JEKT^10 [1] : 73-83


plSSΝ : 2301 - 8968 elSSΝ : 2303 -0186

Kesediaan Masyarakat Menerima Kompensasi Dari Pencemaran Limbah B3 Di Kabupaten Mojokerto: Contingen Valuation Method

Nisful Laila

Departemen Ekis FEB Unair Gigih Prihantono* Departemen IE FEB Unair

ABSTRAK

Paradigma Ekonomi Pembangunan Hijau adalah konsep yang menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi, alam dan lingkungan. Dengan paradigma kerusakan lingkungan yang diharapkan dapa diminimalkan. Namun pada kenyataannya yang terjadi adalah berlawanan itu. Praktek kerusakan lingkungan masih berlangsung, terutama terkait dengan pembuangan limbah industri (limbah B3) terutama di Desa Lakardowo, Kabupaten Mojokerto. Penelitian ini fokus pada penerapan metode contingent valuation method (CVM) untuk menghitung ke kerugian ekonomi dari aktivitas ini. Choice Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik stated preference, yaitu nilai akan meningkat jika digunakan, untuk menghasilkan estimasi nilai non-pasar. Teknik ini digunakan untuk menilai kerugian dampak ekonomi bagi adanya limbah industri. Metode CVM ini diterapkan pada sampel penelitian sebanyak 586 responden. Responden ditanyai tentang kegiatan daur ulang yang mereka lakukan saat ini dan karakteristik sosio-demografis, dan apakah mereka bersedia untuk membayar jumlah yang diusulkan untuk layanan pengumpulan sampah selektif yang lebih berkelanjutan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa masyaraka bersedia untuk membayar kompensasi ekonomi sebesar Rp. 10.813.847.

Kata kunci : kerugian ekonomi, ekonomi hijau, CVM

Willingness of Society to Receives Compensation From B3 Waste Pollution In Kabupeten Mojokerto: Contingen Valuation Method

ABSTRACT

Green economic development paradigm is a concept that balances economic growth, nature and environment. With the paradigm of the expected damage to environment can be minimized. But in fac giving that opposites. The practice of environmental destruction is still going on, primarily related to the disposal of industrial waste (B3 waste) espicaly in Lakardowo vilage Mojokerto distric. This study focus on the application of contingent valuation method (CVM) to the counting economic loss for this activities. Choice model that use in this research is the stated preference technique, that is the value will be increased if it used, to generate the estimation of non-market values. This technique used in order to assess loss in economic impact for industrial waste existence. CVM method is applied to the sample of 586 respondents. Respondents were questioned about their current recycling activities and socio-demographic characteristics, and if they were willing to pay the amount proposed for a more sustainable selective waste collection service. The estimation results indicate that the society is willing to pay an economic compensation of Rp. 10,813,847.

Keywords : Economic loss, Green Economy, CVM

PENDAHULUAN

Secara historis, pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh manusia telah menimbulkan banyak dampak negatif pada lingkungan. Namun umat manusia selalu memberikan argumentasi

bahwa pembangunan ekonomi yang dilakukan selama beberapa dekade terakhir telah membua peningkatan yang signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB), peningkatan life expectancy dan klaim tertentu pada kerusakan lingkungan lebih banyak dibesar-besarkan dari pada kejadian yang

73


sesunguhnya. Masing-masing argumen tersebu benar, namun mengabaikan kenyataan bahwa setiap kegiatan pembangunan ekonomi selalu membutuhkan energi (diambil dari sumber daya alam) dan meninggalkan residu atau sisa kegiatan produksi berupa limbah.

Berdasarkan karakteristinya limbah digolongkan menjadi 4 macam yaitu : limbah cair, limbah padat, limbah gas dan partikel serta limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Dari 4 macam jenis limbah tersebut yang paling berbahaya dan dapat berdampak seketika terhadap kehidupan manusia adalah jenis limbah B3. Untuk itu limbah jenis ini membutuhkan tratement khusus untuk mengelolanya. Menuru peraturan pemerintah (PP No 101 Tahun 2014 pasal 1 1) setiap industri yang menghasilkan limbah B3 wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara berkala paling sedikit 1 kali dalam 6 bulan. Karena biaya pengelolaan limbah B3 membutuhkan biaya yang mahal dan membutuhkan izin khusus maka banyak industri yang mempercayakan pengelolaan limbah B3 kepada pihak ketiga (perusahaan pengelola limbah B3) agar limbah tersebut dapa dikelola dengan baik sesuai kaidah yang ada sehingga tidak mencemari lingkungan. Namun dalam prakteknya, pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh perusahaan khusus pengelola limbah B3 ternyata juga mencemari lingkungan bahkan dampaknya lebih besar dikarenakan terjadinya akumulasi limbah B3 yang tertanam dari berbagai perusahaan klien.

Bermula pada pertengahan tahun 2010 di Desa Lakardowo, Jetis, Mojokerto ada sebuah perusahaan pengelola limbah B3 yang akan beroperasi dengan melakukan sosialisasi ke perangkat desa serta tokoh masyarakat tapi tidak pernah melibatkan warga di Desa Lakardowo. Setelah melakukan sosialisi tersebut akhirnya pabrik pengelola limbah B3 disetujui berdiri di desa tersebut. Selama dua tahun berjalannya pabrik (201 1-2013), aktivitas pabrik berjalan belum memberikan dampak negatif kepada warga desa. Masalah mulai timbul pada awal tahun 2013, lalu lintas truk pengangkut limbah B3 yang tidak sesuai standard menimbulkan bau yang menyengat dan sering tercecer di beberapa tempat. Efek negatif tersebut semakin parah ketika pertengahan 2013 sawah warga yang berlokasi disekitar pabrik, mulai mengalami kegagalan panen. Pada bulan Oktober 2013, telah dilakukan mediasi antara pabrik dan warga dengan diikuti oleh

