Aktivitas Antibakteri Krim Ekstrak Terpurifikasi Daun Beluntas (Plucea indica L.) terhadap Staphylococcus epidermidis
on
JURNAL FARMASI UDAYANA | pISSN: 2301-7716; eISSN: 2622-4607 | VOL. 11, NO. 1, 2022
https://doi.org/10.24843/JFU.2022.v11.i01.p02
Aktivitas Antibakteri Krim Ekstrak Terpurifikasi Daun Beluntas (Pluchea indica L.) terhadap Staphylococcus epidermidis
Agitya Resti Erwiyani1, Robiatul Adawiyah1, Rendy Rahman1 dan Niken Dyahariesti1
1 Program Studi Farmasi, Universitas Ngudi Waluyo, Jl. Diponegoro No 186, Ungaran, Indonesia
Reception date of the manuscript: 2021-06-19
Acceptance date of the manuscript: 2021-08-14
Publication date: 2022-07-31
Abstract— Staphylococcus epidermidis is a normal bacterial flora of the skin. Abnormal flora will cause skin disorders including acne. The development of cosmetics as antibacterials needs to be continued, one of which is using natural ingredients from Plucea indica leaves. Plucea indica is a plant that has antibacterial and anti-inflammatory activity because it contains secondary metabolites such as tannins, polyphenols, flavonoids, and essential oils. The extract was purified to reduce the mass of the extract. The purpose of this study was to evaluate purified extract of Plucea indica leaves in the cream formulation as a cosmetic candidate that can inhibit the growth of S. epidermidis bacteria. The cream preparations were observed for physical characteristics to see the stability of the cream in storage. The cream preparation was tested for antibacterial against S. epidermidis using the diffusion method. Cream containing beluntas leaf extract 5 % w/v, 10 % w/v and 15 % w/v had antibacterial activity against S. epidermidis with inhibition zone diameters of 9.9±0.022 mm (medium), 14, 9±0.019 mm (strong), and 20.9±0.049 mm (very strong). Beluntas leaf cream did not change in organoleptic testing.
Keywords—Plucea indica leaves, antibacterial, S. epidermidis, cream
Abstrak— Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri flora normal kulit. Ketidaknormalan flora normal akan menyebabkan gangguan kulit diantaranya jerawat. Pengembangan kosmesetika sebagai antibakteri perlu terus dilakukan salah satunya menggunakan bahan alam daun beluntas. Beluntas merupakan tanaman yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan anti inflamasi karena mengandung metabolit sekunder seperti tannin, polifenol, flavonoid dan minyak atsiri. Ekstrak dilakukan purifikasi untuk memperkecil massa ekstrak. Tujuan penelitian dilakukan untuk mengevaluasi ekstrak terpurifikasi daun beluntas dalam formulasi krim sebagai kandidat kosmesetika yang dapat menghambat pertumbahan bakteri S. epidermidis. Sediaan krim dilakukan pengamatan karakteristik fisik untuk melihat stabilitas krim dalam penyimpanan. Sediaan krim dilakukan uji antibakteri terhadap S. epidermidis menggunakan metode difusi. Krim yang mengandung ekstrak daun beluntas 5 % b/v, 10 % b/v dan 15 % b/v memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. epidermidis dengan diameter zona hambat berturut – turut sebesar 9,9±0,022 mm (sedang), 14,9±0,019 mm (kuat), dan 20,9±0,049 mm (sangat kuat). Krim daun beluntas tidak mengalami perubahan pada pengujian organoleptis. Pengujian nilai pH dan viskositas mengalami peningkatan tetapi masih memenuhi kriteria sediaan krim.
