Journal of Marine and Aquatic Sciences 6(1), 1-12 (2020)

Struktur Komunitas Makroalga di Perairan Jemeluk dan Penuktukan, Bali

Ni Wayan Ayu Astini Sari a*, I Dewa Nyoman Nurweda Putra a, Widiastuti a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-819-996-20638

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 12 Februari 2018; disetujui (accepted) 20 Agustus 2020; tersedia secara online (available online) 25 Agustus 2020

Abstract

This research was conducted at Jemeluk and Penuktukan water which have good marine resources with different environmental conditions. Jemeluk beach has reef flat zone and Penuktukan beach has reef slope zone. The aim of this research is to determin the comunity structure of macroalgae in Jemeluk and Penuktukan beach. The data of macroalgae comunity structure collected, use quadratic transect method with a size of 1x1 m placed following the line transect on the coral reefs with macroalgae along 25 meter. Identification of macroalgae using identification books from the Food and Agriculture Organization of the United Nation, The Living Marine Resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods (FAO, 1998). The results showed that the percentages of macroalgae coverage in Jemeluk beach are found 6 genus of macroalgae with the highest percentage of coverage, density, and dominance of Halimeda (green algae). Simpson's dominance index in the Jemeluk waters is in a low dominance index and diversity is in the medium Shannon-Wiener diversity index. Furthermore Penuktukan beach found 5 genus of macroalgae with highest percentage of cover, density, and dominance by Gracilaria (red algae). Simpson's dominant index in this wates is in the low category and the macroalgae diversity from all stations was in the category of the medium Shannon-Wiener diversity index too.

Keywords: macroalgae;reef flat;reef slope; Jemeluk water; Penuktukan water

Abstrak

Penelitian ini telah dilaksanakan di perairan Jemeluk dan perairan Penuktukan yang memiliki potensi bahari yang baik pada masing-masing perairandengan kondsi lingkungan yang berbeda dari masing-masing lokasi dimana perairanJemeluk dengan zona rataan terumbu dan perairanPenuktukan dengan zona lereng terumbu. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui struktur komunitas makroalga di perairan Jemeluk (rataan terumbu) dan Penuktukan (lereng terumbu). Pengambilan data strtuktur komunitas makroalga menggunakan metode transek kuadrat dengan ukuran 1x1 m ditempatkan mengikuti transek garis pada terumbu karang yang terdapat makroalga sepanjang 25 meter dengan interval setiap 5 meter. Identifikasi makroalga menggunakan buku identifikasi dari Food and Agriculture Organization of United Nation, The Living Marine Resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods (FAO, 1998). Hasil penelitian menunjukkan persentase tutupan makroalga di perairan Jemeluk didapatkan 6 genus makroalga dengan persentase penutupan, kepadatan, dan dominansi tertinggi di oleh Halimeda (alga hijau). Indeks dominansi Simpson pada perairan Jemeluk berada dalam indeks dominansi rendah dan kenaekaragaman berada dalam indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sedang. Selanjutnya perairan Penuktukan ditemukan 5 genus makroalga dengan persentase tutupan, kepadatan, dan dominansi tertinggi oleh Gracilaria (alga merah). Indeks dominansi Simpson pada perairan ini berada dalam kategori rendah dan kenaekaragaman makroalga pada semua stasiun berada dalam kategori indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sedang.

Kata Kunci: makroalga; rataan terumbu; lereng terumbu; perairan Jemeluk; perairan Penuktukan

  • 1.    Pendahuluan

Pantai Jemeluk merupakan kawasan wisata bahari dengan ekosistem terumbu karang serta

keanekaragaman organisme bentik yang mendiaminya adalah ekosistem utama. Menurut Simarangkir (2015) kondisi terumbu karang di perairan Jemeluk pada tahun 2013 berada dalam

kondisi sedang dengan rata-rata persen tutupan bentik yaitu makroalga sebesar 0.67%. Selain pantai Jemeluk, berdasarkan Dinas Kelautan dan Perikanan Bali (2013), Pantai Penuktukan juga merupakan salah satu pantai dengan potensi bahari yang baik dimana ekosistem terumbu karang serta organisme bentik yang berasosiasi adalah ekosistem utama dan sumberdaya penting bagi masyarakat disekitarnya.

Makroalga merupakan organisme bentik utama pada ekosistem terumbu karang selain karang itu sendiri (McCook, 1999). Makroalga dijumpai hampir di seluruh perairan termasuk di perairan Indonesia. Makroalga memiliki peranan penting baik dari segi ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi makroalga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan, bahan baku industri, dan obat-obatan (Marianingsih et al., 2013) sedangkan secara ekologi, makroalga merupakan sumber makanan bagi ikan-ikan herbivora sekaligus sebagai tempat berlindung bagi berbagai jenis biota laut. Makroalga juga berfungsi sebagai penyedia karbonat dan memperkokoh substrat dasar terumbu karang (Wowor et al., 2015).

Pertumbuhan makroalga sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan dan lingkungannya (Kraufvelin et al., 2010). Selain kondisi perairan dan lingkungannya salah satu komponen penting yang berpengaruh terhadap keberadaan makroalga adalah substrat karena pada umumnya makroalga hidup dengan melekat pada substrat seperti terumbu karang (Marianingsih et al., 2013).

Berdasarkan geomorfologi, terumbu karang memiliki bentuk permukaan dasar substrat untuk zonasi ekosistem terumbu karang yang berbeda-beda dibagi menjadi beberapa zona yaitu lagoon, rataan terumbu (reef flat), lereng terumbu (reef slope), dan reef crest dimana zona ini tidak selalu ditemukan pada suatu perairan laut dan dapat bervariasi antar perairan dan daerah (Blanchon, 2011). Pada masing-masing zona memiliki kondisi perairan yang berbeda sehingga mempengaruhi struktur komunitas dari ekosistem yang mendiaminya (Anggoro et al., 2015). Seperti pada zona rataan dengan bentuk permukaan yang mendatar memiliki kondisi lingkungan yang bervariasi seperti kecerahan perairan, kedalaman dan salinitas daripada zona lereng terumbu dengan bentuk permukaan yang seperti lereng/miring (Lestaluhu et al., 2016).