perangkat desa dan kecamatan yang bertempat di Balai Kecamatan Jetis, Mojokerto. Hasil mediasi menyepakati bahwa pengelolaan limbah B3 harus sesuai standard yang telah ditentukan, jika tidak maka perusahaan harus menutup pabriknya dan dipersilahkan pindah ketempat lain. Namun kesepakatan tersebut ternyata dilanggar oleh perusahaan. Limbah B3 yang ditimbun didalam tanah ternyata larut mencemari air tanah warga, sehingga timbul dampak negatif berupa gatal-gatal yang diderita oleh warga pada akhir tahun 2015. Karena air tanah yang digunakan oleh warga juga digunakan sebagai bahan baku air minum, banyak warga yang terserang penyakit diare.

Dampak negatif terhadap pencemaran air tanah tersebut, membuat warga harus mengeluarkan biaya untuk membeli air yang digunakan untuk mandi, memasak dan minum. Padahal banyak penduduk yang tergolong penduduk miskin yaitu sekitar 22,4% (Susenas,2015). Selain akibat langsung dirasakan oleh masyrakat, pencemaran air tanah juga mengakibat penurunan kualitas lingkungan untuk hewan dan tumbuhan lain (non use value). Menuru literatur sustainable development, masyaraka yang bercorak agraris mempunyai ketergantungan yang lebih erat terhadap lingkungan, hal ini berarti jika terjadi degradasi lingkungan maka dampak negatif yang ditanggung akan lebih besar dari pada masyarakat non agraris (Franceschi & Kahn, 2003; Whittington, 2016b). Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa segmen masyarakat miskin yang bercorak agraris memiliki resiko dua kali lebih besar terkena polusi bahan berbahaya dan degradasi lingkungan daripada masyarakat non-agraris. (Morelli & Rohner, 2015; Smith, 2015)

Dalam penelitian ini, yang menjadi masalah adalah limbah B3 mencemari air tanah di desa Lakardowo, sedangkan air tanah sendiri tidak ada harganya di pasar. Jika suatu barang tidak ada harganya belum tentu barang tersebut tidak bernilai. Untuk itu perlu dilakukan pemberian harga, dengan cara melakukan valuasi ekonomi terhadap air tanah di Desa Lakardowo. Teknik valuasi ekonomi yang digunakan adalah menggunakan “stated preference method” (SPM). Dasar SPM adalah mengukur perilaku ekonomi berdasarkan pernyataan agen ekonomi yang didesain melalui mekanisme survei (J.W. Bennett, J.J. Louviere, R.K. Blamey, 1996; Whittington, 2016a).

Survey dilakukan dengan mendesain kuesioner secara spesifik yang dapat membagi secara adil

Gambar 1. Ilustrasi Kondisi Air Bawah Tanah Desa Lakardowo

Sumber : PT. Geospasia Wahana Jaya (2014)


willingness to pay (WTP) baik yang bersifat use value maupun non use value. Tentu saja kelemahan dari cara ini terletak pada hypothetical bias yang tinggi. Namun, permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini bertambah. Penelitian ini tidak bisa menanyakan tentang WTP individu terhadap air tanah yang tercemar dikarenakan mereka adalah korban pencemaran. Jalan keluarnya adalah kami mendesain pernyataan tentang willingness to accept (WTA). Kepada responden kami akan mengatakan bahwa mereka akan diberikan kompensasi atas kerugian yang telah diderita.

Selanjutnya para responden juga akan ditanya berapa banyak kompensasi tambahan yang mereka butuhkan untuk menerima skenario resiko kerusakan lingkungan tertentu. Jika responden tidak menyimpan nilai yang lain (misal tercover asuransi kesehatan) maka keputusan responden, bisa dikatakan merepresentasikan nilai valuasi use dan non use air tanah. Namun meskipun dalam paper ini, kami berusaha untuk meminimalkan hyphotetical bias dengan cara melakukan focus group discussion dengan para ahli namun tetap saja sulit untuk membuktikan dengan pasti bahwa pertanyaan yang kami susun telah terbebas dari hal tersebut. Oleh karena itu, hasil valuasi ekonomi pada penelitian harus diasumsikan bahwa valuasi yang keluarkan memang merepresentasikan nilai air tanah bagi penduduk Desa Lakardowo.

Gambaran Air Tanah Desa Lakardowo

Air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan bumi berada pada lapisan tidak kedap air (permeable) dan lapisan kedap air (impermeable). Air tanah terjadi akibat dari siklus hidrologi dimana air hujan yang jatuh membasahi bumi, sebagian mengalir menjadi air permukaan (surface water) dan sebagaian lainnya masuk melalui ruang berpori/permeable sehingga membentuk aliran air tanah (ground water). Perbedaan yang paling mendasar adalah kecepatan dan kapasitasnya; air tanah mengalir dengan kecepatan bervariasi, antara beberapa hari hingga ribuan tahun untuk muncul kembali ke perairan permukaan dari wilayah tangkapan hujan, dan air tanah memiliki kapasitas penyimpanan yang jauh lebih besar dari perairan permukaan.

Efek negatif dari terjadinya pembangunan yang dilakukan adalah terjadinya pencemaran lingkungan termasuk juga pencemaran air tanah. Ketika air tanah sudah terkontaminasi maka upaya untuk membersihkannya kembali memerlukan waktu bertahun-tahun. Polutan air tanah akan terus mengalir sepanjang aliran air tanah sampai muncul kembali ke perairan permukaan. Maka terdapat dua faktor penting ketika melakukan penelitian tentang pencemaran air tanah. Faktor pertama adalah konsentrasi polutan pencemar yang berada pada air tanah dan arah aliran air tanah.

