Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan

Agnes M Gandhes Sekarjati dkk / Itepa 12 (1) 2023 14-25

ISSN : 2527-8010 (Online)

Pengaruh Perbandingan Terigu dan Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi Autoclaving-Cooling Terhadap Karakteristik Mi Basah

The Comparison Effect of Wheat Flour and Autoclaving-Cooling Modified

Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Starch on The Characteristics of Wet Noodle

Agnes Monika Gandhes Sekarjati1), Gusti Ayu Kadek Diah Puspawati1), Anak Agung Istri Sri Wiadnyani1)

Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali

*Penulis korepondensi: G.A.K. Diah Puspawati, Email: [email protected]

Abstract

This study aimed to determine the ratio effect of wheat flour and autoclaving-cooling modified arrowroot starch on the characteristics of wet noodle and to obtain the correct comparison of wheat flour and autoclaving-cooling modified arrowroot starch to produce wet noodle with the best characteristics. The research method used a Randomized Block Design with comparison treatment of wheat flour and autoclaving-cooling modified arrowroot starch consisted in 6 levels (100:0, 90:10, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50). The treatment was repeated 2 times to obtain 12 experimental units. The data were analyzed statistically using the variance test and if the treatment had a significant effect to observed variables, it was continued with Duncan’s Multiple Range Test. The result showed that the comparison of wheat flour and autoclaving-cooling modified arrowroot starch has a significant effect (P<0.05) on moisture content, ash content, protein content, elasticity, water absorption, and cooking loss. The best treatment was the 70:30 comparison of wheat flour and autoclaving-cooling modified arrowroot starch with the characteristics 34.59% of moisture content, 0.33% of ash content, 6.12% of protein content, 13,00% of elasticity, 425,26% of water absorption, 11,47% of elasticity, also sensory evaluation color was liked, aroma was liked, texture was chewy and liked, taste was liked, and overall acceptance was liked.

Keywords: autoclaving-cooling, modified arrowroot starch, wet noodle

PENDAHULUAN

Mi basah adalah produk yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan (SNI, 1992). Proses pembuatan mi basah lebih sederhana dibandingkan jenis mi lainnya, seperti mi kering dan mi instan. Bahan baku utama dari mi basah adalah terigu yang masih diperoleh dengan cara impor. Upaya meminimalkan penggunaan terigu dapat dapat dilakukan

pemanfaatan komoditas lokal, salah satunya adalah umbi garut.

Umbi garut (Maranta arundinacea L.) merupakan rhizoma dari tanaman garut dengan kulit berwarna cokelat dan daging berwarna putih. Umbi garut berpotensi sebagai sumber karbohidrat alternatif dengan kandungan karbohidrat yang dominan adalah dalam bentuk pati. Faridah et al., (2008) melaporkan umbi garut segar mengandung 24,67% karbohidrat dan 20,96% pati. Pengolahan umbi garut masih

terbatas, seperti dikukus, direbus, dan dibakar sebagai makanan ringan. Umbi yang berumur 10-12 bulan umumnya diolah menjadi tepung dan pati. Seperti pada umumnya pati umbi-umbian, pati garut alami memiliki karakteristik yang kurang menguntungkan, antara lain tidak tahan suhu tinggi, tidak tahan asam, mudah mengalami sineresis, kemampuan membentuk gel tidak seragam, tidak tahan proses mekanis, serta kelarutan yang terbatas dalam air (Latifah dan Yunianta, 2017).

Karakteristik pati alami dapat diperbaiki dengan adanya modifikasi pati, yaitu pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi) atau dengan mengganggu struktur yang dapat dilakukan dengan metode fisik, kimia, dan enzimatis, untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan fungsional pati (Koswara, 2009). Sajilata et al. (2006) menyatakan bahwa metode fisik dengan autoclaving-cooling (pemanasan-pendinginan) mampu mengubah struktur pati sehingga karakteristik pati yang dihasilkan akan berubah antara lain suhu gelatinisasi meningkat, viskositas pasta pati meningkat, stabilitas meningkat, serta retrogradasi meningkat. Sugiyono et al. (2009) juga melaporkan bahwa metode autoclaving-cooling 3 siklus dengan waktu gelatinasi 15 menit dapat meningkatkan pati resisten serta kadar serat pangan total. Pati resisten bersifat sebagai serat pangan yang bermanfaat bagi kesehatan antara lain

