PERANAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN BUDAYA TERHADAP KINERJA ORGANISASI

IGAM Asri Dwija Putri1

1Fakultas Ekonomi Universitas Udayana e-mail: igamasri@yahoo.co.id

ABSTRAK

Good corporate governance (GCG) telah menjadi wacana sejak tahun 1999. Walaupun keberadaan GCG cukup lama, saat ini masih menjadi kajian yang menarik. Budaya sering dihubungkan dengan kemampuan mencapai kinerja yang dinginkan. Tujuan penulisan ini adalah mengkaji hubungan good corporae governance dan budaya terhadap kinerja perusahaan. Makalah ini merupakan kajian teoretis dan didasari oleh temuan peneliti sebelumnya, dengan metode empiris dalam menyelesaikan masalah. Adapun hal yang dapat disimpulkan dari kajian ini bahwa good corporate governance (GCG) dan budaya perusahaan yang baik (good corporate culture/GCC) menjadi faktor pendukung tercapainya kinerja perusahaan yang baik. Penerapan GCG pada perusahaan akan mampu meminimalkan sifat oportunis dari para manajemen sehingga berdampak pada perbaikan kinerja perusahaan. Demikian juga, peranan budaya organisasi sangat penting dalam mengantisipasi perilaku oportunis dari manajer di perusahaan sehingga perlu dikembangkan budaya organisasi ke arah good corporate culture (GCC) karena akan berdampak baik terhadap kinerja perusahaan.

Kata kunci: good corporate governance(GCG), budaya, kinerja, oportunis

ABSTRACT

Good corporate governance (GCG) has been widely discussed since 1999, but it is still an interesting topic up to present. Culture is also frequently said to be related to an organization performance. This article aims to review the relationship of GCG and culture with the company’s performance. This is a theoretical review based on previous empirical researches. The conclusion is that GCG and good corporate culture (GCC) would be the supporting factors to the company’s performance. Implementation of GCG would minimize management opportunistic behavior that would affect performance positively. Furthermore, organizational culture also takes part in anticipating management opportunistic behavior. Therefore, it would be important to develop organizational culture toward GCC due to its implication to the company’s performance.

Keywords: good corporate governance, culture, performance, opportunist

PENDAHULUAN

Tujuan utama setiap perusahaan adalah berusaha dapat mempertahankan hidupnya (going concern) dan memperoleh profit. Kemampuan perusahaan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan didirikan perusahaan tersebut menunjukkan

kinerja atau prestasi kerja. Tujuan perusahaan dapat diwujudkan dalam visi dan misi perusahaan. Selanjutnya, visi dan misi tersebut diterjemahkan dalam strategi perusahaan. Perusahaan dapat mengukur kinerja usahanya dengan menggunakan ukuran finansial (pertumbuhan

penjualan, pertumbuhan profit, dan pertumbuhan aset) dan nonfinansial (perputaran karyawan, kepuasan pelanggan, dan produktivitas). Hal tersebut juga sesuai dengan konsep pengukuran kinerja dari perspektif Balanced Scorecard yang melakukan pengukuran kinerja perusahaan dari dua sisi, yaitu sisi keuangan dan nonkeuangan. Konsep Balanced Scorcard dapat dijabarkan menjadi empat perspektif, yaitu (1) perspektif keuangan, (2) perspektif konsumen, (3) perspektif proses bisnis internal, dan (4) perspektif pertumbuhan dan pembelajaran.

Upaya peningkatan kinerja perusahaan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan eksternal perusahaan. Pengelolaan perusahaan yang baik termasuk faktor internal perusahaan sebaliknya lingkungan, kondisi perekonomian secara umum, dan kebijakan-kebijakan pemerintah merupakan faktor ekternal yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.

Sebuah pengalaman yang berharga bagi Indonesia adalah ketika terjadinya krisis pada tahun 1997-1998. Ketika krisis melanda negara Indonesia banyak bank dan perusahaan mengalami kerugian, bahkan sampai terjadi kebangkrutan. Terjadinya krisis yang melanda Indonesia memotivasi para peneliti melakukan riset berdasarkan fenomena tersebut. Hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa perusahaan - perusahaan yang mengalami dampak krisis tersebut sebagai akibat dari adanya tata kelola perusahaan (corporate governance) yang tidak bagus. Setelah masa krisis tersebut mulai muncul isu good corporate governance (GCG). Penerapan GCG menjadi suatu keharusan bagi setiap perusahaan untuk mencapai kinerja perusahaan yang baik. Hal itu penting karena tujuan diterapkannya GCG adalah untuk mengurangi perilaku oportunis manajer dan dapat meningkatkan nilai/kinerja perusahaan.

