Prevalence of Lumbar Hyperlordosis in Dance Department Students, Faculty of Performing Arts, Indonesian Art Institutes Denpasar Bali Batch of 2018-2020.
on
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.4,APRIL, 2022
Diterima: 21-05-2021. Revisi: 28 -08- 2021 Accepted: 29-05-2022
PREVALENSI HIPERLORDOSIS LUMBALIS PADA MAHASISWI JURUSAN TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR BALI ANGKATAN TAHUN 2018-2020
A. A. Wulanatalia Wiraputri1, I Nyoman Gede Wardana2*, I Gusti Ayu Widianti2, Muliani2
1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia
2Departemen Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia *Korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Kurvatura tulang belakang yang bersifat abnormal dikenal dengan kelainan tulang belakang yaitu skoliosis, kifosis, dan lordosis. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan kelainan tulang belakang, salah satunya penerapan postur tubuh yang tidak normal secara terus menerus. Postur tubuh saat menari tradisional Bali tidak sesuai dengan postur normal karena menerapkan sikap seperti melengkungkan tulang belakang secara berlebihan dan membusungkan dada ke arah depan dengan tujuan agar lengkung badan penari terlihat lebih jelas. Postur tubuh buruk yang dilakukan secara terus menerus dapat mempengaruhi kurvatura tulang belakang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi hiperlordosis lumbalis pada Mahasiswi Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar Bali Angkatan Tahun 2018-2020. Metode penelitian merupakan metode deskriptif kuantitatif dengan rancangan desain potong lintang. Sampel penelitian diambil dengan metode purposive sampling dengan total 44 mahasiswi Jurusan Seni Tari. Seluruh sampel diberikan kuisioner data diri kemudian diukur besar kurvatura tulang belakang dengan penggaris fleksibel. Analisis data yaitu analisis univariat dan bivariat, diolah menggunakan SPSS Versi 26 dengan menggunakan tabulasi silang. Prevalensi mahasiswi yang mengalami hiperlordosis lumbalis lebih banyak dibandingkan normal lumbar lordosis yaitu 35 orang (79,5%) dengan hiperlordosis lumbalis dan 9 orang (20,5%) dengan normal lumbar lordosis. Prevalensi hiperlordosis lumbalis lebih banyak didapatkan dibandingkan dengan normal lumbar lordosis pada mahasiswi dengan aktivitas menari Bali.
Kata kunci : Penari Bali., lordosis lumbalis., penggaris fleksibel.
ABSTRACT
Abnormal curvature of the spine is known as scoliosis, kyphosis, and lordosis. There are several factors that can cause spinal abnormalities, one of which is the continuous application of abnormal posture. Body posture during traditional Balinese dance is considered abnormal because it applies positions such as excessive curving of the spine and puffing out the chest towards the front so that the dancer's body curve is seen more clearly. Poor posture that is used continuously can affect the curvature of the spine. The study was to identify the prevalence of lumbar hyperlordosis in Dance Department Students, Faculty of Performing Arts, Indonesian Arts Institute Denpasar Bali Batch of 2018-2020. This study is a descriptive quantitative study with a cross-sectional design. The research sample was taken using a purposive sampling technique with the total of 44 students of the Department of Dance. All samples were given a self-data questionnaire then the spinal curvature was measured with a flexicurve. Analysis of the data collected in univariate and bivariate analysis, processed using SPSS Version 26 using cross tabulation. The prevalence of students experiencing lumbar hyperlordosis was found more than normal lumbar lordosis, namely 35 people (79.5%) with hyperlordosis and 9 people (20.5%) with normal lumbar lordosis. The prevalence of lumbar hyperlordosis was higher than normal lumbar lordosis in female students with Balinese dance activities.
Keywords : Balinese dancer, lumbar lordosis, flexicurve ruler.
PENDAHULUAN
Pada columna vertebralis orang dewasa terdapat empat kurvatura yaitu curvatura cervicalis, curvatura lumbalis, curvatura thoracalis dan curvatura sacralis. Curvatura lumbalis adalah salah satu dari empat curvatura spinalis pada manusia dengan bentuk konkaf secara posterior. Lordosis lumbalis mulai berkembang di fase janin dengan peningkatan yang tinggi terlihat pada 3 tahun pertama bayi. Bentuk dari lordosis lumbalis dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya yaitu aktivitas atau kebiasaan olahraga.1 Menurut Singh dkk2, hasil dari penelitian besar curvatura spinalis pada orang normal tanpa kelainan bervariasi. Berdasarkan artikel oleh Sedrez dkk3, curvatura spinalis dapat diteliti besar sudutnya dengan berbagai metode dan menggunakan berbagai macam instrumen, mulai dari radiografi, mengukur dari hasil X-ray atau dengan menggunakan alat-alat non invasif seperti flexicurve.
