Pharmaceutical Industry Policy during The Pandemic COVID-19
on
Meliawati, dkk.
DOI : https://doi.org/10.24843/JFU.2020.v09.i02.p02
pISSN: 2301-7716; eISSN: 2622-4607
Jurnal Farmasi Udayana, Vol 9, No 2, Tahun 2020, 72-82
Kebijakan Industri Farmasi pada Masa Pandemi COVID-19
Meliawati, Rini.1, Holik, Holis Abdul1
1Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor, Sumedang 45363
Telp. (022) 842 88888
Email: [email protected]
Riwayat artikel: Dikirim: 15/05/2020; Diterima: 20/06/2020, Diterbitkan: 27/12/2020
ABSTRACT
Drug shortages has been global problem since 2000s until now, and it become in serious condition by the presence of the pandemic COVID-19. The main causes of drug shortages were economic and regulation, business problem, manufacture and supply chain. During this pandemic, the main causes of drug shortages are many pharmaceutical industries closures due to quarantine, logistical problems caused by border closure, export bans, quarantine of exporting active subtances and drugs’countries, increased demand and pilling up. However, this problem has been overcome by making policies and good cooperation between governments, regulatory institution and the pharmaceutical industry throughout the world. Several policies like increasing production capacity, restrict quantity of drugs purchased by the public, facilitate the process of industrial license and making a systems such as i-SPOC (Industry Single Point of Contact). It is expected to reduce drugs shortages problem during this pandemic.
Keywords: COVID-19, pharmaceutical industry, policy, drug shortages
ABSTRAK
Masalah kekurangan pasokan obat telah menjadi masalah global sejak pertengahan tahun 2000-an hingga sekarang, namun masalah kekurangan pasokan obat ini semakin diperparah dengan adanya pandemi COVID-19. Sebelum masa pandemi COVID-19, penyebab utama kekurangan pasokan obat berkaitan dengan alasan ekonomi dan peraturan, masalah terkait bisnis serta manufaktur dan rantai pasok. Sedangkan di masa pandemi, penyebab kekurangan obat akibat banyaknya penutupan pabrik karena karantina, masalah logistik yang disebabkan oleh penutupan perbatasan, larangan ekspor, karantina Negara-negara pemasok bahan baku dan obat-obatan, peningkatan permintaan obat-obatan serta banyaknya penimbunan. Namun, masalah ini sudah ditanggulangi dengan membuat kebijakan-kebijakan dan kerjasama yang baik antara pemerintah, badan regulasi serta industri farmasi di seluruh dunia. Beberapa kebijakan yang dilakukan yaitu mulai dari meningkatkan kapasitas produksi, memberlakukan peraturan mengenai batasan jumlah obat yang dapat diresepkan untuk pasien atau dibeli oleh masyarakat untuk mencegah penimbunan, mempermudah proses perizinan industri hingga pembuatan sistem seperti i-SPOC (Industry Single Point of Contact). Beberapa kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi masalah kekurangan pasokan obat pada masa pandemi COVID-19 ini.
Kata kunci: COVID-19, industri farmasi, kebijakan, kekurangan pasokan obat
Akses terhadap obat-obatan merupakan hak asasi setiap manusia. Namun, saat ini masih banyak orang yang belum mendapatkan pengobatan yang esensial. Selain alasan harga
yang tidak terjangkau, salah satu alasan utama yaitu kurangnya akses terhadap obat-obatan akibat kurangnya pasokan obat-obatan, yang telah menjadi masalah di Eropa (Pauwels and Casteels, 2014). Tentunya masalah tersebut juga terjadi di Amerika Utara, Amerika Selatan dan
Asia. Kekurangan pasokan obat memiliki definisi yang berbeda-beda. Perbedaan definisi dari berbagai pihak mencerminkan persepsi negara atau institusi masing-masing terhadap kekurangan pasokan obat. Apakah terkait masalah rantai pasok secara teknis atau berkaitan dengan masalah pasar seperti harga, tingkat persaingan maupun kebijakan keuangan (De Weerdt et al., 2015). Food and Drug Administration (FDA) mendefinisikan bahwa kekurangan pasokan obat sebagai suatu kondisi dimana permintaan di Amerika Serikat melebihi persediaan obat yang ada (FDA, 2017). Perancis mendefinisikan kekurangan pasokan obat dengan suatu ketidakmampuan sebuah farmasi komunitas di Rumah Sakit untuk memberikan obat ke pasien dalam waktu 72 jam (Bocquet, 2017). Sedangkan di Jerman, mereka mengidentifikasi kekurangan pasokan obat pada tingkat pengiriman dan berkompromi terhadap perawatan pasien ketika tidak tersedia pengobatan alternatif (Said et al., 2018). Sedangkan Italia mengatakan bahwa kekurangan pasokan obat berkaitan dengan ketidaktersediaan produk obat pada geografis tertentu karena ketidakefisienan rantai pasok (Di Giorgio et al., 2019).
Masalah kekurangan pasokan obat sudah menjadi masalah sejak pertengahan tahun 2000-an dan mulai menjadi perhatian World Health Organization (WHO) sejak tahun 2009 (Fox et al., 2014). Salah satu tindakan yang dilakukan WHO untuk menangani masalah kekurangan pasokan obat yaitu WHO mengadakan pertemuan untuk membahas masalah ini secara global. WHO mengatakan bahwa obat-obat yang mengalami kekurangan pasokan adalah obat-obat yang masa patennya sudah habis dan sulit untuk dilakukan formulasi. Kekurangan pasokan obat juga terjadi pada obat-obat yang sering digunakan seperti antibiotik, obat kanker, kardiovaskular dan anestesi Selain itu pada laporannya, WHO melaporkan bahwa “kekurangan pasokan obat dapat terjadi pada beberapa titik dalam proses rantai pasok karena kurangnya kapasitas atau tidak adanya kapasitas produksi; masalah dengan bahan aktif farmasi
(API); kendala keuangan; masalah dengan forecasting, tantangan pada bagian Supply Chain Management. Terkait kendala keuangan termasuk perubahan pada anggaran nasional dan juga pembayaran menggunakan biaya pasien itu sendiri” (WHO, 2016).