Upaya regulator dan pemegang saham untuk mengurangi perilaku oportunis manajemen atau disfungsional manajemen tidak hanya cukup dengan memaksakan manajemen untuk menerapkan suatu sistem yang dipandang bagus, seperti penerapan GCG. Namun, budaya organisasi/ perusahaan yang dianut dan diyakini oleh setiap individu dalam organisasi perlu juga mendapat perhatian karena budaya melekat pada individu sehingga dapat memengaruhi perilaku manusia dalam segala tindakan. GCG sebagai suatu sistem pengawasan perusahaan dengan tujuan mengutamakan kepentingan stakeholders. Praktik GCG berbeda di setiap perusahaan karena berkaitan dengan jenis usaha perusahaan, struktur kepemilikan, serta sosial dan budaya yang dianut oleh setiap perusahaan. Moeljono (2002) menyatakan bahwa budaya korporasi merupakan sistem nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, disamping itu dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan perilaku bagi setiap anggota dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan. Dengan demikian yang menjadi pokok kajian dalam makalah ini adalah bagaimana peranan good corporate governance (GCG) dan budaya dalam meningkatan kinerja perusahaan. Berdasarkan uraian dalam latar belakang ini, maka GCG dan budaya perusahaan yang baik (good corporate culture/GCC) adalah menjadi suatu faktor yang dapat memengaruhi peningkatkan kinerja perusahaan.

Teori yang mendasari pembahasan kajian GCG dan budaya ini adalah Organizational of Fit Theory. Kalau dilihat perkembangan teori fit, pada awalnya yang ada adalah teori organisasi, yaitu teori yang menjelaskan bagaimana sebenarnya organisasi distruktur dan

bagaimana organisasi dapat dikonstruksi guna meningkatkan keefektifan organisasi (Robbins, 1994; 6). Perkembangan selanjutnya adalah population ecology theory dan contigency yang kemudian menjadi sumber munculnya theory of fit, yaitu teori tentang keselarasan hubungan internal organisasi (Sobirin, 2007; 268). Jadi, organizational of fit theory atau teori fit menyatakan bahwa strategi organisasi harus fit dengan faktor-faktor lain agar organisasi mencapai kinerja yang baik. Dengan demikian, agar suatu organisasi/perusahaan bisa hidup berkelanjutan, organisasi harus bisa hidup selaras atau menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal sehingga tujuan perusahaan secara umum dapat dicapai. Keselarasan antara aspek internal dan eksternal akan mengangkat kinerja perusahaan menjadi meningkat. Selanjutnya, organisasi harus dirancang untuk dapat mencapai tujuan jangka panjang dalam wujud visi dan misi organisasi sehingga berdampak pada kinerja perusahaan seperti nilai perusahaan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya keselarasan faktor internal (seperti GCG) dan eksternal (budaya) akan mampu mengurangi manajer melakukan tindakan yang oportunis selanjutnya berdampak pada nilai/kinerja perusahaan menjadi meningkat.

Kajian ini berpedoman pada teori fit. Maksudnya, dengan adanya kesesuaian antara GCG dan budaya akan mampu mengurangi perilaku oportunis atau disfungsional manajemen yang dapat menurunkan kinerja perusahaan. Dengan demikian, penerapan GCG di perusahaan perlu mendapat dukungan dari budaya organisasi untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Muljono (2006) menyebutkan bahwa budaya organisasi adalah inti dari GCG. Untuk mencapai tujuan akhir didirikannya perusahaan tidaklah cukup hanya dengan menerapkan good

corporate governance (GCG). Namun, diperlukan juga dukungan faktor budaya organisasi sehingga menjadi good corporate culture (GCC).

Pada tahun 1999  Organization

for Economic Co-operation and Development (OECD) telah memublikasikan OECD Principles of Corporate Governance, yang memuat empat prinsip, yaitu keadilan/fairness   (berkaitan dengan

perlindungan terhadap seluruh kepentingan pemegang saham secara merata, termasuk kepentingan pemegang saham minoritas), transparansi/transparency     (merupakan

pengungkapan    informasi    kinerja

korporasi secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat dibandingkan), akuntabilitas/accountability  (akuntabilitas

manajemen dilakukan melalui pengendalian efektif berdasarkan kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham, pengurus, pengawas, dan auditor), dan pertanggungjawaban/responsibility (berkenaan dengan korporasi sebagai agen ekonomi yang harus selalu patuh terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dalam bidang perpajakan, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan, keselamatan kerja, standar pengajian, dan persaingan yang sehat) (Suta, 2005). Selanjutnya, GCG secara ringkas dijelaskan oleh Khairandy dan Malik ( 2007: 60) bahwa GCG merupakan suatu konsep tentang tata  kelola perusahaan yang sehat.