Pentingnya fungsi ekologi dan ekonomi makroalga, mendorong perlunya penelitian mengenai struktur komunitas makroalga di perairan Bali yang memiliki geomorfologi terumbu yang berbeda seperti pada Perairan Jemeluk dan Perairan Penuktukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas makroalga pada zona rataan terumbu (reef flat) di Perairan Jemeluk dan zona lereng terumbu (reef slope) di Perairan Penuktukan.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Tempat

Pengambilan data contoh makroalga dan parameter perairan dilaksanakan pada tanggal 15 dan 16 Maret 2017 di Perairan Jemeluk, Kabupaten Karangasem dan pada tanggal 25 dan 26 April 2017 di Perairan Penuktukan, Kabupaten Buleleng (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

  • 2.3    Prosedur Penelitian

Metode transek kuadrat digunakan untuk menghitung persentase penutupan makroalga yang ditempatkan mengikuti transek garis pada terumbu karang yang terdapat makroalga sepanjang 25 meter dengan interval setiap 5 meter parallel garis pantai sehingga terdapat 6 kali penempatan transek untuk menggambarkan 1 sub stasiun pengamatan. Pengambilan data dilakukan dengan meletakan transek kuadrat dengan ukuran 1x1 m dengan kisi-kisi 20x20 cm setiap kisi-kisi pada kuadrat digunakan skala ¼, ½, ¾ dan 1 unit (Gambar 3). Kepadatan, keanekaragaman, dan dominansi makroalga masing-masing makroalga yang ditemukan dihitung jumlah individunya

selanjutnya diambil untuk mewakili contoh jenis dari stasiun pengamatan dan dimasukan kedalam plastik untuk identifikasi jenis. Identifikasi jenis makroalga dilakukan berdasarkan buku identifikasi Food and Agriculture Organization of United Nation, The Living Marine Resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods (FAO, 1998).

Gambar 3. Skema peletakan transek kuadrat

  • 2.4    Analisis Data

    • 2.4.1.    Persentase Tutupan Makroalga

Persentase tutupan makroalga diestimasi dengan metode yang dikembangkan oleh Saito dan Atobe (1970). Selanjutnya persen tutupan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (English et al., 1994):

c = — X'100%

A

(1)


dimana C adalah persentase tutupan makroalga pada tiap stasiun (rata-rata dari ketiga sub stasiun pada setiap stasiun); ΣCi adalah jumlah unit tutupan kisi-kisi setiap jenis makroalga; dan A adalah jumlah total kisi-kisi yang digunakan (25 unit)

  • 2.4.2.    Kepadatan Makroalga

Kepadatan merupakan jumlah individu makroalga yang ditemukan pada transek kuadrat per luasan transek dengan persamaan sebagai berikut (Brower et al., 1998):

Di=-

A

(2)


dimana Di adalah kepadatan jenis makroalga (rata-rata dari ketiga sub stasiun pada setiap stasiun); i adalah jenis; ni adalah jumlah individu setiap jenis; dan A adalah luas transek (m2)

  • 2.4.3.    Keanekaragaman Makroalga

Keanekaragaman jenis makroalga dihitung berdasarkan indeks Shannon-Wiener (Krebs, 1972).

H’=-∑t=1(-χin-)                  (3)

dimana H′ adalah Indeks keanekaragaman (rata-rata dari ketiga sub stasiun pada setiap stasiun); s adalah jumlah jenis; i adalah jenis; ln adalah logaritma natural; ni adalah jumlah individu setiap jenis; dan N adalah jumlah individu seluruh jenis

Nilai keanekaragaman dianalisis dengan menampilkan nilai rata-rata dari ketiga sub stasiun pada masing-masing zona dan selanjutnya dicocokan dengan nilai indeks keanekaragaman (Tabel 1).

Tabel 1

Kisaran nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener beserta kategori pendugaanya (Krebs, 1972).

Indeks           Kisaran        Kategori

H’<1.0        Rendah

Keanekaragaman    1.0<H’<3.0       Sedang

H’>3          Tinggi

  • 2.4.4.    Dominansi Makroalga

Indeks dominansi menunjukkan adanya satu atau lebih jenis yang mendominasi pada suatu komunitas dan lingkungan. Dominansi jenis ditentukan berdasarkan indeks Simpson (Odum, 1975)

D = ∑f=ι(-b2                            (4)

dimana D adalah indeks dominan jenis (rata-rata dari ketiga sub stasiun pada setiap stasiun); ni adalah jumlah individu makroalga ke i; i adalah jenis; dan N adalah jumlah total individu makroalga

Nilai indeks dominansi Simpson berkisar antara 0 – 1 dengan kriteria (Ayhuan et al., 2017), D = ~ 0 (rendah), dalam komunitas tidak ada jenis makroalga yang dominan (melimpah) atau komunitas berada dalam keadaan stabil dan D = ~ 1 (tinggi), dalam komunitas ada dominansi dari satu jenis makroalga tertentu atau komunitas berada dalam keadaan tidak stabil.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan sebagai data pendukung untuk menggambarkan kondisi perairan secara umum pada lokasi penelitian pada zona rataan

dan pada zona lereng terumbu (Tabel 2). Pengambilan data dilakukan pada waktu yang berbeda dimana stasiun 1 dilakukan pada pukul 08.00-10.00 WITA, stasiun 2 pada pukul 11.00-13.00 WITA, dan stasiun 3 diambil keesokan harinya pada pukul 08.00-10.00 WITA.

Tabel 2

Rerata parameter lingkungan zona rataan dan lereng terumbu

Parameter

Satuan

Nilai

St. 1

Jemeluk

St. 2

St. 3

Penuktukan

St. 1

St. 2

St. 3

Suhu

°C

28

27

28

30

29

29

Kedalaman

meter

5

3

2

6

4

3

Kecerahan

%

100

100

100

94

96

100

Salinitas

0/00

30

30

30

29

30

30

pH

-

8.0

8.4

8.5

8.5

8.5

8.5

Nitrat

mg/L

0.47

0.30

0.31

0.17

0.06

0.11

Fosfat

mg/L

0.27

0.33

0.11

0.07

0.18

0.01

  • 1.    Suhu

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu perairan pada 3 stasiun di zona rataan terumbu berkisar diantara 27-28°C. Selanjutnya pada zona lereng terumbu suhu berkisar diantara 29-30°C pada ketiga stasiun.