Air bawah tanah desa Lakardowo terletak pada kedalaman 20 meter dibawah permukaan tanah industri pencemar. Letak industri pencemar berada

Tabel 1. Hasil Uji Laboratorium Kualitas Air Tanah Di Sekitar Pabrik Desa Lakardowo

Nama

Sumur

Parameter Kualitas Air Sumur

Lokasi

pH

TDS

Sulfat

Nitrat

Kesadahan

Fe

Pb

Mn

Colifrom

Sumur

Pantau

1

5,15*

1916*

878*

10,24*

1158,9*

2,25*

0,09*

1,36*

270*

Area

Pabrik

Sumur

Pantau

2

5,13*

1713*

713*

5,21

1031,2*

2,21*

0,06*

1,24*

265*

Area

Pabrik

Sumur sdr

Kandim

6,94

896

213,7

0,86

414

0,16

0,01

0,08

27

±600 m ST

Pabrik

Sumur WSLIC

5,08*

1502*

608,6*

5,21

800*

2,20

0,03

1,22*

240*

Area

Pabrik

Sumur sdr Tari

5,02* 1320**

588*

4,09

696*

2,09*

0,01

1,19*

142**

±750 m Selatan Pabrik

Sumur

Pantau

3

5,46*

1821*

825*

5,54

851,5*

2,31*

0,07*

1,24*

162*

Area

Pabrik

Sumur sdr Nanag

5,21*

1623*

697*

4,89

697*

1,96**

0,03

1,09*

114**

±700 m SBD Pabrik

Sumur sdr Raimun

5,11*

1426**

606*

4,04

588*

1,72**

0,027

0,65**

67**

±780 m SBD Pabrik

Sumur sdr Nur Toyib

7,08

740

296

1,54

255

0,058

0,01

0,05

16

±500 m UTL Pabrik

* tidak memenuhi baku mutu air bersih, tidak layak digunakan untuk mandi; ** tidak memenuhi baku mutu air minum tapi masih layak digunakan untuk mandi. ST = Selatan Tenggara; SBD = Selatan Barat Daya; UTL = Utara Timur Laut.

di ketinggian 55 m dpl (diatas permukaan laut) yang posisi lebih tinggi dibandingkan pemukiman warga (45-50 m dpl). Laju kecepatan air tanah desa Lakardowo adalah rata-rata sebesar 1 m/ 3 bulan dengan arah aliran air tanah menuju selatan dan utara desa Lakardowo. Maka bisa dipahami bahwa dampak pencemaran air tanah dari sumber pencemar hingga sampai disumur aquifer warga membutuhkan waktu yang cukup lama.

Kandungan Limbah B3 Pada Air Tanah Desa Lakardowo

Bahan berbahaya dan beracun atau B3 merupakan zat, energi dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapa mencemarkan dan merusak lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan

makhluk hidup lain (PP No 101 Tahun 2014 pasal 1). Berdasarkan kategori tingkat berbahayanya bagi kehidupan manusia, maka limbah B3 dibagi menjadi dua kategori yaitu: limbah B3 kategori 1 dan limbah B3 kategori 2. Limbah B3 kategori 1 merupakan limbah B3 yang berdampak akut dan langsung terhadap manusia dan dapat dipastikan akan berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. Limbah B3 kategori 2 merupakan limbah B3 yang memiliki efek tunda (delayed effect) dan berdampak tidak langsung terhadap manusia dan lingkungan hidup serta memiliki toksisitas kronis atau sub-kronis.

Dalam melakukan uji kandungan limbah B3 pada air tanah desa Lakardowo, terdapat dua aspek penting yang pertama adalah kandungan parameter pencemar dan jumlah konsentrasi parameter pencemar pada tiap laju aliran air tanah. Penelitian ini melakukan uji sampel air tanah di laboratorium

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Timur. Parameter yang diujikan untuk mengetahui apakah air tanah tercermar atau tidak mengikuti parameter yang ada pada Permenkes 416/MEN.KES/PER/ IX/1990 (air bersih) dan PP 82/2001 (air baku air minum). Pengambilan sampel air tanah diambil pada 9 titik sumur artesis, dengan perincian 4 sampel dari sumur pantau perusahaan dan 5 sampel dari sumur warga.

Penentuan sampel pengambilan sumur didasarkan pada arah aliran air tanah dari sumber yang diduga tercemar. Untuk menentukan apakah sumur sampel tersebut tercemar karena limbah B3, penentuannya tidak hanya nilainya sudah melewati baku mutu atau tidak tetapi juga melihat konsentrasinya. Jika konsentrasi pencemar di sumur warga lebih rendah daripada di sumur pantau, maka positif sumur warga tercemar limbah B3, tetapi jika sebaliknya maka tidak bisa dikatakan bahwa sumur warga tercemar limbah B3 dari pabrik. Sumur sampel data tabel 1 sudah kami urutkan berdasarkan arah aliran tanah. Beberapa parameter uji terlihat berada diatas ambang baku mutu yang telah ditetapkan. Selain itu, tabel 1 juga memperlihatkan bahwa konsentrasi parameter dari sumur pabrik ke sumur warga juga menurun. Dari dua kondisi tersebut maka dapa disimpulkan bahwa air tanah pada sumur warga memang tercemar limbah B3 dari pabrik.