Konsep ini diharapkan dapat melindungi pemegang saham (stockholders) dan kreditor agar dapat memperoleh kembali investasinya, yang terdiri atas lima prinsip (yang disingkat TARIF), yaitu transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness. Dengan demikian, tujuan GCG adalah untuk memaksimumkan nilai perusahaan dan pemegang saham dengan mengembangkan transparansi, kepercayaan, dan pertanggung

jawaban, disamping itu menetapkan sistem pengelolaan yang mendorong dan mempromosikan kreativitas dan kewirausahaan yang progresif.

Konsep budaya pertama kali dipakai dalam disiplin ilmu antropologi, yang pada akhirnya ikut memperkaya bidang ilmu lainnya, seperti ekonomi termasuk juga akuntansi. Menurut Adaptationist School, budaya perusahaan adalah keyakinan dan nilai bersama yang memberikan makna bagi anggota sebuah institusi dan menjadikan keyakinan dan nilai tersebut sebagai aturan/pedoman berperilaku di dalam organisasi (Sobirin, 2007:131). Dari sudut pandang psikologi, Dayakisni dan Yuniardi (2008:59) menyatakan bahwa budaya sangat memengaruhi perilaku individu. Selanjutnya, dijelaskan bahwa pada tataran individual budaya memberikan pengaruh pada kehidupan individu lebih dari sekadar perilaku semata. Akan tetapi terlihat hubungan yang sangat dekat antara budaya dengan beberapa konsep dasar psikologi khususnya konsep yang membangun entit as psikologis seorang manusia, yaitu kepribadian dan konsep diri (Dayakisni dan Yuniardi, 2008:59). Moeljono (2002) menegaskan bahwa budaya organisasi berfungsi sebagai sistem perekat dan dapat dijadikan acuan perilaku bagi setiap anggota dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan. Hal itu diperkuat oleh Susanto et al. (2008) yang menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang menjadi pegangan sumber daya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan perilakunya di dalam organisasi.

Siallagan dan Machfoedz (2006) menemukan bahwa mekanisme GCG berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Demikian juga penelitian Klapper dan Love (2002), Kusumawati dan Riyanto (2005), Hastuti (2005), Brown dan

Robinson (2004), Herawati (2007), dan Putri (2011) menemukan GCG berpengaruh terhadap kinerja/nilai perusahaan. Dengan adanya penerapan GCG secara normatif akan mampu mengurangi perilaku oportunis manajemen. GCG akan meningkatkan pengendalian dan transparansi perusahaan.

Penelitian mengenai budaya yang dikaitkan dengan organisasi, seperti penelitian Hofstede (1983), (1998), (2003), dan Hofstede et al. (1990). Penelitian terdahulu mengenai budaya yang berkaitan dengan bidang akuntansi, seperti penelitian: Verma dan Gray (1997), Sudarwan (1995), Indriantoro (2000a) dan (2000b), Wiyantoro dan Sabeni (2007), Geiger et al. (2006), Fidrmuc dan Jacob (2010), dan Badera (2006). Badera (2006) meneliti tentang pengaruh good corporate governance dan budaya organisasi terhadap kinerja organisasi. Hasil risetnya menemukan bahwa GCG dan budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi.

PEMBAHASAN

Peranan Good Corporate Governance Good Corporate Governance (GCG), yaitu seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditor, pemerintah, karyawan, serta pihak intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan (FCGI, 2003). GCG sebagai proses dan struktur yang ditetapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama untuk meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholders (IICG, 2004). Dapat diartikan juga bahwa pada prinsipnya GCG mengandung

makna sistem tata kelola perusahaan yang baik dengan memerhatikan kepentingan stakeholders dan meningkatkan nilai/kinerja perusahaan.

GCG dapat diterima sebagai konsep yang wajib diterapkan oleh setiap organisasi karena mampu memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dan didukung oleh filosofi lahirnya konsep GCG. Clarke (2004) telah menguraikan filosofi yang mendasari sampai munculnya teori corporate governance, antara lain agency theory, stewardship theory, stakeholder theory, theories of convergence, dan post-enron theories. Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami good corporate governance. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal sehingga memicu biaya agensi (agency cost). Dalam kaca mata agency theory, weak governance merupakan bagian dari agency cost, yang terjadi dan mencerminkan adanya divergence of interest antara principal /pemilik dan agen/manajemen (Bambang, 2005).

