Pengaruh Perbandingan Terigu dan Tepung Suweg Termodifikasi terhadap Karakteristik Mi Kering
on
Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan,
I Kadek Dwi Andi Krishna Putra dkk / Itepa 12 (2) 2023 361-373
ISSN: 2527-8010
Pengaruh Perbandingan Terigu dan Tepung Suweg Termodifikasi terhadap Karakteristik Mi Kering
The Effect of Comparison Wheat Flour and Modified Elephant Foot Yam Flour on Characteristics of Dried Noodles
I Kadek Dwi Andi Krishna Putra1, Gusti Ayu Kadek Diah Puspawati1, Putu Timur Ina1
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali
*Penulis korespondensi : Gusti Ayu Kadek Diah Puspawati, Email : [email protected]
Abstract
Dried noodles are a type of noodle usually made from wheat flour. This research aimed to determine the effect of comparison wheat flour with modified elephant foot yam flour on characteristics of dried noodles and to determine best ratio of wheat flour and modified elephant foot yam flour produce dried noodles with the best characteristics. The experimental design used was Randomized Block Design with the comparison treatment of wheat flour and modified elephant foot yam flour which consist of 6 levels ratio: 100%:0%, 90%:10%, 80%:20%, 70%:30%, 60%:40%, and 50%:50%. Each treatment was repeated three times to obtain 18 experimental units. The data obtained were then analyzed by the Analysis of Variance and if the treatment had a significant effect, it was continued with the Duncan Multiple Range Test. The result show that comparison of wheat flour and modified elephant foot yam flour had a significant effect on moisture content, ash content, protein content, elasticity, water absorption, cooking loss, color (scoring test) and texture (scoring test). The comparison of 60% wheat flour and 40% modified elephant foot yam flour had the best characteristic of dried noodles with 7.66% of moisture content, 2.04% of ash content, 7.83% of protein content, 10.70% of elasticity, 246.43% of water absorption, 13.07 % of cooking loss, preferred color brown was slightly liked, aroma was slightly liked, preferred texture slightly chewy was slightly liked, taste was slightly liked and overall acceptance was slightly liked.
Keywords: elephant foot yam, modified flour, composite flour, dried noodles
PENDAHULUAN
Mi merupakan salah satu makanan yang cukup digemari oleh masyarakat Indonesia. Menurut Astawan (1999) terdapat beberapa jenis mi yang umum dikenal oleh masyarakat yakni mi basah mi kering, dan mi instan. Mi kering didefinisikan produk olahan makanan yang dibuat dengan bahan dasar terigu dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan dengan bentuk khas mi (SNI, 1992). Mi kering dinilai lebih praktis serta dapat disimpan dalam waktu
yang lebih lama ketimbang mi basah. Proses pembuatan mi secara umum masih menggunakan terigu sebagai bahan baku utama. Terigu mengandung komponen protein (gluten) yang tidak dimiliki oleh tepung-tepungan lain. Tetapi adanya kandungan gluten pada terigu dapat menyebabkan alergi pada sebagian orang, selain itu konsumsi terigu dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular karena rendahnya kandungan serat pada terigu (Muhardini dan Afifah, 2016). Upaya konkrit yang dapat
dilakukan untuk mengurangi penggunaan terigu adalah dengan melakukan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Komoditas lokal banyak yang berpotensi menjadi sumber karbohidrat seperti umbi-umbian, salah satunya adalah umbi suweg.
Suweg (Amorphophallus campanulatus B1) merupakan salah satu jenis Araceae yang biasanya dibudidaya untuk dikonsumsi umbinya (Ekawati et, al. 2016). Suweg berasal dari Asia Tropik dan Afrika yang selanjutnya menyebar sampai ke Indonesia (Kriswidarti, 1980). Produksi umbi suweg mencapai 30-200 ton per ha (Kasno et, al. 2006). Pemanfaatan umbi suweg di Indonesia belum banyak dilakukan, sedangkan di Jepang umbi suweg telah dimanfaatkan secara besar-besaran (Kriswidarti, 1980). Faridah (2005) melaporkan bahwa komposisi utama dari umbi suweg adalah karbohidrat sekitar 8085%, serta kandungan serat mencapai 13,71%. Umbi suweg memiliki nilai indeks glikemik (IG) 36 dengan beban glikemik 10 sehingga suweg dapat digolongkan sebagai pangan dengan indeks glikemik yang rendah (Utami, 2008). Untuk meningkatkan nilai diversitasnya umbi suweg dapat diolah menjadi tepung. Tepung suweg mengandung glukomanan yang dapat bermanfaat untuk menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah dan menjaga berat badan (Faridah dan Widjanarko, 2014). Menurut Faridah (2005) tepung suweg mengandung amilosa 28,98%
dan nilai daya cerna pati yang cukup rendah berskisar 61,75%.