DATA DAN METODE PENELITIAN

Tahapan Survey

Langkah pertama dalam proses penelitian ini adalah memahami cara masyarakat desa Lakardowo berinteraksi dengan lingkungan mereka. Caranya adalah kami menanyakan tentang dalam kegiatan apa saja mereka tergantung dengan air dan kami mengamati secara langsung saat mereka melakukan kegiatan yang membutuhkan interaksi dengan air. Setelah kami mengetahui kegiatan-kegiatan apa saja yang membutuhkan interaksi dengan air, kemudian kami memulai memetakan mana kegiatan yang tergolong use value (air minum, mencuci pakaian, memasak, menyirami tanaman dan memberikan minuman pada ternak) dan non use value (pelestarian ekosistem).

Setelah didapat pemetaan aktivitas use value dan non use value di daerah studi langkah selanjutnya adalah mengukur besarnya dampak langsung (use value) dan biaya remediasi. Hal ini dilakukan

untuk mengeluarkan nilai use value air tanah dari desain pertanyaan choice set. Desain pertanyaan untuk valuasi ekonomi hanya difokuskan untuk mengevaluasi nilai-nilai yang bersifat non use value yang terkait dengan pelestarian ekosistem. Diskusi awal desain kuesioner tentang resiko terkait dengan potensi pencemaran telah disepakati, jika pencemaran terjadi maka pihak pabrik akan memberikan kompensasi langsung pada kerugian yang bersifat langsung seperti sawah yang gagal panen, hilangnya akses air untuk minum dan keperluan memasak serta kegagalan warga dalam memanen ternak.

Desain choice set kemudian dibuat untuk menanyakan willingness to accept masyarakat daerah studi untuk menerima kompensasi dari resiko pencemaran diluar kompensasi yang mereka terima dari efek langsung. Dengan demikian choice set didesain bahwa baseline pilihan adalah kompensasi langsung, kemudian kami buat beberapa skenario pilihan. Di setiap pilihan skenario, masyarakat akan diminta menerima atau menolak terhadap skenario pencemaran yang berbeda dengan berbagai manfaat yang berbeda pula. Tujuannya, dari choice set ini adalah untuk menggambarkan surplus kompensasi terkait dengan perubahan non use value.

Aspek lain yang paling penting dari desain survei ini adalah bagaimana menentukan mekanisme pembayaran kompensasi kepada masyarakat untuk kesediaan mereka menerima resiko. Dalam diskusi dengan masyarakat, didapat tiga pilihan yang memungkinkan sebagai bentuk mekanisme pembayaran kompensasinya terdiri adalah ketersediaan akses air bersih (pabrik membuat tempat penyimpanan air bersih), komitmen pembayaran biaya pendidikan atau desain asuransi kesehatan (Tabel 2). Didalam desain choice set, setiap pilihan mekanisme pembayaran harus mempunya trade-off pada masing-masing pilihan. Hal ini tidak hanya menilai kesedian masyarakat untuk menerima resiko pencemaran, tetapi juga dapat mengukur preferensi masyarakat terhadap pentingnya peningkatan pendidikan dan kesehatan. Setelah desain choice set jadi, maka kami menentukan besaran sampel yang akan diambil. Metode pengambilan sampel menggunakan cluster random sample dengan jumlah sampel sebanyak 586 orang dari populasi penduduk sebesar 3.462 orang.

Tabel 2. Skenario Choice Set Pencemaran Limbah

Attribute

Skenario 2        Skenario 1       Status Quo

Kemungkinan kebocoran

Setiap 10 tahun      Setiap 5 tahun            -

Banyaknya kebocoran

Sedikit             Banyak              -

Kontaminasi Air (lama masyarakat tidak dapat mengakses air bersih)

2 Minggu         4 Minggu            -

Air Bersih Per rumah

25 M3             67 M3               -

Kompensasi Pendidikan

Uang SPP         Full Cover            -

Kompensasi Kesehatan

Cover Rawat Inap Rawat Inap dan          -

Rawat Jalan


Contingent Valuation Method

Contingent valuation method (CVM) adalah suatu pendekatan empiris untuk mengukur WTP dari individu untuk semua barang dan jasa lingkungan (Haneman, 2004). CVM pertama kali diperkenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini baru popiler sekitar pertengahan 1970-an ketika pemerintah Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi mengenai sumber daya alam. Pendekatan ini tergantung pada hipotesis yang dibangun. Misalnya, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya dan kepada siapa kompensasi tersebut diberikan.

Teknik CVM ini paling banyak digunakan oleh ekonom untuk memperkirakan nilai kerusakan lingkungan seperti kasus kerusakan lingkungan di kawasan konservasi Kakadu Australia dan kasus tumpahan minyak Exxon Valdes di wilayah Prudhoe Bay Alaska (Bennett, 1996; Diego, 2003). Teknik CVM ini didasarkan pada tingkat utilitas dari individu (Garrod dan Willis,1999). Tingkat utilitas seseorang selalu tergantung kepada harga barang sumber daya itu sendiri (Px) dan juga pendapatan (Y). Maka dari kondisi tersebut hubungan matematis utilitas dapat dituliskan sebagai berikut:

U = v (Px,Y) (1.1)

Jika utilitas tersebut ditambang dengan barang dari sumber daya alam (z), sehingga persamaan utilitas 1.1 tersebut berubah menjadi:

U = v (Px,Z,Y) (1.2)

Dengan asumsi bahwa permintaan individu tersebut elastis terhadap harga maka kita dapat menggambar kurva permintaan untuk sumber daya alam menjadi sebagai berikut :

Gambar 2. Kurva Permintaan Untuk Barang Sumber Daya Alam

Z0             Z1                 Z

Dari gambar 2 tersebut diatas, maka kita dapa membuat titik tolak awal bahwa telah terjadi kerusakan barang lingkung yang berakibat pada individu adalah sebesar Z1, sehingga kondisi tersebu mengubah persamaan 2.3 menjadi sebagai berikut:

U = v (Px,Z1,Y) (1.3)

Tetapi dikarenakan terjadi kerusakan atau pencemaran, maka diperlukan suatu usaha perbaikan melalui mekanisme kompensasi. Jika individu tersebut mau menerima kompensasi sebesar A maka dia akan mendapatkan barang lingkungan kembali lagi sebesar Z0, dimana Z0 > Z1. Sehingga persamaan 1.3 tersebut berubah menjadi:

U = v (Px,Z0,Y+A) (1.4)

Dari persamaan 2.1 sampai 2.5 tersebut diatas, maka kita dapat mebuat tiga kemungkinan simulasi dengan pertanyaan, seberapa banyak anda mau mengorbankan A untuk mendapatkan barang sumber daya alam?

