ISOLASI KITIN, KARAKTERISASI, DAN SINTESIS KITOSAN DARI KULIT UDANG
on
ISSN 1907-9850
ISOLASI KITIN, KARAKTERISASI, DAN SINTESIS KITOSAN DARI KULIT UDANG
Sry Agustina*1, I Made Dira Swantara1, dan I Nyoman Suartha2
-
1 Program Magister Kimia Terapan, Universitas Udayana, Bali
-
2 Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Bali.
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Kitosan merupakan modifikasi dari senyawa kitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang dan kepiting. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi kitin, mensintesis dan mengkarakterisasi kitosan dari kulit udang. Tahap isolasi kitin meliputi proses demineralisasi dengan HCL 1,5M dan deproteinasi dengan NaOH 3,5%. Transformasi kitin menjadi kitosan melalui tahap deasetilasi dengan NaOH 60%. Dari hasil penelitian diperoleh karakteristik kitosan sebagai berikut: rendemen transformasi kitin menjadi kitosan 67,08%, memiliki tekstur serbuk bewarna putih, tidak berbau, memiliki kadar air 1,55%, larut dalam asam asetat 2% dengan derajat deasetilasi 84,85%.
Kata kunci : Kitin, Kitosan, Kulit udang
ABSTRACT
Chitosan is the modification of chitin which found on the outer skin of Crustacea species such as shrimps and crabs. This study aims to isolate chitin, syntesize and charactetize chitosan from shrimp shells. Chitin isolation stage included demineralization using HCL 1.5M and deproteination step with NaOH 3.5%. Transformation of chitin into chitosan was done through the deacetylation reaction by using NaOH 60%. The result showed that characteristic of the chitosan obtained in this research was as follows: the yield of transformation chitin into chitosan was 67.08%; it had a white color powder texture with had no smell; water content 1.55%; It solubled in 2 % acetic acid with 84.85 % deacetylation.
Keywords : Chitin, Chitosan, Shrimp shell
PENDAHULUAN
Salah satu potensi kekayaan sumber daya alam di bidang perikanan yang sangat melimpah khususnya di NTB (Nusa Tenggara Barat) adalah udang. Hasil observasi yang dilakukan di pasar-pasar menunjukkan bahwa penjualan udang yang dilakukan di pasar hanya terbatas pada penjualan dagingnya sedangkan kulit udang dibuang dan dibiarkan begitu saja sampai membusuk tanpa adanya pemanfaatan. Hal ini jika dibiarkan akan menimbulkan pencemaran lingkungan serta merusak estetika lingkungan. Kulit udang merupakan salah satu golongan hewan crustaceae
yang mengandung konstituen utama yang terdiri atas protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-30%, tetapi besarnya kandungan tersebut tergantung pada jenis udangnya (Marganov, 2003).
Alternatif untuk mengatasi fenomena gangguan lingkungan ini adalah dengan memanfaatkan kulit udang yang mengandung kitin dan selanjutnya ditransformasi menjadi kitosan yang dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang (Hargono et al., 2008).
Kitosan merupakan turunan dari kitin dengan struktur [β-(1-4)-2-amina -2-deoksi-D-glukosa] merupakan hasil dari deasetilasi kitin.
Kitosan merupakan suatu polimer yang bersifat polikationik. Keberadaan gugus hidroksil dan amino sepanjang rantai polimer mengakibatkan kitosan sangat efektif mengikat kation ion logam berat maupun kation dari zat-zat organik (protein dan lemak). Interaksi kation logam dengan kitosan terjadi melalui pembentukan kelat koordinasi oleh atom N gugus amino dan O gugus hidroksil (Tao-lee et al., 2001).
Kitosan juga dapat membentuk sebuah membran yang berfungsi sebagai adsorben pada waktu terjadinya pengikatan zat-zat organik maupun anorganik oleh kitosan. Hal ini yang menyebabkan kitosan lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan kitin (Sanjaya et al., 2007).
Mengingat kitosan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka sangatlah penting dilakukan penelitian untuk mengolah kulit udang menjadi kitosan sehingga mengurangi beban pencemaran lingkungan.
