MENGENAL SIAPA AKU DALAM MEMBANGUN ATAU MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN (=AKUNTANSI)
on
I Made Sadha Suardikha, Mengenal Siapa Aku dalam membangun... 119
MENGENAL SIAPA AKU DALAM MEMBANGUN ATAU MENGEMBANGKAN ILMU PENGETAHUAN (=AKUNTANSI)
I Made Sadha Suardikha
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana surel : [email protected]
ABSTRAK
Aku dalam pertanyaan siapa Aku? adalah kesadaran tertinggi yang dicapai oleh manusia, yang tidak lain adalah diri sejatinya yang menyatu atau yang tunggal dengan sumbernya, merupakan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, sepertinya ada tetapi tidak ada. Jadi aku dalam pertanyaan siapa aku? adalah sesuatu yang ada tetapi tidak ada, yaitu Tuhan. Membangun atau mengembangkan ilmu pengetahuan (=akuntansi) melalui aktivitas manusia yang merupakan tempat bersemayamnya Aku, yaitu Tuhan, dapat dilakukan melalui profesi atau swadharma masing-masing manusia itu sendiri. Profesi manusia yang digunakan sebagai sarana untuk membangun atau mengembangkan ilmu pengetahuan (=akuntansi) adalah profesi yang berkaitan dengan akuntansi.
Kata kunci: siapa Aku?, membangun atau mengembangkan, ilmu pengetahuan, akuntansi
ABSTRACT
I’m in question who I am? is the supreme consciousness that reached by humans, which is a true self that blends or single source, is something that can not be explained, but it seems there is none. So I’m in the question who I am? is something there but no, that is God. Build or develop science (= accounting) through human activity which is the abode of I, which is God, can be done through a profession or Swadharma each man himself. Profession man used as a means to build or develop science (= accounting) is related to the accounting profession.
Keywords: who I am?, build or develop, science, accounting
PENDAHULUAN
Pada saat ini kondisi dunia kelihatan sakit akibat interaksi yang tidak sehat dan tidak sehimbang antara manusia-manusia yang hidup didalamnya. Sebagian besar di antara manusia yang hidup selalu mengejar dan konsentrasi yang terlalu tinggi terhadap pengembangan aspek intelektual untuk membekali hidupnya tanpa memperhatikan aspek emosional dan aspek sepiritual. Hal ini dapat melahirkan manusia-manusia yang memiliki kepribadian terbelah, yang menimbulkan kekacaubalauan tatanan kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupannya.
Konsentrasi manusia saat ini dalam mengembangkan aspek intelektual hanya sebatas nalar lahiriah yang berpijak kepada materialisme, baik yang berkedok ilmu pengetahuan maupun berselimutkan sosial ekonomi ataupun nasionalisme. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manusia-manusia yang ateis dan materialis di dunia maya ini
(Ja’far, 2007). Apabila konsentrasi dan pengembangan intelektual ini didasarkan pada kecerdasan yang berlandaskan Tri Kaya Parisudha, yaitu tiga dasar prilaku manusia yang suci yaitu: pikiran yang suci, perkataan yang baik/suci, dan perbuatan yang baik/suci (Drucker, 1996; Sudharta dan Atmaja, 2001) serta Tri Hita Karana, yaitu: memelihara hubungan yang harmonis antar sesama, hubungan dengan lingkungan, dan hubungan dengan Tuhan; maka manusia akan mampu mencapai kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual sempurna (Windia, 2007; Kaler, 1983; Surpha, 1991; Pitana, 1994; dan Palguna, 2007).
Manusia di dalam melakoni kehidupannya bukan tidak perlu mengejar dan konsentrasi untuk mengembangkan aspek intelektual, akan tetapi sejalan dengan konsentrasi dan pengembangan aspek
intelektual tersebut harus diimbangi dengan aspek emosional dan aspek spiritual sehingga melahirkan pribadi-pribadi yang mampu menembus fakta dan kebenaran yang hakiki. Mengejar dan konsentrasi dalam mengembangkan aspek intelektual dalam wujud pengetahuan yang dilakukan manusia adalah untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan, keterikatan, kegelapan dan kebodohan.
Untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan, keterikatan, kegelapan dan kebodohan ini adalah dengan menimba pengetahuan, dalam hal ini adalah kebijaksanaan atau pengetahuan spiritual (Drucker, 1996). Agustian (2005) menggabungkan kedua energi Emotional Quotient dan Spiritual Quotient kedalam Emotional Quotient and Spiritual Quotient (ESQ), sehingga satu sama lainnya bersinergi untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar dan hakiki. Dengan demikian, pengetahuan yang benar dan hakiki sebetulnya merupakan kebenaran yang hakiki. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki ini manusia dituntut untuk mampu mengenal dirinya sendiri, mengenal jati dirinya, atau mengenal siapa aku yang sejati. Berdasarkan hal tersebut dapat disimak bahwa manusia yang hidup di alam ini adalah tempat bersemayamnya “Aku” yang tiada lain adalah Tuhan. “Aku” inilah yang memberikan manusia kemampuan untuk mengembangkan intelektualitasnya dengan cara menimba pengetahuan untuk dapat membangun dan mengembangkan pengetahuan (=Akuntansi).