Meskipun terdapat beberapa alasan penyebab kekurangan pasokan obat, perdagangan paralel terhadap obat-obatan diperkirakan menjadi salah satu sumber utama terjadinya kelangkaan obat (De Weerdt et al., 2015). Kelangkaan obat tentunya memiliki dampak yang tidak dapat dihindari terhadap kesehatan masyarakat terutama pasien, menyebabkan keterlambatan untuk segera memulai perawatan atau menjadi pemicu ketidakpatuhan pasien (Bochenek et al., 2018). Perdagangan paralel berasal dari konsep pasar bersama untuk Negara-negara Eropa tanpa dibatasi oleh garis batas wilayah. Proses ini terjadi ketika para pedagang paralel membeli obat-obatan di Negara-negara anggota Uni Eropa dengan harga yang murah dan menjualnya kembali ke Negara Uni Eropa lain dengan harga yang lebih tinggi (De Weerdt et al., 2015). Jika pembatasan barang pada perdagangan paralel tetap dilarang maka suatu saat harga dan jumlah barang yang disepakati oleh anggota Negara Uni Eropa seperti Polandia, Slovakia, Yunani, Spanyol pada perdagangan paralel akan sangat rentan mengalami kekurangan. Meski demikian, dalam kasus menurunnya margin di apotek maupun grosir, distribusi paralel akan sangat dipertimbangkan untuk meningkatkan pendapatan. Ini dapat mengarah pada pengembangan proses yang disebut “reverse traffic” ketika gudang distribusi farmasi lebih sering mendapatkan obat-obatan dari apotek komunitas dibandingkan mendapatkannya dari perusahaan farmasi atau gudang lainnya (Vazquez et al., 2015). Meskipun ilegal di Uni Eropa “reverse traffic” menjadi masalah nyata dari pasar farmasi di Uni Eropa dan secara substansial meningkatkan kekurangan obat di apotek dan pelayanan kefarmasian (Rada, 2015). Dalam beberapa kasus kekurangan obat, dimungkinkan untuk menawarkan pengobatan
alternatif, ekspor paralel obat-obatan sering kali berkaitan dengan obat-obatan yang inovatif.
Masalah kekurangan pasokan obat juga dapat disebabkan oleh peristiwa geopolitik yang luar biasa seperti COVID-19. Pada awal tahun 2020, dunia dikejutkan dengan adanya wabah virus baru yaitu The Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Sejak tanggal 2 April 2020, COVID-19 sudah menyerang lebih dari 200.000 orang Amerika dan menghilangkan lebih dari 5.000 nyawa (Shah, 2019). Pandemi COVID-19 belum menghambat produksi dan pengiriman obat-obatan pada kuartal pertama tahun 2020, meskipun pada bulan-bulan selanjutnya pengiriman bahan kimia mulai melambat dan cadangan persediaan mulai berkurang. Adanya pandemi COVID-19 ini, menyadarkan regulator dan pemimpin dunia sejauh mana Cina mendominasi pasokan bahan aktif farmasi dunia dan bahan baku kimia. Upaya industri yang sedang berlangsung di AS dan Eropa untuk menyeimbangkan kembali rantai pasokan bahan kimia farmasi kemungkinan akan didorong oleh inisiatif pemerintah untuk memastikan produksi obat dalam negeri. Saat masa pandemi ini, para tenaga kesehatan tengah menjalani kehidupan penuh risiko karena harus menghadapi ancaman tertular virus ini, menghadapi tekanan fisik dan emosional yang sangat besar. Kurangnya alat uji, masker, Alat Pelindung Diri (APD) dan ventilator membuat keadaan semakin sulit.
Selain itu, masalah besar lain yang menghadang yaitu kekurangan pasokan obat-obatan yang penting untuk menangani COVID-19, kekurangan pasokan obat ini diperkirakan akan semakin memburuk dengan bertambahnya waktu. Tidak hanya mempengaruhi pasien COVID-19 secara langsung namun juga mengancam kesehatan dan keselamatan pasien dengan penyakit lain. Kelangkaan juga terjadi pada obat-obatan yang disebut-sebut sebagai terapi yang menjanjikan terhadap COVID-19 seperti chloroquine dan hydroxychloroquine. Kelangkaan tidak hanya terjadi pada kedua obat tersebut namu juga pada obat-obatan sedatif, antibiotik dan vasopressor. Kelangkaan obat-obat sedatif seperti midazolam dan propofol cukup mengkhawatirkan karena obat ini dibutuhkan pasien untuk intubasi (Esther dan Vincent, 2020).
Metode dalam penulisan review artikel ini yaitu studi literatur. Sumber yang digunakan yaitu pencarian kata kunci pharmaceutical industry policy, pharmaceutical companies policy dan drug shortages COVID-19 di ScienceDirect, NCBI dan Google Scholar. Sumber artikel yang digunakan yaitu artikel yang diterbitkan mulai tahun 2014 hingga saat ini.
