r menunjukkan hubungan yang lemah, namun nilai p > 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara nilai R dengan waktu setelah kematian.

Tabel 4. Hasil Uji Korelasi Variabel Penelitian

Variabel Penelitian

Waktu Setelah Kematian

R

p

R

0,206

0,235

G

0,191

0,273

B

0,233

0,179

Antara nilai G (green) yang dikorelasikan dengan waktu setelah kematian didapatkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,191 dengan nilai p 0,273. Nilai r menunjukkan hubungan yang sangat lemah, namun dengan nilai p > 0,05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara nilai G dengan waktu setelah kematian.

Antara nilai B (blue) yang dikorelasikan dengan waktu setelah kematian didapatkan bahwa nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,233 dengan nilai p 0,179. Walaupun nilai r menunjukkan adanya hubungan yang lemah, namun nilai p > 0,05 menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara nilai B dengan waktu setelah kematian.

Selanjutnya, dilakukan uji ANCOVA untuk melihat pengaruh dari perbedaan lokasi pengambilan foto dengan nilai RGB.

Tabel 5. Hasil Uji ANCOVA dengan RGB sebagai Variabel Dependen

Source

Sig.

R

G

B

Lokasi Pengambilan Foto

0,198

0,297

0,472

Berdasarkan tabel 5, didapatkan hasil bahwa untuk nilai R setelah menghilangkan pengaruh waktu setelah kematian, pada tingkat kepercayaan 95%, tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan lokasi pengambilan foto jenazah terhadap nilai Red.

Untuk nilai G, setelah menghilangkan pengaruh waktu setelah kematian, pada tingkat kepercayaan 95%, tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan lokasi pengambilan foto mata jenazah terhadap nilai Green.

Untuk nilai B, setelah menghilangkan pengaruh waktu setelah kematian, pada tingkat kepercayaan 95%, tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari perbedaan lokasi pengambilan foto jenazah terhadap nilai Blue.

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, sebaran atau distribusi sebagian besar data tidak normal. Hal ini dapat terjadi oleh karena jumlah sampel yang sedikit (35 sampel) walaupun telah melebihi jumlah minimal sampel.

Terdapat hubungan yang lemah dan tidak signifikan antara kekeruhan kornea (diwakili oleh nilai RGB), hal ini berbeda dengan hasil pada beberapa penelitian relevan yang sudah ada sebelumnya (tabel 6).

Tabel 6. Hasil Penelitian Terdahulu

Tahun     Peneliti


1965    Aoki dkk6


Hasil


proporsi/persentase jumlah jenazah yang mengalami kekeruhan kornea meningkat seiring dengan meningkatnya waktu setelah kematian.

2008    Fang Liu      kornea menjadi semakin keruh

dkk4         dengan bertambahnya waktu

setelah kematian pada tikus.

2015

Kawashima

W. dkk2

hubungan positif yang signifikan antara kekeruhan kornea dalam hal ini adalah RGB dengan interval waktu kematian.

2017

Ismail Canturk dkk5

kekeruhan kornea bergantung pada interval waktu setelah kematian dimana terdapat hubungan yang positif diantara keduanya sehingga kekeruhan


meningkat apabila interval waktu kematian meningkat.

Perbedaan hasil ini diduga terjadi oleh karena sampel yang dapat dikatakan kurang baik dimana keseluruhan sampel berada pada interval waktu setelah kematian ≤ 7 jam.

Namun apabila dilihat dengan lebih seksama beberapa penelitian yang telah disebutkan diatas (tabel 6) ternyata mendukung hasil dari penelitian ini secara tidak langsung (tabel 7).

Tiga puluh lima sampel pada penelitian ini dikumpulkan dari Bulan Juli hingga Oktober 2018. Terbatasnya jumlah sampel yang dapat dikumpulkan adalah terkait dengan sulitnya meminta persetujuan dari pihak keluarga yang berduka. Selain itu, kurang bervariasinya waktu kematian jenazah yang didapatkan dalam penelitian ini karena terkait dengan prosedur pembalseman jenazah (embalming) di RSUP Sanglah Denpasar dimana setelah jenazah masuk ke Instalasi Kedokteran Forensik maka harus segera diawetkan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Tabel 7. Hasil Penelitian Pendukung

Tahun

Peneliti

Hasil

1965

Aoki dkk6

8-12 jam setelah meninggal kornea masih transparan, antara 12 dan 18 jam hanya 15% saja yang menunjukkan tanda-tanda kekeruhan.