melancarkan pencernaan, mencegah kanker kolon, menurunkan kadar glukosa, mencegah obesitas, dan mengurangi kadar kolesterol dalam darah (Kusharto, 2006). Pati resisten tipe 3 (RS3) merupakan jenis pati modifikasi yang paling sering dijadikan sebagai bahan baku pangan fungsional karena bersifat lebih tahan panas sehingga stabil selama proses pengolahan serta dapat mempertahankan karakteristik sensori ketika ditambahkan pada produk pangan (Setiarto et al., 2015). Beberapa penelitian terkait substitusi terigu dengan pati modifikasi fisik dalam pembuatan mi basah telah dilakukan antara lain substitusi pati kimpul modifikasi pada mi instan (Putra et al., 2019), substitusi pati sagu modifikasi pada mi kering (Mandei, 2016), penggunaan pati jagung termodifikasi pada mi jagung (Rasyid dan Zainuddin, 2018), pati bonggol pisang kepok modifikasi pada mi kering (Ahmad et al., 2019). Substitusi pati modifikasi dalam pembuatan mi dapat dilakukan 20-30%.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclavingcooling terhadap karakteristik mi basah dan untuk mendapatkan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling yang tepat untuk menghasilkan mi basah dengan karakteristik terbaik.

METODE

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi garut berumur 10 bulan yang diperoleh dari Desa Ngrencak, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, terigu protein tinggi (Cakra Kembar), garam (cap Kapal), soda kue (Koepoe Koepoe), telur, dan air mineral (Aqua) yang diperoleh dari UD. Fenny Denpasar, serta bahan kimia untuk analisis antara lain bubuk Kjeldahl, H2SO4 (Merck), aquades, NaOH, indikator pp, asam borat, dan HCl.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, kain saring, loyang, oven, blender (Sharp SB-TW101P), ayakan 60 mesh (Retsch), plastik HDPE, timbangan digital, sealer, aluminium foil, kertas roti, autoklaf, penggiling mi, lumpang, cawan aluminium, cawan porselen, desikator, spatula, timbangan analitik (ShimadzuATY224), pemanas listrik, tanur, tabung reaksi, rak tabung reaksi, erlenmeyer, gelas beaker, pemanas destruksi, destilator, bola hisap, labu takar, gelas ukur, pipet tetes, buret, penggaris, dan kompor.

Rancangan Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi yang terdiri dari 6 taraf meliputi 100:0, 90:10, 80:20, 70:30, 60:40, dan 50:50. Masing-masing perlakuan

diulang sebanyak 2 kali sehingga diperoleh 12 unit percobaan. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan apabila perlakuan berpengaruh terhadap variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test pada program SPSS dengan tingkat kepercayaan 95% (Gomez dan Gomez, 1995).

Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan pati garut

Proses ekstraksi pati dilakukan dengan mengacu pada Rukmana (2000). Umbi garut dibersihkan dan dikupas. Daging umbi garut dicuci dan direndam dengan air bersih selama 1 jam, kemudian ditiriskan. Umbi garut dipotong ukuran 1 cm dengan pisau, kemudian ditambahkan air dengan perbandingan umbi dan air adalah 1:3,5 dan dihaluskan dengan blender. Umbi garut yang telah halus kemudian disaring dan hasil saringannya didiamkan selama 12 jam supaya dihasilkan endapan pati. Endapan pati dan cairan dipisahkan kemudian endapan pati dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC selama 6 jam, selanjutnya digiling dan diayak dengan ayakan 60 mesh sehingga dihasilkan pati garut.