MATERI DAN METODE
Bahan
Kulit udang, HCl p.a, NaOH p.a, CH3COOH p.a, CuSO4.5H2O, ninhidrine, AgNO3, indikator PP, dan aquades.
Peralatan
Seperangkat alat penggerus, pengaduk magnet, oven, desikator, timbangan analitik, stop watch, spektrofotometer FTIR, statif dan klem, pH universal, termometer, alat sentrifugasi, corong, ayakan 100 mesh, dan peralatan gelas lainnya yang biasa digunakan di laboratorium.
Cara Kerja
Pembuatan Tepung Kulit Udang
Limbah kulit udang sebanyak 3 kg direbus selama 15 menit, kemudian dicuci dengan air sampai bersih, dikeringkan dalam oven pada suhu 110-120oC selama kurang lebih satu jam, kemudian dimasukkan dalam desikator, dan ditimbang sampai didapatkan berat konstan. Sampel dihaluskan dan diayak dengan ayakan berukuran 100 mesh. Hasil yang lewat dari ayakan ini digunakan untuk memperoleh kitin dan sebelum digunakan terlebih dahulu ditetapkan kadar airnya (Kusumaningsih et al., 2004).
Isolasi Kitin dari Tepung Kulit Udang
Isolasi kitin dilakukan dengan metode Hong (Khan et al., 2002).
1.Proses demineralisasi
Serbuk kulit udang yang sudah dihaluskan hingga berukuran 100 mesh sebanyak 200 g ditambahi larutan HCl 1,5 M dengan perbandingan 1:15 (b/v). Serbuk kulit udang dan larutan HCl 1,5 M dicampur dalam gelas kimia kemudian dipanaskan pada suhu 60-70oC selama 4 jam sambil dilakukan pengadukan dengan kecepatan 50 rpm. Padatan yang diperoleh dicuci dengan aquades beberapa kali sampai pH netral. Padatan dikeringkan dalam oven pada temperature 80oC selama 24 jam, serbuk kulit udang yang diperoleh tanpa mineral kemudian didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang 2.Proses deproteinasi
Serbuk kulit udang hasil demineralisasi ditambahi larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan 1:10 (b/v) antara pelarut dengan sampel. Campuran dimasukkan ke dalam gelas kimia, dipanaskan pada suhu 60-70oC selama 4 jam sambil dilakukan pengadukan dengan kecepatan 50 rpm. Padatan yang diperoleh dicuci dengan aquades beberapa kali sampai pH netral. Padatan yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Padatan yang diperoleh diidentifikasi baik secara kualitatif dan kuantitatif apakah benar mengandung kitin. Secara kualitatif adanya kitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini, kitin direaksikan dengan I2 dalam KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga violet menunjukkan reaksi positif adanya kitin. Secara kuantitatif untuk mengidentifikasi suatu senyawa kitin dilakukan dengan analisis FTIR.
Transformasi kitin menjadi kitosan
Sintesis kitosan melalui proses deasetilasi menggunakan metode Knorr (Khan et al., 2002). Hasil yang diperoleh dari proses deproteinasi (kitin) dilanjutkan dengan proses deasetilasi dengan menambahkan NaOH 60% dengan perbandingan 1:20 (b/v). Campuran diaduk dan dipanaskan pada suhu 100-110oC selama 4 jam dengan kecepatan pengadukan 50 rpm. Padatan
yang diperoleh dicuci dengan aquades beberapa kali sampai pH netral. Padatan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai berat konstan. Kitosan yang diperoleh kemudian dikarakterisasi baik secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif untuk menguji adanya kitosan dengan menggunakan larutan ninhidrine sedangkan secara kuantitatif kitosan yang diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR. Untuk mengetahui derajat deasetilasinya (DD) digunakan metode base line yang diusulkan oleh Domszy dan Rovert (Khan et al., 2002), seperti yang ditunjukan dalam persamaan 1:
DD=100[{(A1588/A3410)×100}/1,33]....................(1)
dengan:
A : log (Po/P) = absorbansi
A1588 : Absorbansi pada panjang gelombang
1588cm- untuk serapan gugus
amida/asetamida
A3410 : Absorbansi pada panjang gelombang
3410cm- untuk serapan gugus hidroksil (OH)
Karakterisasi Kitosan
Karakterisasi kitosan yang dilakukan meliputi: tekstur, rendemen transformasi kitin menjadi kitosan, kadar air, kelarutan kitosan serta uji dengan larutan ninhidrine.