2008

F. Liu dkk4

kekeruhan kornea mulai muncul setelah kematian lebih dari 12 jam, pada mata kelinci.

2012

Binay Kumar dkk7

secara umum pada empat musim dan kelembaban yang berbeda, rata-rata kornea masih transparan pada 0-12 jam setelah kematian.

2015

Kawashima

W. dkk2

metode ini lebih cocok digunakan untuk kematian dengan interval waktu kematian 10-30 jam untuk mendapatkan perkiraan waktu kematian yang lebih akurat, sedangkan untuk interval waktu kematian yang lebih pendek ataupun lebih lama dari waktu tersebut dengan metode ini dinilai tingkat keakuratannya rendah.


Hingga saat ini belum ada waktu yang spesifik yang dapat dikatakan sebagai waktu ideal untuk melakukan embalming. Aturan yang selama ini

digunakan adalah semakin segera dilakukan embalming maka semakin baik hasil yang didapatkan dan semakin sedikit komplikasi yang muncul. Dua faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi dari cairan pada arteri adalah rigor mortis dan dekomposisi, hasil terbaik akan didapatkan jika embalming dilakukan sebelum proses tersebut terjadi.8

Sebelum munculnya rigor mortis (pre-rigor) penyerapan jaringan terhadap bahan pengawet dinilai sangat baik dan menghasilkan hasil embalming yang baik. Pada saat ini otot relaksasi dan protein melekat baik dengan bahan pengawet juga sudah ada tautan silang dari protein. Selain itu pH jaringan akan lebih alkali, pada keadaan ini bahan pengawet bekerja paling baik. Itulah mengapa fiksasi jaringan bekerja paling baik pada saat ini.8

Saat memasuki fase rigor mortis, kekakuan otot dan berkurangnya lumen pembuluh darah akan menghalangi distribusi dari bahan pengawet. Pada saat ini akan dilakukan sedikit pemaksaan untuk mengurangi kekakuan otot, namun ini memiliki efek samping merusak kapiler pembuluh darah sehingga jaringan otot akan bengkak dengan cepat pada saat injeksi namun drainase yang terjadi sangat minimal (bergantung derajat dari rigor mortisnya). Pada fase ini juga inti protein pada otot saling berikatan untuk mempertahankan rigor mortis sehingga akan kurang reaktif terhadap bahan pengawet. Berkontraksinya otot akan menyebabkan cairan pengawet tidak bisa menembus jaringan otot dengan baik. Selain itu pH yang asam juga memperlambat absorbsi dari bahan pengawet.8

Sedangkan apabila dilakukan embalming setelah rigor mortis menghilang (secondary flaccidity) maka akan dibutuhkan lebih banyak bahan pengawet dan hasil yang baik akan sulit untuk didapatkan, ini terjadi oleh karena protein sudah mengalami disorganisasi (rusak) dan banyak inti protein yang tersedia untuk menjadi tempat perlekatan dari bahan pengawet. Selain itu peningkatan kebutuhan dari bahan pengawet terjadi karena perubahan pH yang menjadi alkali dan peningkatan dari sisa atau limbah nitrogen.8

Pada saat terjadi kematian klinis, tidak langsung terjadi kematian seluler. Kematian seluler mungkin saja tidak bisa terjadi sempurna dalam kurun waktu 12 jam setelah kematian somatik atau fungsional.8

Oleh karena itu, embalming sangat baik dilakukan sebelum kaku mayat (rigor mortis) timbul dengan sempurna8 atau paling tidak sebelum delapan jam setelah kematian.

Dalam pengambilan foto sebaiknya memang dilakukan pada satu tempat yang sama untuk menghindari bias akibat pencahayaan dan mungkin saja dapat menimbulkan perbedaan dalam nilai RGB

yang terekam. Namun setelah penelitian ini berlangsung terdapat kendala dalam mengontrol lokasi pengambilan foto mata jenazah. Kendala ini muncul karena terkait oleh ijin dari pihak keluarga almarhum. Oleh karena tidak bisa dikontrol dengan desain studi, maka dalam penelitian ini untuk lokasi pengambilan foto dilakukan kontrol dengan analisis (control by analysis). Uji yang digunakan adalah ANCOVA untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan lokasi pengambilan foto terhadap nilai RGB setelah mengontrol variabel waktu setelah kematian (interval waktu kematian). Dimana didapatkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara statistik dari perbedaan lokasi pengambilan foto mata dengan nilai R, G, B setelah mengontrol pengaruh waktu setelah kematian (interval waktu kematian).