If v (Px,Z1,Y + A) < v (Px,Z0,Y + A) (1.5)

If v (Px,Z1,Y + A) > v (Px,Z0,Y - A) (1.6)

Dari persamaan 1.5 sampai 1.7 tersebut diatas masing-masing mempunyai arti sebagai berikut: Persamaan 1.5 mempunyai arti A < WTA sehingga kami mau menerima kompensasi perbaikan sumber daya yang kami miliki untuk kembali seperti awal Z0. Persamaan 1.6 mempunyai arti A > WTA sehingga kami tidak mau menerima kompensasi atas kerusakan sumber daya yang kami miliki hanya untuk kembali menjadi seperti awal Z0.

Spesifikasi Model

Model yang dibangun dalam penelitian ini menggunakan dasar random utility yang digunakan untuk membantu menjelaskan preferensi individu terhadap alternatif untuk air tanah. Survey terhadap responden untuk menanyakan, responden prefer memilih alternatif yang mana dengan resiko lingkungan yang berbeda dan karakteristik biaya yang berbeda. Respon dari pilihan responden digunakan untuk mengukur nilai orang tersebu dalam memandang karakteristik lingkungan.

Dengan menggunakan choice set kita bisa mempertimbangkan atribut yang berhubungan dengan keadaan air tanah setelah terjadi pencemaran yang bisa disimbolkan sebagai j alternatif dalam choice set c. Alternatif j merepresentasikan secara spesifik perubahan kualitas lingkungan disuatu daerah, dikarenakan terdapat skenario kebocoran sehingga tingkat indirect utility berada pada level Vj untuk i individu yang dapat dituliskan sebagai berikut :

V = v + ε (1.7) ij ij ij

Dimana vij adalah komponen set atribut yang dimiliki oleh individu yang mempengaruhi utilitasnya dan έij adalah atribut lain diluar komponen set atribu yang juga berpengaruh terhadap utilitas individu. Katakanlah terdapat dua alternatif yang bisa kita

simbolkan j dan h, maka jika individu lebih j alternatif dibandingkan dengan h alternatif maka hal itu mensiratkan utilias V lebih besar dari V .

ij                                       ih

Sekarang, probabilitas individu i memilih j alternatif dapat di modelkan sebagai berikut :

p ( j) = p[Vijvih] = p[(vij+ εij) > (vih + εiJ]>j≠h    (1.8)

Jika kita mengasumsikan bahwa kesalahan fungsi utilitas adalah bersifat independen dan identik serta mengikuti nilai distribusi yang ekstrim, maka pilihan yang tepat untuk memperkirakan fungsi utilitasnya adalah menggunakan model multinominal logi (Shrestha & Alavalapati, 2004). Model tersebut dapa merepresentasikan probabilitas memilih alternatif j atas semua alternatif lain dan dapat dituliskan persamaan matematiknya sebagai berikut:

exp uvij

p(ij = ∑ij cexpuvih                                           (1.9)

Dima u adalah parameter skala (Louviere dkk, 2000), yang sering digambarkan dalam bentuk kurva logistik. Dengan asumsi vij adalah linear dan aditif dalam atribut sehingga dapat memberikan fungsi utilitas sebagai berikut :

Vij = v (β + β1Z1 + β2 Z2 + ... + βn Zn + βa S1 + βb S2+...+ βm Sk )                                        (1.10)

Persamaan 1.10 memberikan pengertian bahwa β adalah konstanta yang dapat dipisahkan menjadi konstanta alternative spesific constan (ASC), dan βn adalah vektor koefisien yang melekat pada skenario atribut pencemaran (Z1 sampai Zn). βa adalah koefisien yang terkait dengan karakteristik individu responden (demografi, sosial dan ekonomomi) yang diasumsikan mempengaruhi utilitas individu.

Nilai WTA individu, merepresentasikan compensating surplus (CS) dari menurunnya tingka kualitas lingkungan. CS adalah sejumlah nilai uang yang harus diberikan atau diambil oleh seseorang agar dia bisa kembali well off setelah terjadi perubahan kualitas lingkungannya. Secara spesifik nilai CS dapat dihitung menggunakan estimasi dari model multinomenal logit yang dituliskan sebagai berikut :

CS = f [ln(∑exp^.)) - ln(∑exp^. ))]      (1.11)

Dimana βc menggambarkan marginal utility of income. Variable X merepresentasikan keadaan lingkungan sebelum dan sesudah terjadi pencemaran. Marginal value of channge dengan atribut tunggal merepresentasikan marginal rate of substitution dimana terjadi perubahan pendapatan dan atribute didalam choice set.

masalah kesehatan, sebanyak 80% penduduk harus membeli air bersih untuk keperluan minum dan memasak (Gambar 3). Sedangkan bagi responden yang menyatakan keberadaan pabrik memberikan manfaat, mempunyai alasan bahwa pabrik memberikan lapangan kerja dan manfaat trickle down effect.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kondisi Demografi