PEMBAHASAN
Tujuan Hidup dan Pemberdayaan Diri
Nabi Muhammad SAW dalam meniti kehidupannya melewati jalan yang amat panjang. Ia selalu merenung dan berpikir untuk mencari hakekat kebenaran. Dalam mencari hakekat kebenaran ini ia mengasingkan diri dalam gua Hira. Di pengasingan ia bertekun dalam renungan dan ibadah. Jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari kebenaran dan hanya kebenaran semata. Tahun telah berganti tahun dan setiap tahun tiba bulan Ramadhan ia selalu kembali ke gua Hira untuk merenung dan merenung, dikit demi sedikit Muhammad bertambah matang, jiwanya pun semakin penuh dan setelah beberapa tahun lamanya jiwanya terbawa hanyut oleh kesadaran tertinggi yang memancarkan cahaya kebenaran (Agustian, 2005). Kebenaran inilah yang selama ini ia cari
dalam hidupnya. Memperhatikan penjelasan ini, maka dapat diambil maknanya bahwa tujuan hidup ini sebetulnya adalah menemukan ‘kebenaran yang hakiki’, karena kebenaran yang hakiki ini adalah kekal abadi, yang membawa manusia ke asalnya, yaitu Tuhan.
Tujuan hidup ini bukan semata-mata untuk mengejar material atau benda-benda duniawi yang semuanya sifatnya semu, tetapi kita harus dapat menggunakan hati kita yang paling dalam untuk merasakan apa yang ingin kita rasakan sebagai tujuan hidup kita yang sejati, yaitu kebahagiaan yang sejati/ abadi atau kebahagiaan rohani. Jadi dalam hal ini yang menjadi tujuan hidup kita yang paling hakiki adalah ‘kebahagian abadi’ yang hanya bisa dirasakan oleh hati kita yang paling dalam yang ada dalam diri kita, bukan oleh pikiran kita yang selalu menginginkan kebahagian jasmani/semu. Pernyataan ini disimak dan dialoh dalam sebuah adegan pada sinetron yang ditayangkan dalam saluran Televisi swasta pada hari Jumat tanggal 26 Oktober 2007.
Suryani (2000) menyatakan bahwa dalam menjalankan kehidupan ini sering kita bertanya bagaimana memaknai hidup ini agar kita dapat mencapai tujuan hidup yang sejati. Makna dari hidup ini selalu dicari oleh orang-orang, karena memaknai kehidupan pada akhirnya tujuan hidup ini akan dapat dicapai. Seseorang dalam pencarian makna dari hidup ini menemukan bahwa untuk menciptakan atau mencapai kebahagiaan, maka ia memberikan kebahagian kepada orang lain dengan cara memberikan bantuan kepada orang lain dan mereka dapat merasakan kebahagiaan setelah bantuan itu diberikan. Jadi berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimak bahwa tujuan hidup ini adalah ‘memaknai hidup’, agar kebahagiaan dapat dicapai dalam mengarungi hidup ini.
Mencapai Tuhan berarti mencapai segala-galanya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meditasi, yaitu suatu cara untuk terus menerus mengarahkan pikiran ke dalam batin agar manunggal dengan Tuhan, dan yang lebih utama lagi adalah mengembangkan kebijaksanaan yang timbul dari kebiasaan untuk melakukan penyelidikan batin secara terus menerus dengan tekun (Drucker, 1996). Ini merupakan tujuan hidup yang unik dalam hidup manusia yang pada suatu saat akan dicapai oleh seluruh umat manusia adalah mencapai tingkat kedamaian dan kebahagiaan yang tertinggi atau mencapai/menyatu dengan Tuhan. Jadi berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat
disimak bahwa tujuan hidup manusia yang selalu didambakan adalah ‘menyatu dengan Tuhan’.
Dalam menempuh kehidupan ini, banyak godaan yang membayangi kita yang menyebabkan pikiran menjadi liar, sukar untuk dikendalikan. Untuk itu pikiran ini jangan dilawan dan kenalilah sifat pikiran tersebut, sehingga pikiran itu dapat dikendalikan. Selama pikiran tidak terkendalikan dan hanya memikirkan hal-hal yang menyangkut dunia luar atau dunia benda, maka perjalanan ke dalam diri tidak akan terwujud (Krishna, 2001). Oleh karena itu temukan jati diri untuk bisa meniti jalan kedalam diri. Hal ini dapat dilakukan dengan cara berpikir yang jernih, sehingga terbentuk kesadaran dalam diri kita. Hanya dengan kesadaran kita dapat membebaskan diri dari siklus kelahiran dan kematian. Menyimak uraian dalam paragraf ini, maka dapat dikatakan bahwa tujuan hidup ini adalah ‘menemukan jati diri’, karena dengan ini kebahagiaan akan tercapai yang merupakan hasil langsung pencerahan.