Kurvatura yang bersifat abnormal dikenal dengan kelainan tulang belakang (scoliosis, kyphosis, dan lordosis).1 Pada penelitian Muyor4 disebutkan bahwa nilai-nilai untuk klasifikasi postur curvatura spinalis yang diusulkan oleh Mejua dkk yaitu sudut normal untuk lordosis lumbalis adalah 20°-40° dan digolongkan hiperlordosis lumbalis jika sudut lebih dari 40°. Kelainan lordosis yang berlebihan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk diantaranya yaitu melemahnya otot pada batang tubuh. Kelemahan otot dapat disebabkan karena adanya aktivitas atau postur kerja yang buruk yang dilakukan secara berulang sehingga menyebabkan regangan otot berlebihan dan tidak memiliki kesempatan untuk relaksasi.5 Para peneliti menyimpulkan bahwa ketidakseimbangan kekuatan otot batang tubuh dapat mempengaruhi curvatura lordosis lumbalis dan dapat menjadi faktor risiko terjadinya nyeri pinggang bawah atau low back pain (LBP). Sudut curvatura lordosis lumbalis yang lebih besar dianggap dapat menjadi faktor risiko dari perkembangan spondylolysis. Beberapa peneliti juga mengatakan bahwa perubahan di keseimbangan tulang belakang dan kurvatura tulang belakang terlibat dalam perkembangan osteoarthritis dini dan degenerasi discus intervertebralis.1
Indonesia memiliki beragam budaya mulai dari pakaian adat nusantara, makanan, minuman, tempat tinggal khas daerah, hingga hiburan yang berbagai macam seperti tarian, dan musik khas daerah. Tari Bali merupakan salah satu budaya tradisional Bali yang menarik perhatian banyak orang. Tari tradisional di Bali dan Indonesia memiliki gaya dan ciri khasnya masing-masing sehingga dapat dibedakan tarian satu dengan tarian lainnya. Kriteria khusus yang harus dikuasai oleh penari Bali yaitu penari Bali harus menguasai teknik dasar tari sebelum mulai melatih gerakan. Teknik dasar tari tersebut yaitu sikap tubuh yang cengked (melengkung), mendak (tubuh merendah), mayuk (membusungkan dada ke arah depan), dan ngeed (menarik bahu ke belakang). Semua tarian di Bali mengharuskan penarinya dalam posisi tubuh cengked (melengkung).6,7 Teknik dasar tari akan dilakukan secara terus menerus dan berulang kali sehingga para penari dapat memiliki lekukan tubuh yang bagus.8 Tubuh cengked seorang penari merupakan hal yang apabila diperhatikan dengan seksama dapat terlihat dalam kesehariannya. Pada kajian
literatur oleh Purnama dkk9, atlet bidang olahraga seperti senam ritmik, menari, dan figure skating memiliki risiko cedera dan perkembangan abnormal pada columna vertebralis lebih tinggi. Postur tubuh buruk yang diterapkan secara terus menerus dan dilakukan berulang kali dapat mempengaruhi bentuk curvatura spinalis manusia.10 Dengan demikian, penulis memilih untuk mencari tahu jumlah penari tradisional Bali yang merupakan mahasiswi Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar Bali Angkatan Tahun 2018-2020 yang memiliki curvatura lordosis lumbalis yang berlebihan (hiperlordosis lumbalis).
BAHAN DAN METODE
Rancangan penelitian merupakan penelitian potong lintang deskriptif kuantitatif dengan metode pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.11 Subjek penelitian merupakan mahasiswi Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar Bali Angkatan Tahun 2018-2020 yang sesuai dengan kriteria inklusi yaitu merupakan mahasiswi Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar Bali Angkatan Tahun 2018-2020, dengan onset menari minimal satu tahun, frekuensi menari rutin minimal dua kali seminggu selama dua bulan terakhir, durasi menari dalam satu kali sesi minimal 60 menit, dan bersedia berpartisipasi menjadi sampel penelitian melalui informed consent yang terdapat dalam kuesioner. Mahasiswi yang memiliki riwayat trauma atau penyakit pada tulang belakang selama periode penelitian dilaksanakan dieksklusi selama penelitian. Total jumlah responden penelitian adalah 44 mahasiswi.