-
1. Rendemen
Rendemen transformasi kitin menjadi kitosan ditentukan berdasarkan persentase berat kitosan yang dihasilkan terhadap berat kitin yang diperoleh (Zahiruddin et al., 2008).
% Rendemen transformasi kitin menjadi kitosan
beratkιtosan yangdihasilkar
×100%
beratkιun
-
2. Kadar air
Kadar air merupakan salah satu parameter yang sangat penting untuk menentukan mutu kitosan. Protan Biopolimer menetapkan standar mutu untuk kadar air kitosan adalah ≤10% (Bastaman, 1989). Pengujian kadar air dapat
dilakukan dengan metode AOAC (Association of Analytical Communities) cara pemanasan sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dalam cawan porselin atau gelas arloji yang telah diketahui beratnya. Sampel dipanaskan dalam oven pada suhu 100-105 oC selama 1-2 jam (tergantung bahannya). Kemudian didinginkan dalam desikator selama kurang lebih 30 menit dan ditimbang. Dipanaskan lagi dalam oven, lalu didinginkan dalam desikator dan diulangi hingga berat konstan. Perhitungan kadar air dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Sudarmaji, 1994):
a—t
% kadar air = × 100%
Keterangan:
a : Berat wadah + sampel basah (g)
b : Berat wadah + sampel kering (g)
c : Berat sampel basah (g)
-
3. Kelarutan kitosan
Kelarutan kitosan merupakan salah satu parameter yang dapat dijadikan sebagai standar penilaian mutu kitosan. Semakin tinggi kelarutan kitoan berarti mutu kitosan yang dihasilkan semakin baik. Kitosan dilarutkan dalam asam asetat dengan konsentrasi 2% dengan perbandingan 1:100 (g/ml)
-
4. Uji ninhideine
Seberat 0,1 g kitosan yang diperoleh dari penelitian ditempatkan dalam suatu wadah dan disemprotkan dengan larutan ninhidrine kemudian didiamkan selama 5 menit. Diamati perubahan yang terjadi, jika sampel berubah warna menjadi ungu maka benar adanya gugus amina dalam sampel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Kitin dari Kulit Udang
Tepung kulit udang
Kulit udang yang diperoleh dari pasar Kebun Roek Ampenan kota Mataram dibersihkan kemudian dikeringkan yang selanjutnya dihaluskan dengan menggunakan blender, dan diayak dengan ayakan 100 mesh sehingga diperoleh tepung kulit udang yang bewarna pink. Hasil yang lewat dari ayakan ini digunakan untuk memperoleh kitin.
Proses demineralisasi
Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan garam-garam anorganik atau kandungan mineral yang ada pada kulit udang. Kandungan mineral utamanya adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 dalam jumlah kecil, mineral yang terkandung dalam kulit udang ini lebih mudah dipisahkan dibandingkan dengan protein karena hanya terikat secara fisik (Marganov, 2003). Pada proses demineralisasi, dari 200 g tepung kulit udang yang digunakan setelah proses diperoleh kitin kasar sebanyak 95 g. Proses yang terjadi pada tahap demineralisasi adalah mineral yang terkandung dalam kulit udang bereaksi dengan HCl sehingga terjadi pemisahan mineral dari kulit udang tersebut. Proses pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan dalam sampel (Hendry, 2008), sehingga penambahan HCl ke dalam sampel dilakukan secara bertahap agar sampel tidak meluap. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Ca3(PO4)2(s)+6HCl(aq) CaCO3(s) + 2HCl(a H2CO3(g)
Proses deproteinasi
Kulit udang bebas mineral yang diperoleh dari tahap demineralisasi dilanjutkan dengan tahap deproteinasi. Proses ini bertujuan untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan protein
→3CaCl2(aq)+2H3PO(aq) →CaCl2(aq) + H2CO3(g) →CO2(g) + H2O(l)
dari kitin. Pada tahap deproteinasi, protein yang terkandung dalam kulit udang larut dalam basa sehingga protein yang terikat secara kovalen pada gugus fungsi kitin akan terpisah. Penggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi dan suhu yang tinggi semakin efektif dalam menghilangkan protein dan menyebabkan terjadinya proses deasetilasi (Karmas, 1982). Proses pengadukan dan pemanasan bertujuan untuk mempercepat pengikatan ujung rantai protein dengan NaOH sehingga proses degradasi dan pengendapan protein berlangsung sempurna (Austin, 1981).
