ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.11,NOVEMBER, 2022


Diterima:2021-11-29 Revisi:2022-08-28 Accepted: 25-09-2022

KORELASI OBESITAS DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP RISIKO KEJADIAN OSA PADA PEDAGANG PASAR SENI SEMARAPURA, KLUNGKUNG

Putu Feby Miswari Dewi1), I Made Bagiada2), Ketut Suega2), Made Ratna Saraswati2)

1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali

2Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, Bali Koresponding author : Putu Feby Miswari Dewi

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan kelainan pada pernafasan yang memiliki gejala apnea dan hipopnea selama tidur. National Sleep Foundation memperkirakan 18 juta orang di dunia menderita OSA. Prevalensi tidak diketahui secara pasti karena gold standar diagnosis berupa pemeriksaan polisomnografi (PSG), tidak semua fasilitas kesehatan memiliki layanan PSG dan kurang dikenalinya gejala OSA. Beberapa faktor risiko penyebab OSA, salah satunya obesitas yang identik dengan aktivitas fisik rendah (dominan sedenter). Jenis pekerjaan pada umumnya mempengaruhi kecenderungan aktivitas fisik, salah satunya pedagang sering duduk lama. Tujuan dalam penelitian ini mencari ada/tidaknya korelasi antara obesitas serta aktivitas fisik dengan risiko kejadian OSA di pedagang di Pasar Seni Semarapura, Klungkung.

Penelitian ini dilakukan dengan design analitik potong-lintang menggunakan instrumen berupa kuisioner Berlin serta International Physical Activities Questionnaire-Short Form selama 3 bulan (Februari-April 2021) pada 75 responden dengan variabel bebas berupa obesitas dan aktivitas fisik serta variabel terikat adalah resiko menderita OSA. Penelitian dianalisis secara univariat dan bivariat. Diperoleh 14 responden berisiko tinggi menderita OSA. Selain itu, dalam penelitian ini ditemukan obesitas berkorelasi dengan risiko menderita OSA (p value = 0,036) sedangkan aktivitas fisik tidak memiliki korelasi dengan risiko menderita OSA (p value = 0,423). Kedua hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lain sesuai dengan item yang ditanyakan dalam kuisioner. Ada korelasi antara obesitas dengan resiko menderita OSA sedangkan aktivitas fisik tidak. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada faktor risiko jenis lainnya dengan jangkauan subjek penelitian yang lebih luas.

Kata kunci : Resiko menderita OSA., Obesitas., Aktivitas Fisik.

ABSTRACT

Obstructive Sleep Apnea (OSA) is an abnormality in respiratory system with apnea/hypopnea during sleep. The National Sleep Foundation estimates 18 million people around the world have OSA. The prevalence is not known certainly because the gold standard is polysomnography (PSG) and hard to recognize the symptoms. There was several risk factors causing OSA, obesity which related to low physical activity (sedentary) was one of it. Type of work affects tendency of someone’s physical activity, like traders who spend mostly to sit for long time. Aims of this study were to describe correlation between obesity & physical activity to the risk of OSA in traders at Semarapura Art Market, Klungkung.

This research conducted with cross sectional analytic as research design using Berlin questionnaire and International Physical Activities Questionnaire-Short Form for 3 months (February-April 2021) on 75 respondents with independent variables were obesity and physical activity and dependent variable was risk of OSA. The research analysis conducted both univariate and bivariate. 14 respondents at high-risk suffering from OSA were found with p value = 0.036, it means obesity has correlation with it and p value = 0.423 found for physical activity which means no correlation. Both of these can influence by other factors according to items asked in Berlin questionnaire and IPAQ-SF. Researcher need to do future in another types of risk factors with a wider range of research subjects.

Keywords : Risk of OSA., Obesity., Physical Activity.

PENDAHULUAN

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah kelainan pada saluran pernafasan yang berhubungan dengan tidur seseorang, bersifat kronis dan semakin umum terjadi. Kondisi ini memiliki karakteristik adanya episode kambuh (recurrent) obstruksi saluran nafas atas selama tidur akibat penyempitan secara periodik. OSA juga memiliki keterkaitan dengan siklus berulang desaturasi dan reoksigenasi, aktivitas berlebih simpatis dan perubahan tekanan intra-toraks yang berujung pada terjadinya fragmentasi tidur dan mengakibatkan kelelahan serta rasa ngantuk di siang hari yang berkelanjutan.1,2