Definisi operasional variable dari penelitian ini yang pertama yaitu usia dengan definisi lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran sampai saat ini Data usia dilihat dari KTP (Kartu Mahasiswa) dan akan dikelompokkan menjadi kelompok 17-20 tahun dan kelompok 21-24 tahun. Kedua yaitu onset menari dengan definisi lamanya responden mulai menari tari tradisional Bali hingga dilakukan penelitian dengan satuan tahun. Data didapatkan dengan pengisian kuesioner data diri dan akan dikelompokkan menjadi kelompok baru yaitu < 10 tahun dan kelompok lama yaitu ≥ 10 tahun.12
Ketiga yaitu frekuensi menari didefinisikan sebagai jumlah aktivitas menari yang dilakukan oleh sampel dalam satu minggu. Data didapatkan dengan pengisian kuesioner data diri dan akan dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kurang dari tiga kali seminggu dan lebih dari sama dengan tiga kali seminggu. Keempat yaitu durasi menari yang didefinisikan sebagai lama waktu menari yang dilakukan oleh sampel dalam satu kali aktivitas menari dengan satuan menit. Rekomendasi WHO pada tahun 2010 menganjurkan durasi latihan baik yaitu 30-60 menit. Data didapatkan dengan pengisian kuesioner data diri dan akan dikelompokkan menjadi kelompok 0-60 menit dan 61-120 menit.12
Variabel terakhir yaitu curvatura lordosis lumbalis dengan definisi yaitu garis lengkung columna vertebralis pada daerah lumbal yang berbentuk konkaf ke arah posterior. Data ini akan diukur melalui observasi menggunakan alat ukur penggaris fleksibel (flexicurve) dengan panjang 60 cm. Flexicurve merupakan salah satu alat non invasif yang menyajikan variabilitas yang lebih besar ketika digunakan untuk mengevaluasi daerah lumbar, menampilkan reproduktifitas dan pengulangan intraevaluator yang sangat baik dalam menilai sudut daerah lumbar di bidang sagittal pada sebagian besar penelitian.3
Langkah pengukuran dimulai setelah mendapatkan persetujuan dari responden. Pengukuran dilakukan di ruangan yang terjamin privasi nya dan responden diinstruksikan untuk melepaskan pakaian yang menutupi bagian belakang (punggung). Selanjutnya, identifikasi processus spinosus C7, L1, dan L5 dengan meletakkan kedua tangan pada tulang costae terakhir pada regio abdomen lalu gerakkan kedua tangan secara horizontal ke arah belakang hingga kedua ibu jari bertemu. Responden diminta untuk membungkuk ke depan, dan bagian yang paling menonjol kemudiaan diidentifikasi dan ditandai sebagai T12. Kemudian processus spinosus L1 di identifikasi dengan menghitung ke bawah dari posisi T12. Processus spinosus L5 diidentifikasi dengan menekan tangan di punggung bawah di atas iliac crest, gerakkan jaringan lunak ke samping hingga kedua ibu jari bertemu secara horizontal pada processus spinosus L5. Tandai processus spinosus L1 dan L5 dengan pena stabilo yang bisa dicuci.13
Selama pengukuran, responden tetap berdiri tegak lurus tanpa alas kaki, dengan lutut lurus, kaki paralel serta bahu dan siku ditekuk 90 derajat selama pengukuran.13 Atau responden dapat berdiri tegak sesuai posisi anatomis semampu responden.14 Bersihkan flexicurve menggunakan tisu basah dan pastikan kondisi instrumen dalam keadaan baik tanpa ada tonjolan. Letakkan flexicurve pada garis tengah kontur punggung dan bentuklah flexicurve sesuai lengkungan kurvatura dengan lembut. Tandai segmen L1 dan L5 pada skala metric flexicurve.13 Pastikan kurva lumbal dipertahankan dan tidak ada jarak antara kulit responden dengan instrumen.15 Setelah mencetak kontur tulang belakang, lepas instrumen secara hati-hati dan sisi dalam flexicurve yang menempel dengan kulit di jiplak ke atas kertas menggambarkan kurva lumbal pada bidang sagital dengan prosesus spinosus yang telah teridentifikasi juga di tandai. Bersihkan tanda pulpen pada instrumen, dan luruskan kembali flexicurve.13,15
Hasil ukur akan diperlihatkan dalam bentuk tabel dan dihitung menggunakan rumus Lordosis Index (LI) yaitu [(LW/LL) x 100] dan rumus Lordosis Angle (θ) = 4 arc tan [(2 ×LW)/LL], dimana LL (Lordosis Length) merupakan garis lurus yang ditarik dari posisi L1 ke L5 sesuai dengan panjang lumbar lordosis dan LW (Lordosis Width) merupakan garis tegak lurus yang digambar dari titik
tertinggi di kurva lumbal ke titik di mana garis tersebut memotong garis LL.13
Penelitian ini dilaksanakan di Institut Seni Indonesia Denpasar Bali, mulai dari bulan Agustus sampai September 2021. Pengambilan data diri dilaksanakan secara online melalui kuesioner yang disebar dalam bentuk google form kepada responden. Penelitian ini telah mendapatkan perizinan dan kelayakan oleh Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada Surat Keterangan Kelaikan Etik Nomor 489/UN14.2.2.VII.14/LT/2021. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode kuisioner dan pengukuran kurvatura tulang belakang menggunakan instrumen non invasif yaitu flexible ruler. Data akan diolah analisis deskriptif univariat menggunakan software SPSS untuk mendapatkan distribusi frekuensi variabel usia, lama menari, frekuensi menari dalam satu minggu, durasi menari, dan lordosis lumbalis yang akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Selanjutnya data akan diolah analisis deskriptif bivariat dengan software SPSS untuk mendapatkan distribusi frekuensi antara variabel independen dan dependen yang akan disajikan dalam bentuk cross tabulation.