Kata Kunci—beluntas, antibakteri, S. epidermidis, krim
Tanaman beluntas (Pluchea indica L.)) merupakan tanaman yang populer di negara Indonesia dan digunakan secara turun – temurun sebagai obat tradisional. Bagian tanaman yang sering digunakan adalah daun dan akar, digunakan sebagai pengobatan diantaranya untuk mengatasi demam, peningkat nafsu makan, diabetes, batu empedu, hemoroid, serta mengatasi infeksi yang terjadi pada kulit yang terluka dan saluran pencernaan. Daun beluntas memiliki aktivitas antibak-teri terhadap bakteri Escerichia coli dan Bacillus substilis,
Penulis koresponden: Agitya Resti Erwiyani, [email protected]
anti tuberculosis serta anti inflamasi (Buranasukhon et al., 2017; Lestari et al., 2018; Pargaputri et al., 2017). Potensi antibakteri dari bahan alam terus dikembangkan untuk mencari alternatif pengobatan yang lebih aman. Bagian tubuh yang sering mengalami infeksi bakteri adalah kulit. Gangguan kulit dapat diakibatkan adanya ketidaknormalan bakteri flora normal, diantaranya Staphylococcus epidermidis (S. epidermidis). S. epidermidis merupakan bakteri Gram positif yang bersifat aerob, memproduksi polisakarida dalam permukaan kulit melalui pelekatan dan membentuk biofilm (Kalishwaralal et al., 2010). S. epidermidis berperan dalam menjaga kesehatan dan nutrisi kulit melalui pemenuhan kebutuhan nutrisi serta mencegah kolonisasi patogen. S. epider-midis mampu memproduksi peptide antimikroba dengan sen-
dirinya sehingga dapat menghambat organisme patogen. Selain itu juga berfungsi melindungi kulit melalui fungsi imun kulit, mengurangi peradangan dan aktivasi sel T setelah terjadi cedera pada luka (Lai et al., 2010; Nakatsuji et al., 2018). S. epidermidis terdapat pada sel epitel serta dapat menyebabkan jerawat pada kulit apabila kondisi kulit mengalami perubahan. Penggunaan beluntas sebagai alternatif kosmeseti-ka yang bersifat antibakteri perlu dilakukan. Daun beluntas mengandung berbagai jenis metabolit sekunder yang dapat berfungsi sebagai antibakteri diantaranya seperti tannin, flavonoid (kuersetin, myricetin dan kaemferol), polifenol dan minyak atsiri (Pargaputri et al., 2017). Ekstrak daun perlu dilakukan purifikasi untuk menghilangkan senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak agar lebih efisien. Purifikasi ekstrak akan memperkecil ukuran massa ekstrak untuk memperoleh tujuan praktis sediaan farmasetis sehingga mereduksi senyawa pengganggu (Malik et al., 2013). Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi ekstrak daun beluntas dalam formulasi krim sebagai kandidat kosmesetika yang dapat menghambat pertumbahan bakteri S. epidermidis penyebab jerawat.
Bahan dan Alat
Daun beluntas diperoleh dari Desa Tegaron Wetan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, bakteri Staphylococcus epi-dermidis (S. epidermidis) dibeli di RSUP dr. Karyadi, etanol 90 % (Brataco, kualitas farmasetis), n-heksan (Btaraco, kualitas teknis), VCO (Virgin Coconut Oil) (kualitas farmaseti-ka), erymed® (eritromisin), asam stearate (Brataco, kualitas farmasetis), trietanolamin (TEA) (Brataco, kualitas farmase-tis), setil alcohol (Brataco, kualitas farmasetis), asam benzoate (Brataco, kualitas farmasetis), natrium benzoate (kualitas farmasetis), gliserin (Brataco, kualitas farmasetis), aqua destilata (Brataco), serbuk magnesium, HCl pekat (Merck), Gram A, Gram B, Gram C, Gram D, kertas saring. Alat yang digunakan dalam penelitian neraca analitik (Ohauss), cawan penguap, blender (Philips), seperangkat alat gelas (Pyrex), mesh 30, oven (Memmert), autoclave (Memmert), thermostatic waterbath DHH-88, objek gelas, dek gelas, mikroskop (B-150 Optika), kertas cakram, cawan petri (Memmert), rotary evaporator (Biobase), inkubator, mortar, stemper, pot salep, panic stainless steel, alat sentrifuge PLC series, mi-kropipet 10-100µL (Ependrof), LAF, viscometer brookfield DV2T, pH meter (Ohaus Starter 300), jangka sorong (Mitu-toyo), seperangkat alat uji daya sebar dan uji daya lekat.
Metode
Ekstrak daun beluntas dibuat dengan menimbang serbuk sebanyak 300,0 gram dan dilakukan ekstraksi mengunakan metode maserasi. Maserasi dilakukan menggunakan pelarut etanol 96 % (perbandingan 1:10) dengan perendaman selama 5 hari dan dilanjutkan remaserasi selama 2 hari. Maserat dilakukan penguapan menggunakan rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental. Selanjutnya dilakukan purifikasi menggunakan n-heksan hingga cairan bagian atas jernih lalu dievaporasi hingga didapatkan ekstrak kental.
Pengujian kandungan flavonoid dilakukan secara kualitatif dan kuantatif. Pengujian kualitatif dilakukan dengan me-
nambahkan ekstrak kental sebanyak 50 mg dilarutkan ke dalam 5 ml etanol 95 % lalu diuapkan hingga kering, ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium, 10 tetes asam klorida pekat. Warna merah jingga hingga merah ungu yang terbentuk me-nunjukan positif adanya flavonoid, jika terjadi warna kuning jingga menunjukan adanya flavon, kalkon dan auron (Azi-zah & Wati, 2018; Malik et al., 2016). Pengujian kandungan flavonoid menggunakan baku pembanding kuersetin dengan reagen AlCl3 10 % (Zou et al., 2004). Ekstrak dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi 1 mg/ml. Larutan induk diambil sebanyak 0,5 ml, ditambahkan akuadest, NaNO3 5 % didiamkan sebentar. Selanjutnya ditambahkan AlCl3 10% didiamkan, ditambahkan lagi NaOH 4 % dan dilakukan pengukuran pada panjang gelombang 510 nm.