Pembuatan pati garut termodifikasi

Pembuatan pati garut termodifikasi dilakukan berdasarkan Wiadnyani et al. (2017) yang dimodifikasi dengan metode autoclaving-cooling 3 siklus. Pati diatur kadar airnya menjadi ±20% dengan cara disemprot aquades dan diaduk. Jumlah

aquades yang ditambahkan dihitung menggunakan prinsip kesetimbangan massa sebagai berikut:

(100% - KA1) × BP1 = (100% -KA2) × BP2

Keterangan:

KA1 = Kadar air pati awal

KA2 = Kadar air pati yang diinginkan BP1 = Bobot pati pada kondisi awal BP2 = Bobot pati setelah mencapai KA2

Pati kemudian dikemas dengan plastik HDPE dan disimpan pada suhu 4oC selama 12 jam. Pati selanjutnya dipanaskan dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit, lalu didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam dan disimpan dalam refrigerator pada suhu 4oC selama 24 jam. Proses pemanasan dengan autoklaf hingga penyimpanan dalam refrigerator diulang sebanyak 2 kali sehingga terdapat 3 siklus autoclavingcooling. Pati dikeringkan pada suhu 50oC selama 4 jam, kemudian digiling dan diayak dengan ayakan 60 mesh.

Pembuatan mi basah pati garut termodifikasi

Pembuatan mi basah dilakukan dengan mengacu pada Kosasih (2017) dengan modifikasi. Terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling (100:0, 90:10, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50), ditambah garam, soda kue, telur, dan air dicampur hingga rata dan diuleni. Adonan ditutup plastik dan didiamkan selama 30 menit. Adonan kemudian digiling menjadi lembaran tipis dengan gilingan mi stainless steel dengan tebal yang dikehendaki kira-kira 1,2-2 mm. Lembaran tipis adonan kemudian dicetak dengan gilingan mi stainless steel menjadi bentuk untaian mi basah. Untaian mi selanjutnya direbus selama 3 menit dalam air mendidih dan ditiriskan. Formulasi mi basah mengacu pada Kosasih (2017) yang dimodifikasi dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Formula mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving cooling

Komponen

Perlakuan

G0

G1

G2

G3

G4

G5

Terigu (%)

100

90

80

70

60

50

Pati garut termodifikasi (%)

0

10

20

30

40

50

Garam (g)

2

2

2

2

2

2

Soda kue (g)

1

1

1

1

1

1

Telur (g)

10

10

10

10

10

10

Air (g)

30

30

30

30

30

30

Keterangan: Persentase diatas berdasarkan jumlah campuran tepung dan pati garut termodifikasi

Parameter yang diamati

Parameter yang diamati terdiri dari karakteristik kimia, karakteristik fisik, dan uji sensori. Karakteristik kimia yang diamati

meliputi kadar air (AOAC, 2006), kadar abu (AOAC, 2005), dan kadar protein (AOAC, 2007). Karakteristik fisik yang diamati meliputi elastisitas (Pontoluli et al., 2017),

daya serap air (Setyani et al., 2017), dan cooking loss (Setyani et al., 2017). Karakteristik sensori yang diamati meliputi uji hedonik untuk atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan penerimaan keseluruhan serta uji skoring untuk atribut tekstur.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik kimia

Hasil analisis karakteristik kimia mi basah yang meliputi kadar air, kadar abu, dan kadar protein mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, kadar protein, mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving cooling

Perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling

Kadar Air (%)

Kadar Abu (%)

Kadar Protein (%)

G0 (100:0)

30,91 ± 0.33d

0,52 ± 0.05a

9,23 ± 0.48a

G1 (90:10)

32,31 ± 0.02c

0,38 ± 0.01b

8,19 ± 0.26b

G2 (80:20)

32,95 ± 1.04c

0,34 ± 0.03bc

6,71 ± 0.16c

G3 (70:30)

34,59 ± 0.39b

0,33 ± 0.01bcd

6,12 ± 0.18c

G4 (60:40)

35,23 ± 0.11ab

0,28 ± 0.01cd

5,11 ± 0.10d

G5 (50:50)

36,42 ± 0.23a

0,26 ± 0.01d

4,10 ± 0.15e

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)

