Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan,

Adina Juniati V.P. dkk / Itepa 11 (4) 2022 622-634

ISSN : 2527-8010 (Online)

Pengaruh Perbandingan Tepung Sagu Dengan Tepung Ulat Sagu (Rhynchophorus ferruginenus Terhadap Karakteristik Kerupuk

The Effect Of Comparison Of Sago Flour With Sago Worn Flour (Rhynchophorus Ferruginenus On Characteristics Of Crackers

Adina Juniati Vortina Panggabean1, Ni Made Yusa1*, I Putu Suparthana1

1Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali

*)Penulis Korespondensi: Ni Made Yusa, E-mail: [email protected]

Abstract

This study aims to determine the effect of the ratio of sago flour with sago caterpillar flour (Rhynchophorus ferruginenus) on the characteristics of crackers and to determine the ratio of sago flour to sago caterpillar flour which produces crackers with the best characteristics. This study used a completely randomized design consisting of 5 levels of treatment, namely the ratio (100: 0), (90: 10), (80: 20), (70: 30), (60: 40). The formula of sago flour with sago caterpillar flour has not been used for the manufacture of processed products, therefore this formula is used as an ingredient for making crackers. Parameters observed were proximate analysis (moisture content, ash content, fat content, protein content, carbohydrate content), swellability and sensory properties (color, aroma, texture, taste, overall acceptance). The results showed that treatment (90: 10) was the best treatment, with the characteristics of light brown and very attractive, smelled of sago caterpillar, very crunchy and tasted better, while the proximate value, water content of 8,72%, content of ash content is 1,65%, fat content is 0,94%, protein content is 5,25%, carbohydrates are 82,20% and swellability is 10,60%.

Keywords: sago flour, sago caterpillar flour, crackers

PENDAHULUAN

Kerupuk adalah suatu jenis makanan kering yang terbuat dari bahan-bahan yang mengandung pati cukup tinggi, dan mengalami pengembangan volume membentuk produk yang porus serta mempunyai densitas rendah selama proses penggorengan (Koswara, 2009). Dalam pembuatan kerupuk diperlukan bahan yang mengandung pati sebagai pengikat agar bahan satu sama lain saling terikat dalam satu adonan yang berguna untuk memperbaiki tekstur. Bahan pengikat yang sering digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah bahan yang mengandung karbohidrat seperti tepung terigu, tepung beras,

tepung ketan, tepung jagung, tepung tapioka, tepung ubi jalar dan tepung sagu (Muliawan, 1991). Pada dasarnya bahan baku pembuatan kerupuk adalah tepung tapioka dan tepung terigu, ditambah dengan ikan atau udang, dan bumbu-bumbu, seperti bawang putih dan garam. Tepung terigu merupakan produk impor dari luar Indonesia. Ketergantungan Indonesia terhadap terigu sangat besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 Indonesia mengimpor tepung terigu hingga 34.467 ton.

Untuk itu perlu adanya penggunaan bahan lain supaya mengurangi penggunaan tepung terigu. Saat ini sudah banyak ditemui jenis kerupuk

dengan berbagai variasi bahan tambahan seperti kerupuk ikan yaitu kerupuk dengan penambahan ikan, kerupuk bawang dengan penambahan bawang dan akhir-akhir ini banyak kerupuk dengan penambahan berbagai jenis sayur seperti wortel, kentang dan lain-lain. Hal ini menjadikan dasar pemikiran dalam melakukan diversifikasi pada kerupuk original menjadi kerupuk dengan penambahan komoditi lain seperti penambahan buah.

Caesy et al., (2018) melaporkan bahwa tepung sagu dapat digunakan sebagai salah satu sumber karbohidrat pengganti terigu karena memiliki kandungan karbohidrat sebesar 84,03%. Pemanfaatan tepung sagu sampai saat ini banyak dijumpai dalam bentuk olahan rumahan seperti papeda, sinoli, mie dan es krim. Produk lain yang ditemui namun masih dalam jumlah terbatas adalah kue kering (Adnan et al., 2009). Nendissa (2012) juga melaporkan bahwa kerupuk dengan menggunakan bahan baku tepung sagu merupakan salah satu alternatif produk yang dapat dikembangkan.