Tabel 1. Estimasi Kebutuhan AS dan Global terhadap HCQ
Jumlah zat HCQ (ton) |
Tablet (200 mg) |
Jumlah pasien | |
Kebutuhan normal di dunia |
300 |
1.500 juta |
3 juta |
Kebutuhan normal di AS |
100 |
500 juta |
1 juta (kronik) |
Kebutuhan jika 2 % penduduk AS butuh perawatan |
40 |
195 juta |
6,5 juta |
COVID-19 | |||
Kebutuhan jika 2% penduduk dunia butuh |
1.000 |
4.680 juta |
156 juta |
perawatan COVID-19 | |||
20% kebutuhan global untuk profilaksis |
10.000 |
46.800 juta |
1.560 juta |
(Zhang and Zhong, 2020).

Masalah pelayanan
Aktivitas instalasi farmasi Perawatan pasien
Gambar 1. Hasil Survei Dampak Kekurangan Pasokan Obat di Rumah Sakit Eropa (EAHP, 2014)
tahun terakhir dan masalah ini semakin buruk pada masa pandemi ini disebabkan banyaknya penutupan pabrik karena karantina, masalah logistik yang disebabkan oleh penutupan perbatasan, larangan ekspor, karantina Negara-negara pemasok bahan baku dan obat-obatan, peningkatan permintaan obat-obatan karena perawatan pasien COVID-19, penimbunan di rumah sakit tertentu, maupun penimbunan individu oleh warga. Namun untuk menghindari masalah kekurangan pasokan obat karena penimbunan, beberapa Negara Eropa telah memberlakukan peraturan mengenai batasan pada jumlah paket yang dapat diresepkan untuk pasien atau dibeli oleh warga negara. (EMA, 2020). Adanya pandemi mengakibatkan terganggunya rantai pasok bahan baku farmasi karena dua Negara penyedia bahan baku farmasi yaitu Cina dan India sedang melakukan karantina wilayah sehingga transportasi maupun logistik akan terhambat akibat pembatasan akses jalan. Selain itu, saat karantina wilayah banyak industri yang tidak beroperasi. Terjadi juga kelangkaan terhadap obat-obatan yang dilaporkan memiliki aktivitas terhadap COVID-19 seperti hydroxychloroquine karena banyak dilakukan peresepan secara off-label dan adanya penimbunan, akibatnya hydroxychloroquine saat ini sulit diperoleh untuk pasien non-covid yang membutuhkan obat ini seperti pasien rheumatoid arthritis dan penyakit autoimun lain. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kelangkaan obat sedatif seperti midazolam dan propofol yang dibutuhkan pasien untuk intubasi (Esther dan Vincent, 2020).
Klorokuin dan hidroksiklorokuin awalnya adalah obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit malaria sebagai antiplasmodium. Obat ini merupakan obat yang mengandung gugus
-
4. PEMBAHASAN
Sebelum masa pandemi COVID-19, penyebab utama terjadinya kekurangan pasokan obat berkaitan dengan bahan baku yang sulit didapat, masalah terkait manufaktur, harga obat yang cenderung mahal, fragmentasi pasar, masalah bisnis serta adanya dampak dari teknologi baru (WHO, 2016). Selain itu, penyebab kekurangan pasokan obat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
-
1. Alasan ekonomi dan peraturan
-
2. Terkait masalah bisnis
-
3. Masalah manufaktur dan rantai pasok Pertama, masalah ekonomi dan peraturan. Faktor ekonomi dan peraturan dapat menyebabkan kekurangan pasokan obat meliputi kebijakan fiskal yang ketat, perubahan kebijakan pemerintah, bertambahnya peraturan terkait persyaratan dan perubahan permintaan obat karena adanya aplikasi pengobatan baru. Kedua, alasan terkait bisnis. Masalah bisnis yang menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan obat yaitu meningkatnya harga, menurunnya margin, meningkatnya dominasi oleh sejumlah produsen, sistem tender yang mendukung produsen besar, dll. Yang ketiga yaitu masalah yang berkaitan dengan manufaktur dan rantai pasok. Beberapa masalah utama terkait
manufaktur yaitu masalah adaptasi dengan
kebijakan pemerintah yang semakin ketat, waktu tunggu produksi yang panjang, meningkatnya bottleneck bahan baku, serta kegagalan produksi yang terkait mutu (Beck, 2019).
Kekurangan pasokan obat juga dapat disebabkan oleh peristiwa geopolitik yang luar biasa seperti COVID-19. Jumlah kekurangan obat-obatan telah meningkat dalam beberapa 75
kuinolin yang bekerja menghambat aktivitas enzim heme polymerase. Selain sebagai antimalaria, klorokuin juga banyak digunakan dalam terapi penyakit autoimun seperti Lupus, Rheumatoid Arthritis, dll. Ternyata, klorokuin dan hidroksiklorokuin juga dapat digunakan untuk terapi antiviral. Klorokuin memiliki efek antiviral yang kuat terhadap virus SARS-CoV pada sel primata. Selain itu, klorokuin dan hidroksiklorokuin meningkatkan pH endosomal yang menghambat replikasi virus (Al Bari, 2017). Obat ini nampaknya berinteraksi dengan reseptor angiotensin-converting enzim 2 (ACE2) selular. Hal ini menyebabkan penghambatan terhadap ikatan virus dan reseptor sehingga dapat mencegah infeksi maupun penyebaran virus SARS-CoV pada konsentrasi yang dapat menyebabkan gejala klinis. Pada masa pandemi COVID-19 di Cina, klorokuin telah digunakan dengan dosis 500 mg untuk dewasa, 2 kali sehari, dan lama terapinya kurang dari 10 hari. Klorokuin dan hidroksiklorokuin saat ini juga sedang dicoba di Malaysia dengan dosis yang sama dengan dosis yang digunakan di Cina (Du dan Qu, 2020).