Istilah ”good corporate governance” (GCG) pertama kali lahir pada tahun 1970 di Amerika Serikat. Istilah ini muncul setelah terjadinya skandal korporasi dan praktik korupsi yang dilakukan dalam perusahaan. Lahirnya GCG ini karena tuntutan pihak eksternal agar perusahaan tidak melakukan penipuan terhadap publik, yaitu informasi berupa laporan keuangan yang disajikan perusahaan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan. Di Indonesia isu GCG mulai diwacanakan 1999 pascakrisis moneter melanda Indonesia oleh pemerintah Indonesia dan International Monetery Fund (IMF) dalam rangka economy recovery. Krisis moneter merupakan sejarah yang

menyedihkan bagi perekonomian bangsa Indonesia. Banyak perusahaan dan bank mengalami keruntuhan, sampai akhirnya harus dilikuidasi. Kondisi ini sebagai tonggak dibentuknya Komite Nasional tentang Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) melalui Surat Keputusan Menteri Koordinator bidang EKUIN NO: KEP-10/M.EKUIN/1999 tanggal 19 Agustus 1999, yang telah menerbitkan Code of Good Corporate Governance.

Secara resmi pemerintah mengeluarkan peraturan berkaitan dengan GCG, yaitu Keputusan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Nomor: KEP.23/M-PM.PBUMN/2000 tentang penerapan praktik GCG pada BUMN. Selanjutnya disempurnakan dengan KEP.117/M-PM.PBUMN/2002. Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip korporasi yang sehat yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan, yang dilaksanakan semata-mata demi kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan (Khairandy dan Malik, 2007: 72). Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 8 Tahun 2007 juga mendukung penerapan GCG untuk perseroan terbatas.

Pedoman GCG yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance menjadi acuan dalam penerapan GCG di Indonesia yang memuat prinsip dan aturan, yaitu berikut: (1) hak pemegang saham dan prosedur RUPS, (2) tanggung jawab dan komposisi dewan komisaris, (3) tugas dan komposisi direksi, (4) pengaturan sistem audit, baik eksternal maupun komite audit, (5) fungsi sekretaris perusahaan sebagai mediator dengan investor, (6) pengaturan pihak-pihak yang berkepentingan, (7) adanya keterbukaan, (8) kewajiban menjaga

kerahasiaan informasi oleh komisaris dan direksi, (9) pengaturan tentang informasi dari orang dalam, (10) prinsip mengatur etika berusaha dan antikorupsi, (11) prinsip mengatur donasi, (12) prinsip yang mengatur kepatuhan pada peraturan perundang-undangan tentang proteksi kesehatan, keselamatan kerja, dan pelestarian lingkungan, dan (13) prinsip pengaturan kesempatan kerja sama mengenai hubungan kerja antara perusahaan dengan karyawan, bukan berdasarkan faktor lainnya.

Peranan Budaya Organisasi

Robbins (2006:721) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lainnya. Hosftede et al. (1990) mendefinisikan budaya korporasi merupakan keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial. Secara lengkap dinyatakan oleh Moeljono (2002) bahwa budaya organisasi adalah sistem nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan perilaku bagi setiap anggota dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan. Tika (2005:6--7) menyebutkan bahwa unsur yang terdapat dalam pengertian budaya perusahaan/ korporasi terdiri atas: sistem nilai, lingkungan bisnis, pahlawan, jaringan budaya, pola ritual keyakinan, nilai dan perilaku, gaya manajemen, sistem dan prosedur manajemen, norma-norma dan prosedur, serta pedoman perilaku. Dengan demikian, antara budaya organisasi dengan budaya korporasi saling terkait. Budaya perusahaan merupakan bagian dari budaya organisasi. Budaya yang

dianut di dalam perusahaan mempunyai peranan penting untuk mencapai tujuan perusahaan. Untuk dapat mencapai kinerja perusahaan baik, menurut Susanto et al. (2008:37) perlu dipahami peranan/ fungsi budaya organisasi dalam perusahaan, yaitu (1) sebagai pengikat (organization binder), (2) inter grator, (3) identitas organisasi, (4) energi untuk mencapai kinerja yang tinggi, (5) ciri kualitas (sign of quality), (6) motivator, (7) pedoman gaya kepemimpinan, dan (8) peningkatan nilai stakeholders.