Potensi pengembangan kerupuk berbahan baku tepung sagu didasari oleh beberapa alasan, pertama yaitu kerupuk adalah salah satu makanan tambahan pelengkap lauk pauk dan juga makanan kecil (cemilan) yang banyak disukai di kalangan masyarakat dari anak-anak hingga orang tua (Koswara, 2009), alasan kedua adalah kerupuk yang menggunakan bahan baku tepung sagu belum banyak dijumpai pada pusat-pusat perbelanjaan sampai saat ini, keberadaan terigu yang minim di Indonesia dan kegiatan import terigu yang masih

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan terigu khususnya dalam pengolahan kerupuk menjadi salah satu alasan lain, mengapa tepung sagu memiliki potensi untuk dijadikan bahan baku kerupuk.. Hal ini menunjukkan bahwa diversifikasi (penganekaragaman) pangan dalam bentuk kerupuk berbahan baku tepung sagu merupakan salah satu alternatif untuk menghasilkan produk yang enak, sehat dan disukai.

Tingginya kandungan karbohidrat di dalam tepung sagu tidak sejalan dengan kandungan proteinnya, sehingga penambahan tepung ulat sagu adalah salah satu solusi untuk meningkatkan nilai gizi kerupuk sagu. Ariani et al., (2018) melaporkan bahwa tepung ulat sagu memiliki kandungan protein kasar sebesar 33,68%. Di Papua ulat sagu sudah dimanfaatkan untuk pembuatan sate, bakso, sop, dan keripik, sedangkan tepung ulat sagu belum dimanfaatkan untuk pembuatan produk olahan. Sehingga diharapkan kerupuk yang dihasilkan nanti memiliki karakteristik yang baik seperti kerenyahan, nilai gizi dan juga sensori yang disukai. Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu terhadap karakteristik kerupuk dan perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu yang tepat agar menghasilkan kerupuk dengan karakteristik terbaik.

METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku, bahan tambahan, dan bahan kimia. Bahan baku terdiri dari tepung sagu dan tepung ulat sagu. Tepung sagu yang

digunakan merk Sentani Meer dan diperoleh dari supermarket Aneka Mas, Jayapura. Ulat sagu belum tersedia dalam bentuk tepung, sehingga ulat sagu yang diperoleh dari kampung Yoboi, Distrik Sentani Kabupaten Jayapura diolah oleh peneliti menjadi tepung ulat sagu. Bahan tambahan terdiri dari garam dan bawang putih diperoleh dari minimarket Jimbaran. Bahan kimia yang digunakan dalam melakukan analisis proksimat meliputi H2SO4, NaOH, HCl, Heksan, aquades, alcohol 95%, tablet Kjeldahl, Asam Borat 3%, dan indikator PP (Phenolphtalin).

Alat yang digunakan dalam pembuatan kerupuk ini antara lain meja, waskom, timbangan digital, gelas ukur, loyang, pisau, alumunium foil, panci, talenan, wajan, oven, sutil, Thermocouple, dan kompor. Sedangkan untuk menganalisis mutu kerupuk digunakan alat-alat laboratorium. Analisis kadar air digunakan lumpang, botol timbang, eksikator, dan oven. Analisis kadar abu digunakan cawan porselin, timbangan analitik (Shimadzu), eksikator, muffle, dan kompor listrik. Analisis kadar lemak digunakan timbangan analitik (Shimadzu), kertas saring (timbel), labu lemak, eksikator, dan soxhlet. Analisis protein digunakan timbangan analitik (Shimadzu), labu kjeldahl, cawan porselin, labu takar, pipet tetes, Erlenmeyer (Pyrex), lemari asam, corong, dan alat titrasi. Selain itu untuk uji sensoris produk, alat yang digunakan adalah piring kertas dan label.

Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan perbandingan tepung

sagu dengan tepung ulat sagu yang digunakan pada pembuatan kerupuk, yaitu :

P0 = 100% tepung sagu : 0% tepung ulat sagu P1 = 90% tepung sagu : 10% tepung ulat sagu P2 = 80% tepung sagu : 20% tepung ulat sagu P3 = 70% tepung sagu : 30% tepung ulat sagu P4 = 60% tepung sagu : 40% tepung ulat sagu

Masing-masing perlakuan diulang 3 kali sehingga diperoleh 15 unit percobaan. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan apabila perlakuan berpengaruh terhadap parameter maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) (Gomes dan Gomes, 1995). Pelaksanaan Penelitian

Ulat sagu yang diolah menjadi tepung mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ariani et al., (2018), dengan proses pembuatan sebagai berikut : Ulat sagu dicuci bersih dan dikeringkan dengan oven pada suhu 100OC selama 5 jam, kemudian dihaluskan dengan blender dan diayak menggunakan ayakan tepung 60 mesh. Pembuatan kerupuk pada penelitian ini mengacu pada pembuatan kerupuk sagu yang dilakukan oleh Nendissa (2012) dan dimodifikasi dengan penambahan tepung ulat sagu.

Pembuatan kerupuk diawali dengan penimbangan semua bahan sesuai dengan formula. Pencampuran I, Tepung sagu dilarutkan dengan air dan ke dalamnya ditambahkan bawang putih halus serta garam lalu diaduk sampai rata. Pencampuran II, tambahkan tepung ulat sagu lalu diuleni sampai menjadi adonan yang homogen dan tidak lengket ditangan. Adonan dibentuk menjadi silinder

(dodolan). Kemudian adonan dikukus sampai matang sampai bagian tengah dodolan sudah matang, ditandai dengan tidak adanya adonan mentah yang melekat pada tusuk sate. Dodolan kemudian didinginkan selama 24 jam pada suhu ruang, selanjutnya diiris tipis dengan ketebalan 2 mm menggunakan pisau.Irisan dodolan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C selama 8 jam yang hasilnya disebut dengan kerupuk mentah. Kerupuk mentah lalu digoreng dengan metode deep frying selama 15 detik dengan suhu minyak goreng 170°C.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat dan uji fisik (daya kembang). Sedangkan uji sensoris meliputi warna, aroma, tekstur, rasa, dan penerimaan keseluruhan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis kadar air, kadar abu dan kadar lemak kerupuk dengan perlakuan perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis kadar protein dan kadar karbohidrat kerupuk dengan perlakuan perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu dapat dilihat pada Tabel 2.

Kadar Air

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar air berkisar antara 7,77% sampai 11,09%. Kadar air terendah diperoleh pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 7,77% yang tidak

berbeda nyata dengan P1 (Tepung Sagu 90% : Tepung Ulat Sagu 10%), P2 (Tepung Sagu 80% : Tepung Ulat Sagu 20%) dan P3 (Tepung Sagu 70% : Tepung Ulat Sagu 30%) dengan kadar air masing-masing 8,72%, 8,62% dan 8,19%, dan kadar air tertinggi diperoleh pada P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%) yaitu 11,09%.

Penurunan kadar air terjadi seiring dengan meningkatnya konsentrasi tepung ulat sagu. Hal ini disebabkan pati sagu yang memiliki kemampuan untuk mengikat air jumlah persentasenya semakin kecil, sedangkan jumlah persentase protein dan lemak ulat sagu yang tinggi akan berikatan dengan pati sagu sehingga semakin berkurang ikatan hidroksil yang dibutuhkan untuk mengikat air. Kadar air menurun juga disebabkan oleh lamanya saat proses pengeringan, sehingga menyebabkan kadar airnya lebih banyak terserap dan menurun. Kadar air suatu bahan pangan sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan ( Nendisa, 2012). Hasil analisis menunjukkan bahwa semua perlakuan memenuhi persayaratan SNI 2713.12009 dimana batas maksimum kadar air kerupuk adalah 12%.

Kadar Abu

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar abu berkisar antara 0,90% sampai 2,70%. Kadar abu terendah diperoleh pada P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%) yaitu 0,90%, dan kadar abu tertinggi diperoleh pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 2,70%.