Pada proses demineralisasi terjadi pengurangan massa serbuk kulit udang sebesar 105 g dari 200 g serbuk kulit udang menjadi 95 g kulit udang tanpa mineral. Pada proses deproteinasi terjadi pengurangan massa sebesar 21,479 g dari 95 g kulit udang bebas mineral (kitin kasar) menjadi 73,521 g kulit udang tanpa protein yang digunakan setelah proses ini diperoleh kitin sebanyak 73,521 g. Jadi pada penelitian ini diperoleh rendemen kitin sebesar 36,76% Hasil ini sesuai dengan penemuan para peneliti sebelumnya yang menyatakan kadar kitin kulit udang di atas 20% (Marganov, 2003).
Kitin yang diperoleh dicuci dengan aquades sampai pH netral. Kitin tersebut dikarakterisasi secara FTIR untuk identifikasi gugus-gugus aktifnya. Spektra FTIR pembentukan senyawa kitin pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1 serta dibandingkan dengan literatur (Stuart, 2003).
Tabel 1. Karakteristik kitin kulit udang
Gugus fungsi |
Bilangan gelombang (cm-1) kitin literatur |
Bilangan gelombang (cm-1) kitin hasil penelitian |
OH |
3448 |
3474,73 |
N–H ulur |
3300 – 3250 |
3265,49 |
C – H ulur |
2891,1 |
2883,58 |
C = O ulur |
1680 – 1640 |
1660,71 |
N – H bengkokan |
1560 – 1530 |
1554,63 |
CH3 |
1419,5 |
1431,18 |
C–O–C |
1072,3 |
1072,42 |
N – H kibasan |
750–650 |
707,88 |
Gambar 1. Spektra FTIR senyawa kitin
Gambar 2. Spektra FTIR Kitosan
Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan
Transformasi kitin menjadi kitosan melalui proses deasetilasi. Proses deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetil (-COCH3) dari kitin dengan menggunakan larutan alkali agar berubah menjadi gugus amina (-NH2). Kitin mempunyai struktur kristalin yang panjang dengan ikatan hidrogen yang kuat antara atom nitrogen dan gugus karboksilat pada rantai bersebelahan (Muzzarelli, 1986). Pemutusan ikatan antara gugus asetil dengan gugus nitrogen sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2) perlu digunakan natrium hidroksida dengan konsentrasi 60% pada suhu 100-1100C selama 4 jam. Penggunaan larutan alkali dengan konsentrasi yang tinggi serta suhu tinggi selama proses deasetilasi dapat mempengaruhi besarnya derajat deasetilasi yang dihasilkan (Kim et al., 2004; Odete et al., 2005). Hal ini membuktikan bahwa semakin besar konsentrasi semakin banyak zat-zat yang bereaksi dan semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan (Habibi, 2008). Proses deasetilasi dalam basa kuat dan panas menyebabkan hilangnya gugus asetil pada kitin mengakibatkan kitosan bermuatan positif sehingga dapat larut dalam asam organik seperti asam asetat ataupun asam formiat (Bastaman, 1989). Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisis suatu amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, pada proses ini gugus–OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amina yaitu kitosan (Mahatmanti, 2001).
Kitosan yang dihasilkan sebanyak 47,305 g dari serbuk kirin awal yang digunakan pada proses deasetilasi 70,521 g, terjadi pengurangan
massa akibat mengalami proses deasetilasi sehingga diperoleh presentase transformasi kitin menjadi kitosan sebesar 67,08% dengan penampilan serbuk yang bewarna putih krem. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu kadar kitosan dari kitin kulit udang lebih besar dari 50% (Marganov, 2003).