Kadar Air

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air mi basah. Tabel 2 menunjukkan rata-rata kadar air mi basah terendah terdapat pada perlakuan G0 (100:0) yaitu 30,91% sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan G5 (50:50) yaitu 36,42% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan G4 (60:40). Hal ini disebabkan penambahan pati garut termodifikasi yang lebih tinggi akan menghasilkan adonan dengan kadar amilosa yang lebih tinggi. Amilosa bersifat lebih mudah menyerap air dibanding amilopektin sehingga kadar amilosa pada bahan yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar air mi

basah. Pati garut termodifikasi autoclavingcooling memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi dari terigu, yaitu masing-masing sebesar 28,12% (Faridah et al., 2013) dan 25% (Risti dan Rahayuni, 2013). Kadar amilosa pati garut termodifikasi lebih tinggi dibanding pati garut alami yaitu 24,64% karena proses modifikasi pati autoclavingcooling secara berulang dapat menyebabkan peningkatan pembentukan fraksi amilosa teretrogradasi (Setiarto et al., 2015). Selain itu, pati memiliki banyak gugus hidroksil sehingga mampu mengikat air lebih besar dan meningkatkan kadar air mi basah. Hal ini sejalan dengan penelitian Wijaya et al. (2018) yang melaporkan bahwa semakin tinggi penambahan pati, misalnya maizena dan tapioka, akan meningkatkan kadar air mi

kwetiau beras hitam matang berkisar 57,70 – 63,04%. Kadar air mi basah mentah menurut SNI 2987-2015 adalah maksimal 35%. Hal ini berarti penambahan pati garut termodifikasi hingga 40% menghasilkan mi basah dengan kadar air yang masih memenuhi standar.

Kadar Abu

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu mi basah. Tabel 2 menunjukkan rata-rata kadar abu mi basah tertinggi terdapat pada perlakuan G0 (100:0) yaitu 0,52% sedangkan kadar abu terendah terdapat pada perlakuan G5 (50:50) yaitu 0,26% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan G4 (60:40) dan G3 (70:30). Hal ini disebabkan terigu memiliki kadar abu 0,63% sedangkan pati garut termodifikasi memiliki kadar abu 0,23% sehingga pada proporsi jumlah pati garut termodifikasi yang lebih tinggi pada pembuatan mi basah akan menyebabkan kadar abu mi basah lebih rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Mahmudah et al. (2017) yang melaporkan bahwa flakes pisang kepok dengan substitusi pati garut memiliki kadar abu berkisar antara 2,25 – 2,50% yang mengalami penurunan seiring dengan penambahan jumlah substitusi pati garut hingga 15%. Kadar abu mi basah mentah menurut SNI adalah maksimal 3%. Penelitian ini menunjukkan bahwa mi basah

dengan penambahan pati garut termodifikasi hingga 50% masih memenuhi standar.

Kadar Protein

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi          autoclaving-cooling

berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein mi basah. Tabel 2 menunjukkan rata-rata kadar protein mi basah tertinggi terdapat pada perlakuan G0 (100:0) yaitu 9,23% sedangkan kadar protein terendah terdapat pada perlakuan G5 (50:50) yaitu 4,10%. Hal ini disebabkan terigu yang digunakan adalah terigu protein tinggi yang memiliki kadar protein 12,87% sedangkan pati garut termodifikasi memiliki kadar protein 1,03% sehingga pada proporsi jumlah pati garut termodifikasi yang lebih tinggi pada pembuatan mi basah akan menyebabkan kadar protein mi basah lebih rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Mahmudah et al. (2017) yang melaporkan bahwa kadar protein flakes pisang kapok dengan substitusi pati garut adalah sebesar 0,57 – 1,79% yang mengalami penurunan seiring dengan penambahan jumlah substitusi pati garut hingga 15%. Kadar protein mi basah mentah menurut SNI adalah minimal 9%. Penelitian ini menunjukkan bahwa mi basah dengan penambahan pati garut termodifikasi 10 – 50% tidak memenuhi standar.