Robbins (2006:725) menegaskan bahwa budaya menjalankan sejumlah fungsi dalam perusahaan. Pertama, budaya menciptakan perbedaan antara satu organisasi dan lainnya. Kedua, budaya memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya membantu timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang. Keempat, budaya merupakan perekat sosial yang membantu memersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dilakukan oleh karyawan. Selanjutnya, Robbins (2006:726) menyimpulkan bahwa budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan pengendali yang memandu dan membentuk perilaku para karyawan. Dengan demikian, pucuk pimpinan dalam suatu perusahaan seharusnya memerhatikan dan memertahankan suatu budaya organisasi yang cocok dengan para karyawan dan lingkungan perusahaan sehingga menjadi budaya yang kuat dalam mendukung tujuan perusahaan.

Jenis-jenis Budaya Organisasi

Budaya dalam organisasi sepintas tampak ada keseragaman. Namun, jika ditelusuri, akan ada budaya yang berbeda dari setiap individu karena dalam berperilaku tidak semua anggota

organisasi melakukan dengan cara yang sama. Akibatnya, di dalam organisasi terdapat dua kategori budaya, pertama, budaya yang dominan/ dominant culture merupakan kumpulan nilai utama yang dipakai bersama oleh mayoritas anggota organisasi. Kedua, sub-budaya/subculture merupakan kumpulan nilai yang dipakai bersama dalam kelompok minoritas organisasi (Luthans, 2005: 126).

Dominant culture akan membedakan kepribadian organisasi secara keseluruhan dengan organisasi lainnya dan mengandung nilai-nilai utama yang dapat diterima oleh seluruh anggota organisasi. Subculture merupakan sebagai bagian budaya yang berkembang dalam organisasi, yang secara spesifik ditumbuhkan oleh perbedaan geografis, yang merupakan hasil kontribusi nilai dari sebagian anggota organisasi. Selanjutnya, Susanto et al. (2008) menjelaskan bahwa subculture dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) fungsional/divisional subculture, subculture di bagian keuangan akan berbeda dengan di bagian pemasaran, (2) subsidiaries subculture, anak perusahaan yang satu dengan yang lainnya sering kali memiliki budaya yang berbeda berdasarkan bidang industri yang ditekuninya, konsumen yang dilayani, dan kompetisi yang dihadapi, (3) geographical subculture, letak geografis yang berbeda-beda tempat perusahaan beroperasi sering kali membentuk subculture tertentu karena pengaruh budaya masyarakat, negara, atau daerah setempat, (4) joint venture subculture, anak perusahaan yang merupakan hasil kerja sama dengan yang lain menghasilkan budaya kombinasi dengan yang lain dan menghasilkan culture tertentu, dan (5) business climate subculture, iklim bisnis, atau karakteristik bisnis tertentu menuntut culture dengan karakteristik tertentu.

Budaya yang dianut dalam organisasi menurut Robbins (2006:724) ada yang bersifat kuat atau lemah. Organisasi yang mempunyai budaya yang kuat berarti budaya organisasi akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku anggota-anggota organisasi. Budaya yang kuat ini dapat berdampak baik positif maupun negatif terhadap kinerja organisasi. Pengaruh positif budaya yang kuat akan memperlihatkan kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang harus dipertahankan sehingga dapat membina kesetiaan dan komitmen terhadap organisasi. Namun, budaya dapat juga menjadi hambatan dalam suatu organisasi. Hambatan ini terjadi apabila nilai-nilai bersama tidak cocok lagi dengan nilai yang akan meningkatkan efektivitas organisasi. Ketika organisasi mengalami perubahan yang cepat, sebaliknya budaya yang telah mengakar mungkin sudah tidak tepat lagi.

Dimensi Budaya dalam Organisasi

Beberapa hasil penelitian empiris memandang bahwa budaya yang tercermin di dalam perusahaan bisa dipahami dari dimensi. Dimensi yang bisa diadopsi untuk melihat budaya organisasi suatu perusahaan, seperti budaya yang dikemukakan oleh Hofstede, Reynold, dan Denison (Sobirin, 2007: 187) serta dimensi menurut Trompenaars (Luthans, 2005;54). Keempat dimensi budaya tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Dimensi Budaya oleh Hofstede

Hofstede melakukan survei terhadap perusahaan multinasional IBM yang ada di lima puluh negara dan tiga region, dengan responden nya adalah karyawan perusahaan tersebut. Hasil survei Hofstede menemukan adanya perbedaan nilai-nilai kerja dari setiap

perusahaan tersebut yang disebabkan oleh perbedaan budaya. Hofstede (1983) membedakan secara umum dimensi budaya yang berpengaruh pada nilai-nilai kerja suatu organisasi menjadi empat dimensi budaya yaitu sebagai berikut:

  • (1)    Power distance/jarak kekuasaan, adalah mengungkapkan jarak hubungan   antara   atasan dan

bawahan atau antara yang memiliki kekuasaan  dengan  orang  yang

tidak memiliki kekuasaan.