Pengolahan umbi suweg menjadi tepung modifikasi memiliki potensi untuk meningkatkan sifat fungsional tepung. Modifikasi pada tepung suweg pada dasarnya merupakan modifikasi terhadap pati yang menjadi komponen terbesar pada tepung (Ekawati et al., 2016). Metode modifikasi pati secara umum dapat dilakukan baik secara kimia, biokimia, maupun fisik (Putra et al. 2019) Salah satu metode modifikasi tepung secara fisik yang dapat dilakukan adalah autoclaving-cooling (Yuliwardi et al. 2014; Setiarto et al. 2018; Sugiyono et al. 2009). Menurut Nazrah et al. (2014) metode autoclaving-cooling mampu berpotensi memperbaiki sifat fungsional dari pati ubi kayu dengan meningkatkan kadar pati resisten. Hal tersebut juga didukung oleh Sugiyono et al. (2009) modifikasi pati garut dan pati pisang dengan menggunakan metode autoclaving-cooling dapat meningkatkan serat pangan dan kadar pati resisten (resistant starch). Yuliwardi et al. (2014) melaporkan pembuatan tepung beras modifikasi autoclaving-cooling dapat dilakukan dengan memanaskan tepung pada suhu 121oC dengan kadar air 25% selama 15 menit dalam autoklaf dan didinginkan pada suhu 5oC selama 24 jam. Tepung suweg termodifikasi dapat digunakan dalam formulasi pembuatan produk pangan seperti mi kering.
Penelitian berkaitan dengan penggunaan tepung suweg dalam proses pembuatan mi kering sebelumnya telah dilakukan oleh Soleh (2011). Dalam penelitiannya mi kering dapat dibuat dengan perbandingan terigu dan tepung suweg (80:20). Selain itu Nawawi et al. (2015) berhasil membuat mi basah menggunakan tepung suweg dan tapioka dengan perbandingan (50:50). Penelitian mengenai seberapa jauh tepung suweg termodifikasi autoclaving-cooling dapat dijadikan sebagai pensubstitusi terigu dalam pembuatan mi kering belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbandingan terigu dan tepung suweg termodofikasi terhadap karakteristik mi kering dan menentukan perbandingan terigu dengan tepung suweg termodifikasi yang tepat untuk menghasilkan mi kering karakteristik terbaik.
METODE
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi suweg berusia 12 bulan yang diperoleh di Desa Tejakula, Kabupaten Buleleng. Propinsi Bali, terigu protein tinggi (Cakra Kembar), garam (Dolphin), soda kue (Koepoe Koepoe), CMC (Koepoe Koepoe), air mineral (Aqua) yang diperoleh dari UD. Fenny Denpasar, serta bahan kimia untuk analisis antara lain aquadest, bubuk kjeldahl, H2SO4 pekat,
NaOH, indikator fenolftalein, asam borat, HCl.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, kain saring, loyang, oven, food dehydrator (Getra), blender (Sharp SB-TW101P), ayakan 80 mesh (Retsch), plastik HDPE, timbangan digital, sealer, aluminium foil, kertas roti, autoklaf, chiller, penggiling mi, kertas saring, lumpang, cawan aluminium, cawan porselen, desikator, spatula, timbangan analitik (ShimadzuATY224), pemanas listrik, tanur, rak labu kjeldahl, labu kjeldahl, alat destruksi, gelas beaker, bola hisap, labu takar, gelas ukur, dan pipet tetes.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi yang terdiri dari 6 taraf meliputi: A0 = 100%: 0%; A1 = 90%:10%; A2 = 80%:20%; A3 = 70%:30%; A4 = 60%:40%; A5 = 50%:50%. Masing-masing taraf perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 18 unit percobaan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji sidik ragam. Apabila terdapat pengaruh perlakuan perbandingan terigu dan tepung suweg termdofikasi terhadap parameter yang diamati, maka dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% (Gomez dan Gomes, 1995).
Pelaksanaan Penelitian Pembuatan Tepung Suweg
Proses pembuatan tepung suweg mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Ekawati et al. (2016). Umbi suweg yang digunakan sebagai bahan baku tepung adalah umbi yang tua dan telah siap untuk dikonsumsi. Umbi dikupas dan dicuci dengan air, kemudian dibuat menjadi irisan tipis (chips). Chips basah selanjutnya diberi perlakuan perendaman Perendaman dilakukan dalam larutan asam klorida 0,25% selama 4 menit. Irisan umbi kemudian ditiriskan dan dipindahkan ke dalam larutan natrium bikarbonat 1%, lalu direndam dengan air selama 5 menit untuk menetralkan residu asam yang tertinggal. Setelah perlakuan perendaman chips dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Irisan umbi lalu dikeringkan dengan food dehydrator pada suhu 60oC selama 5 jam atau sampai chips mudah dipatahkan. Proses dilanjutkan dengan mengiling tepung sampai halus kemudian diayak menggunakan saringan 80 mesh. Modifikasi Autoclaving-cooling
Pembuatan tepung suweg
termodifikasi dilakukan berdasarkan Wiadnyani et al. (2017) yang dimodifikasi dengan metode autoclaving-cooling 3 siklus. Tepung suweg diatur kadar airnya menjadi ±20% dengan cara disemprot aquades dan diaduk. Jumlah aquades yang ditambahkan dihitung menggunakan prinsip kesetimbangan massa sebagai berikut.