Tabel 1. Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, kadar lemak pada perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu

Perlakuan

(Tepung Sagu : Tepung Ulat Sagu)

Kadar Air (%)

Kadar Abu (%)

Kadar Lemak (%)

P0 (100:0)

11,09 ± 1,65a

0,90 ± 0,11c

0,30 ± 0,12c

P1 (90:10)

8,72 ± 0,59b

1,65 ± 0,33b

0,94 ± 0,39bc

P2 (80:20)

8,62 ± 1,37b

1,73 ± 0,17b

1,24 ± 0,36b

P3 (70:30)

8,19 ± 0,92b

2,11 ± 0,11b

1,29 ± 0,08b

P4 (60:40)

7,77 ± 0,75b

2,70 ± 0,38a

2,13 ± 0,77a

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05).

Tabel 2. Nilai rata-rata kadar protein dan kadar karbohidrat pada perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu

Perlakuan

(Tepung Sagu : Tepung Ulat Sagu)

Kadar Protein (%)

Kadar Karbohidrat (%)

P0 (100:0)

0,88 ± 0,76c

86,83 ± 2,12a

P1 (90:10)

5,25 ± 0,44b

82,20 ± 1,90b

P2 (80:20)

5,40 ± 0,51b

81,63 ± 3,53bc

P3 (70:30)

5,69 ± 0,44b

81,41 ± 1,10bc

P4 (60:40)

8,75 ± 0,76a

78,06 ± 0,43a

Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05).

Hal ini disebabkan oleh perbandingan jumlah tepung sagu dengan tepung ulat sagu dalam pembuatan kerupuk. Kadar abu kerupuk semakin meningkat seiring bertambahnya tepung ulat sagu. Peningkatan nilai kadar abu ini sesuai dengan hasil analisis bahan baku tepung ulat sagu yang memiliki kadar abu sebesar 2,63% (Ariani, et al., 2018), sedangkan kadar abu tepung sagu adalah 0,07% (Tarigan et al., 2000). Semakin tinggi kadar abu dari suatu bahan pangan menunjukkan tingginya kadar mineral dari bahan tersebut (Asmir et al., 2016). Hasil analisis menunjukkan bahwa semua sampel dalam penelitian ini tidak memenuhi persyaratan SNI 2713.1-2009 dimana batas maksimum kadar abu adalah 0,2%.

Kadar Lemak

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar lemak berkisar antara 0,30% sampai 2,13%. Kadar lemak terendah diperoleh pada P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%) yaitu 0,30%, dan kadar lemak tertinggi diperoleh pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 2,13%.

Hal ini disebabkan oleh kandungan kadar lemak yang dimiliki tepung ulat sagu lebih tinggi dari tepung sagu. Kadar lemak dalam tepung ulat sagu adalah 18,09% (Ariani, et al., 2018), sedangkan kadar lemak dalam tepung sagu 0,42%

(Tarigan et al., 2000). Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa semakin besar persentase tepung ulat sagu maka kadar lemak kerupuk yang dihasilkan semakin meningkat. Kadar lemak tersebut dihasilkan dari kandungan lemak dari pada ulat sagu yang cukup tinggi.

Kadar Protein

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar protein berkisar antara 0,88% sampai 8,75%. Kadar protein terendah diperoleh pada P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%) yaitu 0,88%, dan kadar protein tertinggi diperoleh pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 8,75%.

Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin meningkat konsentrasi tepung sagu maka kadar protein kerupuk semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh bahan baku kerupuk yaitu tepung ulat sagu yang memiliki kadar protein lebih besar dari tepung sagu yaitu sebesar 33,68% (Ariani, et al., 2018). Hasil analisis menunjukkan bahwa P1 (Tepung sagu 100% : Tepung ulat sagu 0%), P2 (Tepung sagu 90% : Tepung ulat sagu 10%), P2 (Tepung sagu 80% : Tepung ulat sagu 20%), P3 (Tepung sagu 70% : Tepung ulat sagu 30%) dan P4 (Tepung sagu 60% : Tepung ulat sagu 40%) sudah memenuhi persyaratan SNI 2713.1-2009 dimana batas minimum kadar protein kerupuk adalah 5%. Kadar Karbohidrat

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu

berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar karbohidrat. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar karbohidrat berkisar antara 78,06% sampai 86,83%. Kadar karbohidrat terendah diperoleh pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 78,06%, dan kadar karbohidrat tertinggi diperoleh pada P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%) yaitu 86,83%.

Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase tepung ulat sagu, maka semakin kecil karbohidrat dalam kerupuk. Hal ini disebabkan karena berkurangnya konsentrasi tepung sagu, yang berarti berkurangnya jumlah pati dalam pembuatan kerupuk.

Daya Kembang

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya kembang (Tabel 3). Rata-rata daya kembang kerupuk berkisar antara 3,42% sampai 17,68%. Daya kembang terendah diperoleh pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 78,06%, dan daya kembang tertinggi diperoleh pada P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%) yaitu 86,83%.

Hal ini disebabkan karena kandungan protein yang berasal dari tepung ulat sagu. Semakin besar konsentrasi tepung ulat sagu maka kandungan protein kerupuk akan semakin tinggi. Lavlinesia (1995) menyatakan bahwa daya kembang kerupuk dipengaruhi oleh kandungan protein yang terdapat pada kerupuk, dimana semakin tinggi kandungan protein maka daya kembang kerupuk akan semakin menurun.

Tabel 3. Nilai rata-rata daya kembang kerupuk pada perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu

Perlakuan

(Tepung Sagu : Tepung Ulat Sagu)

Daya Kembang (%)

P0 (100:0)

17,68 ± 2,99a

P1 (90:10)

10,60 ± 4,07b

P2 (80:20)

9,96 ± 4,51b

P3 (70:30)

4,05 ± 1,60c

P4 (60:40)

3,42 ± 1,51c

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05).

Evaluasi Sifat Sensoris

Evaluasi sifat sensoris kerupuk dilakukan dengan uji hedonik meliputi warna, aroma, tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan. Untuk uji skoring dilakukan terhadap tekstur. Nilai rata-rata

uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai rata-rata uji skoring terhadap tekstur dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Nilai rata-rata uji hedonik warna, aroma, tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan pada perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu


Perlakuan (Tepung sagu : Tepung Ulat Sagu)

Nilai rata-rata uji hedonik

Warna

Aroma

Tekstur

Rasa

Penerimaan Keseluruhan

P0 (100% : 0%)

3,87 ± 0,74b

3,27 ± 1,16abc

3,47 ± 0,92b

2,67 ± 0,82c

3,13 ± 0,52b

P1 (90% : 10%)

4,53 ± 0,52a

3,87 ± 099a

4,73 ± 0,46a

4,33 ± 0,49b

3,87 ± 0,35a

P2 (80% : 20%)

3,40 ± 0,63b

3,80 ± 1,01ab

2,73 ± 1,67bc

3,73 ± 0,80b

3,20 ± 0,41b

P3 (70% : 30%)

2,27 ± 0,59c

3,00 ± 1,20bc

2,40 ± 1,59c

3,40 ± 0,99b

2,60 ± 0,51c

P4 (60% : 40%)

2,27 ± 0,88c

2,87 ± 1,36c

2,33 ± 1,63c

3,27 ± 1,10b

2,53 ± 0,52c

Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05).


Tabel 5. Nilai rata-rata uji skoring tekstur pada perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu

Perlakuan

(Tepung Sagu : Tepung Ulat Sagu)

Tekstur (%)

P0 (100:0)

3,00 ± 1,36b

P1 (90:10)

4,40 ± 0,51a

P2 (80:20)

4,13 ± 0,92a

P3 (70:30)

3,67 ± 1,18ab

P4 (60:40)

3,57 ± 1,45ab

Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05).


Gambar 3. Rerata sifat sensoris terhadap warna


Warna

Histogram rerata sifat sensoris berdasarkan warna kerupuk dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna (uji hedonik). Berdasarkan tabel 4 dan gambar 3, diketahui bahwa nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna tertinggi diperoleh pada P1 (Tepung Sagu 90% : Tepung Ulat Sagu 10%) yaitu 4,53 dengan kriteria sangat suka. Nilai rata-rata terendah diperoleh pada P3 (Tepung Sagu 70% : Tepung Ulat Sagu 30%) dan P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 2,27 dengan kriteria tidak suka. Panelis menyukai kerupuk dengan warna coklat muda. Tingkat kesukaan panelis menurun seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi tepung ulat sagu. Hal ini karena kerupuk dengan perlakuan P2 hingga P4 memiliki warna coklat tua yang cenderung gelap dibandingkan kerupuk pada umumnya.