Gambar 3. Sumber Air Minum dan Masak Yang

Digunakan Responden

(Sumber, Hasil Survei)

Jenis kelamin responden dalam penelitian terdiri dari 46% laki-laki dan 54% perempuan. Dengan rata-rata rentang usia adalah 32 tahun sampai 43 tahun dan 72% menunjukkan bahwa mereka adalah kepala rumah tangga. Mayoritas responden 71% telah menikah, 1 1% bercerai dengan pasangannya dan 16% masih belum menikah. Untuk tingka pendidikan, 42% responden hanya menamatkan SMP, 32% responden menyatakan hanya menamatkan SMA, 18% responden menyatakan hanya menamatkan SD dan sisanya menyatakan menamatkan perguruan tinggi (Diploma dan Sarjana). Rata-rata pendapatan pribadi responden per tahun adalah Rp. 21.600.000 atau Rp 1.800.000 per bulan. Sedangkan untuk pendapatan rata-rata rumah rumah tangga per tahun sedikit lebih tinggi yaitu Rp. 25.200.000 atau Rp 2.100.000 per bulan. 58% responden menyatakan bahwa pertanian dan peternakan merupakan mata pencarian utama mereka. 16% responden menyatakan bahwa perdagangan merupakan sumber utama pendapatan mereka. 5% responden merupakan pegawai negeri sipil di kantor desa maupun di kecamatan. 18% responden merupakan buruh pabrik dan sisanya adalah pensiunan.

Kondisi Sosial Masyarakat

Sejumlah 76,27% dari responden menyatakan bahwa keberadaan pabrik membawa kerugian bagi masyrakat. Salah satu kerugian keberadaan pabrik adalah menurunnya kualitas lingkungan terutama air tanah mereka. Sebanyak 68% responden mengaku pernah menderita sakit yang menuru diagnosa dokter penyebabnya adalah air tanah yang telah tercemar. Akibat hal tersebut, mereka harus mengorbankan hari bekerja mereka. Lama tidak masuk kerja akibat sakit bervariasi dari < 1 minggu (62,4%) sampai 1-2 minggu (37,6%). Selain

Berdasarkan hasil survei, jenis penyakit yang diderita responden paling banyak akibat terjadinya pencemaran air tanah adalah penyakit gatal-gatal (Gambar 4) sebanyak 70%. Sedangkan penyaki lainnya adalah tifus (15%), Diare (9%) dan lainnya (6%). Untuk penyakit lainnya terdapat responden yang terdiagnosis disentri, koleraa bahkan hepatitis A. Untuk hepatitis A mungkin juga ada bawaan genetik, jadi ada kemungkinan penyebabnya tidak hanya pencemaran air. Selain masalah kesehatan, kerugian akibat adanya kasus pencemaran limbah ini adalah adanya konflik sosial antara warga yang menolak pabrik dan warga yang mendukung pabrik.

Gambar 4. Penyakit Yang Dikeluhkan Warga (Sumber Hasil Survey)

Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa di wilayah studi telah terjadi berbagai konflik yang disebabkan dampak negatif pencemaran, diantaranya terjadinya perselisihan paham akibat terjadinya pencemaran air, terjadinya

demonstrasi, kehilangan pekerjaan ( memilih keluar kerja dari pabrik pengelola limbah B3) dan demo-demo yang dilakukan kepada pemilik/ pengelola pabrik (Gambar 5). Konflik yang terjadi di masyrakat sudah berusaha diselesaikan. Berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat, setidaknya telah dilakukan musyawarah baik antar warga maupun dengan pihak pabrik. Musyawarah tersebut ada yang bersifat swadaya dan ada yang difasilitasi oleh aparatur desa dan pihak kepolisian. Namun masih ada beberapa persoalan yang masih belum tuntas penyelesaiannya dan masih menjadi persoalan hingga riset ini ditulis.

Gambar 5. Bentuk Konflik Sosial Yang Terjadi

(Sumber Hasil Survey)

Hasil Estimasi Model dan Analisis

Langkah pertama dalam melakukan melakukan estimasi adalah melakukan konversi dari variabel pembayaran yang bersifat kategori menjadi bentuk variabel harga yang bersifat continuous. Kami menggunakan harga komposit 9 bahan kebutuhan pokok yang dikonsumsi oleh responden sehingga didapat dua tingkatan harga kompensasi per bulan adalah Rp. Rp. 226.000 untuk skenario 2 dan Rp. 267.000 untuk skenario 1. Alasan memilih harga komposit 9 bahan kebutuhan pokok dikarenakan nilai ini menggambarkan nilai konsumsi masyarakat yang dapat menaikkan tingkat utility mereka. Sehingga, harga kompensasi tersebut harus dilihat sebagai batas bawah pada nilai marginal utility, sehingga perkiraan nilai ini juga merupakan batas bawah dari kompensasi. Konsekuensinya model yang dibangun harus menggunakan estimasi nilai ini. Karena yang ingin diukur adalah nilai WTA maka koefisien hasil estimasi harus bersifat negatif dari marginal utility responden.