Kaca preparat dibersihkan menggunakan alkohol dan di-fiksasi api bunsen. Isolat bakteri diambil dengan jarum ose steril dan dioleskan pada kaca preparat. Isolat bakteri ditambah cat warna pertama, ditetesi dengan larutan kristal violet dan dibiarkan selama 1 menit, dicuci dengan air mengalir dan dianginkan hingga kering. Tahap kedua ditetesi dengan larutan iodine, biarkan selama 1 menit dan dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya tetesi dengan alkohol 95 % selama 30 detik, aliri air pelan untuk membersihkan dan dianginkan hingga kering. Terakhir isolate ditambahkan safranin, didiamkan selama 2 menit, dicuci dengan air mengalir, anginkan dan dikeringkan di dekat api. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop (Hidayat Alhadi, 2012).
Krim ekstrak daun beluntas dibuat dengan menyiapkan bahan yang dicampurkan berdasarkan kelarutannya yaitu fase minyak dan air. Fase minyak dibuat dengan mencampurkan VCO, asam stearat, setil alkohol, dan asam benzoat dilebur pada suhu 70°C, dilakukan pengadukan hingga homogen. Fase air dibuat dengan mencampurkan gliserin, aquadest dan TEA. Campur massa fase minyak dan fase air sedikit demi sedikit dan gerus hingga homogen pada suhu yang dipertahankan hingga membentuk massa krim. Ekstrak kental daun beluntas ditambahkan terakhir dengan konsentrasi 5 % b/v, 10% b/v dan 15 % b/v.
Pengujian karakteristik fisik sediaan krim dilakukan dengan melakukan pengamatan organoleptis, viskositas, pH, homogenitas dan uji sentrifugasi. Pengamatan karakteristik fisik dilakukan pengamatan setiap minggu hingga penyimpanan 28 hari.
-
a. Organoleptis
Pengujian organoleptis dilakukan dengan melakukan pemeriksaan bentuk, warna, dan bau sediaan krim yang dibuat (Lailiyah et al., 2020).
-
b. Viskositas
Pengukuran viskositas dilakukan menggunakan Visko-meter Brookfield DV2T dengan spindle nomor 4.
-
c. Uji pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter yang telah dilakukan kalibrasi menggunakan larutan buffer pH 4 dan 7 (Lailiyah et al., 2020).
Tabel 1: FORMULASI KRIM DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) YANG TELAH DIMODIFIKASI (MEILA ET AL., 2017)
Nama bahan |
Formula 1 |
Jumlah bahan |
Kontrol | |
Formula 2 |
Formula 3 | |||
Ekstrak daun beluntas |
5 |
10 |
15 |
- |
VCO |
8 |
8 |
8 |
8 |
Asam stearat |
12 |
12 |
12 |
12 |
Triethanolamin |
1,2 |
2,4 |
3,6 |
0,24 |
Setil alkohol |
2 |
2 |
2 |
2 |
Asam Benzoat |
0,2 |
0,2 |
0,2 |
0,2 |
Natrium Benzoat |
0,2 |
0,2 |
0,2 |
0,2 |
Gliserin |
8 |
8 |
8 |
8 |
Aquadest ad |
100 |
100 |
100 |
100 |
Tabel 2: HASIL UJI KUALITATIF SENYAWA FLAVONOID EKSTRAK TERPURIFIKASI DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.)
Golongan |
Pereaksi |
Pustaka |
Hasil |
Kesimpulan |
Flavonoid |
Etanol 95 % + Mg + HCl pekat |
Warna merah jingga hingga merah ungu (Azizah & Wati, 2018; Malik et al., 2016). |
Terbentuk warna merah jingga |
Positif |
Tabel 3: IDENTIFIKASI BAKTERI Staphylococcus epidermidis
Klasifikasi Bakteri Pengecatan Warna Bakteri
Gram Positif Gram Ungu S. epidermidis
Gambar. 1: Morfologi Mikroskopi Bakteri S. epidermidis
-
d. Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan dengan mengoleskan krim pada sekeping kaca atau bagian transparan lain, lalu dimana tiga bagian yaitu bagian atas, tengah, dan bawah. Sediaan krim dikatakan homogen apabila tidak terlihat adanya partikel yang menggumpal.
-
e. Pengujian Stabilitas Krim dengan Sentrifugasi
Pengujian stabilitas krim dilakukan menggunakan uji stabilitas dipercepat. Sediaan krim dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge dan dilakukan perlakuan dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit (Pratasik et al., 2019; Zulkarya & Hastuti, 2018).