(100% - KA1) × BP1 = (100% - KA2) × BP2 Keterangan:
KA1 = Kadar air tepung awal
KA2 = Kadar air tepung yang diinginkan BP1 = Bobot tepung pada kondisi awal BP2 = Bobot tepung setelah mencapai KA2
Tepung suweg kemudian dikemas dengan plastik HDPE dan disimpan pada suhu 4oC selama 12 jam. Tepung suweg selanjutnya dipanaskan dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit, lalu didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam dan disimpan dalam refrigerator pada suhu 4oC selama 24 jam. Proses pemanasan dengan autoklaf hingga penyimpanan dalam refrigerator diulang sebanyak 2 kali sehingga terdapat 3 siklus autoclavingcooling. Tepung suweg dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC selama 4 jam, kemudian digiling dan dilakukan pengayakan dengan ayakan 80 mesh. Pembuatan Mi Kering
Proses pembuatan mi mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Soleh (2011) dengan sedikit modifikasi. Mi kering terbuat dari terigu protein tinggi, tepung suweg termodifikasi, garam, CMC, dan air. Tahap pertama diawali dengan pencampuran bahan sesuai dengan perlakuan kemudian diuleni hingga homogen dan kalis dilakukan dalam baskom ukuran sedang. Kemudian adonan mi dipipihkan dengan alat penggiling mi. Mi dicetak menjadi bentuk untaian mi dengan alat pencetak, sehingga diperoleh bentuk khas mi. Selanjutnya mi dikukus, dengan menggunakan panci selama 5 menit.
Selanjutnya mi dikeringkan menggunakan jam. Adapun formulasi mi kering dapat food dehydrator pada suhu 60oC, selama 3 dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Formulasi mi kering dari terigu dan tepung suweg termodifikasi
Perlakuan Komponen A0 A1 A2 A3 A4 |
A5 |
Terigu (%) 100 90 80 70 60 Tepung Suweg termodifikasi (%) 0 10 20 30 40 Garam (%) 2 2 2 2 2 CMC (%) 1 1 1 1 1 Air (%) 40 40 40 40 40 |
50 50 2 1 40 |
Keterangan: Persentase diatas berdasarkan jumlah campuran terigu dan tepung suweg termodifikasi sebanyak 100 gram (Soleh, 2011).
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu kadar air (AOAC, 2005), kadar abu (AOAC, 2005), kadar protein (AOAC, 2007), elastisitas (Pontoluli et, al. 2017), daya serap air (Setyani et, al. 2017), cooking loss (Setyani et, al. 2017) dan uji sensoris hedonik (warna, aroma, rasa, tekstur dan penerimaan keseluruhan) dan pengujian skor (warna dan tekstur) (Soekarto, 1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis bahan baku (terigu dan tepung suweg termdofikasi) meliputi kadar air, kadar abu dan kadar protein dapat dilihat pada Tabel 2.
Karakteristik Kimia
Hasil analisis karakteristik kimia mi kering perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi meliputi kadar air, kadar abu dan kadar protein dalam bentuk rata-rata dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, dan kadar protein bahan baku
Uji |
Terigu |
Tepung Suweg Termodifikasi |
Kadar air (% b/b) |
9,57 |
7,45 |
Kadar Abu (% b/b) |
0,38 |
3,52 |
Kadar Protein (%) |
11,55 |
6,43 |
Tabel 3. Nilai rata-rata kadar air, kadar abu dan kadar protein mi kering perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi.
Terigu : Tepung Suweg Termodifikasi |
Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein (%) (%) (%) |
A0 (100%: 0%) |
8,32 ± 0,25a 0,83 ± 0,04d 10,82 ± 0,27a |
A1 (90%: 10%) |
8,02 ± 0,21ab 1,46 ± 0,17c 9,95 ± 0,24b |
A2 (80%: 20%) |
7,88 ± 0,14bc 1,59 ± 0,02c 9,47 ± 0,21b |
A3 (70%: 30%) |
7,76 ± 0,23cd 1,76 ± 0,01b 8,46 ± 0,31c |
A4 (60%: 40%) |
7,66 ± 0,41cd 2,04 ± 0,07a 7,83 ± 0,23d |
A5 (50%: 50%) |
7,53 ± 0,13d 2,10 ± 0,11a 6,60 ± 0,28e |
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05 .