Terdapat Penelitian menggunakan tiga spesifikasi model multinominal logit (MNL), pertama adalah model MNL standard, kedua adalah model MNL

dengan covariates dan terakhir adalah model MNL covariates dengan interaction term. Alasan harus menggunakan tiga model MNL adalah untuk mengontrol faktor heterogenitas individu tertentu dalam waktu yang sama (McFadden, 1974). Bukti dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor heterogenitas individu tertentu membuat beberapa variabel penting bernilai tidak signifikan. (Curran, Kiteme, Wünscher, Koellner, & Hellweg, 2016; Whittington, 2016a). Hasil estimasi model dapa dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Estimasi Multinominal Logit Model

Variabel

MNL Standard

MNL With Covariates

MNL With

Interaction Term

Five

-0,324*** (0,055)

-0,342*** (0,055)

-0,324*** (0,054)

Ten

-0,227*** (0,08)

-0,223*** (0,08)

-0,228*** (0,08)

Small

-0,103*

(0,063)

-0,103* (0,063)

-0,103*

(0,063)

Large

-0,428*** (0,068)

-0,427*** (0,068)

-0,427*** (0,068)

2 weeks

-0,046

(0,054)

-0,047

(0,054)

-0,046

(0,054)

More Schooll

-0,125** (0,062)

-0,123** (0,062)

-0,124** (0,062)

More Health

-0,062

(0,039)

-0,063

(0,039)

-0,062

(0,039)

Price

-0,008*** (0,0007)

-0,008*** (0,0007)

-0,008*** (0,001)

Income

-

-0,0002

(0,0004)

-

Pincome

-0,00005

(0,00006)

Water Treatmen

-0,049

(0,051)

-0,049

(0,051)

-0,049

(0,051)

Male

-

0,025 (0,097)

-

Age

-

0,001

(0,001)

-

Risk

-

-

-0,00003** (0,00002)

OwnProperty

-

-0,049

(0,097)

-

Constant

-0,197** (0,85)

-0,283*** (0,102)

-0,198** (0,085)

N

586

586

586

LR chi2

297,71***

300,63***

302,05***

Pearson chi2

76,19***

8522,61*

9528,83**

* signifikan <0,1; ** signifikan <0,05; *** signifikan <0,01. Penjelasan variabel berada di Appendix

Hasil estimasi dari ketiga model (tabel 3) secara simultan bernilai signifikan sesuai dengan nilai chi2 ratio dan hasil uji pearson chi2. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa terdapat preferensi negatif bagi status quo. Hasil ini cukup sesuai dikarenakan posisi status quo menunjukkan adanya pencemaran tetapi belum ada mekanisme kompensasi di tempat. Hasil untuk skenario satu (terulang kejadian pencemaran 5 tahun mendatang dan skenario dua (10 tahun mendatang) juga menunjukan preferensi yang intuitif. Hal ini terlihat dari tanda koefisien dari variabel dummy ten dan five yang bernilai negatif. Kondisi ini juga didukung untuk skala pencemaran yang mungkin terjadi dengan tanda negatif pada koefisien variabel dummy small dan large. Hasil estimasi tersebut menjelaskan bahwa masyarakat tidak mau lagi terjadi kebocoran atau pencemaran limbah B3 di wilayah mereka sekecil apapun jumlahnya. Hasil menarik ditunjukkan pada mekanisme kompensasi, warga ternyata lebih menyukai mekanisme kompensasi berbentuk jaminan kesehatan dibandingkan dengan jaminan pendidikan.

Mengintepretasikan sebuah model dengan benar memiliki proses yang lebih kompleks daripada hanya sekedar membaca nilai koefisien dari hasil estimasi. Dalam proses choice set, responden diminta untuk memilih diantara tiga pilihan yang terdiri dari dua skenario hipotesis dan satu skenario status quo. Dimana preferensi resiko dan mekanisme kompensasi secara individual dievaluasi oleh responden dan tidak ditentukan oleh survei. Kondisi tersebut tidak bisa secara langsung untuk mengukur pergerakan dalam kesediaan untuk menerima kompensasi ketika terjadi pergerakan dari status quo ke salah satu struktur resiko pada skenario 1 atau skenario 2. Metode tersebut hanya memungkinkan untuk membandingkan nilai struktur resiko alternatif dari kemungkinan kebocoran satu dalam lima tahun kedepan ke frekuensi kebocoran dari satu dalam sepuluh tahun kedepan atau dari pencemaran kecil dibandingkan dengan pencemaran besar.

Apabila skenario diatas ternyata tidak terjadi, maka akan mengakibatkan kami harus melakukan valuasi tambahan. Hal itu akan terjadi jika sejumlah besar responden memilih skenario status quo dibandingkan skenario 1 dan skenario 2. Untungnya, hal ini bukan masalah dalam penelitian ini, skenario status quo hanya dipilih 17 kali dari sekitar 94 se pilihan evaluasi. Koefisien pada variabel harga (price) merupakan hasil yang paling mungkin.

Karena nilai dari koefisien tersebut menjadi input untuk menghitung CS. Mengikuti persamaan (1.1 1) sekarang kami dapat memperkirakan CS terkai dengan perubahan tingkat atribut yang menentukan tingkat CS untuk skenario tertentu. Misalnya, ketika terjadi skenario 2 maka nilai kompensasi yang harus disediakan adalah [(-1/0,008)*(-0,324)]*Rp. 226.000 = Rp. 9.153.000 per tahun per rumah tangga. Jika yang terjadi adalah skenario 1 maka nilai kompensasi yang harus disediakan adalah Rp. 10.813.500 per tahun per rumah tangga.

Estimasi dari hasil model dan uji statistik menunjukkan adanya kesediaan untuk menerima kompensasi peningkatan resiko lingkungan yang terkait dengan pencemaran limbah B3. Sayangnya dan ini menjadi kelemahan riset ini bahwa nilai t-statistik pada koefisien variabel risk (resiko) tidak menguji apakah nilai yang dimaksud adalah non use value atau use value. Namun analisis kami bisa memberikan sedikit argumen bahwa nilai tersebu lebih mencerminkan use value. Alasannya adalah sangat kecil kemungkinan masyarakat tradisonal memikirkan tentang non use value. Maka kemauan menerima kompensasi bagi warga harus dibaca sebagai penjelasan dari kerusakan lingkungan langsung yang akan melebihi kompensasi yang dijanjikan. Salah satu penyebabnya adalah bahwa masyarakat tidak percaya bahwa pabrik akan membayar kompensasinya sesuai dengan tingka kerusakan yang terjadi. Hal ini bisa dilihat pada persepsi masyarakat yang ditunjukkan pada gambar 5.