Suhu dengan kisaran 27-30°C pada kedua lokasi masih dalam batas optimal pertumbuhan makroalga. Dimana menurut Mudeng (2015) menyatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan alga di perairan tropis adalah 2530°C.

  • 2.    Kedalaman

Kedalaman merupakan salah satu pembatas kehidupan organisme. Hasil pengamatan pada zona rataan terumbu kedalaman yaitu berkisar diantara 2-5 meter dan pada zona lereng terumbu kedalaman bekisar antara 3-6 meter.

Kedalaman pada kedua lokasi penelitian yang berkisar diantara 2-6 meter masih berada dalam batas toleransi kedalaman untuk pertumbuhan makroalga. Menurut Saptasari (2012) makroalga dapat hidup bahkan hingga kedalaman 200 meter. Sedangkan menurut Ulfah et al. (2017), makroalga banyak ditemukan jenisnya pada kedalaman 1-5 meter.

  • 3.    Kecerahan

Kecerahan perairan merupakan kemampuan cahaya matahari untuk menembus air laut (Abdan

et al., 2013). Dari hasil pengamatan pada zona rataan terumbu yaitu sebesar 100% pada ketiga stasiun. Selanjutnya pada zona lereng terumbu kecerahan perairan berkisar antara 94-100%.

Makroalga sangat memerlukan pencahayaan yang berperan dalam mendukung pertumbuhan makroalga untuk melakukan fotosintesis (Setyawan et al., 2015). Seperti hasil penelitian menunjukkan bahwa alga hijau lebih banyak ditemukan pada zona rataan terumbu.

  • 4.    Salinitas

Berdasarkan hasil pengamatan salinitas di zona rataan terumbu yaitu sebesar 300/00 pada ketiga stasiun sedangkan pada zona lereng terumbu salinitas berkisar antara 29-30 0/00.

Menurut Guo et al. (2014), alga bentik umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 25–330/00, namun banyak jenis makroalga hidup pada kisaran salinitas yang lebih besar maupun lebih rendah. Dari hasil penelitian menunjukkan salinitas pada kedua lokasi tidak jauh berbeda dengan kisaran yang masih berada dalam kisaran batas toleransi salinitas optimum untuk makroalga. 5. Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) pada zona rataan terumbu berkisar antara 8-8.5, dengan nilai pH terendah pada stasiun 1. Kemudian pada zona lereng terumbu pH pada ketiga stasiun yaitu 8.5. Nilai pH di laut yang baik untuk kehidupan organisme di laut termasuk makroalga adalah berkisar diantara 6.8-9.6 (Ain et al., 2014). Berdasarkan hasil penelitian pada kedua lokasi menunjukkan bahwa nilai derajat keasaman pada kedua lokasi masih berada dalam kisaran yang baik untuk pertumbuhan makroalga.

  • 6.    Nitrat

Nitrat pada zona rataan terumbu menunjukkan bahwa konsentrasi nitrat yang terukur berada dalam kisaran 0.30-0.47mg/L. Selanjutnya pada zona lereng terumbu kandungan nitrat berada dalam kisaran 0.06-0.17 mg/L.

Kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi reproduksi alga bila zat hara tersebut melimpah di perairan karena dapat memicu pertumbuhan dari makroalga (Kasim, 2016). Dahlia et al. (2015), menyatakan bahwa kadar nitrat yang menggambarkan kondisi perairan yang baik untuk pertumbuhan makroalga yaitu 0.09-3.5 mg/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nitrat

pada kedua lokasi penelitian masih berada dalam kisaran optimum untuk pertumbuhan makroalga.

  • 7.    Fosfat

Keberadaan fosfat secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrat dapat memicu pertumbuhan alga di perairan (Belliveau and Paul, 2002).

Khasanah et al. (2016), menyatakan bahwa kisaran kadar fosfat yang optimal untuk pertumbuhan makroalga adalah 0.051 mg/L – 1 mg/L. Berdasarkan hasil pengukuran fosfat pada zona rataan terumbu nilai kandungan fosfat berada dalam kisaran 0.11-0.33 mg/L. Selanjutnya pada zona lereng terumbu nilai kandungan fosfat berada dalam kisaran 0.01-0.18 mg/L. Dari kedua zona, zona rataan menunjukkan bahwa kandungan fosfat masih berada dalam kisaran yang cukup optimum untuk pertumbuhan makroalga dan zona lereng terumbu menunjukkan kandungan fosfat berada dalam kisaran yang lebih rendah untuk pertumbuhan makroalga. Hal tersebut diduga karena masukan fosfat dari aktivitas antropogenik pada zona tersebut rendah. Dimana sumber antropogenik fosfat adalah limbah rumah tangga maupun limbah industri seperti detergen (Belliveau and Paul, 2002)

  • 3.2    Perairan Jemeluk (zona rataan)

    • 3.2.1.    Persentase Tutupan

Substrat perairan Jemeluk terdiri atas terumbu karang hidup, karang mati, dan pasir yang bercampur sedimen dimana persentase penutupan terumbu karang hidup sebesar 49.9-63.8% dengan kondisi terumbu karang sedang hingga baik (Kepmen Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001). Zona yang terletak di Pantai Jemeluk ini berbatasan langsung dengan daerah pesisir yang merupakan objek wisata, fasilitas wisata dan pemukiman penduduk. Pada stasiun 1 terdapat pemukiman dan penginapan, stasiun 2 merupakan lokasi pusat dari aktivitas manusia seperti tempat pendaratan kapal dan wisata bahari serta restaurant, juga terdapat aliran sungai yang aktif saat musim hujan, sedangkan stasiun 3 tidak terdapat aktivitas manusia.

Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan sebanyak 6 genus dari 3 divisi yang tersebar secara tidak merata pada semua stasiun divisi alga merah terdiri dari genus Gracilaria dan Digenea, divisi alga hijau yang terdiri dari genus Halimeda dan Valonia,

dan alga coklat yang terdiri dari genus Turbinaria dan Dictyota (Gambar 12). Keseluruhan genus menunjukkan rata-rata persen tutupan sebesar 1.9% (Gambar 4).

Gambar 4. Persentase tutupan makroalga di perairan Jemeluk

Hasil pengamatan persentase tutupan makroalga di perairan Jemeluk pada stasiun 1 terdapat 3 divisi yaitu divisi alga merah yang terdiri dari genus Digenea dengan persen tutupan 1.2% dan Gracilaria dengan persentase tutupan 1.8% kemudian divisi alga hijau yang terdiri dari jenis Halimeda dengan persen tutupan 2.2%, dan divisi alga coklat dengan jenis Dictyota yaitu sebesar 1.7%. Dari semua jenis pada stasiun 1 Halimeda memiliki persentase tutupan tertinggi.

Selanjutnya pada stasiun 2 terdapat 2 divisi yaitu divisi alga merah genus Digenea dengan persen tutupan sebesar 1.2%, Gracilaria dengan persen tutupan 0.8%, dan alga hijau yaitu jenis Halimeda dengan persen tutupan sebesar 2.4% dan Valonia dengan persen tutupan sebesar 2.3%. Persentase tutupan tertinggi juga ditemukan pada jenis Halimeda yang berasal dari divisi alga hijau. Pada stasiun 2 persentase tutupan alga hijau lebih tinggi daripada alga merah.

Pada stasiun 3 didapatkan 3 divisi yaitu divisi alga merah yang terdiri dari jenis Gracilaria sebesar 1.8% kemudian divisi alga hijau dengan jenis Halimeda sebesar 3.8% dan Valonia sebesar 2.6%, dan divisi alga coklat yang terdiri dari Dictyota sebesar 1.8% dan Turbinaria dengan persen tutupan sebesar 1.7%. Halimeda juga memiliki nilai tutupan tertinggi pada stasiun 3.

Persentase tutupan tertinggi ditunjukkan oleh genus Halimeda (alga hijau) pada stasiun 3 yaitu sebesar 3.8% dan persentase tutupan terendah oleh Gracilaria (alga merah). Halimeda terdapat pada

semua stasiun di perairan Jemeluk. Hal ini diduga karena Halimeda memiliki karakteristik thallus yang berkembang baik untuk dapat hidup pada terumbu karang (Tampubolon et al, 2013). Hasil serupa juga ditunjukkan oleh Rizal (2016) di pulau Hoga, Sulawesi Tenggara. Halimeda juga merupakan genus yang lebih banyak ditemukan pada zona rataan terumbu.

Secara umum alga hijau lebih banyak ditemukan pada semua stasiun hal ini didiuga karena alga hijau yang didominasi oleh pigmen klorofil sangat bergantung pada cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis (Soeprapto, 2009). Kecerahan perairan pada ketiga stasiun yaitu 100% dan kedalaman 2-5 meter dengan bentuk permukaan dasar rataan terumbu yang relatif rata dan dangkal menjadikan habitat yang ideal untuk tumbuh dan berkembang bagi alga hijau. Persentase tutupan makroalga yang tinggi pada zona ini juga diduga disebabkan masukan nutrien dari darat yang berasal dari aktivitas antropogenik yang tinggi melalui aliran sungai dimana nitrat pada zona ini berkisar antara 0.30-0.47 mg/L dan fosfat 0.11-0.33 mg/L yang termasuk dalam kisaran yang baik untuk pertumbuhan makroalga sehingga dapat memicu pertumbuhan dari makroalga (Barott et al., 2012).

  • 3.2.2.    Kepadatan Makroalga

Pada perairan Jemeluk nilai kepadatan tertinggi terdapat pada jenis Halimeda yaitu sebesar 1.4 individu/m2 (Gambar 5). Pada stasiun1 kepadatan tertinggi yaitu Gracilaria sebesar 1 individu/m2 selanjutnya pada stasiun 2 nilai kepadatan tertinggi yaitu Halimeda dengan nilai 1.4 individu/m2 dan pada stasiun 3 nilai kepadatan tertinggi oleh jenis Valonia dengan nilai kepadatan 1.2 individu/m2.

Gambar 5. Kepadatan makroalga di perairan Jemeluk

Pada perairan Jemeluk nilai kepadatan tertinggi lebih banyak ditemukan pada alga hijau yaitu pada stasiun 2 dan 3 sedangkan pada stasiun 1 alga merah memiliki kepadatan tertinggi hal tersebut diduga karena kedalaman perairan pada stasiun 1 yang lebih dalam yaitu 5 meter dimana alga merah dapat berhabitat pada kedalaman yang lebih dalam diantara jenis alga lainnya dan jenis Gracilaria memiliki adaptasi yang sangat baik pada periran dengan pencahayaan yang baik hingga pencahayaan yang sedikit.

Tingginya nilai kepadatan Halimeda diduga karena habitat dari Halimeda dapat berkembang baik pada substrat terumbu karang yang hidup dan mati selain itu jenis ini dapat memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat jika didukung dengan kondisi perairan yang baik serta substrat pada terumbu karang yang kokoh sebagai tempat melekat bagi makroalga (Tampubolon et al., 2013). Hal tersebut sesuai dengan kondisi perairan pada zona ini yang berada dalam kondisi baik untuk pertumbuhan makroalga seperti kedalaman perairan dimana Asni (2015) menyatakan bahwa kedalaman yang lebih dangkal dapat memungkinkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan lebih tinggi sehingga mempengaruhi produktivitas makroalga dan masukan nutrien dari darat pada zona ini yang sangat berperan dalam pertumbuhan makroalga.

  • 3.2.3.    Keanekaragaman Makroalga

Secara umum indeks keanekaragaman ShannonWiener pada semua stasiun di perairan Jemeluk berada dalam kategori indeks keanekaragaman sedang. Keanekaragaman makroalga tertinggi pada perairan Jemeluk terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar H’=1.6 (Gambar 6).