Berdasarkan penjelasan dari beberapa paragraf di atas dapat disimak bahwa tujuan hidup manusia dimaknai dalam berbagai istilah yaitu: kebenaran yang sejati, kebahagiaan yang abadi, memaknai hidup, menyatu dengan Tuhan, dan menemukan jati diri. Dari berbagai macam istilah tersebut sesungguhnya memiliki makna yang sama, bahwa tujuan hidup ini adalah mencapai kebahagiaan sejati yang pada hakekatnya adalah menyatu dengan Tuhan.
Menyatu dengan Tuhan merupakan Tujuan hidup manusia yang unik dan universal yang merupakan tujuan akhir dari hidup ini. Untuk dapat mencapai tujuan hidup ini, maka manusia harus mampu mengenali siapa dirinya yang sejati atau siapa aku. Oleh karena itu manusia dalam melakoni hidup ini harus mampu memberdayakan dirinya dengan penuh kesadaran, kejujuran, kewarasan, kebijakan, dan kasih kepada sesama dan alam ini.
Memberdayakan diri, harus dapat di mulai dari dirinya sendiri. Karena dia sendirilah yang paling tahu apa sesungguhnya yang dibutuhkan untuk melakoni hidup ini. Memulai dari diri sendiri untuk memberdayakan diri adalah merupakan sesuatu yang sangat sulit. Kesulitan ini timbul karena kita selalu menganggap diri kita ini selalu benar, tidak pernah salah dan bahkan selalu sempurna. Pada hal kita banyak mempunyai kekurangan, semasih kita belum mampu menemukan diri kita sendiri. Krishna (2003) menjelaskan: bahwa mulailah dengan diri anda sendiri. Jangan mengubah dunia. Apapun yang anda anggap ‘tidak benar’, ambillah, tariklah ke dalam
diri. Lalu diolah menjadi ‘yang benar’, dan sebarkan kebenaran itu. Begitu juga dengan kelemahan-kelemahan di dalam diri anda. Anda harus mengolahnya sendiri menjadi kekuatan. Dengan proses ini kita sebagai manusia telah melakukan sesuatu yang mulia di dalam rangka memberdayakan diri untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki.
Dalam kehidupan ini kita tidak bisa terlepas dari ketergantungan pada orang lain, selama pikiran masih diikat oleh indera kita. Seperti dijelaskan oleh Krishna (2006): pada hari ini, dalam keadaan mengidap penyakit kanker, kau berkesempatan untuk memperoleh informasi dari lontar ini ....Kau tidak dapat dibantu oleh siapapun, kecuali kau membantu dirimu sendiri. Janganlah bersandar pada siapapun! Kau punya kekuatan untuk menyembuhkan dirimu sendiri. Bangkitlah ....Dari pernyataan ini dapat disimak bahwa kita harus menolong diri sendiri tanpa mengharapkan campur tangan orang lain dalam menyelesaikan masalah kehidupan ini. Tentu untuk dapat menolong diri sendiri, kita harus memberdayakan diri kita dengan penuh kesadaran, kejujuran, kewarasan, kebijakan, dan kasih kepada sesama dan alam ini. Hal ini tentu akan memberikan kebahagiaan kepada setiap insan, mahluk yang ada di muka bumi ini.
Di dalam Gyan Vigyan Yoga sloka 20 dikatakan ‘Sebalikya mereka yang tidak dapat memilah dan menyadari mana yang terbaik bagi diri mereka, berulang kali mengalami kelahiran dan kematian dan menyatu dengan kekuatan alam ini’ (Krishna, 1998). Artinya bahwa mereka yang mampu memilah dan menyadari mana yang terbaik bagi dirinyalah yang akan menemukan jati dirinya, yaitu kesadaran sejati yang merupakan manifestasi ‘Sang Aku’. Kesadaran ini adalah kesadaran akan jati diri kita, menyadari bahwa ‘Aku dan Kamu’ pada hakekatnya satu, bahwa sebenarnya kita semua merupakan manifestasi ‘Sang Aku’ yang tunggal adanya (Krishna, 1998). Konsep ‘Aku dan Kamu’ pada hakekatnya satu, merupakan filsafat Hindu yang megajarkan kesosialan dan kesusilaan yang tanpa batas karena diketahui bahwa ‘ia adalah kamu, saya adalah kamu dan segala mahluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial dan susila ini juga diresapi oleh sinar-sinar tuntunan kesucian Tuhan dan tidak oleh jiwa kebendaan belaka. Konsep ini terkenal dengan filsafat ‘Tat Twam Asi’ (Sudharta dan Atmaja, 2001).
Jadi dalam memberdayakan diri, kita harus dapat memilah mana yang benar dan mana yang salah, dan selanjutnya juga harus dapat memilih mana yang
paling baik bagi diri kita sendiri. Hal ini harus dilakukan karena diri kitalah yang paling tahu apa-apa yang dibutuhkan dan apa yang pantas. Untuk dapat melakukan hal ini kita harus memliki pengetahuan, tetapi hanya memiliki pengatahuan saja belumlah cukup. Pengetahuan ini harus didasari oleh kesadaran sejati, karena dengan pengetahuan saja kita akan menjadi buta dan mudah terombang-ambing oleh pikiran yang terikat oleh indera kita. Oleh karena itu, Pengetahuan yang harus kita miliki adalah pengetahuan sejati, yaitu pengetahuan yang merupakan pengalaman sendiri berdasarkan kesadaran sejati, yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam, yang merupakan suara hati yang paling hakiki. Suara hati yang paling hakiki inilah yang mampu memilah dan memilih reaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi pada diri kita.