Peningkatan jumlah tepung ulat sagu pada penelitian ini memberikan pengaruh nyata terhadap warna kerupuk pada tiap perlakuan. Hal ini

disebabkan oleh reaksi Maillard. Reaksi maillard adalah reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino yang menyebabkan pencoklatan. Protein dalam tepung ulat sagu bereaksi dengan gula saat mengalami pemanasan sehingga menimbulkan warna coklat. Semakin tinggi penambahan tepung ulat sagu maka warna kerupuk akan semakin coklat. Semakin besar konsentrasi tepung ulat sagu semakin berkurang tingkat kesukaan panelis terhadap warna kerupuk.

Aroma

Histogram rerata sifat sensoris berdasarkan aroma kerupuk dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap aroma (uji hedonik). Berdasarkan tabel 4 dan gambar 4, diketahui bahwa nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna tertinggi diperoleh pada dengan P1 (Tepung Sagu 90% : Tepung Ulat Sagu 10%) yaitu 3,87 dengan kriteria suka. Nilai rata-rata terendah diperoleh pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 2,87 dengan kriteria tidak suka. Tingkat kesukaan panelis menurun seiring

dengan semakin meningkatnya konsentrasi tepung ulat sagu. Hal ini karena aroma khas ulat sagu

lebih kuat dari pati sagu, sehingga aroma khas ulat sagu lebih dominan pada kerupuk yang dihasilkan.

Gambar 4. Rerata sifat sensoris berdasarkan aroma


Tekstur

Histogram sifat sensoris berdasarkan tekstur (kenampakan) kerupuk dapat dilihat pada Gambar 5. Histogram sifat sensoris berdasarkan tekstur (kerenyahan) kerupuk dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tekstur (uji hedonik). Berdasarkan tabel 4 dan gambar 5, diketahui bahwa nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur tertinggi diperoleh pada dengan kriteria P1 (Tepung Sagu 90% : Tepung Ulat Sagu 10%) yaitu 4,73 dengan kriteria sangat suka. Nilai rata-rata terendah diperoleh pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu 2,33 dengan kriteria tidak suka. Semakin tinggi konsentrasi tepung ulat sagu mengakibatkan penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur kerupuk. P2, P3 dan P4 memiliki tekstur yang renyah namun mudah hancur karena semakin tingginya kandungan lemak.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tekstur. Nilai rata-rata yang diberikan panelis berkisar antara 3,00 sampai dengan 4,40 dengan kriteria agak renyah hingga renyah (Tabel 5 dan Gambar 6). Rerata tekstur kerupuk tertinggi yaitu P1 (Tepung sagu 90% : Tepung Ulat sagu 10%) sebesar 4,40 (renyah) yang tidak berbeda dengan P2 (Tepung sagu 80% : Tepung Ulat Sagu 20%), P3 (Tepung Sagu 70% : Tepung Ulat Sagu 30%) dan P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%). Tekstur kerupuk terendah terdapat pada P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%) sebesar 3,00 (agak renyah). Penambahan tepung ulat sagu menyebabkan peningkatan kadar lemak yang mempengaruhi tekstur kerupuk. Kerenyahan kerupuk berhubungan erat dengan daya kembang kerupuk, sedangkan daya kembang dapat dipengaruhi oleh kandungan amilopektin yang terdapat pada bahan (Asmir, et al., 2016).

Gambar 5. Rerata sifat sensoris terhadap tekstur (kenampakan)


Gambar 6. Rerata sifat sensoris terhadap tekstur (kerenyahan)


Rasa

Histogram rerata sifat sensoris terhadap rasa kerupuk dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rasa (uji hedonik). Berdasarkan tabel 4 dan gambar 7, diketahui bahwa nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa tertinggi diperoleh pada dengan kriteria P1 (Tepung Sagu 90% : Tepung Ulat Sagu 10%) yaitu

4,33 dengan kriteria suka. Nilai rata-rata terendah diperoleh pada P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%) yaitu 2,67 dengan kriteria agak suka. Semakin tinggi konsentrasi tepung ulat sagu semakin muncul rasa khas ulat sagu yang kurang disukai panelis. Rasa pada kerupuk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno, 1997).