Pengujian aktivitas antibakteri krim ekstrak daun beluntas dilakukan dengan metode difusi cakram kertas. Media Nu-trien Agar (NA) yang telah disterilisasi dituang ke dalam cawan petri steril lalu ditambahkan suspensi bakteri S. epider-midis sebanyak 50 µL dan dihomogenkan tunggu sampai media setengah padat. Kertas cakram disiapkan dan ditambahkan krim ekstrak daun beluntas dengan berbagai konsentrasi
(konsentrasi ekstrak sebesar 5 %, 10% dan 15 %). Inkubasi dilakukan dengan meletakkan cawan petri ke dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam. Aktivitas antibakteri diukur dengan mengukur diameter zona hambat di sekitar kertas cakram yang menunjukkan adanya penghambatan bakteri (Mahendran & Abdul Rashid, 2016).
Hasil ekstraksi daun beluntas menggunakan pelarut etanol 96 % diperoleh rendemen sebesar 9,65 %. Ekstrak memiliki karakteristik fisik berbentuk kental, berwarna hijau pekat dan berbau khas daun beluntas. Ekstrak terpurifikasi daun beluntas berdasarkan uji kualitatif positif mengandung flavonoid. Ekstrak terpurifikasi daun beluntas dilakukan pengujian kandungan flavonoid total menggunakan pembanding kuersetin baku. Kandungan flavonoid total ekstrak terpurifikasi daun beluntas sebesar 304,13 QE/g.
Ekstrak memiliki karakteristik fisik berbentuk kental, berwarna hijau pekat dan berbau khas daun beluntas. Purifikasi ekstrak daun beluntas menghasilkan ekstrak dengan rendemen yang kecil. Purifikasi akan menurukan massa ekstrak karena dapat menghilangkan kandungan yang akan mengganggu dalam pembuatan bentuk sediaan farmasetis seperti lipid, pigmen (klorofil), tannin, plastisizer (Malik et al., 2016).
Ekstrak terpurifikasi daun beluntas dilakukan uji kualitatif untuk menguji kandungan flavonoid dalam ekstrak. Uji kandungan flavonoid perlu dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder terutama flavonoid terdapat pada ekstrak yang telah dilakukan purifiksi. Hasil pengujian menunjukkan ekstrak terpurifikasi daun beluntas positif mengandung flavonoid ditunjukkan terbentuk warna merah jingga pada ekstrak yang telah ditambah pereaksi. Warna merah terbentuk karena adanya delfinidin pada gugus hidroksi.
Uji kualitatif yang digunakan menggunakan metode Wils-tater dengan penambahan pereaksi Magnesium (Mg) dan HCl pekat. HCl pekat digunakan untuk hidrolisis flavonoid
Tabel 4: HASIL PENGUJIAN ORGANOLEPTIS KRIM EKSTRAK TERPURIFIKASI DAUN B ELUNTAS (Pluchea indica L.)
Parameter |
Formula krim |
0 |
7 |
Hari Ke- 14 |
21 |
28 |
F1 |
SP |
SP |
SP |
SP |
SP | |
Bentuk |
F2 |
SP |
SP |
SP |
SP |
SP |
F3 |
SP |
SP |
SP |
SP |
SP | |
Basis krim |
SP |
SP |
SP |
SP |
SP | |
F1 |
HM |
HM |
HM |
HM |
HM | |
Warna |
F2 |
HP |
HP |
HP |
HP |
HP |
F3 |
HP |
HP |
HP |
HP |
HP | |
Basis krim |
P |
P |
P |
P |
P | |
F1 |
KB |
KB |
KB |
KB |
KB | |
Bau |
F2 |
KB |
KB |
KB |
KB |
KB |
F3 |
KB |
KB |
KB |
KB |
KB | |
Basis krim |
TB |
TB |
TB |
TB |
TB | |
F1 |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Homogen | |
Homogenitas |
F2 |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
F3 |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Homogen | |
Basis krim |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Homogen |
Keterangan : SP= Semi Padat, HM= Hijau Muda, HP= Hijau Pekat, P=Putih, KB= Khas Beluntas, TB= Tak Berbau.
menjadi bentuk aglikonnya. O-Glikosil akan digantikan oleh H+ dari asam yang memiliki sifat elektrofilik. Pereaksi Mg dan HCl bersifat sebagai reduktor dan menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah hingga jingga apabila mengandung flavonol, flavanon, flavanonol, dan xanton (Ika-linus et al., 2015). Ekstrak terpurifikasi daun beluntas dilakukan pengujian kandungan flavonoid total menggunakan pembanding kuersetin baku. Kandungan flavonoid total ekstrak terpurifikasi daun beluntas sebesar 304,13 QE/g.