NPR memiliki laporan mengenai bagaimana gangguan di Cina sangat mempengaruhi kemampuan beberapa produsen obat untuk membuat bahan-bahan utama/key ingredients. Sembilan perusahaan yang beroperasi di Cina mengatakan mereka membuat berbagai macam obat-obatan dan beberapa juga membuat produk kesehatan lain seperti nasal strips dan insektisida. Sejauh ini, gangguan pasokan yang serius belum terjadi. Banyak fasilitas yang sudah kembali beroperasi setelah adanya gangguan produksi terkait COVID-19. Beberapa mengatakan bahwa mereka bekerja cukup jauh dari episentrum wabah di Wuhan untuk bisa terus bekerja setelah libur Tahun Baru Imlek diperpanjang. Salah satu industri farmasi bernama Asymchem yang berbasis di New York mengatakan banyak pemasok yang belum dapat dihubungi. Namun, perusahaan tersebut selalu mempunyai stok minimal untuk satu bulan sehingga untuk saat ini perusahaan tersebut belum mengalami gangguan persediaan. Fasilitas
produksi Asymchem di Cina telah dibuka kembali pada 10 Februari, namun fasilitas paling Selatan yaitu fasilitas yang terdekat dengan Wuhan bekerja dengan jumlah staf yang lebih kecil. Beberapa produsen juga mengambil tindakan pencegahan ekstra untuk menghindari penyebaran virus, diantaranya pihak industri mewajibkan para pekerja untuk makan sendiri, memakai masker saat bekerja, memeriksa suhu minimal sehari satu kali atau lebih, tidak menyelenggarakan pertemuan seperti rapat, dll. (NPR, 2020).
Terkait permintaan terhadap hidroksiklorokuin yang telah meroket beberapa waktu ini. Hal ini mendorong beberapa Negara bagian dan rantai pasok di Amerika Serikat untuk mengimplementasikan program alokasi yaitu suatu langkah untuk menekan penimbunan produk yang bertujuan untuk memastikan rantai pasokan tetap stabil walaupun dalam jumlah yang terbatas. Dokter didesak untuk tidak meresepkan obat tersebut untuk penggunaan profilaksis karena banyak pasien non-COVID yang bergantung pada obat ini seperti pasien Rheumatoid Arthritis (RA) dan Lupus Erythematosus (SLE). Sedangkan pihak industri berjanji untuk meningkatkan produksi atau menyumbangkan sejumlah besar tablet (Zhang and Zong, 2020). Pada tanggal 28 Maret 2020, FDA mengeluarkan Otorisasi Penggunaan Darurat (EUA) untuk mengizinkan penggunaan darurat hydroxychloroquine sulfate dan akan dipasok dari Strategic National Stockpile untuk merawat orang dewasa dan remaja dengan berat 50 kg atau lebih dan dirawat di Rumah Sakit dengan COVID-19 dimana uji klinik belum tersedia untuk obat-obatan COVID-19. Saat ini kekurangan hidroksiklorokuin adalah akut. Keadaan ini bisa saja dikurangi dengan peningkatan produksi global atau sebaliknya dapat diperburuk dengan permintaan yang terus meningkat, terutama jika efikasi hidroksiklorokuin untuk mengobati COVID-19 sudah dibuktikan oleh RCT. India tidak diragukan lagi memainkan peran sentral untuk pasokan hidroksiklorokuin global. Diperkirakan negara itu menghasilkan sekitar 60 metrik ton
hidroksiklorokuin untuk pasar domestik (didominasi oleh Ipca Laboratories Ltd.) dengan pangsa pasar 80% dan jumlah yang sama untuk ekspor (dipimpin oleh Zydus Cadila). Ipca juga merupakan produsen chloroquine (di)phosphate di dunia, yang pernah memiliki 80% saham pasar global. Sedangkan pasar Cina dipimpin oleh Shanghai Pharma dengan 80% saham pada 2018. Negara tersebut memproduksi sekitar 35 metrik ton hidroksiklorokuin untuk pasar domestik, dan 20 ton untuk ekspor, sebagian besar ke beberapa negara non-ICH. Di Cina obat ini dijual dalam bentuk tablet 100 mg, sementara di AS dibuat dalam bentuk tablet salut film dengan dosis 200 mg.
Pada tabel 1 dilakukan perbandingan pasar hidroksiklorokuin sebelum dan sesudah COVID-19 merebak, serta prediksi kebutuhan hidroksiklorokuin di AS dan dunia jika obat ini sudah terbukti memiliki khasiat terhadap COVID-19 pada uji klinik. Diprediksi jenis regimen terapi COVID-19 meliputi 6 gram hidroksiklorokuin sulfat atau 30 tablet dosis 200
mg. Diketahui bahwa kebutuhan dunia saat ini sebesar 300 metrik ton dalam setahun dan sebagian besar untuk penyakit kronis. Sedangkan permintaan hidroksiklorokuin untuk COVID-19 juga diprediksi akan segera mengalami lonjakan. Contohnya, jika 2% dari populasi penduduk Amerika Serikat membutuhkan pengobatan menggunakan hidroksiklorokuin, maka 40 metrik ton hidroksiklorokuin akan dibutuhkan segera. Sedangkan jika 20% penduduk Amerika Serikat membutuhkan pengobatan, maka 400 metrik ton hidroksiklorokuin dibutuhkan dalam beberapa minggu. Secara global, membutuhkan 1.000 metrik ton obat dalam beberapa minggu atau tiga kali lipat dari jumlah kapasitas produksi normal.