HASIL
Data yang dibutuhkan dari responden telah terkumpul melalui kuesioner dan pengukuran kurvatura tulang belakang menggunakan flexicurve. Tabel 1. menunjukkan distribusi karakteristik responden yaitu dari total seluruh responden adalah 44 orang yang merupakan perempuan seluruhnya, berdasarkan karakteristik usia akan dikategorikan menjadi 2 kelompok kategorik ordinal yaitu kelompok usia 17-20 tahun sebanyak 31 orang (70,5%) dan kelompok usia 21-24 tahun sebanyak 13 orang (29,5%).
Tabel 1. juga menunjukkan responden berdasarkan karakteristik lama menari, frekuensi menari, dan durasi menari. Berdasarkan karakteristik lama menari, responden yang tergolong Kelompok Baru sebanyak 20 orang (45,5%) dan Kelompok Lama sebanyak 24 orang (54,5%). Disebut Kelompok Baru jika baru mulai menari dalam waktu kurang dari 10 tahun, dan Kelompok Lama jika sudah mulai menari lebih dari sama dengan 10 tahun.
Berdasarkan karakteristik frekuensi menari masing-masing individu dalam satu minggu, responden yang menari kurang dari tiga kali dalam satu minggu sebanyak 10 orang (22,7%), jumlah sampel yang menari tiga sampai lima kali dalam satu minggu sebanyak 26 orang (59,1%), dan jumlah sampel yang menari lebih dari lima kali dalam satu minggu sebanyak 8 orang (18,2%). Berdasarkan karakteristik durasi menari masing-masing individu dalam satu kali latihan menari, responden yang menari selama 0-60 menit sebanyak 37 orang (84,1%), 61-120 menit sebanyak 7 orang (15,9%).
Tabel 2. menunjukkan distribusi responden berdasarkan besar curvatura lordosis lumbalis yang telah diukur dengan flexicurve dan dihitung dengan rumus Lordosis Index (LI) dan Lordosis Angle (LA). Kurva lumbal disebut normal jika Lordosis Index pada usia 20-24 tahun
didapatkan 7 ± 2 cm. Angka yang lebih tinggi mengindikasikan derajat lordosis yang lebih besar. Kurva juga disebut normal jika sudut lordosis lumbalis (LA) didapatkan 20°-40° dan hiperlordosis Lumbalis jika sudut lordosis lumbalis (LA) didapatkan > 40°.4 Didapatkan bahwa bahwa dari total 44 responden, yang memiliki kurva normal lordosis lumbalis sebanyak 9 orang (20,5%) dan hiperlordosis lumbalis sebanyak 35 orang (79,5%).
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden (n=44)
Karakteristik |
Frekuensi (n) |
Persentase (%) |
Usia (tahun) | ||
17-20 |
31 |
70,5 |
21-24 |
13 |
29,5 |
Lama menari | ||
Baru (< 10 tahun) |
20 |
45,5 |
Lama (≥ 10 tahun) Frekuensi menari |
24 |
54,5 |
< 3 kali |
10 |
22,7 |
≥ 3 kali |
34 |
77,3 |
Durasi menari | ||
0-60 menit |
37 |
84,1 |
61-120 menit |
7 |
15,9 |
Total |
44 |
100 |
Tabel 2. Distribusi kurva lumbal | ||
Kurva lumbal |
Frekuensi (n) |
Presentase (%) |
Normal |
9 |
20,5 |
Hiperlordosis |
35 |
79,5 |
Total |
44 |
100 |
Tabel 3. menampilkan distribusi curvatura lordosis lumbalis berdasarkan karakteristik responden. Prevalensi hiperlordosis lumbalis pada mahasiswi kelompok usia 1720 tahun sebanyak 26 orang (83,9%) dan pada kelompok usia 21-24 tahun sebanyak 9 orang (69,2%). Sedangkan, mahasiswi yang memiliki curvatura lordosis lumbalis normal pada kelompok usia 17-20 tahun sebanyak 5 orang (16,1%%) dan pada kelompok usia 21-24 tahun sebanyak 4 orang (30,8%).