Gambar 6. Keanekaragaman makroalga di perairan Jemeluk

Keanekaragaman makroalga tertinggi pada perairan Jemeluk terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar H’=1.6 (Gambar 6). Hal ini diasumsikan karena rendahnya aktivitas manusia di perairan laut dibandingkan dengan stasiun 1 dan 2 dimana terdapat lokasi pendaratan kapal, penginapan, wisata, pemukiman penduduk, dan aliran sungai sehingga dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap keanekaragaman makroalga. Seperti yang dinyatakan oleh Mineur et al. (2015), dimana aktivitas antropogenik di kawasan laut dan pesisir dapat memberikan dampak secara langsung seperti penambatan jangkar kapal maupun tidak langsung seperti sampah dan sedimen yang dapat menutupi makroalga sehingga adanya keterbatasan kelangsungan hidup bagi beberapa jenis makroalga. Selain itu, kondisi lingkungan perairan Jemeluk yang dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai yang mengandung sedimen dan nutrien dari darat dapat menyebabkan zona ini memiliki kondisi lingkungan yang bervariasi dan berfluktuasi sangat besar (Haerul, 2013).

Selain hal diatas, keanekaragaman yang tinggi juga dapat dipengaruhi oleh substrat yang lebih beragam (Irwandi et al., 2017), seperti pada zona ini dengan substrat yang terdiri dari pecahan karang, karang hidup, karang mati, dan sedimen memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi daripada zona lereng terumbu di perairan Penuktukan dengan variasi keberagaman substrat yang lebih sedikit.

  • 3.2.4.    Dominansi Makroalga

Berdasarkan hasil penelitian dominansi makroalga pada perairan Jemeluk, nilai dominansi tertinggi pada stasiun 2 jenis Halimeda (Gambar 7). Pada stasiun 1 nilai dominansi tertinggi oleh Halimeda dengan nilai dominansi 0.9 selanjutnya pada stasiun 2 nilai dominasi tertinggi juga oleh jenis Halimeda dengan nilai 0.14 dan pada stasiun 3 nilai dominansi tertinggi oleh Valonia dengan nilai 0.06.

Tingginya nilai dominansi oleh Halimeda pada stasiun 2 diduga karena Halimeda memiliki karakteristik thallus dengan holdfast kuat yang dapat berhabitat pada berbagai substrat (Langoy et al., 2011) dimana berdasarkan persentase tutupan karang hidup pada stasiun 2 berada dalam kategori sedang yang terdiri dari karang hidup,

Gambar 7. Dominansi makroalga di perairan Jemeluk

Berdasarkan indeks nilai dominansi dari indeks Simpson makroalga yang didapatkan pada perairan Jemeluk berada dalam kategori rendah pada semua stasiun yang artinya tidak ada jenis makroalga yang sangat mendominasi (Ayhuan et al., 2017). Rendahnya nilai dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas disebabkan karena adanya kemerataan jumlah individu dalam setiap jenis (Adiwilaga et al., 2012).

  • 3.3    Perairan Penuktukan (zona lereng)

    • 3.3.1.    Persentase Tutupan

Substrat pada perairan Penuktukan di Pantai Penuktukan terdiri atas karang hidup, karang mati, dan pasir, persentase penutupan terumbu karang hidup sebesar 73.1-76% dengan kondisi substrat terumbu karang baik (Kepmen Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001). Zona ini berbatasan langsung dengan daerah pesisir yang hampir tidak terdapat pemukiman penduduk. Stasiun 1 terdapat aktivitas manusia yaitu tempat pendaratan beberapa kapal, stasiun 2 terdapat aliran sungai yang kecil yang hanya aktif saat musim hujan, sedangkan disekitar stasiun 3 tidak terdapat aktivitas manusia.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat 5 genus dari 3 divisi yang tersebar pada ketiga stasiun penelitian yaitu dari alga merah yang terdiri dari Digenea dan Gracilaria, alga hijau yang terdiri dari genus Halimeda dan Valonia, dan alga coklat yang terdiri dari genus Dictyota. Keseluruhan genus tersebut memiliki rata-rata persen penutupan sebesar 1.3% (Gambar 8).

Stliiun

Gambar 8. Persentase tutupan makroalga di perairan Penuktukan

Dari hasil pengamatan pada daerahperairan Penuktukan stasiun 1 ditemukan 2 divisi yaitu alga merah dan alga coklat. Persen tutupan tertinggi ditemukan dari divisi alga merah yaitu Digenea dengan persen tutupan 1.4% dan Gracilaria yaitu sebesar 1.4% selanjutnya alga coklat genus Dictyota sebesar 1.2%.

Pada stasiun 2 ditemukan 2 divisi yaitu divisi alga merah dan alga hijau. Persentase tutupan tertinggi ditemukan pada divisi alga merah yaitu dari genus Gracilaria dengan persen tutupan sebesar 1.2% dan Digenea dengan persen tutupan 1.2% selanjutnya alga hijau dengan genus Halimeda memiliki persen tutupan sebesar 1.1% dan jenis Valonia dengan persen tutupan sebesar 1.1%.

Selanjutnya pada stasiun 3 terdapat 2 divisi yaitu alga merah dan alga hijau. Persen tutupan tertinggi adalah Gracilaria yaitu sebesar 1.9% yang berasal dari alga merah selanjutnya Digenea dengan nilai persen tutupan sebesar 1.2% dan dari divisi alga hijau ditemukan jenis Halimeda dan Valonia dengan masing-masing nilai persen tutupan sebesar 1.2%.

Gracilaria merupakan genus dengan nilai persen tutupan tertinggi yaitu sebesar 1.9% pada stasiun 3. Imchen (2015) menyatakan bahwa genus ini merupakan makroalga dengan adaptasi yang baik terhadap substrat yang keras seperti terumbu karang. Secara umum alga merah mendominasi pada ketiga stasiun. Penelitian yang pernah dilakukan di Pulau Hoga, Sulawesi Tenggara juga menunjukkan bahwa alga merah lebih banyak terdapat pada zona lereng terumbu (Rizal, 2016). Alga merah ditemukan pada semua stasiun pada zona ini diduga karena geomorfologi dari perairan Penuktukan dengan substrat dasar perairan yang

miring sehingga cahaya matahari yang masuk tidak merata atau tidak optimal seperti pada zona rataan terumbu. Kecerahan perairan di zona ini yaitu berkisar diantara 94-100% dengan kedalaman perairan 3-6 meter. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sukiman et al., (2014) bahwa alga merah dapat hidup di daerah yang cahayanya sedikit dan pada kedalaman yang lebih dalam seperti di perairan Penuktukan.