Berdasarkan kisah film ‘Life is Beautiful’ dan kisah Bilal, Agustian (2005) menjelaskan bahwa kita sesungguhnya memiliki kebebasan memilih reaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi atas diri kita. Kitalah penanggungjawab utama atas sikap yang kita ambil, bukan lingkungan kita. Diri sendirilah sesungguhnya penentu pilihan tersebut. Oleh karena itu di dalam menjalani hidup ini kita harus mempunyai prinsip hidup. Prinsip hidup inilah yang perlu dan selalu digunakan sebagai dasar bertindak di dalam memberdayakan diri. Prinsip hidup ini harus kokoh tak tergoyahkan oleh gelombang, bahkan badai kehidupan sekalipun. Tentu prinsip hidup ini dilandasi kebebasan memilih reaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi atas diri kita. Karena kitalah yang paling tahu keadaan kita sendiri melalui suara hati kita yang paling dalam.
Suara hati yang paling hakiki adalah merupakan bentuk kesadaran yang sejati dalam memberdayakan diri untuk dapat mengenali diri kita yang sejati. Mendengar suara hati kita yang hakiki kita akan mampu melepaskan diri kita dari belenggu duniawi. Karena dengan mendengarkan suara hati dan melaksanakannya dalam melakoni kehidupan di dunia ini, niscaya akan melahirkan kesucian batin.
Kesucian batin merupakan perpaduan antara pikiran yang suci, perkataan yang baik/suci, dan perbuatan yang baik/suci dan mampu dilaksanakan dan dinikmati secara selaras bersama-sama (Drucker, 1996). Dalam melakoni kehidupan kita juga harus memperhatikan dan melaksanakan: bagaimana memelihara hubungan yang harmonis antar sesama, hubungan dengan lingkungan, dan hubungan dengan Tuhan. Dengan memadukan menjadi satu kesatuan
antara pikirin yang suci, perkataan yang baik, dan perbuatan yang baik dengan tetap menjaga hubungan yang harmonis antar sesama, hubungan dengan lingkungan, dan hubungan dengan Tuhan; maka kita akan tetap dapat menjaga keseimbangan diri kita di dalam memberdayakan diri untuk dapat mencapai kesadaran yang sejati, mengenal diri sejati dan menyatu dengan ‘Sang Aku’.
Jadi dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa untuk mencapai tujuan akhir dari hidup manusia, mereka harus mampu memberdayakan dirinya. Karena dengan memberdayakan diri, maka manusia akan dapat mengenal jati dirinya yang sejati. Mengenal jati diri yang sejati pada hakekatnya akan dapat mengenali ‘siapa aku?’
Mengenal Siapa Aku?
Pembahasan pada sub-sub sebelumnya telah menjelaskan apa tujuan hidup itu dan bagaimana memberdayakan diri untuk mencapai tujuan hidup itu? Berdasarkan hal tersebut dapat disimak bahwa tujuan hidup itu adalah bagaimana manusia mampu mengenal dirinya yang sejati, yang tiada lain adalah ‘Sang Aku/Tuhan’ atau bagaimana manusia mampu bersatu dengan Tuhan. Sudharta dan Atmaja (2001) menyebutnya moksa, yaitu kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari karmaphala, bebas dari samsara atau menyetukan diri dengan Sang Hyang Widi/Tuhan. Untuk mencapai tujuan hidup, manusia harus mampu memberdayakan dirinya sehingga jalan menuju ‘Sang Aku/Tuhan’ dapat dicapai. Memberdayakan diri sesungguhnya merupakan sebuah proses pencerahan untuk menuju manusia yang tercerahkan, yaitu moksa atau menyatu dengan Tuhan. Melalui pencerahan inilah manusia akan dapat mengenali siapa jati dirinya atau siapa aku? yang telah tercerahkan. Dengan demikian pertanyaan ‘siapa aku?’ akan dapat dijelaskan seperti uraian di bawah ini.
Brahman, Tuhan, Allah – nama apapun yang diberikan kepadaNya merupakan kesadaran tertinggi dan tidak dapat dijelaskan. Bagaikan bulan Brahman terbayang dalam diri manusia, namun untuk terjadinya bayangan diperlukan sarana, yaitu tempayan dan air. Tempayan dan air inilah badan kita (Krishna, 1998). Jadi badan ini adalah badan kasar yang merupakan layar yang dapat menunjukkan bayangan Brahman yang sejatinya adalah atma (badan halus). Walaupun bayangan, namun bayangan ini sendiri adalah satu, tidak pernah terpisah atau beda dari Ia yang terbayang.