Kadar Air
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air mi kering. Tabel 3 menunjukan nilai rata-rata kadar air terendah diperoleh pada perlakuan A5 (100%:0%) yaitu sebesar 7,53%, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan A0 (50%:50%) yaitu sebesar 8,32%. Hal ini disebabkan karena kadar air tepung suweg termodifikasi yang lebih rendah dibandingkan terigu. Tepung suweg termodifikasi mengandung kadar air 7,45% dan terigu mengandung kadar air 9,57%. Perbedaan kadar air pada bahan baku disebabkan kandungan gluten yang ada pada terigu yang tidak dimiliki oleh tepung suweg termodifikasi. Menurut Biyumna et al. (2017) kandungan gluten dapat mengakibatkan daya ikat air dengan baik, sehingga mencegah lepasnya air pada proses pengeringan. Penambahan bahan non terigu dapat menurunkan kadar gluten sehingga
kadar air pada mi menurun. Hasil penelitian serupa dengan penelitian Soleh (2011) pada penambahan tepung suweg yang semakin tinggi menyebabkan kadar air mi kering lebih rendah berkisar 9,95% - 9,09%. Kadar air mi kering menurut SNI 01-2774-1992 maksimal sebesar 10%. Dengan demikian kadar air mi kering pada setiap perlakuan masih memenuhi syarat mutu.
Kadar Abu
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu mi kering. Tabel 3 menunjukan nilai rata-rata kadar abu tertinggi diperoleh pada perlakuan A5 (50%:50%) yaitu sebesar 2,10%, sedangkan kadar abu terendah terdapat pada perlakuan A0 (100%:0%) yaitu sebesar 0,83%. Hal tersebut disebabkan karena kadar abu tepung suweg termodifikasi yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan terigu. Tepung suweg termodifikasi mengandung kadar abu sebesar 3,52% sedangkan terigu sebesar
0,38%. Kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral pada suatu bahan (Sudarmadji et al. 1989). Sutomo (2008) melaporkan umbi suweg mengandung kalsium 62 mg, fosfor 41 mg dan besi 4,2 mg. Peningkatan kadar abu selajan dengan penelitian Soleh (2011) pada penambahan tepung suweg yang lebih tinggi pada mi kering menyebabkan peningkatan kadar abu berkisar 1,13%-2,52%. Kadar abu mi kering menurut SNI 01-2774-1992 maksimal sebesar 3%. Dengan demikian kadar abu mi kering pada setiap perlakuan masih memenuhi syarat mutu.
Kadar Protein
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein mi kering. Tabel 3 menunjukan nilai rata-rata kadar protein tertinggi diperoleh pada perlakuan A0 (100%:0%) yaitu sebesar 10,82%, sedangkan kadar protein terendah terdapat pada perlakuan A5 (50%:50%) yaitu sebesar 6,60%. Putra et al. (2019) melaporkan perbedaan kadar protein pada mi disebabkan oleh perbedaan kadar protein antara terigu dengan bahan pensubstitusinya. Tepung suweg termodifikasi mengandung kadar protein sebesar 6,43% sedangkan terigu mengandung kadar protein sebesar 11,55%. Hasil serupa juga didapatkan oleh Soleh (2011) pada mi substitusi tepung suweg. Hasil penelitiannya menunjukan mi 100% terigu memiliki kadar protein sebesar
11,60% sedangkan mi dengan substitusi tepung suweg sebanyak 20% memiliki kadar protein sebesar 10,04%. Kadar protein mi kering menurut SNI 01-2774-1992 minimal sebesar 8%. Dengan demikian kadar protein mi kering pada perlakuan A0, A1, A2 dan A3 memenuhi syarat mutu.
Karakteristik Fisik
Hasil analisis karakteristik fisik mi kering perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi meliputi elastisitas, daya serap air dan cooking loss dalam bentuk rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.