Spektra FTIR kitosan menunjukkan adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 3441,01 cm-1 (O-H stetching), 1660,71 (C=O amida). Serapan pada bilangan gelombang 1660.71 cm-1 (puncak amida) masih muncul disebabkan kitosan yang dihasilkan belum terdeasetilasi secara keseluruhan. Kualitas kitosan dapat diketahui juga dari besarnya persen derajat deasetilasi. Pada penelitian ini diperoleh persen derajat deasetilasi sebesar 84,85%, hal ini menunjukkan belum seluruhnya kitin terdeasetilasi menjadi kitosan. Kitosan dikatakan telah terdeasetilasi sempurna jika DD >90% (Srijanto, 2003). Masih rendahnya DD kitosan hasil penelitian disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor pengadukan, suhu serta jenis habitat atau pemeliharaan udang yang digunakan. Spektra FTIR pembentukan senyawa kitosan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Karakterisasi Kitosan
Kitosan yang diperolah dikarakterisasi untuk mengetahui mutu kitosan yang dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji kadar air, kelarutan dalam asam asetat 2%, tekstur, warna, serta uji dengan larutan ninhidrine. Hasil karakterisasi kitosan yang diperoleh dari penelitian dibandingkan dengan standar mutu internasional kitosan yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakterisasi kitosan
Parameter |
Nilai dari kitosan yang diperoleh |
Nilai dari standar internasional |
Kadar air |
1,55 % |
≤ 10 % |
Kelarutan dalam asam asetat 2% |
Larut |
Larut |
Tekstur |
Serbuk |
Serbuk |
Warna |
Putih krem |
Putih sampai kuning pucat |
Uji dengan larutan ninhidrine |
Positif bewarna ungu |
- |
Kitosan yang dihasilkan memiliki kadar air yang rendah sebesar 1,55%. Besarnya kandungan air pada kitosan tidak dikehendaki dalam pemanfaatan di berbagai bidang, karena akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroorganisme (Rochima et al., 2004). Kadar air pada kitosan dipengaruhi oleh proses pada saat pengeringan, lama pengeringan, jumlah kitosan yang dikeringkan dan luas permukaan tempat kitosan dikeringkan.
Kelarutan kitosan dalam asam asetat merupakan salah satu parameter yang dapat dijadikan sebagai standar penilaian mutu kitosan. Semakin tinggi kelarutan kitosan dalam asam asetat 2% berarti mutu kitosan yang dihasilkan semakin baik (Rochima et al., 2004; Mukherjee, 2001). Kitosan yang dihasilkan memiliki kelarutan yang sempurna dalam asam asetat 2%. Kelarutan diamati dengan membandingkan kejernihan larutan kitosan dengan kejernihan pelarutnya.
Pembuktian ada tidaknya gugus amina pada kitosan dilakukan uji menggunakan larutan ninhidrine. Hasil uji ninhidrine kitosan menunjukkan positif yang dapat dilihat dari perubahan warna kitosan yang bewarna putih krem menjadi ungu. Pada penelitian ini terbukti bahwa kitin hasil isolasi dari kulit udang telah berhasil disintesis menjadi kitosan sesuai dengan hasl analisis dengan spektrofotometer FTIR dan berdasarkan karakterisasi kitosan hasil penelitian pada Tabel 3.2 di atas menunjukkan bahwa kitosan yang diperoleh telah memenuhi nilai standar internasional sehingga bisa digunakan untuk berbagai aplikasi.