Pengecatan Gram dilakukan untuk mengindektifikasi bakteri S. epidermidis. Hasil pengecatan menunjukkan bakteri S. epidermidis memiliki morfologi berbentuk bulat dan tersebar dalam bentuk yang tidak teratur. Staphylococcus epidermidis memiliki penampakan berbentuk bulat, permukaan halus dan mengkilap, tidak bergerak, berwarna abu – abu hingga putih, non motil dan tidak membentuk spora, susunan mirip anggur dan bersifat aerob fakultatif (Brooks et al., 2012; Darojah et al., 2019).
S. epidermidis termasuk dalam bakteri Gram positif. Bakteri Gram positif terlihat berwarna ungu pada pengecatan Gram karena dapat mempertahankan kompleks zat warna kristal violet – yodium meskipun sebelumnya telah dilakukan pencucian dengan alkohol, sedangkan pada bakteri Gram negatif akan dilunturkan dan mengikat safra in sehingga berwarna merah. Hal ini disebabkan karena bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel yang tebal (Nurhidayati et al., 2015).
Karakteristik fisik sediaan krim dapat dilihat pada Tabel 4. Pengujian organoleptis sediaan krim dilakukan dengan mengamati parameter bentuk sediaan, warna dan bau selama 28 hari. Pada pengamatan setiap minggu tidak terlihat adanya perubahan organoleptis. Bentuk sediaan yang dihasilkan menunjukkan bentuk sediaan setengah padat yang sama pada pengamatan setiap minggu. Warna yang terlihat pada sediaan krim tidak mengalami perubahan setiap minggu. Krim mengandung ekstrak daun beluntas sehingga dihasilkan krim dengan warna hijau muda dengan bau khas beluntas pada konsentrasi ekstrak 5 %, sedangkan pada ekstrak dengan konsentrasi yang lebih tinggi dihasilkan warna krim be-
rubah menjadi hijau pekat. Warna yang dihasilkan oleh ekstrak daun beluntas dipengaruhi oleh proses ekstraksi, lama dan suhu pemanasan. Warna hijau disebabkan karena kandungan pigmen klorofil. Warna pigmen klorofil akan terbawa pada proses ekstraksi. Perlakuan ekstraksi tanpa pemanasan akan tetap mempertahankan pigmen warna klorofil (Dono-warti & Dayang Diah, 2020).
Uji viskositas dilakukan untuk menguji kekentalan dan laju aliran suatu sediaan. Viskositas menunjukkan besarnya tahanan dari suatu zat cair untuk mengalir. Semakin besar nilai viskositas akan menyebabkan sediaan menjadi sulit mengalir (Ermawati et al., 2020; Zulkarya & Hastuti, 2018). Viskositas pada formula 1, formula 2, formula 3 dan basis krim menunjukkan adanya peningkatan pada penyimpanan selama 28 hari. Nilai viskositas sediaan krim yang dihasilkan berkisar antara 5000 – 6000 cP. Viskositas yang tinggi ditunjukkan oleh formula 1 yang mengandung ekstrak dengan konsentrasi paling kecil, sedangkan viskositas terendah terlihat pada basis krim yang tidak mengandung ekstrak. Penambahan ekstrak pada sediaan krim menyebabkan sediaan menjadi semakin kental sehingga krim yang mengandung ekstrak memiliki viskositas lebih tinggi dibandingkan basis krim. Lama penyimpanan menyebabkan sediaan menjadi semakin kental hal ini terlihat semua formula mengalami peningkatan viskositas. Perubahan viskositas disebabkan oleh kondisi medium dan fase dispers, emulgator, kondisi lingkungan dan bahan tambahan lain (Alissya et al., 2013).
Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan tujuan untuk menilai keasamaan sediaan krim yang dibuat. Sediaan krim menunjukkan rentang pH antara 5 hingga 6 sehingga memenuhi syarat sediaan topikal. pH sediaan krim perlu disesuaikan dengan pH kulit yang berkisar antara 4 – 6 (Chen et al., 2016). Sediaan yang memiliki pH cenderung asam akan dapat mengiritasi kulit sedangkan sediaan yang pH terlalu basa akan menyebabkan kulit menjadi kering (Lailiyah et al., 2020).
Penambahan ekstrak daun beluntas menunjukkan adanya kenaikan pH sediaan krim, hal ini terlihat sediaan yang mengandung basis memiliki pH terendah diantara formula lainn-
Gambar. 2: Profil perubahan viskositas (a) dan nilai pH (b) setiap minggu selama 28 hari
Tabel 5: DIAMETER ZONA HAMBAT KRIM EKSTRAK DAUN B ELUNTAS TERHADAP BAKTERI S. epidermidis)
Perlakuan |
Diameter Zona Hambat (mm) Krim Daun Beluntas tiap Konsentrasi Ekstrak Kontrol positif Kontrol negatif Formula I Formula II Formula III |
I II III Rata-rata±SD |
5% 10% 15% 28,86 0.000 10,12 14,64 20,46 29,38 0.000 9,68 15,02 21,44 28,90 0.000 9,84 14,90 20,78 29,1±0.028 0.00±0.00 9,9±0,022 14,9±0,019 20,9±0,049 |
Tabel 6: HASIL ANALISIS UJI ANOVA
Uji One Way Anova Sig.