Elastisitas
Hasil sidik ragam menunujukan bahwa perbandingan terigu dengan tepung suweg termodifikasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap elastisitas mi kering. Tabel 4 menunjukan nilai rata-rata elastisitas mi terendah diperoleh pada perlakuan A5 (50%:50%) yaitu sebesar 8,20%. Nilai rata-rata elastisitas mi tertinggi diperoleh pada perlakuan A0 (100%;0%) yaitu sebesar 32,40%. Semakin tinggi penambahan tepung suweg termodifikasi akan menurunkan nilai elastisitas pada mi. Menurut Winarti, et al. (2017) penurunan elastisitas dikarenakan berkurangnya kandungan gluten pada adonan mi seiring dengan semakin rendahnya proporsi terigu. Hal ini disebabkan tepung suweg termodifikasi tidak mengandung gluten seperti terigu. Gluten tersusun dari glutenin yang berperan memberikan sifat elastis dan membuat ikatan antar granula pati semakin rapat
sehingga gel pati lebih kuat dan kuat terhadap tarikan (Nurcahyo et al. 2014). Hasil serupa juga dikemukakan oleh Rara et al. (2019) pada pembuatan mi basah substitusi terigu dengan tepung talas. Hasil
penelitiannya substitusi terigu dengan tepung talas sampai 80% mampu menurunkan elastisitas mi basah dari 15,87% sampai 7,66%.
Tabel 4. Nilai rata-rata elastisitas, daya serap air dan cooking loss mi kering perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi.
Terigu : Tepung Suweg Termodifikasi |
Elastisitas (%) |
Daya Serap Air (%) |
Cooking Loss (%) |
A0 (100%: 0%) |
32,40 ± 0,77a |
190,71 ± 3,54f |
11,49 ± 0,15c |
A1 (90%: 10%) |
23,30 ± 0,67b |
205,78 ± 2,25e |
12,41 ± 0,33b |
A2 (80%: 20%) |
17,11 ± 0,77c |
217,06 ± 2,55d |
12,45 ± 0,09b |
A3 (70%: 30%) |
13,10 ± 0,38d |
231,16 ± 1,36c |
12,81 ±0,60ab |
A4 (60%: 40%) |
10,70 ± 0,67e |
246,43 ± 0,51b |
13,07 ±0,61ab |
A5 (50%: 50%) |
8,20 ± 0,77f |
311,74 ± 2,30a |
13,39 ±0,34a |
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05 .
Elastisitas
Hasil sidik ragam menunujukan bahwa perbandingan terigu dengan tepung suweg termodifikasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap elastisitas mi kering. Tabel 4 menunjukan nilai rata-rata elastisitas mi terendah diperoleh pada perlakuan A5 (50%:50%) yaitu sebesar 8,20%. Nilai rata-rata elastisitas mi tertinggi diperoleh pada perlakuan A0 (100%;0%) yaitu sebesar 32,40%. Semakin tinggi penambahan tepung suweg termodifikasi akan menurunkan nilai elastisitas pada mi. Menurut Winarti, et al. (2017) penurunan elastisitas dikarenakan berkurangnya kandungan gluten pada adonan mi seiring dengan semakin rendahnya proporsi terigu. Hal ini
disebabkan tepung suweg termodifikasi tidak mengandung gluten seperti terigu. Gluten tersusun dari glutenin yang berperan memberikan sifat elastis dan membuat ikatan antar granula pati semakin rapat sehingga gel pati lebih kuat dan kuat terhadap tarikan (Nurcahyo et al. 2014). Hasil serupa juga dikemukakan oleh Rara et al. (2019) pada pembuatan mi basah substitusi terigu dengan tepung talas. Hasil penelitiannya substitusi terigu dengan tepung talas sampai 80% mampu menurunkan elastisitas mi basah dari 15,87% sampai 7,66%.
Daya Serap Air
Hasil sidik ragam menunujukan bahwa perbandingan terigu dan tepung
suweg termodifikasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya serap air mi kering. Tabel 4 menunjukan nilai rata-rata daya serap air terendah diperoleh pada perlakuan A0 (100%:0%) yaitu sebesar 190,71%. Nilai rata-rata daya serap air tertinggi diperoleh pada perlakuan A5 (50%;50%) yaitu sebesar 311,74%. Semakin tinggi penambahan tepung suweg termodifikasi akan meningkatkan daya serap air pada mi kering. Peningkatan daya serap air disebabkan karena kandungan amilosa pada bahan (Soh et al. 2006). Faridah et al. (2005) melaporkan tepung suweg mengandung amilosa sebasar 28,98%, sedangkan terigu mengandung amilosa sebesar 25% (Risti dan Rahayuni, 2013). Amilosa memiliki gugus hidroksil yang banyak dengan rantai lurus sehingga dapat meningkatkan daya ikat air dalam bahan (Putra et al. 2019). Hal ini juga dilaporkan oleh Putra et al. (2019) pada mi instan substitusi terigu dengan pati kimpul termodifikasi, yang menunjukan perbandingan terigu-pati kimpul termodifikasi (50:50) mampu meningkatkan daya serap air berkisar 121,36% - 157,55%. Cooking Loss
Hasil sidik ragam menunujukan bahwa perbandingan terigu dengan tepung suweg termodifikasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap cooking loss mi kering. Tabel 4 menunjukan nilai rata-rata cooking loss terendah diperoleh pada perlakuan A0 (100%:0%) yaitu sebesar 11,49%. Nilai rata-rata cooking loss tertinggi diperoleh pada
perlakuan A5 (50%;50%) yaitu sebesar 13,39%. Peningkatan cooking loss diduga disebabkan oleh semakin tinggi penambahan tepung suweg termodifikasi yang menyebabkan penurunan jumlah gluten pada adonan mi. Hal ini menyebabkan adonan mi menjadi kurang kompak sehingga memudahkan partikel pati terlepas selama proses pemasakan. Vignaux et al. (2005) dalam Putra et al. (2019) melaporkan tinggi cooking loss berkaitan dengan amilosa dan gluten (protein). Semakin lemah ikatan antara amilosa dan protein akan menyebabkan melemahnya stuktur mi secara keseluruhan sehingga komponen padatan terlarut selama proses pemasakan. Hasil penelitian ini sejalan dengan Putra et al. (2019) pada mi instan perbandingan terigu dengan pati kimpul termodifikasi. Hasil penelitiannya menunjukan substitusi terigu sebanyak 50% dengan pati kimpul termodfikasi meningkatkan cooking loss dari 4,09% sampai 10,93Cooking loss yang tinggi tidak diharapkan karena dapat membuat mi menjadi lunak dan dapat mempengaruhi penampakan akhir mi.