Karakteristik fisik

Hasil analisis terhadap karakteristik fisik mi basah yang meliputi elastisitas, daya serap air, dan cooking loss mi basah dengan

perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai rata-rata elastisitas, daya serap air, dan cooking loss mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving cooling

Perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling

Elastisitas (%)

Daya serap air (%)

Cooking loss (%)

G0 (100:0)

31,34 ± 1,89a

334,13 ± 1.28d

9,31 ± 0,48c

G1 (90:10)

22,33 ± 1,41b

391,41 ± 13,38c

10,64 ± 0,26bc

G2 (80:20)

19,34 ± 0,94c

407,86 ± 2,75c

10,96 ± 0,16b

G3 (70:30)

13,00 ± 0,47d

425,26 ± 6,16bc

11,47 ± 0,18ab

G4 (60:40)

10,67 ± 0,94d

457,57 ± 8,60b

12,77± 0,10a

G5 (50:50)

6,35 ± 0,47e

503,35 ± 34,79a

12,92 ± 0,15a

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05

Elastisitas

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap elastisitas mi basah. Tabel 3 menunjukkan rata-rata elastisitas mi basah tertinggi terdapat pada perlakuan G0 (100:0) yaitu 31,34% sedangkan elastisitas terendah terdapat pada perlakuan G5 (50:50) yaitu 6,35%. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya penggunaan terigu sehingga adonan memiliki kandungan gluten yang rendah dan menghasilkan adonan yang kurang kuat. Matriks gluten pada adonan dapat membuat ikatan antar granula pati menjadi lebih rapat dan menghasilkan adonan yang lebih kuat terhadap tarikan sehingga semakin rendah kandungan gluten pada adonan maka sifat elastisitasnya menurun (Safriani et al., 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian Rara et al., (2019)

bahwa penurunan proporsi terigu sampai 20% mampu menurunkan elastisitas mi basah hingga 7,66%.

Daya Serap Air

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya serap air mi basah. Tabel 3 menunjukkan rata-rata daya serap air mi basah terendah terdapat pada perlakuan G0 (100:0) yaitu 334,13% sedangkan daya serap air tertinggi terdapat pada perlakuan G5 (50:50) yaitu 503,35%. Hal ini disebabkan oleh kadar amilosa pada pati garut termodifikasi lebih tinggi yaitu sebesar 28,12 (Faridah et al., 2013) sedangkan kadar amilosa terigu adalah 25% (Risti dan Rahayuni, 2013). Pada saat proses perebusan mi terjadi penetrasi air ke dalam granula pati. Amilosa bersifat lebih mudah menyerap air dibanding amilopektin sehingga kadar amilosa yang

lebih tinggi pada adonan akan meningkatkan daya serap air mi basah (Wijaya et al., 2018). Proses modifikasi pati autoclaving-cooling mampu meningkatkan kadar amilosa pati garut melalui pemecahan amilopektin. Amilosa mengandung banyak gugus hidroksil dengan rantai lurus sehingga terjadi peningkatan daya serap air pada mi basah. Hal ini sejalan dengan penelitian Putra et al. (2019) yang melaporkan peningkatan daya serap air mi basah instan dari tepung komposit terigu dan pati kimpul termodifikasi yang berkisar 121,36 – 157,55% seiring dengan meningkatnya komposisi pati kimpul termodifikasi.

Cooking Loss

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap cooking loss mi basah. Tabel 3 menunjukkan rata-rata cooking loss mi basah terendah terdapat pada perlakuan G0 (100:0) yaitu 9,31% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan G1 (90:10) sedangkan cooking loss tertinggi terdapat pada perlakuan G5 (50:50) yaitu 12,92%. Cooking loss merupakan lepasnya partikel pati dari untaian mi selama proses perebusan dan menyebabkan air rebusan menjadi keruh. Hal ini disebabkan proses modifikasi pati autoclaving-cooling menyebabkan gelatinisasi sehingga granula pati mengalami pengembangan dan terjadi proses leaching amilosa, yaitu keluarnya