Kornea merupakan sekelompok sel dan protein yang sangat tertata. Kornea bersifat avaskuler dan transparan untuk merefraksikan cahaya dengan baik.3

Saat terjadi kematian, kornea akan menyerap aqueous humor, menebal, dan kemudian berubah menjadi agak kabur. Kornea yang agak kabur ini menjadi sembap, pucat, menebal dan menjadi konkaf oleh karena perubahan hidrasi dan akibat penyusutan dan akhirnya endodermis akan melekat pada lensa kristalin. Kekeruhan kornea dipercaya sebagai akibat sekunder dari perubahan hidrasi dan peningkatan kandungan air dalam stroma dimana merupakan penyebab utama dari pembengkakan kornea.3 Selain itu kekeruhan kornea juga disebabkan oleh hancurnya susunan jaringan serat kolagen, perubahan fungsional dari jaringan endotel, disregulasi hidrasi proteoglikan dan konsentrasi ion di dalam stroma.3

Susunan serat-serat kolagen pada stroma, keseragaman jarak antar serat kolagen dan diameter serat kolagen yang sama memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan kejernihan kornea. Ketiga hal tersebut dipertahankan oleh proteoglikan yang merupakan penyusun terbesar dari serat kolagen. Pada keadaan sembab yang berat, maka rantai samping dari glikosaminoglikan, kemudian juga proteoglikan lain seperti lumikan dan dekorin akan menghilang. Hilangnya proteoglikan ini akan menyebabkan agregasi dari kolagen sehingga terjadi perubahan struktur geometris. Hal ini akan berdampak pada penghamburan cahaya dan akhirnya tampak sebagai kekeruhan kornea yang sifatnya ireversibel.9

Suhu lingkungan juga sangat perlu diperhatikan sebab dalam beberapa penelitian didapatkan bahwa suhu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap degradasi protein dan kelangsungan hidup sel endotelial. Kekeruhan kornea terjadi oleh karena penguapan dari cairan dan degenerasi sel-sel endotelial dan bisa meningkat oleh karena temperatur/suhu lingkungan yang tinggi.2

Berdasarkan penelitian dari Aoki dkk pada tahun 1965 ternyata didapatkan perbedaan kecepatan peningkatan kekeruhan kornea pada kematian oleh karena cedera kepala dengan yang tanpa cedera kepala dan juga pada pasien dengan penyakit paru. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa terdapat perbedaan kecepatan peningkatan kekeruhan kornea setelah kematian antara musim panas dengan musim dingin.6

Pada beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya, belum dijelaskan apakah ada hubungan langsung antara kekeruhan kornea dengan status hidrasi jenazah. Namun hidrasi dari kornea sendiri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya kekeruhan kornea setelah kematian.2,3,10,9 Mengingat bahwa kornea merupakan organ yang avaskuler11,12 maka pengaruh dari status hidrasi jenazah terhadap kornea sampai saat ini bisa diabaikan.

Berdasarkan studi yang sudah ada sebelumnya, di Indonesia sendiri belum pernah dilakukan penelitian yang serupa. Sehingga diperlukan penelitian lanjutan karena metode ini dapat menjadi metode yang objektif dan noninvasif yang sangat mudah untuk dilakukan. Diperlukan penelitian dengan sampel yang lebih besar dan pengontrolan terhadap variabel-variabel yang mungkin dapat merancukan hubungan dari kedua variabel yang diteliti misalnya adanya penyakit paru serta suhu lingkungan yang ternyata memiliki hubungan dengan kecepatan munculnya kekeruhan pada kornea. Namun untuk dapat mengumpulkan sampel yang dikehendaki sangat sulit mengingat proses pengawetan jenazah yang harus segera untuk dilakukan khususnya di Indonesia.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Denpasar mengenai perkiraan interval waktu kematian dengan analisis kekeruhan kornea berdasarkan model warna RGB didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang lemah dan tidak bermakna secara statistik antara kekeruhan kornea yang didefinisikan dengan warna RGB dengan interval waktu kematian jenazah (terutama terhadap jenazah dengan waktu kematian ≤ 7 jam). Terdapat hubungan yang lemah dan tidak bermakna secara statistik antara nilai R (red) dengan interval waktu kematian (waktu setelah kematian). Terdapat hubungan yang sangat lemah dan tidak bermakna secara statistik antara nilai G (green) dengan interval waktu kematian (waktu setelah kematian). Terdapat hubungan yang lemah dan tidak bermakna secara statistik antara nilai B (blue) dengan interval waktu kematian (waktu setelah kematian).

Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna/signifikan secara statistik antara nilai RGB dengan interval waktu kematian, sehingga tidak dapat dicari kuat hubungan antara kekeruhan kornea (diwakili nilai RGB) dengan interval waktu kematian dengan uji regresi. Dengan demikian rumus perkiraan waktu kematian tidak bisa dihasilkan dalam penelitian ini.

SARAN

Beberapa saran yang dapat diberikan terkait penelitian ini yaitu, dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kekeruhan kornea dengan interval waktu kematian pada jenazah di RSUP Sanglah, ini mungkin terjadi oleh karena jumlah sampel yang terbatas dan kurang bervariasinya interval waktu kematian dari jenazah. Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai metode ini di Indonesia dengan menambah besar sampel penelitian dengan interval waktu kematian yang bervariasi hingga 24-48 jam mengingat metode ini lebih objektif dan non-invasif dibandingkan metode lainnya.

Variabel perancu yang tidak diteliti dalam penelitian ini seperti suhu lingkungan dan adanya penyakit paru perlu dikendalikan dan diteliti dalam penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Payne-James JJ, Jones R, Karch SB, Manlove J. Simpson’s Forensic Medicine. Jakarta, 2011 doi:10.1017/CBO9781107415324.004.

  • 2.    Kawashima W, Hatake K, Kudo R, Nakanishi M, Tamaki S, Kasuda S dkk. Estimating the Time after Death on the Basis of Corneal Opacity. Forensic Res 2015; 6: 1–5.

  • 3.    Zhou L, Liu Y, Liu L, Zhuo L, Liang M, Yang F, dkk. Image analysis on corneal opacity: A novel method to estimate postmortem interval in rabbits. J Huazhong Univ Sci Technol - Med Sci 2010; 30: 235–239.

  • 4.    Liu F, Zhu SH, Fu YX, Fan F, Wang TJ, Lu SF. Image Analysis of the Relationship between Changes of Cornea and Postmortem Interval. In: Ho T-B (ed). Pricai 2008: Trends in Artificial Intelligence. Springer: Hanoi, Vietnam, 2008. h. 998–1003.

  • 5.    Cantürk İ, Çelik S, Feyzi Şahin M, Yağmur F, Kara S, Karabiber F. Investigation of opacity development in the human eye for estimation

of the postmortem interval. Biocybern Biomed Eng 2017; 37: 559–565.

  • 6.    Jaafara S, Nokes LDM. Forensic Science International Examination of the eye as a means to determine the early postmortem period : A review of the literature. Elsevier Sci Publ Irel 1994; 64: 185–189.

  • 7.    Kumar B, Kumari V, Mahto T, Sharma A, Kumar A. Original Research Paper Determination of Time Elapsed Since Death from the Status of Transparency of Cornea in Ranchi in Different Weathers Introduction: Materials and Methods:   Corresponding

Author: Observation: J Indian Acad Forensic Med 2012; 34: 971–973.

  • 8.    Robert G. Mayor. Embalming: History, Theory, and  Practice.   Fourth Edition.

McGraw-Hill Companies: United States of America, 2006.

  • 9.    Ubels JLP. Effect of Hydration on Opacity in The Bovine Corneal Opacity and Permeability (BCOP) Assay. Cutan Ocul Toxicol 1998; 17: 197–220.

  • 10.    Ubels JL, Pruis RM, Sybesma JT, Casterton PL. Corneal opacity, hydration and endothelial morphology in the bovine cornea opacity and permeability assay using reduced treatment times. Toxicol Vitr 2000; 14: 379–386.

  • 11.    Newell F. Ophthalmology Principles and Concepts. Eighth Edition. Maple-Vail Book Manufacturing Group, USA, 1996.

  • 12.    Velayutham V. Basic Sciences in Opthalmology. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.: New Delhi, 2009. h.17

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i12.P08

47