  • (2)    Idividualism-collectivism, berkaitan dengan hubungan antarindividu.       Individualism

memiliki ciri tidak bergantung pada orang lain dan lebih peduli pada dirinya yang terbalik dengan collectivism.

  • (3)    Masculinity-feminity, berkaitan dengan perbedaan peran gender. Budaya yang cenderung maskulin memiliki ciri lebih mementingkan harta milik, kompetisi, dan kinerja, sebaliknya     feminim     lebih

mementingkan kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja.

  • (4)    Uncertainty avoidance/ menghindari ketidakpastian. Hal ini menjelaskan toleransi seseorang terhadap situasi dan reaksinya terhadap situasi tersebut. Salah satu ciri strong uncertainty avoidance adalah ketidakpastian dianggap sebagai ancaman sehingga harus diantisipasi, sebaliknya weak uncertainty avoidance, yaitu ketidakpastian dianggap normal dalam hidup yang harus diterima apa adanya.

Hofstede melakukan penelitian lanjutan yang sebelumnya telah menemukan empat dimensi budaya nasional. Selanjutnya, Hofstede et al. (1991) menemukan ada enam dimensi budaya organisasi, yaitu (1) budaya berorientasi proses vs hasil, (2) budaya berorientasi

pegawai vs pekerjaan, (3) budaya bersifat porochial vs Profesional, (4) budaya bersifat terbuka vs tertutup, (5) budaya kontrol terbuka vs kontrol tertutup, dan (6) budaya pragmatis vs normatif.

Dimensi Budaya oleh Reynols

Reynols (1986) mengemukakan bahwa untuk memahami budaya suatu perusahaan bisa dilihat dari empat belas dimensi, yaitu (1) dimensi budaya berorientasi ekstenal vs internal, (2) berorientasi pada tugas vs aspek sosial, (3) menekankan pada pentingnya safety vs berani menanggung risiko, (4) menekankan pada pentingnya confirnity vs individuality, (5) pemberian reward berdasarkan kinerja individu vs kinerja kelompok, (6) pengambilan keputusan secara individu vs kelompok, (7) pengambilan keputusan terpusat (centralized) vs desentralized, (8) menekankan pentingnya perencanaan vs ad hoc, (9) menekankan pentingnya stabilitas organisasi vs inovasi organisasi, (10) mengarahkan karyawan untuk kooperatif vs kompetisi, (11) menekankan pentingnya organisasi yang sederhana vs kompleks, (12) prosedur organisasi bersifat formal vs informal, (13) menuntut karyawan sangat loyal kepada organisasi vs tidak mementingkan loyalitas karyawan, dan (14) inorance vs knowledge.

Dimensi Budaya oleh Denison

Dimensi budaya menurut Denison berbeda dengan dimensi budaya menurut Hofstede dan Raynols. Denison (1990) mengemukakan bahwa dimensi budaya organisasi ada empat yang dikaitkan dengan efektivitas organisasi. Keempat dimensi tersebut, yaitu sebagai berikut.

  • 1)    Invovement dimension, maksudnya dimensi budaya yang menunjuk kan tingkat partisipasi anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan.

  • 2)    Consistency,     menunjukkan

tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi.

  • 3)    Adaptability     menunjukkan

kemampuan organisasi dalam merespons perubahan-perubahan lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan lingkungan internal organisasi.

  • 4)    Mission adalah dimensi budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang menjadikan anggota organisasi teguh dan fokus terhadap apa yang dianggap penting dalam organisasi.