amilosa bersama air dari granula pati. Hal ini menyebabkan ikatan antar molekul pati berkurang yang menghasilkan adonan mi yang kurang kompak sehingga terjadi peningkatan cooking loss (Setiyoko et al., 2018). Peningkatan komposisi pati garut termodifikasi pada adonan juga menyebabkan berkurangnya proporsi gluten pada adonan yang berperan dalam membentuk ikatan antara komponen pati dan protein sehingga adonan yang dihasilkan kurang kompak dan partikel pati terlepas (Setyani et al., 2017). Peningkatan cooking loss mi basah juga dilaporkan oleh Setiyoko et al. (2018) bahwa cooking loss mi basah dengan substitusi tepung bengkuang termodifikasi heat moisture treatment berkisar 3,45 – 4,33% yang meningkat seiring dengan jumlah substitusi tepung bengkuang termodifikasi.

Karakteristik Sensoris

Hasil analisis uji sensori yang meliputi uji hedonik warna, aroma, tekstur, rasa, dan penerimaan keseluruhan serta uji skoring tekstur mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclavingcooling dapat dilihat pada Tabel 4.

Warna

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kesukaan panelis pada atribut warna. Tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mi basah dengan

perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berkisar 4,13 – 4,47 dengan kriteria agak suka. Penggunaan pati garut termodifikasi menghasilkan mi basah dengan atribut warna yang tidak berbeda dengan mi basah terigu dan dapat diterima oleh panelis. Hal ini disebabkan oleh pati garut termodifikasi

yang memiliki karakteristik berwarna putih sama halnya dengan terigu dengan nilai L* (tingkat kecerahan) berturut-turut sebesar 87,1 dan 85,1 sehingga penambahan pati garut termodifikasi tidak memberikan perbedaan nyata terhadap tingkat kesukaan warna mi basah.

Tabel 4. Nilai rata-rata uji hedonik mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut

termodifikasi autoclaving cooling

Perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling

Warna

Aroma

Tekstur

Rasa

Penerimaan Keseluruhan

G0 (100:0)

4,27 ± 0.96a

3,80 ± 1.21a

3,53 ± 0.99a

3,67 ± 0.98a

3,53 ± 1.06a

G1 (90:10)

4,40 ± 0.91a

4,00 ± 1.31a

4,07 ± 0.99a

3,80 ± 0.94a

4,00 ± 1.00a

G2 (80:20)

4,40 ± 0.91a

3,80 ± 1.26a

3,80 ± 0.94a

3,67 ± 0.82a

3,67 ± 0.49a

G3 (70:30)

4,47 ± 0.83a

3,93 ± 1.16a

4,40 ± 0.91a

3,80 ± 0.77a

4,40 ± 0.63a

G4 (60:40)

4,33 ± 1.05a

3,93 ± 1.10a

4,00± 0.76a

3,60 ± 0.83a

4,07 ± 0.70a

G5 (50:50)

4,13 ± 1.25a

3.80 ± 1.08a

4,07 ± 0.96a

3,53 ± 0.74a

3,87 ± 0.83a

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)

Aroma

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kesukaan panelis pada atribut aroma. Tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata uji hedonik terhadap aroma mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berkisar 3,80 – 4,00 dengan kriteria agak suka. Penggunaan pati garut termodifikasi menghasilkan mi basah dengan atribut aroma yang tidak berbeda dengan mi basah terigu dan dapat diterima oleh panelis. Hal ini disebabkan oleh pati garut termodifikasi memiliki karakteristik tidak beraroma sama

halnya dengan terigu sehingga penambahan pati garut termodifikasi memberikan perbedaan tidak nyata terhadap tingkat kesukaan aroma mi basah.

Tekstur

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap skoring tekstur mi basah. Tabel 5 menunjukkan nilai rata-rata uji skoring terhadap rasa mi basah dengan perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berkisar 2,60 – 3,00 dengan kriteria kenyal. Tekstur kenyal pada mi basah terbentuk oleh adanya gluten pada adonan yang mampu membuat

ikatan antar granula pati menjadi lebih rapat, kuat, dan liat ketika kontak dengan air pada pencampuran adonan (Safriani et al., 2013). Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling sampai 50:50 belum menurunkan tingkat kekenyalan mi basah.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling

berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap hedonik tekstur mi basah. Tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata hasil uji hedonik tekstur mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclavingcooling berkisar 3,53 – 4,40 dengan kriteria agak suka. Hal ini menunjukkan bahwa panelis menyukai tekstur mi basah dengan kriteria kenyal.