Prevalensi hiperlordosis lumbalis pada mahasiswi berdasarkan karakteristik lama menari yaitu 18 orang (90%) yang termasuk Kelompok Baru (lama menari < 10 tahun) dan 17 orang (70,8%) yang termasuk Kelompok Lama (lama menari ≥ 10 tahun). Prevalensi mahasiswi yang memiliki curvatura lordosis lumbalis normal pada
Kelompok Baru sebanyak 2 orang (10%) dan pada Kelompok Lama sebanyak 7 orang (29,2%).
Prevalensi hiperlordosis lumbalis pada mahasiswi berdasarkan frekuensi menari didapatkan 9 orang (90%) yang menari kurang dari tiga kali dalam seminggu dan 26 orang (76,5%) yang menari lebih dari sama dengan tiga kali seminggu. Prevalensi curvatura lordosis lumbalis normal berdasarkan frekuensi menari didapatkan 1 orang (10%) yang menari kurang dari tiga kali dalam seminggu dan 8 orang (23,5%) yang menari lebih dari sama dengan tiga kali seminggu.
Prevalensi hiperlordosis lumbalis pada mahasiswi berdasarkan durasi menari yaitu 29 orang (78,4%) yang menari selama 0-60 menit, 6 orang (85,7%) yang menari selama 61-120 menit. Prevalensi curvatura lordosis lumbalis normal berdasarkan durasi menari didapatkan 8 orang (21,6%) pada kelompok yang menari selama 0-60 menit dan 1 orang (14,3%) pada kelompok yang menari selama 61-120 menit.
Tabel 3. Distribusi kurva lumbal berdasarkan karakteristik responden
Karakteristik |
Kurva lumbal |
Total | |
Normal |
Hiperlordosis | ||
Usia (tahun) |
5 |
26 |
31 |
17-20 |
(16,1%) |
(83,9%) |
(100%) |
21-24 |
4 |
9 |
13 |
(30,8%) |
(69,2%) |
(100%) | |
Total |
9 |
35 |
44 |
(20,5%) |
(79,5%) |
(100%) | |
Lama menari Baru (< |
2 |
18 |
20 |
10 tahun) |
(10%) |
(90%) |
(100%) |
Lama (≥ |
7 |
17 |
24 |
10 tahun) |
(29,2%) |
(70,8%) |
(100%) |
Total |
9 |
35 |
44 |
(20,5%) |
(79,5%) |
(100%) | |
Frekuensi menari |
1 |
9 |
10 |
< 3 kali |
(10%) |
(90%) |
(100%) |
≥ 3 kali |
8 |
26 |
34 |
(23,5%) |
(76,5%) |
(100%) | |
Total |
9 |
35 |
44 |
(20,5%) |
(79,5%) |
(100%) |
Durasi menari
0-60 |
8 |
29 |
37 |
menit |
(21,6%) |
(78,4%) |
(100%) |
61-120 |
1 |
6 |
7 |
menit |
(14,3%) |
(85,7%) |
(100%) |
Total |
9 |
35 |
44 |
(20,5%) |
(79,5%) |
(100%) |
PEMBAHASAN
Banyak studi telah membuktikan validitas dan reliabilitas menggunakan flexicurve ruler atau penggaris fleksibel dibandingkan dengan data radiografi. Sebuah studi pengkajian sistematis oleh Mirbagheri dkk.16 pada tahun 2015, mengenai validitas dan reliabilitas metode non radiografi menunjukkan tingkat reliabilitas flexicurve tinggi hingga sangat tinggi. Studi ini menyarankan bahwa flexicurve merupakan alat genggam yang mudah digunakan dan dapat menggantikan radiografi dalam mengevaluasi curvatura lordosis lumbalis.
Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu prevalensi dari curvatura lordosis lumbalis pada mahasiswi penari tradisional Bali. Pada Tabel 2., hasil total menunjukkan bahwa dari 44 mahasiswi penari, didapatkan 35 mahasiswi memiliki hiperlordosis lumbalis (79,5%), dan sisanya yaitu 9 mahasiswi memiliki curvatura lordosis lumbalis normal (20,5%). Hal ini sejalan dengan teori pada penelitian oleh Munawarah & Segita17 dimana disebutkan bahwa subyek dengan sikap kerja atau posisi tubuh yang buruk dapat meningkatkan stres pada sendi, terjadi aktivitas otot yang berlebihan supaya dapat mempertahankan sikap tubuh dimana hal ini akan menyebabkan titik berat badan jatuh ke depan, dan sebagai kompensasi hal tersebut punggung akan ditarik ke belakang sehingga dapat menimbulkan hiperlordosis lumbalis. Dimana kita ketahui bahwa penari Bali haruslah menguasai teknik tari yang tepat, salah satunya yaitu cengked dengan menarik perut ke dalam sehingga dada akan terangkat dan terdorong ke depan.18 Teknik-teknik tari ini akan dipelajari dan dilatih secara terus menerus, dilakukan berulang kali dan dalam waktu yang lama hingga mendapatkan gerakan yang tepat.8
Tabel 3. menunjukkan prevalensi hiperlordosis lumbalis berdasarkan kategori usia, dimana didapatkan hasil hiperlordosis lumbalis lebih banyak dibanding curvatura lordosis lumbalis normal pada kedua kelompok. Pada penelitian oleh Mirbagheri dkk.16 disebutkan bahwa perubahan postur tubuh terkait usia yaitu kepala ke depan, bahu membulat, kyphosis thoracalis meningkat, lordosis lumbalis menurun, serta panggul dan lutut semakin tertekuk. Namun, bukti yang menggambarkan perkembangan lordosis lumbalis terkait usia terbatas sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan pengaruh usia pada lordosis lumbalis. Peserta yang ikut serta dalam penelitian tersebut berusia antara 19 hingga 21 tahun, dimana semua peserta masih dalam kelompok muda, dengan demikian para peneliti tidak mengevaluasi pengaruh usia terhadap besar kifosis dan lordosis.
Selanjutnya, pada tabel yang sama, terkait data prevalensi curvatura lordosis lumbalis berdasarkan lama menari responden, didapatkan hasil hiperlordosis lumbalis yang lebih banyak dibandingkan curvatura lordosis lumbalis pada kedua kelompok
lama menari. Pada penelitian Munawarah & Segita17 menyebutkan bahwa seseorang dengan masa kerja yang lebih lama akan semakin lama terkena paparan faktor risiko. Aktivitas yang dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu lama hingga bertahun-tahun dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Pada penelitian Ramdan & Laksmono5 disebutkan bahwa masa kerja berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal dan keluhan pada otot.
Pada Tabel 3., terdapat data prevalensi curvatura lordosis lumbalis pada responden berdasarkan frekuensi menari didapatkan hasil hiperlordosis lumbalis yang lebih banyak dibandingkan curvatura lordosis lumbalis normal. Begitu pula dengan data prevalensi curvatura lordosis lumbalis pada responden berdasarkan durasi menari, didapatkan hasil hiperlordosis lumbalis lebih banyak dibandingkan dengan hasil normal. Seperti yang disebutkan dalam kajian pustaka oleh Andini19, bekerja dengan posisi yang janggal, yaitu posisi tubuh yang tidak sesuai dengan posisi tubuh normal ketika melakukan pekerjaan, dapat meningkatkan jumlah kebutuhan energi saat bekerja. Posisi janggal dapat menyebabkan transfer tenaga menjadi tidak efisien sehingga mudah terjadi kelelahan. Dampak gerakan berulang, seperti kelelahan otot, dapat meningkat bila gerakan tersebut merupakan postur janggal yang dilakukan dalam waktu lama dan dengan beban yang besar. Suatu postur janggal berisiko jika durasi postur janggal dipertahankan lebih dari 10 detik.
Berdasarkan Been & Kalichman1, banyak faktor yang dapat mempengaruhi besar curvatura lordosis lumbalis, salah satunya yaitu aktivitas atau kebiasaan berolahraga. Pada penelitian oleh Vitriana20, disebutkan bahwa latihan dapat berdampak signifikan terhadap postur seseorang, seperti latihan menari, gimnastik, dan menyelam berkontribusi dalam membentuk postur tubuh tegak.