Karakteristik Sensoris
Hasil analisis karakteristik sensoris mi kering perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi meliputi uji hedonik terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan penerimaan keseluruhan serta uji skoring terhadap warna dan tekstur dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Warna
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi pada mi kering tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap hedonik warna mi. Tabel 5 menunjukan nilai rata-rata uji hedonik warna mi matang dengan kriteria agak suka. Dengan nilai rata-rata panelis berkisar 3,65 – 4,00. Hal ini menunjukan warna mi kering masih dapat diterima oleh panelis.
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap skoring warna mi. Tabel 6 menunjukan nilai rata-rata uji skoring terhadap mi kering substitusi terigu dengan tepung suweg termodfikasi berkisar antara 1,00 – 3,00 dengan kriteria warna putih kekuningan – cokelat tua. Secara visual mi kering yang dihasilkan dengan penambahan tepung suweg termodifikasi memiliki warna
kecokelatan. Warna cokelat pada mi dihasilkan akibat penambahan tepung suweg termodifikasi. Warna cokelat yang dihasilkan pada tepung suweg merupakan akibat dari reaksi browning selama proses pembuatan (Soleh, 2011).
Aroma
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi pada mi kering tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap hedonik aroma mi. Tabel 5 menunjukan rata-rata panelis memberikan nilai berkisar 3,70 – 4,05 dengan kriteria agak suka. Tepung suweg termodifikasi memiliki sedikit aroma khas (Pitojo, 2007) namun setelah proses pemasakan aroma tersebut sama halnya seperti aroma mi yang dibuat dengan terigu sehingga tidak memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kesukaan aroma mi.
Tabel 5. Nilai rata-rata uji hedonik mi kering perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi.
Terigu : Tepung Suweg Termodifikasi |
Warna |
Aroma |
Rasa |
Tekstur |
Penerimaan Keseluruhan |
A0 (100%: 0%) |
4,00 ± 0,73a |
3,70 ± 1,30a |
4,05±1,00a |
4,30±0,47a |
4,00±1,12a |
A1 (90%: 10%) |
3,75 ± 0,85a |
3,90 ±1,17a |
4,10±1,02a |
4,15±0,81a |
3,70±1,38a |
A2 (80%: 20%) |
3,90 ± 0,97a |
4,00 ±0,92a |
4,15±0,93a |
4,15±0,81a |
3,90±0,45a |
A3 (70%: 30%) |
3,75 ± 1,02a |
3,75 ±0,91a |
3,95±0,76a |
4,10±0,31a |
3,75±0,64a |
A4 (60%: 40%) |
3,80 ± 0,83a |
4,05 ±0,83a |
4,20±0,70a |
4,25±0,55a |
4,05±0,51a |
A5 (50%: 50%) |
3,65 ± 1,09a |
3,60 ±1,19a |
3,90±0,64a |
3,90±0,45a |
3,65±0,75a |
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan perlakuan yang tidak berbeda nyata (P>0,05 .
Tabel 6. Nilai rata-rata uji skoring mi kering perbandinan terigu dan tepung suweg termodifikasi.
Terigu : Tepung Suweg Termodifikasi |
Warna |
Tekstur |
A0 (100%: 0%) |
1,00±0,00f |
2,90±0,31a |
A1 (90%: 10%) |
1,35±0,49e |
2,55±0,51b |
A2 (80%: 20%) |
1,90±0,31d |
2,50±0,51b |
A3 (70%: 30%) |
2,30±0,47c |
2,45±0,60b |
A4 (60%: 40%) |
2,75±0,44b |
2,55±0,51b |
A5 (50%: 50%) |
3,00±0,00a |
2,35±0,22b |
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05 .