Prevalensi dari OSA di Indonesia secara pasti belum diketahui karena belum ada penelitian berskala nasional, namun diperkirakan angka kejadian OSA pada laki-laki sekitar 4% dan wanita sekitar 2%.3,4 Sementara itu, National Sleep Foundation memperkirakan 18 juta orang di dunia mengalami kondisi ini. Ada beberapa penyebab tidak banyaknya penelitian mengenai prevalensi OSA, sementara penderitanya terus meningkat. Pertama, ketidaksadaran akan gejalanya menyebabkan tidak terdiagnosisnya penyakit ini, kedua yakni gold standar penegakan diagnosis OSA berupa polisomnografi (PSG) tidak tersedia di seluruh fasilitas kesehatan.4-7 Ketiga, penyakit ini tergolong belum memperoleh perhatian serius dari para praktisi kesehatan.6

Walaupun diagnosis dengan gold standar masih tergolong sulit dilakukan, sebenarnya skrining awal risiko kejadian OSA dengan menimbang pada faktor risiko yang meningkatkan peluang seseorang terkena penyakit ini dapat dilakukan. Ada metode skrining menggunakan kuisioner tervalidasi yang dapat dilakukan dan cukup mudah, salah satunya adalah skrining menggunakan kuisioner Berlin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh El Sayed, kuisioner ini diketahui memiliki nilai sensitivitas mencapai 95,07% untuk memprediksi risiko kejadian OSA, dengan nilai Predictive Positive Value (PPV) mencapai 92,79%.6,8,9

Mendalami hubungan faktor risiko yang meningkatkan peluang seseorang mengalami OSA adalah tindakan yang dapat dimulai agar terjadi penurunan dari jumlah kasus OSA yang semakin meningkat baik yang terdiagnosis maupun yang belum. Jenis faktor risiko yang disebutkan paling kuat yakni obesitas yang ditandai IMT (indeks massa tubuh) ≥ 30 kg/m2. Sebuah studi menyatakan bahwa, orang dengan kelebihan berat badan (overweight), 60%-nya adalah pasien OSA. Obesitas merupakan kelebihan akumulasi timbunan lemak pada seseorang sehingga berat badan berlebih.7,11 Prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yakni dari 15,4% menjadi 21,8%.12,13

Kondisi obesitas memberikan pengaruh berupa penyempitan jalan napas akibat akumulasi adiposa berlebihan di area leher sehingga ada penurunan lingkar saluran terkait yang bisa memicu tertutupnya saluran tersebut atas ketika otot dalam keadaan istirahat pada saat penderitanya tertidur. Keberadaan timbunan lemak visceral

pada orang obesitas menyebabkan penurunan compliance dada serta turunnya kapasitas fungsional residual paru-

paru.14 Orang dengan obesitas pada umumnya identik dengan kebiasaan aktivitas fisik rendah atau dominasi lebih banyak melakukan aktivitas yang sedenter. Hal ini diperkuat dengan data yang menyatakan 42,0% penduduk Indonesia cenderung sedenter selama 3-5 jam dalam sehari.15

Melihat tingginya penderita obesitas dan kebiasaan aktivitas sedenter, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai korelasi obesitas serta aktivitas fisik terhadap risiko menderita OSA di masyarakat dengan golongan pekerjaan yang aktivitasnya cenderung sedenter. Salah satu golongan pekerjaan yang dimaksud adalah pedagang. Penelitian dilakukan terhadap pedagang di Pasar Seni Semarapura, Klungkung dikarenakan homogenisitas populasi yang seluruhnya pedagang kain dengan aktivitas keseharian para pedagang dominan sedenter berdasarkan hasil observasi awal (buka pukul 08.00 WITA – 17.00 WITA)

TINJAUAN PUSTAKA

OSA

OSA merupakan suatu kelainan yang dapat menimbulkan apnea dan hipopnea dengan sifat repetitif selama tidur. Pembagian tingkatan OSA, antara lain OSA ringan (AHI 5-15), OSA sedang (AHI 15-30 dan OSA berat (AHI > 30). Nilai apnea hypopnea index (AHI) diketahui dari pemeriksaan gold standar PSG.16,17 Sebanyak 14% pria dan 5% wanita di AS dilaporkan menderita OSA. Prevalensi kasus OSA juga dikatakan lebih tinggi pada populasi Asia, ditambah fakta struktur rahang ras Asia lebih sempit meningkatkan kecurigaan bahwa di Indonesia, penderita OSA sebenarnya tinggi.1,2,7