Pada penelitian Ramdan & Laksmono5, disebutkan bahwa faktor-faktor terkait ergonomi yang berpengaruh terhadap kesehatan tenaga kerja yaitu sikap dan cara kerja, beban kerja tidak adekuat, pekerjaan monoton, jam kerja tidak sesuai, dan aktivitas berulang. Aktivitas berulang yang dilakukan secara terus menerus juga merupakan salah satu faktor penyebab keluhan muskuloskeletal karena dapat menyebabkan kelelahan otot yaitu otot menerima tekanan tanpa mendapatkan kesempatan relaksasi. Para penari Bali haruslah menguasai teknik dasar tari Bali. Teknik tersebut akan dilatih terus menerus dengan metode pengajaran latihan fisik yang kuat dan berulang supaya tubuh penari menjadi fleksibel dan memiliki lekukan yang bagus.8
Sikap cengked pada teknik dasar tari Bali akan dipertahankan selama menari, dan pada tari perempuan, badan akan lebih dicondongkan ke depan.18 Salah satu contoh tari Bali yaitu Tari Legong. Pada Tari Legong, posisi tubuh akan lebih cengked (lebih melengkung) dibandingkan dengan tari Bali lainnya, sehingga ada anggapan bahwa belajar Tari Legong sebaiknya dimulai sejak usia dini oleh karena tubuh yang masih lentur atau elastis.6 Seperti pada kajian literatur oleh Purnama dkk.9, seleksi awal tersebut berarti melibatkan anak-anak dalam proses latihan pada periode dini di masa kecil mereka, dimana columna vertebralis anak-anak akan dipengaruhi beban besar selama proses latihan sehingga dapat menyebabkan perubahan adaptasi pada sistem muskuloskeletal dan mengganggu perkembangan postur normal. Paparan pembebanan jangka panjang dapat mempengaruhi tahap perkembangan morfologi dan
integritas mekanik tulang sehingga mengakibatkan perkembangan columna vertebralis yang tidak benar.
Pada kajian literatur oleh Purnama dkk.9 disebutkan bahwa kelainan postural umum didapatkan pada bidang olahraga tertentu dimana beberapa hal yang diasumsikan mempengaruhi perkembangan gangguan postural yaitu beban latihan dan pengulangan yang berkepanjangan. Wanita mendominasi bidang olahraga yang memiliki rentang gerak columna vertebralis ekstrim seperti senam ritmik, figure skating, dan menari. Atlet bidang olahraga ini memiliki risiko cedera dan perkembangan abnormal pada columna vertebralis lebih tinggi.
Kelainan postural, yaitu lordosis, bisa ditemukan pada beberapa atlet cabang olahraga yang berbeda yang sudah memulai latihan sejak dini. Seperti yang disebutkan Wojtys dkk yang dikutip oleh Purnama dkk.9 bahwa terdapat peningkatan lengkungan pada bidang sagittal, yaitu hiperkifosis thorakalis dan hiperlordosis lumbalis, pada remaja yang melakukan aktivitas olahraga melebihi 400 jam latihan per tahun. Latihan fisik yang intensif jika dikombinasikan dengan columna vertebralis yang masih dalam proses pematangan maka beban akan pindah dari ekstremitas atas ke ekstremitas bawah sehingga mengakibatkan pembentukan gaya yang mengganggu bentuk columna vertebralis. Atlet cabang olahraga yang terpengaruhi yaitu pesenam, pemain sepak bola, pegulat, perenang, pemain hoki, dan pemain ski air.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa dari total 44 responden, sebanyak 35 mahasiswi memiliki hiperlordosis lumbalis (79,5%) dan sebanyak 9 mahasiswi memiliki curvatura lordosis lumbalis normal (20,5%). Prevalensi hiperlordosis lumbalis pada mahasiswi kelompok usia 17-20 tahun sebanyak 26 orang (83,9%) dan pada kelompok usia 21-24 tahun sebanyak 9 orang (69,2%). Prevalensi hiperlordosis lumbalis berdasarkan karakteristik lama menari yaitu 18 orang (90%) yang termasuk Kelompok Baru (lama menari < 10 tahun) dan 17 orang (70,8%) yang termasuk Kelompok Lama (lama menari ≥ 10 tahun). Prevalensi hiperlordosis lumbalis berdasarkan frekuensi menari didapatkan 9 orang (90%) yang menari kurang dari tiga kali dalam seminggu dan 26 orang (76,5%) yang menari lebih dari sama dengan tiga kali seminggu, dan berdasarkan durasi menari yaitu 29 orang (78,4%) yang menari selama 0-60 menit, 6 orang (85,7%) yang menari selama 61-120 menit.