Adanya lonjakan permintaan hidroksiklorokuin di seluruh dunia, beberapa industri penghasil hidroksiklorokuin melakukan berbagai strategi untuk mencegah kekurangan hidroksiklorokuin. Strategi tersebut dijelaskan pada tabel 2.
Tabel 2. Strategi Industri Farmasi Mencegah Kekurangan Pasokan Hidroksiklorokuin
No. |
Nama Industri Farmasi |
Strategi |
1. |
Candila |
Menaikkan produksi 5x lipat untuk menghasilkan 20 ton HCQ per bulan |
2. |
Amneal Pharmaceuticals |
Meningkatkan produksi hingga 20 juta tablet (4 ton) pada pertengahan April. |
3. |
Laurus |
Meningkatkan produksi mulai pertengahan April dari 5 menjadi 15-20 ton per bulan. |
4. |
Novartis |
Mendonasikan 130 juta tablet (26 ton) pada akhir Mei, termasuk stok sebanyak 50 juta tablet dosis 200 mg (10 ton). |
5. |
Mylan |
Meningkatkan produksi hingga 50 juta tablet (10 ton). |
6. |
Teva |
Menyumbang 16 juta tablet ke rumah sakit di AS (6 juta tablet pada 31 Maret dan lebih dari 10 juta dalam sebulan atau sekitar 3,2 ton). |
7. |
Bayer |
Menyumbang 3 juta tablet ke rumah sakit AS. |
(Zhang and Zong, 2020).
Cina merupakan penyedia utama bahan baku pembuatan hidroksiklorokuin untuk dalam negeri maupun ekspor ke Negara lain. Penyebaran COVID-19 sebagian besar terdapat di Negara ini namun mayoritas industri tetap melanjutkan produksi secara normal. Kapasitas hidroksiklorokuin yang melimpah di Cina bersifat substansial dan belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk permintaan global. Sedangkan kapasitas India dalam memasok obat-obatan global juga sangat penting. Tren penyebaran
COVID-19 di India cukup meresahkan. Dampak saat ini dan di masa mendatang terhadap pasokan hidroksiklorokuin dan obat-obatan lainnya menjadi tidak menentu. Baru-baru ini, India melarang ekspor hidroksiklorokuin dan klorokuin, namun semuanya berharap keputusan tersebut dapat dibatalkan jika pasokan untuk domestik sudah terpenuhi (Molina et al., 2020). Menurut pendapat Marketing Authorization Holder (MAH), naik turunnya permintaan dan perubahan regulasi/GMP dapat mempengaruhi
faktor eksternal seperti ketersediaan bahan aktif, eksipien dan peralatan serta faktor internal seperti personil, formulasi dan proses. Kolaborasi antara institusi pendidikan dan industri farmasi sangat penting untuk mendukung inovasi R&D dan mampu mengurangi risiko kekurangan pasokan obat (Panzitta et al., 2017).
Dampak dari kekurangan pasokan obat terhadap beberapa aspek mutu perawatan meliputi risiko terhadap pasien karena terlambatnya penanganan atau kesalahan terkait obat, meningkatnya beban kerja apoteker di Rumah Sakit dan seluruh tim medis untuk menangani kekurangan pasokan obat, beban ekonomi rumah sakit maupun Sistem Kesehatan Nasional. The European Assosiation of Hospital Pharmacists (EAHP) pada tahun 2014 melakukan survey mengenai kekurangan pasokan obat di Rumah Sakit Eropa dengan 600 responden dari 36 negara Eropa, menunjukkan bahwa mayoritas responden merupakan Apoteker Rumah Sakit dan mereka setuju bahwa kekurangan pasokan obat menjadi masalah saat ini terkait dalam menyediakan pelayanan terbaik pada pasien atau pengelolaan instalasi farmasi rumah sakit (86%), mempengaruhi aktivitas sehari-hari instalasi farmasi rumah sakit (66%) dan berdampak negatif pada perawatan pasien (75,4%), juga dapat menunda pengobatan dan memburuknya kondisi pasien (EAHP, 2014).
Langkah-langkah strategis harus segera dilakukan oleh Negara. Pertama, FDA harus mengubah prosedur kebijakannya sehingga akan mempercepat proses untuk memastikan bahwa obat-obatan yang penting tersedia di pasaran (FDA, 2019). Selain itu, merekomendasikan FDA untuk melakukan persetujuan langsung bagi obat generik yang terpilih untuk diproduksi di Negara lain. Kedua, pemerintah federal harus bekerja sama dengan merek dagang besar dan industri farmasi generik untuk meningkatkan jumlah produksi obat yang telah disetujui dengan pasokan yang cepat. Jika General Motor dapat menggunakan kembali pabriknya untuk membuat ventilator, maka industri besar dapat diminta untuk mengalihkan produksi mereka
untuk memproduksi obat generik yang dapat membantu mengatasi kekurangan pasokan obat. Jika industri yang memiliki infrastruktur tidak mau melakukan secara sukarela untuk kepentingan nasional maka pihak pemerintah harus memaksa mereka untuk membantu memenuhi kebutuhan Negara. Ketiga, perlu adanya dorongan untuk mendanai produksi obat generik nonprofit di Amerika Serikat. Contohnya, Civica Rx didirikan untuk mengatasi kekurangan pasokan obat dan untuk memproduksi dan memasok dengan harga lebih murah. Walaupun hal ini memerlukan waktu panjang dalam proses persiapannya, obat esensial produksi pemerintah perlu dipertimbangkan untuk jangka panjang karena obat generik dengan keuntungan margin yang kecil kurang menarik untuk perusahaan yang mencari profit walaupun obat tersebut sangat dibutuhkan. Keempat, mayoritas zat aktif diproduksi di Cina. Selain bernegosiasi dengan Cina untuk meningkatkan pasokan, Amerika Serikat juga harus mempertimbangkan untuk meningkatkan produksi zat aktif domestik. Sejak banyak industri ditutup di Cina, dan India menutup ekspor obat-obatan, kita berada di bawah ancaman kekurangan pasokan obat-obatan (Esther dan Vincent, 2020).