Rasa
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi pada mi kering tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap hedonik rasa mi. Tabel 5 menunjukan nilai rata-rata uji hedonik terhadap rasa mi kering penambahan tepung suweg termodifikasi berkisar antara 3,90 – 4,20 dengan kriteria agak suka. tepung suweg memiliki rasa yang cenderung netral, sehingga pada saat ditambahkan pada mi tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap atribut rasa.
Tekstur
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi pada mi kering tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap hedonik tekstur mi. Tabel 5 menunjukan nilai rata-rata berkisar 3,80 – 4,25 dengan kriteria agak suka. Hal ini menunujukan penambahan tepung suweg termodifikasi belum mempengaruhi tekstur mi yang
dihasilkan, sehingga masih dapat diterima oleh panelis.
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penambahan tepung suweg termodifikasi pada mi kering berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap skoring tekstur mi. Tabel 6 menunjukan rata-rata nilai uji skoring tektur mi kering dengan penambahan tepung suweg termodifikasi dengan kriteria agak kenyal dengan nilai rata rata berkisar antara 2,35 – 2,90.
Penerimaan Keseluruhan
Hasil sidik ragam menunjukan bahwa perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi pada mi kering tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap penerimaan keseluruhan mi. Tabel 5 menunjukan nilai rata-rata panelis berkisar 3,65 – 4,05 dengan kriteria agak suka. Hal ini menunjukan uji hedonik penerimaan keseluruhan mi dapat diterima oleh panelis.
KESIMPULAN
Perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi berpengaruh nyata terhadap parameter kadar air, kadar abu, kadar protein, elastisitas, daya serap air, cooking loss dan skoring mi kering. Mi kering terbaik diperoleh pada perbandingan terigu dan tepung suweg termodifikasi sebesar 60% : 40% dengan karakteristik kadar air 7,66%, kadar abu 2,04%, kadar protein 7,83%, elastisitas 10,70%, daya serap air 246,43%, cooking loss 13,07% dengan warna kecokelatan agak disukai, aroma agak disukai, rasa agak disukai, tekstur agak kenyal agak disukai dan penerimaan keseluruhan agak disukai.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. atas dukungan dana penelitian yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemist. AOAC International, Virginia USA.
Astawan, M. 1999. Sehat Dengan Tepung Terigu. PT. Dian Rakyat. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1992. Mi Kering. SNI: 01-2974- 1992. Dewan Standarisasi Nasional
Biesiekierski, J. R. 2017 What is gluten?. Journal of Gastroenterology and Hepatology, 32: 78– 81.
Biyumna, U., Windrati, W., & Diniyah, N. 2017. Karakteristik Mi Kering Terbuat Dari Tepung Sukun (Artocarpus altilis dan Penambahan Telur. Jurnal AGROTEKNOLOGI, 11(01 , 23-34.
Ekawati, I.G.A., P. Timur Ina, dan I.D.P Kartika P. 2016. Aplikasi Tepung Suweg (Amorphopallus campanulatus bi
Pregelatinisasi Dengan Tepung Kelor (Moringa oleifera pada Pembuatan Mi Basah. Media Ilmiah Teknologi Pangan Vol 3(1 Hal :62-70.
Faridah, A., & Widjanarko, S. B. 2014. Penambahan Tepung Porang Pada Pembuatan Mi Dengan Substitusi Tepung Mocaf (Modified Cassava Flour Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, 25(1 , 98-98.
Faridah, D. N. 2005. Sifat Fisiko-Kimia Tepung Suweg (Amorphophallus Campanulatus B1. dan Indeks Glisemiknya. Jurnal. Teknol dan Industri Pangan, 8(3 , 254-259.
Gomez, K.A. & Gomez, A.A. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian Edisi Kedua (Endang Sjamsuddin & Justika S. Bahrsjah. Terjemahan . Jakarta: UI Press.
Kasno, A., Trustinah, M. A., Swasono, B. 2006. Prospek Suweg Sebagai Bahan Pangan Saat Paceklik. Prosiding Seminas Nasional Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2006. 257-262
Kriswidarti, T, 1980. Elephant Foot Yam (Amorphophallus campanulatus B1 an Imporntant Crop for Carbohydrate Source. Buletin Kebun Raya, 4. 171-173
Mahirdini, S. dan Afifah, D.N. 2016. Pengaruh substitusi tepung terigu dengan tepung porang (Amorphophallus oncopphyllus terhadap kadar protein, serat pangan, lemak, dan tingkat penerimaan biskuit. Jurnal Gizi Indonesia, 5(1 , pp.42-49.