Kelompok perlakuan krim daun beluntas 0.000
ya yang memiliki pH sebesar 5 ± 0.06, pada penyimpanan selama 28 hari masih menunjukkan nilai pH yang stabil. Formula 3 mengandung ekstrak daun beluntas 15 % menunjukkan nilai pH yang tertinggi dibandingkan formula lain yaitu dengan nilai pH sebesar 6,01 ± 0,06, setelah penyimpanan 28 hari nilai pH sediaan meningkat dengan pH sebesar 6,10 ± 0,04. Hasil ini ini sejalan dengan penelitian Wiendarlina et al. (2019), peningkatan jumlah ekstrak daun beluntas akan menunjukkan pH mendekati netral. Penyimpanan selama 28 hari menujukkan pH sediaan krim masih memenuhi syarat nilai pH pada sediaan krim. Pengujian aktivitas antibakteri krim ekstrak daun beluntas dilakukan menggunakan metode difusi dapat dilihat hasilnya pada tabel 5. Metode difusi kertas cakram memiliki kelebihan karena merupakan metode yang mudah dan cost effective (Tang et al., 2020). Formulasi krim daun beluntas dilakukan uji antibakteri dengan konsenstrasi ekstrak berturut – turut sebesar 5 %, 10 % dan 15 %. Kontrol negatif mengandung basis krim tanpa ekstrak digunakan sebagai kelompok pembanding. Kontrol positif menggunakan krim antibiotik Erymed® yang mengandung Eritromisin 2 %. S. epidermidis merupakan bakteri penyebab jerawat yang dapat diatas menggunakan antiobiotik. Eritromisin merupakan salah satu antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan S. epidermidis (Mohamed et al., 2020).
Pengujian antibakteri pada kelompok kontrol negatif tidak menunjukkan adanya zona hambat sehingga basis krim tidak mempunyai aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan
-
S. epidermidis. Formula krim yang mengandung ekstrak daun beluntas 5 %, 10% dan 15 % menunjukkan adanya zona hambat berturut – turut sebesar 9,9±0,022 mm (sedang), 14,9±0,019 mm (kuat), dan 20,9±0,049 mm (sangat kuat). Krim ekstrak daun beluntas 15 % menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap S. epidermidis yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi lainnya tetapi aktivitasnya lebih rendah dibandingkan krim Erymed® secara signifikan. Ekstrak daun beluntas memiliki aktivitas penghambatan terhadap S. epidermidis karena kandungan metabolit sekundernya yang bersifat antibakteri diantaranya flavonoid, saponin, tannin dan alkaloid dan essential oil (Pargaputri et al., 2017). Krim dengan kandungan ekstrak 15 % menunjukkan aktivitas penghambatan sangat kuat dengan penghambatan S. epi-dermidis dengan nilai zona hambat 20 mm (Pargaputri et al., 2017).
Daun beluntas mengandung tannin yang mempunyai gugus gallo dan pirogallo pada strukturnya yang akan berikatan dengan protein membran bakteri. Akibat interaksi dengan membran akan menyebabkan kebocoran protein, kerusakan pada dinding sel bakteri serta mengakibatkan kematian sel. Ikatan yang terjadi merupakan ikatan non spesifik seperti ikatan hidrogen yang mengganggu permeabilitas membrane sitoplasma sehingga fungsi membran sebagai pelindung permeable yang selektif akan terganggu. Kerusakan membran sitoplasma menyebabkan makromolekul dan ion yang berada di dalam sel keluar sehingga bakteri akan mati. Tannin juga menyebabkan gangguan adhesi sel bakteri pada permukaan sel dan enzim yang terikat pada membrane dan dinding sel (Pargaputri et al., 2017; Yuliani & Rasyid, 2019). Kandungan flavonoid dalam ekstrak daun beluntas memiliki aktivitas antibakteri melalui kemampuan berinteraksi dengan DNA pada inti sel bakteri. Ikatan yang terjadi meru-
Tabel 7: HASIL ANALISIS UJI ANOVA
Kontrol positif |
Kontrol negatif |
Formula I |
Formula II |
Formula III | |
Kontrol positif |
* |
* |
* |
* | |
Kontrol negatif |
* |
* |
* |
* | |
Formula I |
* |
* |
* |
* | |
Formula II |
* |
* |
* |
* | |
Formula III |
* |
* |
* |
* |
Keterangan : (-) Tidak berbeda signifikan, (*) Berbeda signifikan.