Kekurangan obat juga menjadi masalah umum di seluruh Apotek Polandia. Meskipun sudah ada beberapa solusi yang ditujukan untuk mengurangi kekurangan pasokan obat di Polandia, hal ini tampaknya tidak cukup efektif. Sistem denda dan hukuman yang jelas dan tegas untuk ekspor obat-obatan terlarang adalah jawaban yang paling sering terkait dengan solusi yang disarankan untuk mengurangi masalah kekurangan pasokan obat. Terlepas dari kenyataan bahwa perdagangan paralel adalah legal di Uni Eropa, perbedaan substansial dalam harga obat dapat menyebabkan kekurangan obat (Rada, 2015). Kekurangan obat dan fenomena ini biasanya menyangkut obat yang sering digunakan misalnya pada profilaksis antitrombolitik atau dalam pengobatan gangguan kronis dan mengancam jiwa (risperidone, lispro) (Pauwels and Casteels, 2014).
Selama masa pandemi ini, banyak Negara yang melakukan lockdown termasuk salah satu Negara pengekspor bahan aktif farmasi terbesar di dunia yaitu Cina. Maka, Negara yang juga menjadi pengekspor bahan aktif farmasi terbesar setelah Cina yaitu India berusaha menjaga pasokan bahan aktif. Karena saat ini Cina sedang lockdown, pemerintah dan industri farmasi India menilai adanya kerentanan terhadap rantai pasok di India. Beberapa minggu terakhir, pemerintah dan perwakilan industri farmasi India mengadakan diskusi untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan aktif farmasi di India dengan mempercepat perizinan pembangunan pabrik termasuk perizinan dengan kementerian lingkungan hidup, memberikan kemudahan terkait kelistrikan, dll. Beberapa strategi tersebut dapat menghilangkan hambatan terhadap produksi API di India (Chatterjee, 2020).
Sedangkan di Eropa, strategi untuk membantu mengurangi gangguan pasokan obat-obatan, The EU Executive Steering Group on Shortages of Medicines Caused by Major Events, mengambil keputusan strategis untuk tindakan segera dan terkoordinasi untuk mengatasi kekurangan pasokan obat di Negara-negara Eropa dalam masa pandemi ini. Bersama industri farmasi dirancang sebuah sistem yang disebut i-SPOC (Industry Single Point of Contact) yaitu suatu sistem untuk mempercepat interaksi antara industri dan EU Executive Steering Group mengenai adanya kelangkaan obat. Dengan sistem ini, masing-masing perusahaan farmasi akan melapor langsung ke EMA untuk mengantisipasi kekurangan obat-obatan penting yang digunakan dalam penanganan COVID-19. Perusahaan akan terus melaporkan jika terjadi kekurangan kepada otoritas nasional yang bersangkutan. Sistem i-SPOC ini mirip dengan jaringan Single Point of Contact (SPOC) yang didirikan pada tahun 2019 oleh EMA dan otoritas nasional yang berwenang untuk berbagi informasi tentang kekurangan obat-obatan yang didasarkan pada perjanjian i-SPOC di setiap industri farmasi, yang akan memberikan informasi untuk mengantisipasi kelangkaan obat-obatan yang berkaitan dengan COVID-19 kepada
EMA. Mekanisme baru ini memungkinkan pengawasan yang lebih baik terhadap masalah rantai pasok yang sedang terjadi, terlepas dari rute perizinan dan percepatan alur informasi industri farmasi yang bertujuan mengurangi dan mencegah kekurangan pasokan obat yang berkaitan dengan obat-obatan COVID-19. Selain itu, EMA dan Negara-negara Eropa sedang mempertimbangkan langkah-langkah pencegahan kelangkaan obat melalui tindakan untuk menunjang peningkatan kapasitas produksi dengan cara mempercepat persetujuan adanya jalur produksi baru. Dilakukan juga diskusi dengan industri farmasi untuk meningkatkan kapasitas produksi obat-obatan yang digunakan untuk menangani COVID-19, khususnya obat-obat yang berisiko mengalami kekurangan pasokan (EMA, 2020).
Selain itu, solusi lain untuk mengurangi kekurangan pasokan obat yaitu adanya sistem ISMM (Integrated System of Medicines Monitoring). ISMM ini merupakan sistem untuk mengumpulkan data tentang perdagangan obat-obatan dari apotek dan melaporkan kekurangan obat dan rencana pengiriman, serta adanya kuota (untuk memastikan produk diizinkan untuk satu pasar tetap dan dapat memenuhi permintaan lokal). (Bochenek et al., 2018).