  • 3.3.2.    Kepadatan Makroalga

Pada daerah perairan Penuktukan nilai kepadatan tertinggi paling banyak terdapat pada alga merah (Gambar 9). Dimana pada stasiun 1 nilai kepadatan tertinggi terdapat pada jenis Gracilaria yaitu dengan nilai 0.9 individu/m2. Selanjutnya pada stasiun 2 nilai kepadatan tertinggi yaitu Gracilaria sebesar 0.7 individu/m2 dan pada stasiun 3 dengan nilai kepadatan tertinggi yaitu Gracilaria dengan nilai kepadatan 0.8 individu/m2. Kepadatan yang tinggi pada semua stasiun oleh Gracilaria diduga karena Glaciraria (alga merah) memiliki kemampuan untuk beradaptasi yang lebih luas baik di daerah dangkal maupun pada daerah yang lebih dalam dari pada alga hijau dan coklat (FAO, 1998).

Gambar 9. Kepadatan makroalga di perairan Penuktukan

Perairan Penuktukan dengan zona dasar lereng terumbu nilai kepadatan tertinggi lebih banyak terdapat pada alga merah pada semua stasiun dimana nilai kepadatan yang tinggi oleh alga merah diduga karena alga merah yang lebih banyak mengandung pigmen fikoeritin menyerap cahaya biru karena cahaya biru dapat menembus hingga kedalaman yang lebih dalam menyebabkan makroalga jenis ini dapat hidup pada daerah hingga cahayanya sedikit dan pada kedalaman

yang lebih dalam dimana sesuai dengan daerah lereng terumbu memiliki bentuk permukaan dasar yang miring dan lebih dalam (Lestaluhu et al., 2016).

  • 3.3.3.    Keanekaragaman Makroalga

Secara umum, indeks keanekaragaman ShannonWiener pada perairan Penuktukan berada dalam kategori indeks sedang, yang berarti daya dukung lingkungan terhadap komunitas cukup baik (Irwandi et al., 2017). Insafitri (2010) menyatakan keanekaragaman jenis makroalga bentik salah satunya dipengaruhi oleh substrat serta cara alga itu sendiri melekatkan dirinya pada substrat. Herlinawati et al. (2017), juga menyatakan jenis substrat yang beragam dapat mempengaruhi keanekaragaman makroalga yang lebih beragam.

Keanekaragaman makroalga tertinggi pada perairan Penuktukan terdapat pada stasiun 2 dan 3 yaitu sebesar masing-masing H’= 1.3 (Gambar 10) sedangkan keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 1.

Gambar 10. Keanekaragaman makroalga di perairan Penuktukan

Hal tersebut diduga karena pada stasiun 1 terdapat aktivitas antopogenik lebih tinggi seperti tempat pendaratan dan alur kapal sehingga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dari makroalga. Menurut Saleh et al. (2013), kegiatan transportasi di laut dapat mempengaruhi keberadaan makroalga pada suatu lokasi seperti penambatan jangkar dan tumpahan minyak perahu sehingga dapat menyebabkan kondisi yang lebih rentan. Keanekaragaman makroalga yang lebih tinggi pada stasiun 2 dan 3 diduga karena

rendahnya aktivitas manusia di perairan ini dan terdapatnya aliran sungai di stasiun 2 sehingga perairan pada zona lereng terumbu di stasiun 2 dan 3 mendapatkan masukan tambahan dari daratan seperti nutrien yang dapat memicu pertumbuhan makroalga (Djaelani et al., 2011). Dimana kandungan nitrat pada zona ini yaitu 0.060.17 mg/L dan fosfat 0.01-0.18 mg/L. Namun, pada stasiun 3 nilai fosfat berada lebih rendah daripada kondisi optimal untuk pertumbuhan makroalga. Hal tersebut diduga mempengaruhi ukuran thallus dimana di zona ini thallus pada jenis yang sama berukuran lebih lebih kecil daripada zona rataan terumbu yang memiliki nilai nutrien yang berada dalam kisaran pertumbuhan makroalga. Ain et al. (2011), menyatakan semakin tinggi penyerapan unsur hara yaitu nitrat dan fosfat maka pertumbuhan bentuk dan ukuran thallus juga semakin optimal.

Kondisi lingkungan pada zona yang berbeda dapat menentukan keanekaragaman makroalga karena setiap jenis makroalga memiliki kemampuan untuk tumbuh berbeda-beda (Saleh et al., 2013). Perairan Penuktukan dengan geomorfologi dasar yang miring berpengaruh terhadap makroalga yang dapat hidup pada zona ini dimana pada hanya jenis tertentu yang dapat hidup pada zona ini (Rizal, 2016).

  • 3.3.4.    Dominansi Makroalga

Secara umum, berdasarkan hasil penelitian nilai dominasi tertinggi yaitu Gracilaria (Gambar 11). Dimana pada stasiun 1 nilai dominansi tertinggi jenis Gracilaria dengan nilai dominansi sebesar 0.25 selanjutnya pada stasiun 2 nilai dominansi tertinggi juga oleh Gracilaria dengan nilai dominansi sebesar 0.9 dan pada stasiun 3 nilai dominansi tertinggi yaitu Gracilaria dengan nilai dominansi sebesar 0.12. Tingginya nilai dominansi pada stasiun 1 diduga karena Gracilaria memiliki kemampuan adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang sangat baik misalnya cahaya yang masuk ke dalam perairan baik dalam jumlah banyak maupun sedikit dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan karena kemampuan pigmen yang terkandung dapat menyerap gelombang cahaya baik pada perairan dangkal dengan cahaya yang banyak hingga perairan dengan cahaya yang sedikit (Pritchard, 2013).