Badan kasar atau fisik (raga) berpengaruh pada kesadaran, yaitu kesadaran phisik yang merupakan tingkat kesadaran yang paling bawah dan merupakan mesin yang dipakai oleh mind untuk mengoperasikan dunia phisik. Jadi kesadaran yang fundamental untuk perkembangan spritual adalah menyadari bahwa aku bukanlah badan ini (Krishna, 2002). Terdapat dua lapisan ’aku’ yaitu: Ia yang tak termusnahkan dan ia yang termusnahkan (Krishna, 1998). Aku yang merupakan lapisan ia yang termusnahkan adalah aku yang biasa digunakan, yang identik dengan badan kasar atau phisik (raga), pikiran dan lain sebagainya, yaitu aku yang hari ini masih ada, mungkin besok tidak lagi. Sedangkan aku yang merupakan lapisan yang tak termusnahkan adalah aku yang merupakan jiwa kita yang bersemayam dalam badan kasat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ’Sang Aku’, yang tidak ikut musnah pada saat badan mengalami proses kematian.
Manusia dalam melakoni kehidupannya, selalu dibayangi oleh sifat mendua (dualitas) yang timbul dari dalam dirinya yaitu: keinginan atau keterikatan (daya tarik), dan ketidaksenangan atau penolakan terhadap sesuatu. Dari hal ini timbul pertanyaan, mengapa sifat mendua ini timbul dan dari mana sumber sifat mendua itu? Jawaban dari pertanyaan ini adalah: “bahwa manusia menganggap dunia ini nyata dan penuh dengan benda-benda yang terpisah dari dirinya, dan sumber dari semua ini adalah ketidaktahuan, selubung hitam yang menyelimuti pengetahuan kesejatiannya. Manusia telah melupakan keEsaan seluruh mahluk dan tidak lagi menyadari dasar ketuhanan dari segala yang ada serta bahkan manusia tidak lagi melihat atma dalam dirinya yang sejati”. Untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan, keterikatan, kegelapan dan kebodohan ini adalah dengan menimba pengetahuan, dalam hal ini adalah kebijaksanaan atau pengetahuan spiritual (Drucker, 1996). Dari uraian tersebut dapat disimak bahwa prinsip ketuhanan ada pada setiap pribadi dan tidak mungkin seseorang pribadi sama sekali tidak memiliki kebijaksanaan. Jawaban pertanyan tersebut memberikan pemahaman semua umat manusia akan mencapai sifat ketuhanan, artinya bila pemikiran manusia dikembangkan hingga tidak terbatas akan sama dengan daya cipta yang telah menjadikan alam semesta ini. Jadi diri sejati pada manusia dan ketuhanan yang ada dalam dirinya adalah satu dan tidak berbeda.
Jika tidak ada lagi dualitas dalam diri manusia yang dicapai dalam kesadaran no mind, yaitu
kesadaran murni, maka tidak ada lagi perbedaan antara “aku” dan “kamu” (Krishna, 2002). Hal ini merupakan penyatuan antara ‘spirit (atma) dengan paramatma (Tuhan)’ yang disebut moksa (Suryani, 2000; Sudharta dan Atmaja, 2001). Kesadaran murni merupakan kesadaran tertinggi yang juga dikatakan sebagai kesadaran atma (Drucker, 1996). Kesadaran atma dapat dicapai jika kecendrungan pikiran yang mengarah ke luar dapat dikendalikan dengan mengarahkan ke dalam batin menuju Brahman, Paramatma, Tuhan, sehingga pikiran kotor akan berkurang. Pikiran kotor adalah pikiran yang dipengaruhi oleh kesadaran fisik yang dikaitkan dengan instink hewani yang juga dikatakan bahwa hidup ini dikendalikan oleh subconscious mind (alam bawah sadar). Pengendalian pikiran yang mengarah ke dalam batin adalah suatu cara untuk dapat menguasai dunia rohani atau dunia spiritual, sehingga kebebasan duniawi (batin) atau kebebasan sejati dapat dicapai. Kebebasan batin berarti bebas dari ikatan indera. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa “Aku” dalam pertanyaan siapa “Aku” adalah “Aku” yang bersemayam di dalam diri manusia yang tiada lain adalah Tuhan.
Membangun Ilmu Pengetahuan (=Akuntansi)
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa yang berkaitan dengan “Aku” dalam pertanyaan siapa “Aku”, adalah “Aku” yang bersemayam di dalam diri manusia yang tiada lain adalah Tuhan. Manusia yang merupakan bagian dari Tuhan melakoni hidupnya dengan melakukan aktivitas sesuai dengan profesinya (swadharmanya). Oleh karena itu, untuk dapat mencapai tujuan hidupnya, maka manusia harus mengembangkan atau memberdayakan dirinya melalui salah satu aktivitas yang dilakoni dalam hidupnya, yaitu mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan sesuai dengan profesinya.