Industri farmasi di Eropa berkomitmen untuk melawan pandemi COVID-19 salah satunya dengan mencegah terjadinya kembali wabah ini di masa depan. Industri farmasi di Eropa berkomitmen untuk bekerja secara kolaboratif dengan seluruh fasilitas penelitian dan instansi layanan kesehatan, memanfaatkan ilmu pengetahuan dan orang-orang yang mampu di bidangnya untuk mengatasi wabah ini. Tujuan industri farmasi melakukan hal tersebut saat masa krisis kesehatan ini adalah untuk memastikan pasokan obat-obatan sampai dengan aman kepada pasien yang membutuhkannya, meneliti dan mengembangkan vaksin baru, diagnostik dan perawatan untuk digunakan dalam memerangi COVID-19. Sebagai mitra dan organisasi pendukung di lapangan untuk melawan COVID-19. Selain itu, perusahaan yang tergabung dalam anggota EFPIA
(European Federation of Pharmaceutical Industries and Assosiations) berkomitmen menyumbangkan jutaan euro dalam bentuk kontribusi langsung berupa uang untuk mendukung instansi pelayanan kesehatan yang berperan langsung terhadap pasien dan masyarakat yang terinfeksi COVID-19. Berbagai kebutuhan penting termasuk peralatan bedah canggih, antibiotik, peralatan desinfeksi, vitamin, pakaian pelindung, kacamata, masker dan sarung tangan telah disumbangkan. Selain itu, obat-obatan antibakteri yang disetujui untuk mengobati infeksi sekunder seperti pneumonia juga disumbangkan. Langkah-langkah EFPIA untuk mengatasi risiko kekurangan obat yang disebabkan oleh coronavirus yaitu karena banyak negara di Eropa yang mendekati puncak masa pandemi COVID-19, industri yang tergabung dalam anggota EFPIA terus bekerja sepanjang waktu untuk meningkatkan kapasitas dan memastikan pasokan obat-obatan penting untuk pasien di seluruh Eropa. Bahkan, peningkatan kapasitas adalah salah satu tindakan pertama yang dilakukan oleh produsen farmasi, sebagai bagian dari rencana kesiapan menghadapi pandemi, diaktifkan kembali pada bulan Januari. Namun, menyaksikan peningkatan permintaan yang signifikan di beberapa negara Eropa, yang dalam beberapa kasus dapat mencapai berkali lipat dari normal. Dalam suatu komunikasi dengan Komisi Eropa, EFPIA menyambut adanya Pedoman Komisi untuk negara-negara anggota tentang optimalisasi pasokan obat-obatan untuk COVID-19, serta untuk memenuhi kebutuhan akibat penimbunan dan larangan ekspor, para anggota EFPIA memberikan informasi lebih lanjut terkait forecast dan memperkirakan permintaan obat-obatan sesuai dengan kebutuhan pasien dan memastikan pasokan obat-obatan yang optimal dan tepat waktu ke semua Negara anggota dan bekerja sama untuk mendukung kelanjutan uji klinis di seluruh Eropa. Larangan ekspor dan permintaan obat-obatan yang meningkat secara signifikan masih terus terjadi di Uni Eropa. Larangan ekspor ini sangat mempengaruhi perusahaan-perusahaan yang memiliki gudang distribusi
multi-market di beberapa Negara, yang awalnya melayani seluruh Eropa maupun sebagian Afrika. Setiap Negara bersaing untuk memastikan ketersediaan obat-obatan yang diperlukan untuk warganya. Namun, rantai pasokan dirancang untuk bekerja lintas batas. Tidak ada satu negara pun yang dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri, dan melalui pembatasan, negara berisiko mengisolasi diri dan warganya dari jaringan pasokan global. COVID-19 adalah pandemi global dan membutuhkan respons global. Upaya paling penting yang dilakukan oleh EFPIA untuk memenuhi kebutuhan pasien adalah memastikan data forecasting yang akurat untuk memenuhi permintaan obat-obatan pasien. EFPIA sangat membutuhkan data pemodelan terperinci dari European Centre for Disease Control. COVID-19 telah memberikan tekanan yang besar pada unit perawatan intensif Eropa, termasuk permintaan obat-obatan yang digunakan dalam perawatan kritis. EFPIA mendukung proyek yang diprakarsai oleh Medicines for Europe dan anggotanya mencoba mengkaji total permintaan untuk obat-obatan ICU yang dibutuhkan di Rumah Sakit yang ada di seluruh Negara Uni Eropa serta mengumpulkan data pasokan dan kapasitas dari produsen obat-obatan ini di bawah supervisi ketat oleh European Commission Directorates General for Competition and Health (EFPIA, 2020).
Masalah kekurangan pasokan obat secara global di masa pandemi COVID-19 dapat ditanggulangi dengan adanya kebijakan dan kerjasama yang baik antara pemerintah, badan regulasi dan industri farmasi di seluruh dunia. Beberapa kebijakan yang dilakukan yaitu mulai dari meningkatkan kapasitas produksi, mempermudah proses perizinan industri hingga pembuatan sistem seperti i-SPOC. Beberapa kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi masalah kekurangan pasokan obat pada masa pandemi COVID-19 ini.
-
6. DAFTAR PUSTAKA
-
1. Al Bari, M. 2017. Targeting Endosomal Acidification by Chloroquine Analogs as a Promising Strategy for the Treatment of Emerging Viral Diseases. Pharma Res Per 5(1).
-
2. Beck, Matthias. 2019. Managing Pharmaceutical Shortages: An Overview and Classification of Policy Responses in Europe and the USA. International Review of Administrative Sciences 0 (0) 1-19.
-
3. Bochenek T, Abilova V, Alkan A, Asanin B, de Miguel Beriain I, Besovis Z. 2018. Systemic Measures and Legislative and Organizational Frameworks Aimed at Preventing or Mitigating Drug Shortages in 28 European and Western Asian Countries. Frontiers in Pharmacology:8
-
4. Bocquet, F., Degrassat-Theas, A., Peigné, J., Paubel, P., 2017. The New Regulatory Tools Of The 2016 Health Law To Fight Drug Shortage In France. Health Policy 121, 471– 476.