Dimensi Budaya Menurut Trompenaars

Trompenaars (1993) meng identifikasi lima dimensi budaya, yaitu sebagai berikut, (1) Universalisme vs Particularisme. Budaya yang universalisme adalah budaya yang menekankan aturan formal yang ketat (anggota organisasi akan berusaha mengikuti aturan dan prosedur dalam organisasi). Sebaliknya, particularisme lebih fokus pada hubungan personal dan berdasarkan kepercayaan dari pada aturan formal. (2) Individualisme vs Collectivisme. Individualisme mengacu pada orang yang menganggap dirinya sebagai individu, sebaliknya collectivisme mengacu pada orang yang menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok. (3)Netral vs Afektif. Budaya netral tidak menunjuk kan perasaannya, emosi ditahan dan tidak diekspresikan, sebaliknya afektif adalah kebalikannya, yaitu     emosi

diekspresikan secara terbuka. (4) Spesifik vs difusi. Pada budaya spesifik akan ada pemisahan yang kuat antara pekerjaan dengan urusan pribadi, sebaliknya difusi pekerjaan dan kehidupan pribadi dan berhubungan erat, (5) Prestasi vs askripsi. Budaya prestasi jika seorang diberi status berdasarkan seberapa baik mereka menampilkan fungsinya atau

memberikan status tinggi untuk pencapaian yang tinggi. Sebaliknya, budaya askripsi adalah pemberian status berdasarkan gender, umur, atau koneksi sosial.

Dengan mengkaji secara teoretis dan didasarkan penelitian terdahulu maka permasalahan peranan dari GCG dan budaya dalam meningkatkan kinerja perusahan terjawab dengan meyakinkan. Apa yang dijelaskan secara normatif peranan GCG adalah sangat membantu manajemen dalam mengelola perusahan dan mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Peranan GCG sangat berkontribusi terhadap semua pemangku kepentingan (stakeholders), yaitu pemegang saham, manajemen, karyawan, mitra kerja, pemerintah, dan lingkungan. Karena penerapan GCG berpatokan pada lima prinsip utama yang dikenal dengan istilah TARIF. Jika nilai-nilai yang terkandung dalam istilah TARIF (transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness) dipenuhi maka tidak akan ada pihak yang dirugikan. Hal ini bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin tercapai. Karena kondisi tata kelola perusahaan yang baik didukung oleh teori stewardship, yaitu pada dasarnya manusia dapat dipercaya untuk melakukan hal yang baik.

Peningkatan kinerja perusahaan akan lebih baik lagi jika didukung oleh adanya budaya organisasi yang baik atau good corporate culture (GCC). Budaya yang dimaksud dalam kajian ini adalah budaya organisasi yang diterapkan oleh perusahaan dan harus diikuti oleh setiap anggota organisasi. Di samping itu, juga akan ada budaya yang telah melekat pada diri individu anggota organisasi yang dipengaruhi oleh lingkungan dari mana dan di mana anggota organisasi dan organisasi tersebut berada. Budaya apa pun yang melekat pada anggota

organisasi hendaknya tidak menjadi suatu hambatan bagi suatu organisasi/ perusahaan untuk mencapai tujuannya. Budaya lokal yang telah membudaya tersebut tentunya akan menjadi kekuatan bagi perusahaan.

Seperti apa yang dinyatakan oleh Moeljono (2006) bahwa budaya merupakan inti dari GCG. Jadi, harus ada kesesuaian antara budaya yang baik atau good culture (GC) dengan GCG untuk mendapatkan peningkatan nilai/kinerja perusahaan, yang sesuai dengan organizational of fit theoey. Dengan demikian, peranan GCG dan pengembangan budaya organisasi yang good culture sangat penting karena berkaitan dengan memberikan perlindungan terhadap kepentingan stakeholders yang akan berdampak pada peningkatan kinerja perusahaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa good corporate governance (GCG) dan budaya perusahaan yang baik (good corporate culture/GCC) akan menjadi faktor pendukung tercapainya kinerja perusahaan yang baik. Penerapan GCG pada perusahaan akan mampu meminimalkan sifat oportunis dari para manajemen sehingga berdampak pada perbaikan kinerja perusahaan. Demikian juga, Peranan budaya organisasi sangat penting dalam mengantisipasi perilaku oportunis dari manajer di perusahaan sehingga perlu dikembangkan budaya organisasi ke arah good corporate culture (GCC) karena akan berdampak baik terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya, juga memberikan dukungan terhadap organizational of fit theory yang menjelaskan bahwa diperlukan adanya kesesuaian antara good corporate governance (GCG) dan budaya

organisasi yang good corporate culture (GCC) untuk mencapai tujuan perusahaan yang terwujud dalam peningkatan kinerja perusahaan.

REFERENSI

Ahrens,T dan M. Mollona. 2007. “Organisational Control as Cultural Practice - A Shop Floor Ethnography of a Shelffield Steel Mill, Accounting, Organization, and Scienty 32:305--331.