Tabel 5. Nilai rata-rata uji skoring tekstur mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving cooling

Perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling

Skoring Tekstur

G0 (100:0)

3,00 ± 0.00a

G1 (90:10)

2,73 ± 0.46a

G2 (80:20)

2,60 ± 0.51a

G3 (70:30)

2,87 ± 0.35a

G4 (60:40)

2,80 ± 0.41a

G5 (50:50)

2,67 ± 0.49a

Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi. Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)

Rasa

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kesukaan panelis pada atribut rasa. Tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata uji hedonik terhadap rasa mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berkisar 3,53 – 3,80 dengan kriteria agak suka. Penggunaan pati garut termodifikasi menghasilkan mi basah dengan atribut rasa yang tidak berbeda dengan mi basah 100% terigu dan dapat diterima oleh panelis. Hal ini disebabkan oleh pati garut termodifikasi memiliki

karakteristik tidak berasa sama halnya dengan terigu sehingga penggunaan pati garut termodifikasi memberikan perbedaan tidak nyata terhadap tingkat kesukaan rasa mi basah.

Penerimaan keseluruhan

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap penerimaan keseluruhan mi basah. Nilai rata-rata hasil uji hedonik penerimaan keseluruhan mi basah adalah berkisar 3,53 – 4,40 dengan kriteria agak suka. Mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling

berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat kesukaan panelis, baik dari atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa, sehingga juga tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan penerimaan keseluruhan.

KESIMPULAN

Perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling berpengaruh nyata terhadap karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein) dan karakteristik fisik (elastisitas, daya serap air, cooking loss). Hasil mi basah terbaik diperoleh pada mi basah dengan perbandingan terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling 70:30 dengan karakteristik kadar air 34,59%, kadar abu 0,33%, kadar protein 6,12%, elastisitas 13,00%, daya serap air 425,26%, cooking loss 11,47%, serta penilaian sensori terhadap warna yaitu disukai, aroma disukai, tekstur kenyal dan disukai, rasa disukai, dan penerimaan keseluruhan disukai.

Perbaikan cooking loss pada adonan diperlukan untuk penelitian selanjutnya serta pengujian mengenai masa simpan mi basah dari terigu dan pati garut termodifikasi autoclaving-cooling.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang memberikan bantuan dana penelitian dalam rangka kegiatan Indofood Riset Nugraha 2020-2021.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I.A. 2019. Fisik dan kimia mi kering dari pati bonggol pisang kepok dengan metode modifikasi heat moisture treatment (HMT . Jambura Journal of Food Technology 1(1 : 32-44.

Badan Standardisasi Nasional. 1992. Mi Basah. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta

Faridah, D., E. Prangdimurti, dan D. Adawiyah. 2008. Pangan Fungsional Dari Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl. dan Umbi Garut (Marantha arundinaceae L. : Kajian Daya Hipokolesterolemik dan Indeks Glisemiknya. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat: Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Faridah, D.N., W.P. Rahayu, dan M.S. Apriyadi. 2013. Modifikasi pati garut (Marantha arundinacea dengan perlakuan hidrolisis asam dan siklus pemanasan-pendinginan         untuk

menghasilkan pati resisten tipe 3. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 23(1 :61-69.

Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Penerjemah E. Syamsudin dan J.S. Baharsjah. UI Press, Jakarta.

Latifah, H. dan Yunianta. 2017. Modifikasi pati garut (Marantha arundinacea metode ganda (ikatan silang-substitusi dan aplikasi sebagai pengental pada pembuatan saus cabai. Jurnal Pangan dan Agroindustri 5(4 : 31-41.

Kosasih, I. 2017. Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu Dengan Mocaf dan Penambahan Daun Black Mulberry (Morus nigra Sebagai Antioksidan Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Mi Basah. Naskah Publikasi. Fakultas Teknik, Universitas Pasundan Bandung.