Ilmu pengetahuan yang berkembang dalam kehidupan ini cukup beragam, salah satu diantaranya adalah ilmu pengetahuan Akuntansi. Iwan Triyuwono dalam Subiyantoro (2004) menjelaskan bahwa Ilmu pengetahuan Akuntansi oleh para akuntan baik akademisi maupun praktis pada saat ini dipandang hanya terfokus pada teknik, metode dan standar akuntansi yang merupakan elemen utama akuntansi (akuntansi mainstream) dengan melupakan aspek (nilai) budaya, sosial, agama, politik, persepsi, dan rasa. Intuisi, dan lain-lainnya (sebagai “sang lain”) yang sebetulnya melekat pada akuntansi itu
sendiri. Dijelaskan juga bahwa filosofi Barat yang dikotomis ternyata memang berakar dalam epistemologi konstruksi akuntansi modern. Akar filosofi ini sangat memungkinkan bagi akuntansi modern untuk memarginalkan aspek-aspek yang melekat pada “sang lain”. Epistemologi yang demikian ini dalam dunia akuntansi dikenal dengan epistemologi positivisme yang akhirnya mengkristal menjadi sebuah paradigma yang dikenal dengan nama paradigma positivisme. Paradigma positivisme inilah yang mendominasi akuntansi modern sampai saat ini, sehingga dinamakan dengan nama “paradigma arus utama” (mainstream paradigm).
Para penganut aliran paradigma arus utama meyatakan bahwa akuntansi yang ada sekarang (akuntansi yang berbasis paradigma arus utama) sudah dipraktikkan dan tidak ada masalah. Oleh karenanya akuntansi ini tidak perlu dikembangkan dengan menggunakan paradigma yang lainya, seperti paradigma interpretivisme, kritisisme, dan posmodernisme. Namun demikian banyak kalangan yang bertanya ‘apa perlunya mengembangkan akuntansi dengan paradigma interpretivisme, kritisisme, dan posmodernisme (non mainstream)?
Iwan Triyuwono dalam Subiyantoro (2004) menjelaskan bahwa membangun dan mengembangkan akuntansi dengan pendekatan non mainstream jelas sangat diperlukan dengan berbagai alasan, antara lain: 1) Pendekatan non mainstream memberi nilai tambah dalam hal terjadinya pengayakan atas akuntansi sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai instrumen praktik bisnis.
-
2) Pendekatan non mainstream menumbuhkan kesadaran para akuntan bahwa sebenarnya teknik-teknik akuntansi yang ada sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, atau tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat yang membangun dan mempraktikkan akuntansi tersebut, atau tidak bebas dari nilai-nilai masyarakat.
-
3) Pendekatan non mainstream akan menambah rasa sensitivitas yang tinggi bagi para akuntan terhadap nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang melingkupi praktik akuntansi.
Bertitik tolak dari uraian di atas dan berdasarkan kenyataan yang ada sekarang ini bahwa informasi yang dihasilkan oleh akuntansi dewasa ini tidak dapat memberikan informasi selain informasi keuangan, maka dari itu akuntansi yang hanya menghasilkan informasi keuangan ini perlu kiranya dikembangkan atau dibangun kembali baik menggunakan pendekatan
mainstream ataupun non mainstream. Dengan demikian, akuntansi yang ada sekarang akan menjadi lebih lengkap dan kaya, sehingga akuntansi akan dapat memberikan manfaat yang lebih luas kepada para pemakainya. Manfaat yang lebih luas ini dapat diciptakan karena akuntansi setelah pengembangannya mampu menghasilkan dan menyediakan informasi yang lengkap, baik informasi keuangan maupun informasi non keuangan kepada para pemakainya.
Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya akuntansi melalui aktivitas manusia yang merupakan bagian dari Tuhan, yaitu “Aku” dapat dilakukan melalui profesi masing-masing manusia itu sendiri yang hidup dalam jagat raya ini. Sehubungan dengan profesi manusia ini yang digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan (=akuntansi) adalah tentunya profesi yang berkaitan dengan akuntansi, misalnya profesi dagang, akuntan baik akademisi maupun praktik, dan profesi-profesi lainnya yang terkait akuntansi (Sadha Suardikha, 2012).
Seseorang yang dalam aktivitasnya membangun atau mengembangkan ilmu pengetahuan (=akuntansi) dapat melalui tugasnya sehari-hari sesuai profesinya masing-masing. Akuntan akademisi misalnya, tentu dia berprofesi sebagai dosen dalam suatu perguruan tinggi. Seorang dosen akan dapat mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan (=akuntansi) melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Akuntan praktik misalnya akuntan yang berprofesi sebagai akuntan publik, tentu dalam mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan (=akuntansi) akan disesuaikan dengan profesinya. Profesi yang dijalankan setiap harinya adalah sebagai auditor, konsultan manajemen, konsultan pajak dan lain-lainnya (Sadha Suardikha, 2012).