-
5. Chatterjee, Patralekha. 2020. Indian Pharma Threatened by COVID-19 Shutdowns in China. Available online at
www.thelancet.com Vol. 395 February 29.
-
6. De Weerdt E, Simoens S, Hombroeckx L, Casteels M, Huys I. 2015. Causes of Drug Shortages in the Legal Pharmaceutical Framework. Regulatory Toxicology and Pharmacology 71, 251-8.
-
7. De Weerdt, E., Simoens, S., Casteels, M., Huys, I., 2015. Toward a European
Definition for a Drug Shortage: a Qualitative Study. Front. Pharmacol. 6, 253.
-
8. Di Giorgio, D., Scrofina, G., Scognamiglio, B., Di Carluccio, N., Tulimero, R., et al.
2019. Tackling Distribution-related Shortages of Medicines: an Italian Case of Study Evaluated in the European Union Framework. MA@PoC.
https://doi.org/10.1177/2399202619856859.
-
9. Du and Qu. 2020. Guidance for Corona Virus Disease 2019: Prevention, Control, Diagnosis and Management. China: People’s Medical Publishing House.
-
10. EFPIA. 2014. Policy Proposal to Minimise Medicine Shortages in Europe. . Available online at
http://www.efpia.eu/uploads/Modules/Docu ments/pac-280214-ai6-a2-shortages [Accessed 4 Mei 2020].
-
11. Esther, Choo, K., Rajkumar, Vincent. 2020. Medication Shortages During the COVID-19 Crisis: What We Must Do. Mayo Clinic Proceedings 95(6)
-
12. European Federation of Pharmaceutical Industries and Assosiations. 2020. Available online at https://www.efpia.eu/news-events/the-efpia-view/efpia-news/coronavirus-your-questions-answered/ [accessed 13 Mei 2020].
-
13. European Medicines Agency. 2020. EU Authorities Agree New Measures to Support Availability of Medicines Used in the COVID-19 Pandemic.
-
14. Food Drug Administration. 2017. Report on Drug Shortages for Calendar Year. 2016. Available at:
https://www.fda.gov/downloads/Drugs/Dru gSafety/DrugShortages/UCM561290.pdf [Accessed 3 Mei 2020].
-
15. Food Drug Administration. 2020. Fact Sheet For Health Care Providers Emergency Use Authorization (Eua) Of
Hydroxychloroquine Sulfate Supplied From The Strategic National Stockpile For Treatment Of Covid-19 In Certain Hospitalized Patients. Available at: https://www.fda.gov/media/136537/downlo ad [Accessed 3 Mei 2020].
-
16. Fox ER, Sweet BV and Jensen V. 2014. Drug Shortages: A Complex Health Care Crisis. Mayo Clinic Proceedings 89 (3): 361–373.
-
17. Molina, J. M., Delaugerre, C., Le Goff, J., Mela-Lima, D. Ponscarme, L. Goldwirt, N. de Castro. 2020. No Evidence of Rapid Antiviral Clearance or Clinical Benefit with the Combination of Hydroxychloroquine and Azithromycin in Patients with Severe COVID-19 Infection. Medicine et Maladies Infectieuses
https://doi.org/10.1016/j.medmal.2020.03.0 06
-
18. NPR. 2020. How Coronavirus Is Affecting the U.S Pharmaceutical Supply. Available online at
https://www.npr.org/sections/health-shots/2020/03/12/814623335/how-coronavirus-is-affecting-the-u-s-pharmaceutical-supply [Accessed 10 Mei 2020].
-
19. Panzitta, Michele, Ponti, Mauro, Bruno, Giorgio, Cois, Giancarlo, D’Arpino, Alessandro, Minghetti, Paola, et al. 2017. The Strategic Relevance of Manufacturing Technology: An Overall Quality Concept to Promote Innovation Preventing Drug Shortage. International Journal of Pharmaceutics (516) 144-157.
-
20. Pauwels K, Huys I, Casteels M, Simoens S. 2014. Drug shortages in European countries:a trade-off between market attractiveness and cost containment? BMC HealthServices Research;14:438.
-
21. Rada AG. Spanish special forces dismantle parallel trade network that cause drug shortages. BMJ 2015;350:h490
-
22. Said, A., Goebel, R., Ganso, M., Zagermann-Muncke, P., Schulz, M. 2018. Drug Shortage May Compromise Patient Safety: Results Of A Survey Of The Reference Pharmacies of the Drug Commission of German Pharmacists. Health Policy 122, 1302–1309
-
23. Shah A, Kashyap R, Tosh P, Sampathkumar P, O'Horo JC. 2020. Guide to Understanding the 2019 Novel Coronavirus. Mayo Clin Proc. 95(4)646-652
-
24. T.Y. Zhang and B. Zhong. 2020. Meeting the Potential Emergency Global Drug Supply Challenge of Hydroxychloroquine for COVID-19. Medicine in Drug Discovery https://doi.org/10.1016/j.medidd.2020.1000 36
-
25. Vazquez-Mourelle R, Rodriguez Costa E, Pose Reino JM, Cadorniga Valino L. 2015. The reverse traffic of drugs phenomenon: experience in Galicia, Spain.
RevistaEspanola de Salud Publica;89:431– 45.
-
26. World Health Organization. 2016. Medicines shortages. WHO Drug Information.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
82
Discussion and feedback