Gambar 7. Rerata sifat sensoris terhadap rasa kerupuk


Tabel 6. Hasil analisis uji sensoris dengan metode Hedonik.

Parameter

P0

P1

P2

P3

P4

(100:0)

(90:10)

(80:20)

(70:30)

(60:40)

Warna

3,87

4,53

3,40

2,27

2,27

Aroma

3,27

3,87

3,80

3,00

2,87

Tekstur (Kenampakan)

3,47

4,73

2,73

2,40

2,33

Tekstur (kerenyahan)

3,00

4,40

4,13

3,67

3,57

Rasa

2,67

4,33

3,73

3,40

3,27

Jumlah

16,28

21,86

17,79

14,74

14,31

Rangking

3

1

2

4

5


Penerimaan Keseluruhan

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penerimaan keseluruhan (hedonik) kerupuk. Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata yang diberikan penelis berkisar 2,53 sampai dengan 3,87 dengan kriteria agak suka hingga suka. Nilai uji hedonik penerimaan keseluruhan kerupuk tertinggi terdapat pada P1 (Tepung Sagu 90% : Tepung Ulat Sagu 10%) yaitu sebesar 3,87 (suka). Nilai uji hedonik penerimaan keseluruhan kerupuk terendah terdapat pada P4 (Tepung Sagu 60% : Tepung Ulat Sagu 40%) yaitu sebesar 2,53 (agak suka) yang tidak

berbeda dengan P0 (Tepung Sagu 100% : Tepung Ulat Sagu 0%), P2 (Tepung Sagu 80% : Tepung Ulat Sagu 20%) dan P3 (Tepung Sagu 70% : Tepung Ulat Sagu 30%). Penerimaan keseluruhan kerupuk dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti warna, aroma, tekstur, dan rasa.

Berdasarkan hasil uji sensoris dengan metode hedonik, pada Tabel 6., produk yang paling disukai sesuai hasil perangkingan adalah kerupuk pada perbandingan tepung sagu 90% dengan tepung ulat sagu 10%. Penilaian tertinggi secara keseluruhaan kerupuk pada perlakuan P1 (90% tepung sagu dengan 10% tepung ulat sagu dengan jumlah nilai 21,86, rata-rata skornya 4,37 pada kriteria suka.

Penilaian terendah terdapat pada perlakuan P4 (60% tepung sagu dengan 40% tepung ulat sagu) dengan jumlah nilai 14,31, rata-rata skornya 2,86 pada kriteria agak suka.

Semakin sedikit persentase tepung sagu dan semakin banyak persentase tepung ulat sagu maka semakin rendah tingkat kesukaan panelis terhadap penerimaan keseluruhan pada kerupuk. Pada penilaian penerimaan keseluruhan pada kerupuk merupakan gabungan dari semua nilai parameter sensoris per perlakuan. Menurut Daroini (2006) dalam Asmir et al., menyatakan bahwa pada parameter warna, aroma, tekstur dan rasa dapat digabungkan penilaian dari keseluruhan yang nampak.

KESIMPULAN

Perbandingan tepung sagu dengan tepung ulat sagu berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, daya kembang dan nilai sifat sensoris (warna, aroma, tekstur, rasa).

Perbandingan 90% tepung sagu dengan 10% tepung ulat sagu menghasilkan kerupuk dengan karakteristik terbaik dengan kriteria kadar air 8,72%, kadar abu 1,65%, kadar lemak 0,94%, kadar protein 5,25%, kadar karbohidrat 82,20%, serta sifat sensori warna coklat muda dan sangat disukai, beraroma ulat sagu dan disukai, tekstur renyah dan sangat disukai, rasa disukai, dan penerimaan keseluruhan disukai.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, A., Martina, S. L. dan Pandu L. (2009).