Aktivitas dosen dalam mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan (=akuntansi) melalui pendidikan adalah ditunjukkan dengan keaktivannya mengajar di bidang-bidang ilmu akuntansi di kelas dalam mentransfer ilmunya ke mahasiswa; memberikan bimbingan kepada mahasiswa yang sedang menulis skripsi, tesis, dan disertasi; menulis buku di bidang akuntansi; memberikan seminarseminar dalam pertemuan-pertemuan resmi dalam bidang akuntansi; dan hal-hal lain di bidang pendidikan yang berkaitan dengan akuntansi. Aktivitas dosen dalam mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan (=akuntansi) melalui penelitian, khususnya penelitian-penelitian akuntansi
sehingga dari hasil penelitiannya dapat ditemukan hal-hal baru yang berkaitan dengan bidang akuntansi. Aktivitas dosen dalam mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan (=akuntansi) melalui pengabdian masyarakat, tentunya pengabdian kepada masyarakat yang berkaitan dengan akuntansi, misalnya mengarahkan dan membimbing para pedagang/ pengusaha yang tergolong Usaha Kecil dan Menengah (UKM) maupun pedagang/pengusaha besar untuk mampu menyelenggarakan pembukuan dalam operasional, sehingga para mereka ini dapat pengetahuan dan dari pengetahuan ini ia mampu membuat pembukuan secara baik dalam operasionalnya.
Seorang akuntan publik yang pada umumnya pekerjaan yang dilakoni adalah sebagai eksternal auditor. Sebagai auditor ia akan selalu melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (SPAP) dan stadar-standar umum lainnya yang tidak diatur dalam SPAP. Namun demikian tidak jarang dalam menjalankan tugasnya sebagai auditor menemukan kesulitan. Kesulitan ini terjadi karena SPAP maupun stadar-standar umum lainnya tidak mengaturnya. Berkaitan dengan ini tentu kesulitan-kesulitan tersebut akan dapat digunakan sebagai acuan untuk menciptakan standar-standar baru dalam bidang audit. Dengan demikian kesulitan-kesulitan ini menjadi penemuan baru di bidang audit.
Penjelasan-penjelasan pada sub-sub sebelumnya memberikan pemahaman bahwa pertanyaan ‘siapa aku?’ adalah pertanyaan yang mengarah kepada pemahaman hakekat keberadaan Tuhan. Dari berbagai penjelasan yang telah disajikan di atas, maka dapat dirinci jawaban dari pertanyaan ‘siapa aku?’. Adapun jawabannya adalah berbeda beda dalam mengggunakan istilah, tetapi mempunyai makna yang sama. Beberapa jawaban yang dapat dikemukakan bahwa aku dalam pertanyaan ‘siapa aku?’ adalah: 1) ‘Brahman’ adalah Aku yang manunggal dengan diri manusia, bagaikan bulan Brahman yang terbayang dalam tempayan yang berisi air ibarat (badan kasat) diri manusia (Krishna, 1998).
-
2) ‘Sang Aku’ adalah aku yang merupakan lapisan yang tak termusnahkan, yang menyatu denganNya, yang tidak ikut musnah pada saat badan mengalami proses kematian (Krishna, 1998).
-
3) ‘Kesadaran sejati’ adalah kesadaran murni (kesadaran no mind)/kesadaran atma di mana antara aku dan kamu adalah menyatu (Krishna, 2002; Suryani, 2000; dan Drucker, 1996).
-
4) ‘Spirit’ adalah atma yang menyatu dengan paramatma/Tuhan (Suryani, 2000).
Empat sebutan aku yang diuraikan di atas‘ satu sama lain mempunyai makna yang sama yaitu ‘aku adalah Brahman’, ‘aku adalah Sang Aku’, ‘aku adalah kesadaran sejati’, dan yang terakhir ‘aku adalah spirit’ semuanya adalah sama, yaitu Tuhan. Jika dikaji lebih dalam dilihat dari tujuan hidup manusia dan pemberdayaan diri manusia, maka aku dalam pertanyaan ‘siapa aku?’ adalah merupakan sesuatu yang ada tetapi tidak ada. Dikatakan sesuatu yang tidak ada tetapi ada karena untuk mencapai tujuan hidup, yaitu ‘menyatu dengan Tuhan’, maka manusia harus mampu mengenal jati dirinya, mencapai kesadaran tertinggi. Kesadaran yang tertinggi dari manusia tiada lain adalah jati dirinya yang sejati yang merupakan bayangan Tuhan di dalam diri manusia. Untuk mengenal jati diri, mencapai kesadaran yang tertinggi, yaitu menyatu dengan Tuhan, manusia hendaknya mampu memberdayakan dirinya. Dalam memberdayakan dirinya manusia berusaha bertindak bijaksana sesuai dengan suara hati yang paling dalam. Suara hati yang paling dalam dapat dirasakan jika manusia mampu mencapai kesucian batin untuk menemukan jati diri yang sejati. Jadi untuk mengenali siapa aku, yaitu Tuhan yang merupakan tujuan hidup manusia, maka manusia hendaknya memberdayakan dirinya sesuai dengan suara hati yang dirasakan, yang timbul karena manusia telah mencapai kesadaran yang tertinggi, yaitu diri sejati yang pada hakekatnya adalah Tuhan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, jawaban dari pertanyaan ‘siapa aku?’ adalah aku yang merupakan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Untuk dapat menjelaskan dan mendapat penjelasan kita mesti mendengar suara hati yang paling dalam, karena suara hati kita yang paling dalam adalah diri sejati di mana Tuhan menyatu. Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan adalah sesuatu yang ada tetapi tidak ada, di mana keberadaannya dapat dirasakan. Jadi aku dalam pertanyaan ‘siapa aku?’ adalah sesuatu yang tidak ada tetapi ada, karena senyatanya sesuatu yang tidak ada tetapi ada adalah aku, yaitu ‘ Tuhan’. Manusia yang merupakan bagian dari Tuhan melakoni hidupnya dengan melakukan aktivitas sesuai dengan profesinya (swadharmanya). Oleh karena itu, untuk dapat mencapai tujuan hidupnya, maka manusia harus mengembangkan atau memberdayakan dirinya melalui salah satu aktivitas yang dilakoni dalam hidupnya, yaitu mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan sesuai dengan