Gambar 11. Dominansi makroalga di perairan Penuktukan

Berdasarkan indeks nilai dominansi dari indeks Simpson makroalga yang didapatkan pada perairanPenuktukan berada dalam kategori rendah yang berarti dominansi terpusat pada beberapa spesies maka tidak ada satu jenis makroalga yang sangat mendominasi. Rendahnya nilai dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas disebabkan karena adanya kemerataan jumlah individu dalam setiap jenis (Adiwilaga et al., 2012).

Gambar 12. Makroalga yang ditemukan di Jemeluk dan Penuktukan, (12a) Divisi Rhodophyta Digenea dan Gracilaria, (12b) Divisi Chlorophyta Valonia dan Halimeda, (12c) Divisi Phaeophyta Turbinaria (*) dan Dictyota. (*) hanya ditemukan di Jemeluk.

  • 4.    Simpulan

Struktur komunitas yang terdiri dari persentase tutupan dan kepadatan jenis makroalga di perairan Jemeluk yang merupakan zona rataan terumbu lebih banyak ditemukan alga hijau dan di perairan Penuktukan yang merupakan zona lereng terumbu lebih banyak ditemukan alga merah. Keanekaragaman makroalga di perairan Jemeluk dan Penuktukan berada dalam kategori indeks Shannon-Wiener sedang dan dominansi makroalga berada dalam katerogi indeks Simpson rendah.

Ucapan terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Ni Luh Putu Febbi Mellani, Ni Made Pitria Menala Saputri, dan I Made Raditya Putra yang telah membantu selama proses penelitian di lapangan serta reviewer Prof. Ir. IGB Sila Dharma, M.T., Ph.D, Ni Luh Putu Ria Puspitha, S.Si., M.Sc, dan I Nyoman Giri Putra, S.Pd., M.Si yang telah membantu penulis dalam memperbaiki tulisan ini.

Daftar Pustaka

Abdan, A., Rahman, A., & Ruslaini, R. (2013). Pengaruh jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut (Eucheuma spinosum) Menggunakan Metode Long Line. Jurnal Mina Laut Indonesia, 3(12), 113-123.

Adiwilaga, E. M., Harris, E., & Pratiwi, N. T. (2012). Hubungan Antara Kelimpahan Fitoplankton Dengan Parameter Fisik-Kimiawi Perairan Di Teluk Jakarta. Jurnal Akuatika, 3(2),169-179.

Ain, N., Ruswahyuni, R., & Widyorini, N. (2014).

Hubungan Kerapatan Rumput Laut dengan Substrat Dasar Berbeda di Perairan Pantai Bandengan, Jepara. Management of Aquatic Resources Journal, 3(1), 99-107.

Anggoro, A., Siregar, V. P., & Agus, S. B. (2015).

Pemetaan Zona Geomorfologi Ekosistem Terumbu Karang Menggunakan Metode Obia, Studi Kasus Di Pulau Pari (Geomorphic Zones Mapping Of Coral Reef Ecosystem With Obia Method, Case Study In Pari Island). Jurnal Penginderaan Jauh Dan Pengolahan Data Citra Digital, 12(1),1-12.

Asni, A. (2015). Analisis Poduksi Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) Berdasarkan Musim dan Jarak Lokasi Budidaya Di Perairan Kabupaten Bantaeng. Jurnal Akuatika,6(2), 140- 153.

Ayhuan, H. V., Zamani, N. P., & Soedharma, D. (2017). Analisis Struktur Komunitas Makroalga Ekonomis Penting Di Perairan Intertidal Manokwari, Papua

Barat. Jurnal Teknologi Perikanan Dan Kelautan, 8(1), 19-38.

Barott, K. L., Williams, G. J., Vermeij, M. J., Harris, J., Smith, J. E., Rohwer, F. L., & Sandin, S. A. (2012). Natural History Of Coral–Algae Competition Across A Gradient Of Human Activity In The Line Islands. Marine Ecology Progress Series, 460, 1-12.

Belliveau, S. A., & Paul, V. J. (2002). Effects Of Herbivory And Nutrients On The Early Colonization Of Crustose Coralline And Fleshy Algae. Marine Ecology Progress Series, 232, 105-114.

Blanchon, P. (2011). Geomorphic zonation. In Hopley, D. (Eds.). Encyclopedia of modern coral reefs: structure, form and process. Netherlands: Springer, pp. 469-486.

Brower, J. E., Zar, J. H., & Von Ende, C. N. (1998). Field and laboratory methods for general ecology. Michigan, USA: McGraw-Hill Education.

Dahlia, I., Rejeki, S., & Susilowati, T. (2015). Pengaruh Dosis Pupuk Dan Substrat Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Caulerpa Lentillifera. Journal of Aquaculture Management and Technology, 4(4), 28-34.

DISKELKAN Bali. (2013). Penanaman Terumbu Karang Buatan Atau Transplantasi Terumbu Karang di Kelompok Taman Segara Desa Penuktukan Kec. Tejakula Kab. Buleleng Pada Tanggal 26 Agustus 2013. [online]. Tersedia                                              di:.

http://diskelkan.baliprov.go.id/id/penanama        -

terumbu-karang-buatan-atau-transplantasi terumbu-karang-di--kelompok-taman-segara-desa-penuktukan-kec--tejakula-kab--buleleng-pada-tanggal-26-agustus-2013-, [diakses: 24 Juni 2017]

Djaelani, A., Damar, A., & Rahardjo, S. (2015). Kajian Kondisi Terumbu Karang dan Kaitannya dengan Proses Eutrofikasi di Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 17(1), 187-194.

English, S., Wilkinson, C., & Baker V. (1994). Survey manual for tropical marine resources.  Townsville,

Australia: Australian Institute of Marine Science.

FAO. (1998). The Living Marine Resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO Fisheries Department: Food and Agricultre Organization.

Guo, H., Yao, J., Sun, Z., & Duan, D. (2015). Effect Of Temperature, Irradiance On The Growth Of The Green Alga Caulerpa Lentillifera (Bryopsidophyceae, Chlorophyta). Journal of applied phycology, 27(2), 879885.

Haerul. (2013). Analisis Keragaman dan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Sarappolompo, Kab.Pangkep. Skripsi. Makassar, Indonesia: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.