Badera, I N. 2006. “Pengaruh Corporate Governance Terhadap Kinerja Perusahaan dengan Budaya Organisasi sebagai Variabel Pemoderasi”. Audi Jurnal Akuntansi Dan Bisnis, Vol. 1. No.1.

Clarke, Thomas. 2004. Theories of Corporate Governance,    The

Philosophical Foundations of Corporate Governanace, London & New York. Routledge. Taylor & francis Group.

Darmawati, D., Khomsiyah, dan R. Gelar Rahayu.    2004.    “Hubungan

Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan”. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar.

Dayakisni, T. dan S. Yuniardi. 2008. Psikologi Lintas Budaya, Malang: UMM Press

Hastuti, Theresia Dwi. 2005. “Hubungan Good Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan dengan Kinerja Keuangan”. Proceding Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo.

Hawkins, David. 1974. “Behavioral Implications of Generally Accepted Accounting Principles”.

Behavioral Aspects of Accounting (Michael Schiff and Arie Y Lewin): p.341--352. Prentice-Hall INC.

He, Liyu, Sue Wright, Elaine Vans, dan Sue Crowe. 2007. “Earnings Management in Australia Under New ASX Corporate Governance Guideline”.     Working Paper

Department of Accounting and Finance at Macquarie University.

Herawati, Erna. 2007. “Pengaruh Elemen-elemen Mekanisme Good Corporate Governance terhadap Earning Management dan Kinerja Perusahaan”. Disertasi. Universitas Airlangga.

Hofstede, Geert. 1983. “The Cultural of Practices and Theories”. Jounal International Business. Vol 14 p 75-89.

Hofstede, Geert, B. Neuijen, Ghayv, D. Dawal, dan Geert Sandes. 1990. “Measuring Organization and Sosial Cultures: A Qualitatives Study a Cross       Twenty       Cases”.

Administrative Sciane Quartely 35(2): 286--316

Hofstede, Geert. 1991. Culture and Organizations, Software of the Min. McGraw-Hill

Khairandy, R. dan Malik. 2007. Good Corporate Governance. Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum. Yogyakarta. Kreasi Total Media.

Kusumawati, Novi, Dwi, dan Riyanto, Bambang LS. 2005. Analisis Pengaruh Compliance Reporting dan Struktur Dewan terhadap Kinerja, Prosiding Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo.

Luthans, Fred. 2005. Perilaku Organisasi,   Edisi Terjemahan.

Yogyakarta. Andi.

Moeljono, D. 2002. “Pengaruh Budaya Korporat (Corporate Culture) terhadap Produktivitas Pelayanan di PT. Bank Rakyat Indonesia Persero”. Desertasi. Universitas Gadjah Mada.

Moeljono, D. 2006. Good Corporate Culture Sebagai Inti Dari Good Corporate Governance. Jakarta. PT. Gramedia.

Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi.   Edisi Terjemahan.

Jakarta. PT. Indeks Kelompok Gramedia.

Shleifer, A. dan R.W. Vishny. 1997. “A Survey of Corporate Governance”. Journal of Finance, Vol.52. No.2. Juni, hal.737—783.

Siallagan, Hamonangan dan M. Machfoedz. 2006. “Mekanisme Corporate Governace, Kualitas Laba, dan Nilai Perusahaan”. Proceding Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.

Sobirin, Achmad. 2007. Budaya Organisasi.  Yogyakarta. Penerbit

UPP STIM YKPN.

Susanto, A.B, F.X, Sujanto, Wijarnako, Himawan,   Patricia,   Mertosono,

Suwahjuhadi, dan W. Ismangil. 2008. A  Stategic  Management

Approach,  Corporate  Culture &

Organization Culture. Jakarta. The Jakarta Consulting Group.

Tika, Moh. Pabundu. 2005. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja. Jakarta. Bumi Aksara.

Verma, Sraddha dan S. Gray. 1997. “The Impact of Culture on Accounting Development  and  Change:  an

Exploratory Model, A Rivised Draft of This Paper Prepared for Presentation     at     International

Assosiation    for    Accounting

Education and Research in Oktober, in Paris”. http//:www.google.com.

20 Oktober 2008.

Wiyantoro, Lili Sugeng dan Arifin. 2007. “Hubungan antara Sistem Pengendalian Manajemen dengan Perilaku Dysfungsional:  Budaya Nasional

sebagai Variabel Moderating”. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi 10 Makasar.

Vol. 7, No. 2, Juli 2012

AUDI

Jurnal Akuntansi & Bisnis

204