Koswara, S. 2009. Teknologi Modifikasi Pati. eBookPangan.com.

http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/TEKNOLOGI-MODIFIKASI-PATI.pdf. Diakses pada: 5 Mei 2021.

Mahmudah, N.A., B.S. Amanto, dan E. Widowati. 2017. Karakteristik fisik, kimia, dan sensoris flakes pisang kepok samarinda     (Musa     paradisiaca

balbisiana dengan substitusi pati garut.

Jurnal Teknologi Hasil Pertanian 10(1 : 32-40.

Mandei, J.H. 2016. Penggunaan pati sagu termodifikasi dengan heat moisture treatment sebagai bahan substitusi untuk pembuatan mi kering. Jurnal Penelitian Teknologi Industri 8(1 : 57-72.

Putra, I.N.K., I.P. Suparthana, dan A.A.I.S. Wiadnyani. 2019. Sifat fisik, kimia, dan sensori mi instan yang dibuat dari komposit terigu-pati kimpul modifikasi. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 8(4 : 161-167.

Rara, M. R., T. Koapaha, dan D. Rawung. 2019. Sifat fisik dan organoleptik mi dari tepung talas (Colocasia esculenta dan terigu dengan penambahan sari bayam merah (Amaranthus blitum . Jurnal Teknologi Pertanian 10(2 : 102-112.

Rasyid, N.P. dan A. Zainuddin. 2018.

Pemanfaatan pati jagung termodifikasi teknik microwave pada mi jagung. Jurnal Teknologi Pertanian 9(2 : 11-17.

Risti, Y., dan A. Rahayuni. 2013. Pengaruh penambahan telur terhadap kadar protein, serat, tingkat kekenyalan dan penerimaan mi basah bebas gluten berbahan baku tepung komposit (Tepung komposit: tepung mocaf, tapioka dan maizena . Journal of Nutrition College 2(4 : 696703.

Rukmana, R. 2000. Garut: Budi Daya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta.

Safriani, N., R. Moulana, dan Ferizal. 2013. Pemanfaatan pasta sukun (Arocarpus altilis pada pembuatan mi kering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia 5(2 : 17-24.

Sajilata, M., S. Rekha, and R. Puspha. 2006. Resistant starch a review. Journal Comprehensive Review in Food Science and Food Safety 5: 1-17.

Setiarto, R.H.B., B.S.L. Jenie, D.N. Faridah, dan I. Saskiawan. 2015. Kajian peningkatan pati resisten yang terkandung dalam bahan pangan sebagai sumber prebiotik. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 20(3 : 191-200.

Setiyoko, A., Nugraeni, dan S. Hartutik. 2018. Karakteristik mie basah dengan substitusi tepung bengkuang termodifikasi heat moisture treatment (HMT . Jurnal Teknologi Pertanian Andalas 22(2 : 102110.

Setyani, S., S. Astuti, dan Florentina. 2017. Substitusi tepung tempe jagung pada pembuatan mi basah. Jurnal Teknologi Industri & Hasil Pertanian 22(1 : 1-10.

Sugiyono, R. Pratiwi, dan D. Faridah. 2009. Modifikasi pati garut dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi pendinginan untuk menghasilkan pati resisten tipe III. Jurnal Teknologi Industri Pangan 20(1 : 17-24.

Wiadnyani, A.A.I.S., I.D.G.M. Permana, dan I.W.R. Widarta. 2017. Modifikasi pati keladi dengan metode autoclavingcooling sebagai sumber pangan fungsional. Media Ilmiah Teknologi Pangan, 4(2 :94-102.

Wijaya, A.C., S. Surjoseputro, dan I.R.A.P. Jati. 2018. Pengaruh perbedaan jenis pati yang ditambahkan terhadap karakteristik fisikokimia dan organoleptik kwetiau beras hitam. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi 17(2 : 75-80.

Yang, P., dan H. Song, L. Wang, and H. Jing. 2019. Characterization of key aromaactive compounds in black garlic by sensory-directed flavor analysis. Journal of Agricultural and Food Chemistry: 7926-7934.

25