pakan ikatan hidrogen dengan rantai ganda DNA sehingga fungsi DNA gyrase terganggu serta mempengaruhi stabilitas rantai ganda mengakibatkan semua proses pertumbuhan dan metabolisme bakteri terhambat. Ion hidroksi dalam flavonoid mampu menstimulasi tranduksi energi yang mempengaruhi sitoplasma bakteri dan memperlambat pergerakan bakteri serta menyebabkan efek toksik pada bakteri (Pargapu-tri et al., 2017; Yuliani & Rasyid, 2019). Kandungan essential oil dalam ekstrak daun beluntas seperti sinamaldehide, benzyl alcohol, dan kandungan eugenol berperan pada kerusakan membran sel dan denaturasi protein bakteri. Proses denaturasi protein melibatkan perubahan stabilitas molekuler protein sehingga mengakibatkan perubahan struktur dan koa-gulasi protein. Perubahan protein menyebabkan gangguan pada permeabilitas dan dinding sel sehingga akan terjadi kematian sel bakteri (Pargaputri et al., 2017). Mekanisme dari berbagai metabolit sekunder daridaun beluntas mempunyai aktivitas yang saling mendukung dalam penghambatan pertumbuhan S. epidermidis.
Peningkatan konsentrasi ekstrak daun beluntas sediaan akan meningkatkan aktivitas antibakteri karena kandungan metabolit yang terkandung dalam sediaan semakin tinggi. Aktivitas penghambatan semua formula menunjukkan adanya perbedaan signifikan yang terlihat dari hasil pengujian Anova Tabel 6. Krim ekstrak daun beluntas dapat digunakan sebagai kandidat kosmetik anti jerawat karena memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri S. epidermidis.
5. Kesimpulan
Ekstrak daun beluntas yang telah dipurifikasi mengandung metaboli sekunder flavonoid. Krim ekstrak daun beluntas memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. epidermidis. Formula krim ekstrak daun beluntas 15 % menghasilkan aktivitas antibakteri kategori sangat kuat. Formulasi krim memiliki sifat fisik yang baik dan stabil pada pengamatan organoleptis selama penyimpanan selama 28 hari. Nilai viskositas dan pH sediaan krim mengalami peningkatan pada penyimpanan tetapi perubahan terjadi masih memenuhi syarat sediaan krim. Krim ekstrak daun beluntas memiliki potensi untuk dikem-bangan sebagai sediaan kosmetik anti jerawat.
Alissya, S. N., Mufrod, & Purwanto (2013). Antioxidant Activity of Cream Dosage Form of Tomato Extract (Solanum lycopersicum L.). Trad. Med. J., 18(3), 132 – 140.
Azizah, Z., & Wati, S. W. (2018). Skrining Fitokimia dan Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica charantia L .). J. Farm. Higea, 10(2), 163– 172.
Brooks, G., Carroll, K., Butel, J., Morse, S., & Mietzner, T.
(2012). Jawetz, Melnick & Adelberg’s Mikrobiologi Kedokteran Medical Microbiology. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 25 th edit ed.
Buranasukhon, W., Athikomkulchai, S., Tadtong, S., & Chit-tasupho, C. (2017). Wound healing activity of Pluchea indica leaf extract in oral mucosal cell line and oral spray formulation containing nanoparticles of the extract. Pharm. Biol., 55(1), 1767–1774.
Chen, M. X., Alexander, K. S., & Baki, G. (2016). Formulation and Evaluation of Antibacterial Creams and Gels Containing Metal Ions for Topical Application. J. Pharm., 2016, 1–10.
Darojah, P., Santoso, O., & Ciptaningtyas, V. R. (2019). Pengaruh Asap Cair Berbagai Konsentrasi Terhadap Viabilitas Staphyloococcus Epidermidis. Diponegoro Med. J. (Jurnal Kedokt. Diponegoro), 8(1), 390–400.
Donowarti, I., & Dayang Diah, F. (2020). Pengamatan hasil olahan daun beluntas (Pluchea indica L.) terhadap sifat fisika dan kimianya. Teknol. Pangan Media Inf. dan Komun. Ilm. Teknol. Pertan., 11(2), 118–134.
Ermawati, D. E., Yugatama, A., & Wulandari, W. (2020). Uji Sifat Fisik, Sun Protecting Factor, dan In Vivo ZnO Terdis-persi dalam Sediaan Nanoemulgel. JPSCR J. Pharm. Sci. Clin. Res., 5(1), 49.
Ikalinus, R., Widyastuti, S., & Eka Setiasih, N. (2015). Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Kulit Batang Kelor (Morin-ga Oleifera). Indones. Med. Veterinus, 4(1), 71–79.
Kalishwaralal, K., BarathManiKanth, S., Pandian, S. R. K., Deepak, V., & Gurunathan, S. (2010). Silver nanoparticles impede the biofilm formation by Pseudomonas aeruginosa and Staphylococcus epidermidis. Colloids Surfaces B Biointerfaces, 79(2), 340–344.