profesinya. Sehubungan dengan profesi manusia ini yang digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan (=akuntansi) adalah tentunya profesi yang berkaitan dengan akuntansi, misalnya profesi dagang, akuntan baik akademisi maupun praktik, dan profesi-profesi lainnya yang terkait akuntansi.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dan perenungan dalam hati, maka pertanyaan ‘siapa aku?’ dapat dijawab sesuai dengan kata hati yang paling dalam. Aku dalam pertanyaan siapa aku? adalah merupakan kesadaran tertinggi yang dicapai oleh manusia, yang tidak lain adalah diri sejatinya yang menyatu atau yang tunggal dengan sumbernya, merupakan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, sepertinya ada tetapi tidak ada. Hanya kita sendirilah yang paling tahu dan merasakan keberadaan ‘siapa aku?’, yaitu Tuhan, karena Tuhan bersemayam dalam diri kita, seperti bayangan bulan dalam air di tempayan. Jadi aku dalam pertanyaan ‘siapa aku?’ adalah ‘sesuatu yang tidak ada tetapi ada’ yaitu ‘Tuhan’.
Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya akuntansi melalui aktivitas manusia yang merupakan bagian dari Tuhan, yaitu “Aku” dapat dilakukan melalui profesi atau swadharma masing-masing manusia itu sendiri yang hidup dalam jagat raya ini. Sehubungan dengan profesi manusia yang digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan atau membangun ilmu pengetahuan (=akuntansi) tentunya adalah profesi yang berkaitan dengan akuntansi.
REFERENSI
Agustian, Ary Ginanjar. 2005. ESQ: Emotional Spiritual Quotient, The ESQ Way 165, 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. New Edition: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Penerbit Arga
Drucker, A. 1996. Intisari Bhagawad Gita: Wejangan Bhgawan Sri Sathya Sai Baba. Jakarta: Yayasan Sri Sathya SAI Indonesia.
Ja’far, Fathuddin, MA. 2007. SEI EMPOWERMENT (Sepiritual, Emosional, & Intellectual Empowermwnt)ROAD TO THE GREAT SUCCESS. Cimanggis - Depok: Penerbit Sepiritual Learning Centre.
Kaler, G.K., 1983. Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali Vol II (Scattered Thoughts on Balinese
Custom Vol II), Denpasar: Bali Agung.
Krishna, Anand. 1998. Bhagawad Gita Bagi Orang Modern: Menyelami Misteri Kehidupan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Krishna, Anand. 2001. Zen Bagi Orang Moderen: Mempertahankan Kesadaran Dalam Hidup Sehari-hari. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Krishna, Anand. 2002. Ilmu Medis dan Meditasi: Conscious Mind, Subconscious Mind, Superconscious Mind, & No-Mind. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Krishna, Anand. 2003. Seni Memberdaya Diri 3: ATISTHA Melampaui Meditasi untuk Hidup Meditatif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Krishna, Anand. 2006. Seni Memberdaya Diri 1: Meditasi Untuk Manajemen Stres & Neo Zen Reikin Untuk Kesehatan Jasmani dan Rohani. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Palguna, A.A.B. 2007. Budaya Tri Hita Karana dan Trikaya Parisudha, Wahana, Edisi No. 59 Th. XXIII Nopember 2007, Hal. 14-17.
Pitana, G., 1994. Desa Pekraman dalam arus Moderenisasi, In G. Pitana (Ed.): Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (The Dynamic of Balinese Culture and Society), Denpasar: Bali Post Press) pp.137-169.
Sadha Suardikha, I Made. 2012. Bagaimana Aku Membanngun Ilmu Pengetahuan (=Akuntansi)?, AUDI Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 7, No. 2, Hal. 271-279.
Sudharta, Tjok Rai, M.A. dan Atmaja, Punia Ida Bagus Oka, Drs. 2001. Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.
Surpha, W., 1991. Eksisten si Desa Adat di Bali (The Existence of Desa Adat in Bali). Den pasar: Upada Sastra.
Suryani, Luh Ketut. 2000. Menemukan Jati Diri Dengan Meditasi: Mengungkapkan dan Memunculkan Kemampuan Pribadi dengan Meditasi. Jakarta: PT. Elek Media Kompotindo.
Windia, Wayan, 2007, Analisis Bisnis yang Berlandaskan Tri Hita Karana (Sebuah Kasus Pelaksanaan/Penjabaran PIP Kebudayaan UNUD), Wahana, Edisi No. 57 Th. XXIII Mei 2007, Hal 4-6.
Discussion and feedback