Dalam proses penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dialami peneliti dan dapat menjadi faktor yang perlu diperhatikan bagi peneliti-peneliti lainnya yang akan melakukan atau melanjutkan penelitian serupa di masa yang akan datang supaya dapat lebih menyempurnakan penelitiannya. Adapun beberapa keterbatasan yang dialami dalam penelitian ini yaitu:
-
1. Jumlah responden penelitian sebanyak 44 orang yang merupakan jumlah terbatas sehingga belum dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya pada populasi.
-
2. Dalam proses pengambilan teori maupun data untuk pembahasan, sumber jurnal-jurnal yang serupa dengan penelitian ini terbatas sehingga sulit untuk membandingkan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang serupa.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Been E., Kalichman L. Lordosis lumbalis. The Spine Journal 14. Elsevier. 2014. p:87-97.
-
2. Singh D.K., Bailey M., Lee R. Biplanar measurement of thoracolumbar curvature in older adults using an electromagnetic tracking device. Arch Phys Med Rehabil. 2010;91:137-42.
-
3. Sedrez J.A., Candotti C.T., Furlanetto T.S., Loss J.F. Non-invasive postural assessment of the spine in the sagittal plane: a systematic review. Motricidade. 2016;12(2):p151.
-
4. Muyor J.M., Feniando A., Pedro L.M. Spinal posture of thoracic and lumbar spine and pelvic tilt in highly trained cyclists. [Online] J Sports Sci Med. 2011;10(2): 355-61. Available at:
https://europepmc.org/article/pmc/pmc3761866 [Accessed 11 October 2020].
-
5. Ramdan I.M., Laksmono T.B. Determinan keluhan muskuloskeletal pada tenaga kerja wanita. Kesmas. 2012;7(4): p171-2. 55
-
6. Gunarta I.W., Satyani I.A. Takeh dalam tari condong legong saba: teknik, gaya, dan rasa. Segara Widya. 2017;5:p32-41.
-
7. Puspatantri C.D.A. Eksplorasi tari pendet sebagai media belajar dalam pembelajaran fisika berbasis budaya. Skripsi. Journal of Chemical Information and Modeling. 2013;53(9): p61.
-
8. Dewi P., Satria I.K. Konsep tri angga dalam belajar
teknik tari bali. Widyanatya. 2020;2(1): p41.
-
9. Purnama M.S., Doewes M., Purnama S.K. Distorsi
postural tulang belakang atlet ditinjau dari cabang olahraga. 2018. p:80.
-
10. Sastroasmoro S., Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis (Edisi ke-5). Sagung Seto. Jakarta, Indonesia. 2014. p:130,361.
-
11. Harvard Health Publishing. Posture and back health. [Online] Harvard Health. 2014. Available at: https://www.health.harvard.edu/pain/posture-and-back-health [Accessed 16 May 2019].
-
12. Firdaus M.N., Marisa D., Asnawati. Hubungan frekuensi dan lama latihan terhadap kelenturan otot penari modern. Homeostasis. 2019;2(1): p75.
-
13. Mandal A., Ganguly S. Non-invasive measurement of thoracic kyphosis and lumbar lordosis among agricultural workers and corporate professionals (it) using flexicurve ruler. IJOSH. 2019;9(2): p38.
-
14. Istiqomah S. 2017. Distribusi ukuran kurva vertebra pada kuli angkut (Doctoral Dissertation, Universitas Muhammadiya Palembang). p12-3.
-
15. MacIntyre N.J., Bennett L., Bonnyman A.M., Stratford P.W. Optimizing reliability of digital inclinometer and flexicurve rulermeasures of spine curvatures in postmenopausalwomen with osteoporosis of the spine: an illustration of the use of generalizability theory. ISRN Rheumatology. 2011: p4.
-
16. Mirbagheri S., Rahmani-Rasa A., Farmani F., Amini P., Nikoo M. Evaluating kyphosis and lordosis in students by using a flexible ruler and their relationship with severity and frequency of thoracic and lumbar pain. Asian Spine J. 2015;9(3): p419-20.
-
17. Munawarah S., Segita R. Hubungan massa kerja dan sikap kerja terhadap timbulnya lbp pada penenun di pandai sikek. Jurnal Human Care. 2021;6(1): p71-2.
-
18. Sustiawati N.L., Arini A.K., Suci N., Armini L., Sukasih N. Pengetahuan seni tari bali. Denpasar, Bali. 2011. p:52-5.
-
19. Andini F. Risk factors of low back pain in workers. J Majority. 2015;4(1): p17.
-
20. Vitriana. Aspek anatomi dan biomekanik tulang lumbosakral dalam hubungannya dengan nyeri pinggang. 2001. p:47.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
doi:10.24843.MU.2022.V11.i5.P17
107
Discussion and feedback