Herlinawati, N. D. P. D., Arthana, I. W., & Dewi, A. P. W. K. (2017). Keanekaragaman dan Kerapatan Rumput Laut Alami Perairan Pulau Serangan Denpasar Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 4(1), 22-30.

Imchen, T. (2015). Substrate Deposit Effect on The Characteristic of an Intertidal Macroalgal Community. Indian Journal of Geo-Marine Science, 44(3),1-6.

Insafitri, I. (2010). Keanekaragaman, Keseragaman, Dan Dominansi Bivalvia Di Area Buangan Lumpur Lapindo Muara Sungai Porong. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal Of Marine Science And Technology, 3(1), 54-59.

Irwandi, Salwiyah, & Nurngayah, W. (2017). Struktur komunitas makroalga pada substrat yang berbeda di perairan Desa Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal    Manajemen    Sumber    Daya

Perairan, 2(3), 215-224.

Kasim, M. R. (2016). Makro alga. Jakarta, Indonesia: Penebar Swadaya.

Khasanah, U., Samawi, M. F., & Amri, K. (2016). Analisis kesesuaian perairan untuk lokasi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo. Jurnal Rumput Laut Indonesia, 1(2), 123-131.

Kraufvelin, P., Lindholm, A., Pedersen, M. F., Kirkerud, L. A., & Bonsdorff, E. (2010). Biomass, diversity and production of rocky shore macroalgae at two nutrient enrichment and wave action levels. Marine Biology, 157(1), 29-47.

Krebs, C. J. (1972). The experimental analysis of distribution and abundance. Ecology. New York, USA: Harper and Row.

Langoy, M. L., Saroyo, S., Dapas, F. N., Katili, D. Y., & Hamsir, S. B. (2011). Deskripsi alga makro di taman wisata alam Batuputih, Kota Bitung. Jurnal Ilmiah Sains, 11(2), 219-224.

Lestaluhu, A. R., Fahrudin, A., & Aktani, U. (2016). Survei Kondisi Terumbu Karang Di Taman Wisata Alam Laut Pulau Pombo Kabupaten Maluku Tengah. Bimafika: Jurnal Mipa, Kependidikan Dan Terapan, 2(1), 155-164.

Marianingsih, P., Amelia, E., & Suroto, T. (2013).

Inventarisasi Dan Identifikasi Makroalga di Perairan Pulau Untung Jawa. Dalam Prosiding SEMIRATA FMIPA: Universitas Lampung. Lampung, Indonesia, 10-12 Mei 2013 (pp. 219-223).

McCook, L. J. (1999). Macroalgae, Nutrients and Phase Shifts On Coral Reefs:  Scientific Issues And

Management Consequences for the Great Barrier Reef. Coral reefs, 18(4), 357-367.

Mineur, F., Arenas, F., Assis, J., Davies, A. J., Engelen, A. H., Fernandes, F., & Vranken, S. (2015). European Seaweeds Under Pressure:  Consequences For

Communities And Ecosystem Functioning. Journal of Sea Research, 98, 91-108.

MNLH. (2001). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku

Kerusakan Terumbu Karang. Jakarta-Indonesia: Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Mudeng, J. D., Kolopita, M. E., & Rahman, A. (2015). Kondisi Lingkungan Perairan Pada Lahan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Di Desa Jayakarsa Kabupaten Minahasa Utara. e-Journal Budidaya Perairan, 3(1), 172-186.

Odum, E. P. (1993). Ecology and Our Endangered Life Support System. (2nd ed.). Massachusetts, USA: Sinauer.

Pritchard, D. W., Hurd, C. L., Beardall, J., & Hepburn, C. D. (2013). Survival in low light: photosynthesis and growth of a red alga in relation to measured in situ irradiance. Journal of phycology, 49(5), 867-879.

Rizal, S. (2016). Tutupan Sponge dan Makroalga Pada Karang Keras di Pulau Hoga, Sulawesi Tenggara. Skripsi. Makassar, Indonesia: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.

Saleh, P., & Arfah, H. (2013). Produktivitas Biomassa Makroalga Di Perairan Pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(2),465-477

Saptasari, M. (2012). Variasi Ciri Morfologi Dan Potensi Makroalga Jenis Caulerpa Di Pantai Kondang Merak Kabupaten Malang. El–Hayah, 1(2),19-22.

Setyawan, I. B., Prihanta, W., & Purwanti, E. (2015). Identifikasi Keanekaragaman Dan Pola Penyebaran

Makroalga Di Daerah Pasang Surut Pantai Pidakan Kabupaten Pacitan Sebagai Sumber Belajar Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia, 1(1), 78-88.

Simarangkir, O. R., Yulianda, F., & Boer, M. (2015). Pemulihan Komunitas Karang Keras Pasca Pemutihan  Karang  di Amed Bali. Jurnal  Ilmu

Pertanian Indonesia, 20(2), 158-163.

Soeprapto, H.  (2009).  Manfaat cahaya bagi  algae

khususnya Chlorophyta. Pena Akuatika: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 1(1), 14-18.

Sukiman, Muspiah, A., Astuti, S. P., Ahayadi, H.,  &

Aryanti, E. (2014). Keanekaragaman Dan Distribusi Spesies Makroalga Di Wilayah Sekotong Lombok Barat. Jurnal Penelitian Unram, 18(2), 71-81.

Tampubolon, A., Gerung, G. S., & Wagey, B. (2013). Biodiversitas Alga Makro Di Lagun Pulau Pasige, Kecamatan Tagulandang, Kabupaten Sitaro. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 2(1), 35-43.

Ulfah, S., Agustina, E., & Hidayat, M. (2017). Struktur Komunitas Makroalga Ekosistem Terumbu Karang Perairan Pantai Air Berudangn Kabupaten Aceh Selatan. Prosiding Biotik, 4(1),237-244.

Wowor, R. M., Kepel, R. C., & Lumingas, L. J. (2015). Community Structure of Macro Algae in Mokupa Village, Tombariri Sub-district, Minahasa District, North Sulawesi Province. Jurnal Ilmiah Platax, 3(1), 3035.

© 2020 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 6: 1-12 (2020)