Peningkatan Nilai Tambah Tepung Sagu

Menjadi Kue Kering Di Kabupaten Jayapura. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian                        Papua.

https://www.pascapanen.litbang.deptan.go. id

Ariani, Gemala A, Muchlis A. S. A., dan Kis D. (2018. Tepung Ulat Sagu (Rhynchophorus ferrugneus) imunomodulator Nitric Oxide (NO) sirkulasi mencit terapi antimalaria standar. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian Journal of Nutrition), 6(2):131-132.

Asmir, S., Netti H., dan Rahmayuni (2016). Pemanfaatan Pati Sagu dan Tepung Udang Rebon Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kerupuk. Jurnal JOM FAPERTA. 3(2):1-10.

Asmuruf, F., Jimmy F. W., Alexsander R. (2018). Budidaya dan pemanfaatan sagu (Metroxylon Sp.) Oleh sub-Etnis Ayamaru Di Kampung Sembaro Distrik Ayamaru Selatan. Jurnal Kehutanan Papuasia 4(2): 114-127 (20180

Badan Standarisasi Nasional (1999). SNI 01-2731-1999.Kerupuk Ikan. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional.

Caesy, C.P., Christa K. S., Setiyo G., dan Hakum W. A. (2018). Pengolahan Tepung Sagu Dengan Fermentasi Aerobik menggunakan Rhizopus sp. Jurnal Teknik ITS. 7(1):2337-3520.

DP. Andri Y. (2019). Import Terigu Semester I/2019                        Melonjak.

https://ekonomi.bisnis.com.

Edrus, I.N. dan Sjahrul B. (2007). Pengkajian Budidaya Ulat Sagu Sebagai Sumber Protein Pakan Ternak. Jurnal Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor. Jawa Barat. 10(3):207-217.

Hastuty, S. (2016). Pengolahan Ulat Sagu (Rhynchophorus ferruginenus) Di kelurahan Bosso Kecamatan  Walenrang Utara

Kabupaten Luwu.  Jurnal Perspektif.

01(01):12-18.

Irnawati, Muhammad S. K., Marlinda. I.E. B. (2018). Studi Pengolahan Sagu (metroxylon sp.) Oleh Masyarakat Kampung Malawor Distrik Makbon Kabupaten Sorong. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sorong. 2(2):97-110.

Istalaksana, P. (2013). Lemak dari Minyak Ulat Sagu (rhynchophorus papuanus). Jurnal Agrointek. 7(2):122-123.

Laiya, N., Rita M. H., dan Nikmawatisusanti Y. (2014). Formulasi Kerupuk Ikan Gabus Yang Disubstitusi Dengan Tepung sagu. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. II(2):81-87.

Lavlinesia. (1995). Kajian Beberapa Faktor Pengembangan Volumetrik dan Kerenyahan Kerupuk Ikan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Moulia, M.N., Rizal S., Evi S. I., Harsi D. K., dan Nugraha E. S. (2018). Antimikroba Ekstrak Bawang Putih. Jurnal Pangan. 27(1):55-56. https://doi.org/10.33964/jp.v2

Nendissa, S.J. (2012). Pemanfaatan Tepung Sagu Molat (M. sagus Rottb) dan Udang Sebagai Bahan Campuran Pembuatan Kerupuk. Jurnal Ekologi dan Sains. 01(01):53-64.

Pakaya, S.T., Nikmawatisusanti Y., dan Lukman M. (2014). Karakeristik Kerupuk Berbahan

Dasar Sagu Dengan Substitusi Dan Fortifikasi Rumput Laut. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. II(4):174-179.

Silwanah, A.S. (2016). Potensi Tepung Ulat sagu (Rhynchophorus ferruginenus) sebagai alternatif bahan dasar makanan pendamping asi (MP-ASI). Media Gizi Pangan. XXI(1):101-102.

Soekarto, S.T. (1985). Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Pertanian. Jakarta. Bharata Karya Aksara.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. (1997). Prosedur Analisis Untuk Bahan Makanan Dan    Pertanian.   (Edisi keempat).

Yogyakarta. Penerbit Liberty.

Tarigan, E.P., L.I Momuat dan E. Suryanto. (2015). Karakteristik   Dan Aktivitas

Antioksidan Tepung Sagu Baruk (Arenga microcarpha). Jurnal  MIPA Unsrat.

4(2):125-130.

634