Lai, Y., Cogen, A. L., Radek, K. A., Park, H. J., MacLeod, D. T., Leichtle, A., Ryan, A. F., Di Nardo, A., & Gallo, R. L. (2010). Activation of TLR2 by a small molecule produced by staphylococcus epidermidis increases antimicrobial defense against bacterial skin infections. J. Invest. Dermatol., 130(9), 2211–2221.
Lailiyah, M., Saputra, S. A., & Sari, F. (2020). Antioxidant activity and sun protection factor evaluation for cream formulation of purified roasted corn silk extracts (Zea Mays L. Saccharata). Pharmaciana, 10(3), 371.
Lestari, I., Lestari, U., & Gusti, D. R. (2018). Antioxidant activity and irritation test of peel off gel mask of ethanol
extract of pedada fruit ( Sonneratia caseolaris ). In Int. Conf. Pharm. Res. Pract., (pp. 978–979).
Zulkarya, L. G., & Hastuti, E. D. (2018). Formulasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol Rumput Laut Coklat (Padina australis) dan Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan DPPH. Cendekia J. Pharm., 2(1), 81–87.
Mahendran, S., & Abdul Rashid, N. (2016). Formulation, evaluation and antibacterial properties of herbal ointment containing methanolic extract of Clinacanthus nutans leaves. Int. J. Pharm. Clin. Res., 8(8), 1170–1174.
Malik, A., Ahmad, A. R., & Najib, A. (2013). Daun Teh Hijau Dan Jati Belanda. J. Fitofarmaka Indones., 4(2), 238–240.
Malik, A., Edward, F., & Waris, R. (2016). Skrining Fito-kimia dan Penetapan Kandungan Flavonoid Total Ekstrak Metanolik Herba Boroco (Celosia argentea L.). J. Fitofar-maka Indones., 1(1), 1–5.
Meila, O., Pontoan, J., Uun, H. W., & Pratiwi, A. (2017). Formulasi Krim Ekstrak Etanol Daun Beluntas (PLuchea indica L.,) dan Uji Kestabilan Fisiknya. Indones. Nat. Res. Pharm. J., 1(2), 95–106.
Mohamed, S., Elmohamady, M. N., Abdelrahman, S., Amer, M. M., & Abdelhamid, A. G. (2020). Antibacterial effects of antibiotics and cell-free preparations of probiotics against Staphylococcus aureus and Staphylococcus epi-dermidis associated with conjunctivitis. Saudi Pharm. J., 28(12), 1558–1565.
Nakatsuji, T., Chen, T. H., Butcher, A. M., Trzoss, L. L., Nam, S. J., Shirakawa, K. T., Zhou, W., Oh, J., Otto, M., Fenical, W., & Gallo, R. L. (2018). A commensal strain of Staphylococcus epidermidis protects against skin neoplasia. Sci. Adv., 4(2).
Nurhidayati, S., Faturrahman, F., & Ghazali, M. (2015). Deteksi Bakteri Patogen yang Berasosiasi dengan Kappaphy-cus alvarezii (Doty) Bergejala Penyakit Ice - Ice. J. Sains Teknol. Lingkung., 1(2), 24–30.
Pargaputri, A. F., Munadziroh, E., & Indrawati, R. (2017). Antibacterial effects of Pluchea indica Less leaf extract on E. faecalis and Fusobacterium nucleatum (in vitro). Dent. J. (Majalah Kedokt. Gigi), 49(2), 93.
Pratasik, M. C. M., Yamlean, P. V. Y., & Wiyono, W. I. (2019). Formulasi Dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Krim Ekstrak Etanol Daun Sesewanua (Clerodendron Squama-tum Vahl.). Pharmacon, 8(2), 261–267.
Tang, X., Shen, Y., Hu, R., Yang, T., Benghezal, M., Li, H., & Tang, H. (2020). Re-assessment of the disk diffusion technique for routine antimicrobial susceptibility testing for Helicobacter pylori. Helicobacter, 25(4), 1–7.
Wiendarlina, I. Y., Indriati, D., & Rosa, M. (2019). Aktivitas Antibakteri Losion Anti Jerawat yang Mengandung Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica (L) Less.). FITO-FARMAKA J. Ilm. Farm., 9(1), 16–25.
Yuliani, H., & Rasyid, M. I. (2019). Efek Perbedaan Pelarut terhadap Uji Toksisitas Ekstrak Pineung Nyen Teusalee. J. Fitofarmaka Indones., 6(2), 347–352.
Zou, Y., Lu, Y., & Wei, D. (2004). Antioxidant activity of a flavonoid-rich extract of Hypericum perforatum L. in vitro. J. Agric. Food Chem., 52(16), 5032–5039.
ERWIYANI, DKK.
14
Discussion and feedback