Penelitian ini tidak dapat menjelaskan apakah masyarakat percaya bahwa ada resiko yang tidak terbayar akibat belum masuk dalam perhitungan kerugian langsung. Dengan kata lain resiko non use value tidak dimasukkan kedalam mekanisme kompensasi. Namun informasi dari non use value mungkin dapat diperoleh dari melihat dampak pada keputusan pilihan tentang durasi terjadinya kasus pencemaran. Nilai T-statistik menunjukkan bahwa masyarakat tidak memerlukan tambahan kompensasi untuk menerima resiko dari pencemaran lagi. Dikarenakan tidak ada perbedaan yang signifikan pada kehilangan non use value baik ketika terjadi pencemaran selama durasi dua minggu dan durasi empat minggu. Hal ini mungkin disebabkan bahwa masyarakat menganggap tidak ada bedanya pencemaran akibat kebocoran pengolahan limbah berlangsung selama durasi dua minggu atau empa minggu, dikarenakan tidak ada perbedaan waktu

untuk lingkungan memulihkan diri seperti sedia kala. Mungkin non use value yang bisa dilihat adalah kerusakan estitika, bahwa akan terjadi perbedaan ketika periode pencemarannya berbeda.

KESIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan kesimpulan bahwa masyarakat bercorak pertanian ternyata sadar akan use value dan non use value lingkungan (dalam kasus ini adalah air tanah). Hasil perhitungan kompensasi kami menunjukkan bahwa terdapat perhitungan resiko pencemaran yang harus ditambahkan kedalam mekanisme desain kompensasi pabrik. Dimana pabrik hanya menginginkan pemberian kompensasi yang hanya terbatas pada kerugian yang terkait dengan mata pencaharian penduduk dan itu berarti pabrik tidak mau bertanggung jawab terkai dengan kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa orangorang miskin juga peduli untuk menjaga lingkungan mereka. Karena mereka percaya lingkungan yang sehat juga meningkatkan kualitas hidup mereka (kesehatan, produksi dan kebahagiaan). Hal ini berbeda seperti yang di hipotesiskan oleh banyak ekonom, bahwa masyaraka miskin tidak peduli akan kualitas lingkungan.

SARAN

Penelitian ini telah menghasilkan biaya kompensasi yang harus dibayarkan oleh pabrik dari sudu kerusakan lingkungan yang tidak berkaitan dengan produksi. Hasil penelitian ini masih separuh jalan untuk sampai merumuskan mekanisme “Pembayaran Jasa Lingkungan”. Karena dengan instrumen ini perusahaan bisa ditagih komitmennya untuk membayar kompensasi kepada warga, karena metode pembayaran jasa lingkungan telah diatur dalam UU No 32 tahun 2009. Untuk dapat merumuskan hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan untuk menghitung biaya remidiasi lingkungan dan biaya hilangnya nilai produksi pertanian.

land purchases or easements in Central Kenya. Ecological Economics, 127, 59–67. http://doi. org/10.1016/j.ecolecon.2016.03.016

Diego, S. (2003). Contingent Valuation and Lost Passive Use : Damages from the Exxon Valdez Oil Spill.

Franceschi, D., & Kahn, J. R. (2003). Beyond strong sustainability.

J.W. Bennett, J.J. Louviere, R.K. Blamey, M. D. M. (1996). CHOICE MODELLING RESEARCH REPORTS STATED PREFERENCE TECHNIQUES. Australia.

McFadden, D. (1974). Conditonal Logit Analysis of Qualitative Choice Behavior. In Frontiers in Econometrics (pp. 105–143). New York:Academic Press.

Morelli, M., & Rohner, D. (2015). Resource concentration and civil wars *. Journal of Development Economics, 1 17, 32–47. http://doi. org/10.1016/j.jdeveco.2015.06.003

Shrestha, R. K., & Alavalapati, J. R. R. (2004).

Valuing environmental benefits of silvopasture practice : a case study of the Lake Okeechobee watershed in Florida, 49,349–359. http://doi. org/10.1016/j.ecolecon.2004.01.015

Smith, B. (2015). The resource curse exorcised : Evidence from a panel of countries *. Journal of Development Economics, 1 16, 57–73. http:// doi.org/10.1016/j.jdeveco.2015.04.001

Whittington, D. (2016a). Measuring individuals

’ valuation distributions using a stochastic payment card approach Measuring individuals ’ valuation distributions using a stochastic payment card approach, (August).

Nama Variabel

Penjelasan

Five

Probabilitas terjadinya kebocoran pencemaran limbah B3 dalam periode 5 tahun kedepan

Ten

Probabilitas terjadinya kebocoran pencemaran limbah B3 dalam periode 10 tahun kedepan

Small

Tingkat pencemaran limbah B3 kecil

Large

Tingkat pencemaran limbah B3 besar

2 weeks

Periode lamanya kemungkinan terjadi pencemaran

More School

Kompensasi berbentuk beasiswa sekolah

More Health

Kompensasi berbentuk asuransi kesehatan

Risk

Kemauan menerima resiko pencemaran

REFERENSI

Bennett, J. (1996). The Contingent Valuation Method A Post-Kakadu Assessment, 3(2), 185–194.

Curran, M., Kiteme, B., Wünscher, T., Koellner,

T., & Hellweg, S. (2016). Pay the farmer , or buy the land ? — Cost-effectiveness of payments for ecosystem services versus

84