Nawawi, A., Muchsiri, M. Dan Suyatno, S., 2017. Perbandingan Tepung Suweg Dan Tepung Tapioka Dalam Pembuatan Mi Basah. Edible: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Teknologi Pangan, 4(1 , Pp.43-48.
Nazrah, Julianti E., Masniary, L. 2014. Pengaruh Proses Modifikasi Fisik terhadap Karakteristik Pati dan Produksi Pati Resisten dari Empat Varietas Ubi Kayu (Mahinot esculenta . Jurnal
Rekayasa Pertanian dan Pert. 2(2 , pp1-9.
Nurcahyo, E., Amanto, B. S., Nurhartadi, E.2014. Kajian Penggunaan Tepung Sukun (Artocarpus communis sebagai Substitusi Tepung Terigu pada
Pembuatan Mi Kering. Jurnal Teknosains Pangan 3(2 :9-15.
Pitojo, Setijo. 2007. Suweg. Yogjakarta: Kanisius.
Pontoluli, D. F. 2017. Karakteristik Sifat Fisik dan Sensoris Mi Basah Berbahan Baku Tepung Sukun (Arthocarpus altilis Fosberg dan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas I . COCOS.
Putra, I.N.K., Suparthana, I.P. and Wiadnyani, A.A.I.S., 2019. Sifat Fisik, Kimia, dan Sensori Mi Instant yang Terbuat dari Tepung Komposit Terigu dan Pati Kimpul Modifikasi. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 8(4 , pp.161-167.
Rara, M.R., Koapaha, T. And Rawung, D., 2020. Sifat Fisik dan Organoleptik Mi Dari Tepung Talas (Colocasia esculenta dan Terigu dengan Penambahan Sari Bayam Merah (Amaranthus blitum . Jurnal Teknologi Pertanian, 10(2 .
Setiarto, R.H.B., Widhyastuti, N. dan Sumariyadi, A. 2018. Peningkatan Kadar Pati Resisten Tipe III Tepung Singkong Termodifikasi melalui Fermentasi dan Pemanasan Bertekanan. Biopropal Industri, 9(1 , pp. 9-23.
Setyani, Sri and Astuti, dan Susi. 2017. Substitusi Tepung Tempe Jagung Pada Pembuatan Mi Basah [Substitution of Corn Tempe Flour on Wet Noodle]. Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian, 22 (1 . pp. 1-10.
Soekarto. S.T 1990. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
Soh, H.N., Sissons, M.J. and Turner, M.A., 2006. Effect of starch granule size distribution and elevated amylose content on durum dough rheology and spaghetti cooking quality. Cereal Chemistry, 83(5 , pp.513-519.
Soleh, B. 2011. Pemanfaatan Tepung Suweg (Amorphopillus campanulutus sebagai Substitusi Tepung Terigu pada Pembuatan Mi Kering.
Sudarmadji, S., Suhardi, & Haryono, B. 1989. Analisa bahan makanan dan pertanian. Liberty Yogyakarta bekerja sama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada.
Sugiyono, R. P., & Faridah, D. N. 2009. Modifikasi Pati Garut (Marantha arundinacea Dengan Perlakuan Siklus
Pemanasan Suhu Tinggi-Pendinginan (Autoclaving-Cooling Cycling Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe Iii. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 20(1 , 17-24.
Sutomo, B., 2008. Umbi Suweg–Potensial sebagai pengganti tepung terigu.
Utami, A. R. 2008. Kajian Indeks Glikemik Dan Kapasitas In Vitro Pengikatan Kolesterol Dari Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl. Dan Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.
Vignaux, N., Doehlert, D. C., Elias, E. M., McMullen, M. S., Grant, L. A., & Kianian, S. F. 2005. Quality of spaghetti made from full and partial waxy durum wheat. Cereal Chemistry, 82(1 , 93-100.
Wiadnyani, A.A.I.S., I.D.G.M. Permana, dan I.W.R. Widarta. 2017. Modifikasi pati keladi dengan metode autoclavingcooling sebagai sumber pangan fungsional. Media Ilmiah Teknologi Pangan, 4(2 :94-102.
Winarti, S., Susiloningsih, E.K.B. and Fasroh, F.Y.Z., 2017. Karakteristik mi kering dengan substitusi tepung gembili dan penambahan plastiziser GMS (gliserol mono stearat . Agrointek: Jurnal Teknologi Industri Pertanian, 11(2 , pp.53-62.
Yuliwardi, F., Syamsira, E., Hariyadi, P. dan Widowati, S. 2014. Pengaruh Dua Siklus Autoclaving-Cooling terhadap Pati
Resisten Tepung Beras dan Bihun yang Dihasilkannya. Jurnal Pangan, 23(1 , pp. 43-52
373
Discussion and feedback