SIMPULAN
Kulit udang yang diperoleh dari pasar Kebon Roek Ampenan Kota Mataram telah diisolasi kitinnya dan berhasil disintesis menjadi kitosan sesuai dengan hasil karakterisasi kitosan sebagai berikut: rendemen transformasi kitin menjadi kitosan 67,08%, memiliki tekstur serbuk bewarna putih, tidak berbau, memiliki kadar air < 10%, larut sempurna dalam asam asetat 2% dengan derajat deasetilasi sebesar 84,85%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, P. R., 1981, Chitin solvent and Solubility parametre, The Departement of Mechanical Manufacturing Aeronitical and Chemical Engineering, The Faculty of Engineering The Queens University of Belfast, http://www.bioline.co.th/en/ product/glucosamine.php, 11 Agustus 2014
Bastaman, S., 1989, Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawns Shells, J of Aeronautical and Chemical Engineering, 2 (10) : 188-297
Habibi, L., 2008, Pembuatan Pupuk Kompos dari Limbah Rumah Tangga, Titian Ilmu, Bandung
Hargono., Abdullah., dan Sumantri, I. 2008. Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing, J Reaktor 12 (1) : 53-57
Hendry, J., 2008, Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portonus pelagious) secara Enzimatik dengan Menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya, http://www.fmipa.unila.ac. id/prosiding2008, 10 November 2014
Karmas, E. 1982., Meat, Poultry and Sea Food Technology, New Jersey, USA
Khan, T. A., Peh, K. K., dan Chang, H. S., 2002, Reporting Degree of Deacetylation Value of Chitosan; the Influence of Analytical Methods, J Pharm Sci, 5 (3) : 205-212
Kim, SOF., 2004, Physicochemical and Functional Properties of Crawfish Chitosan as Affected by Different Processing of Paper, Tesis, Seoul University, Seoul
Kusumaningsih, T., Masykur, A., dan Arief, U. 2004. Pembuatan Kitosan dari Kitin
Cangkang Bekicot, J Biofarmasi, 2 (2) : 64-68
Mahatmanti, F. W., 2001, Study Adsorben Logam Seng (II) dan Timbal (II) pada Kitosan dan Kitosan Sulfat dari Kulit Udang Windu (Phenaus monodon, Tesis, UGM,
Yogyakarta
Marganov., 2003, Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan, Dissertation, IPB, Bogor
Mukherjee, D. P., 2001, Method for Producing chitin or Chitosan, http://www.freepatent sonline.com/6310188.htm, 11 Agustus 2014
Muzzarelli, R., 1986, Filmogenik Properties of Chitin/chitosan. , vol 3, 147, Editor for Muzzarelli, R., Jeniaux, G, Ed Plenum Press, Nueva York
Odete, PMO., Struszczyk, MK., dan Peter, MG., 2005, Characterization of Chitosan from Blowfly Larvae and Some Crustacean Species from Kenyan Marine Waters Prepared Under Different Conditions, Western Indian Ocean J Sci, 4 (1) : 99-107
Rochima, E., Suhartono, M. T., Syah, D., dan Sugiyono., 2004, Karakterisasi Kitosan Hasil Deasetilasi Enzimatis oleh Kitin Deasetilase Isolat Bacillus papandayan K29-14, Universitas Padjajaran,
http://www.fmipa.unpad.ac.id/prosiding20 04, 15 November 2014
Sanjaya, I., dan Yuanita, L., 2007. Adsorpsi Pb(II) oleh Kitosan Hasil Isolasi Kitin Cangkang Kepiting Bakau (Scylla), J Ilmu Dasar, 8 (1) : 30-36
Srijanto, B., 2003, Kajian Pengembangan Teknologi Proses Produksi Kitin dan Kitosan secara Kimiawi, Prosiding Semnas Teknik Kimia Indonesia 1, 1-5, http://www.faperta.ugm.ac.id/semnaskan/a bstrak/prosiding2003/abstrak/bidang.thp.p hp, 27 November 2014
Stuart, Barbara., 2003, Infrared Spectroscopy: Fundamental and Aplication, Wiley, Chichester, UK
Sudarmaji, 1994, Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Liberty, Yogyakarta
Tao-lee, S., Long Mi, F., Ju Shen., dan Shing Shyu., 2001, Equilibrium and Kinetic Studies of Copper(II) Ion Uptake by Chitosan-Tripolyphosghate Chelating Resin, J Polymer, 42 : 1879-1892
Zahiruddin,W., Ariesta, A., dan Salamah, E., 2008, Karakteristik Mutu dan Kelarutan Kitosan dari Ampas Silase Kepala Udang Windu (Penaeus monodon), Buletin Teknologi Hasil Perikanan, 11 (2) : 25-29
278
Discussion and feedback