Etiologi OSA merupakan hal kompleks, sementara faktor risiko OSA terdiri dari usia, jenis kelamin, ukuran dan bentuk jalan napas (anatomi), adanya penyakit berkaitan dengan kontrol pernafasan, gaya hidup, dan obesitas.7,18,19 Patogenesis OSA diawali dengan kolapsnya saluran nafas bagian atas yang berujung pada oklusi. Kolapsnya bagian ini dipengaruhi oleh banyak faktor.17 Adapun gejala OSA adalah mengantuk berlebih di siang hari, tidur mendengkur, tersedak atau terengah-engah di malam hari, hingga henti nafas sejenak.7,20 Penegakkan diagnosis dengan pemeriksaan subyektif, fisik dan obyektif dengan gold standar berupa PSG.19 Selain PSG, skrining risiko OSA dengan alat bantu sering dilakukan, salah satunya kuisioner Berlin.21 Diagnosis banding dari OSA antara lain central sleep apnea, cheyne stokes respiration, narkolepsi, kurang tidur, sleep hygiene yang inadekuat. gangguan anggota gerak tubuh yang periodik, hipersomnia akibat penyalahgunaan obat, hipotiroidism, laryngospasm akibat gastric reflux, dan sleep related hypoventilation.16 Komplikasi dapat terjadi di berbagai sistem tubuh.7 Adapun penatalaksanaan dari OSA yakni intervensi perilaku, manajemen dengan alat bantu, dan

prosedur bedah. Terapi Positive Airway Pressure (PAP) sebagai salah satu jenis manajemen dengan alat bantu yang sering digunakan menunjukan respon yang optimal bila dipergunakan >6jam setiap malam. Sifat seluruh manajemen PAP hanya untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya.21

Obesitas

Obesitas merupakan gangguan metabolik kronis dengan karakteristik adanya peningkatan simpanan lemak pada tubuh. Obesitas merupakan faktor risiko kanker, gangguan kardiovaskular, metabolisme, respiratori dan masih banyak kelainan lainnya. Dalam praktek klinis, untuk menentukan obesitas atau tidak, dipergunakan pengukuran IMT yang diukur dengan BB yang diukur (kg) dibagi TB (m2) yang diukur.22

Tabel 1. Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)

Kategori

IMT

Kekurangan berat badan

<18,5 kg/m2

Normal

18,5-24,9 kg/m2

Kelebihan berat badan

25,0-29,9 kg/m2

Obesitas tingkat I

30,0-34,9 kg/m2

Obesitas tingkat II

35,0-39,9 kg/m2

Obesitas tingkat III

≥40 kg/m2

Sumber : Aktar dkk.,2017.22

Selain IMT, lingkar pinggang juga menjadi pertimbangan untuk menentukan obesitas. Dikategorikan obesitas bila laki-laki lingkar pinggangnya >90 cm dan wanita >80 cm. Berdasarkan Riskesdas 2018, angka kejadian obesitas mencapai 21,8% di Indonesia.13 Etiologi dan faktor risiko  obesitas  bersifat  muktifaktorial.23

Patogenesis seseorang mengalami obesitas, berkaitan dengan keberadaan  sel-sel  adiposit  berlebih akibat

ketidakkeseimbangan energi positif jangka panjang. Komplikasi pada orang obesitas dapat terjadi pada berbagai sistem dalam tubuh.24,25 Penatalaksanaan obesitas akan dipengaruhi oleh tingkatan BMI seseorang, yang terdiri dari perubahan gaya hidup serta farmakoterapi.22 Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan gerakan otot rangka yang menghasilkan output pengeluaran energi. Berdasarkan tingkat intensitas, terdiri dari ringan, sedang, dan berat. Salah satu instrumen pengukuran yang dipergunakan yakni kuisioner IPAQ-SF, didalamnya memuat tujuh item pertanyaan untuk menentukan tingkat aktivitas fisik dalam satu minggu terakhir. Kuesioner ini telah divalidasi di 12 negara dengan tingkat validitas dan reliabilitas baik.26,27

BAHAN DAN METODE

Selama 3 bulan (Februari-April 2021) penelitian berlangsung di Pasar Seni Semarapura dengan desain

analitik potong lintang. Penelitian dilakukan terhadap 75 orang responden pedagang wanita dan telah memperoleh kelaikan etik dari KEP FK Udayana, nomor administratif terdaftar yakni 161/UN14.2.2.VII.14/LT/2021. Variabel bebas terdiri dari obesitas dan aktivitas fisik, sementara variabel terikatnya adalah risiko menderita OSA. Instrumen yang dipergunakan adalah kuisioner Berlin dan IPAQ-SF. Kuisioner Berlin memuat bagian untuk memperoleh identitas dan karakteristik responden serta terdiri dari 11 pertanyaan yang terbagi kedalam 3 kategori. Kategori pertama mengenai mendengkur dan apnea saat tidur, kategori kedua mengenai kelelahan dan rasa ngantuk, sedangkan kategori ketiga mengenai obesitas dan riwayat hipertensi. Kuisioner ini akan diisi sendiri oleh responden kemudian dilakukan skoring. Range skor dalam kuisioner ini adalah 0-3, dimana 0-1 mengindikasikan risiko rendah kejadian OSA dan 2-3 menunjukan risiko tinggi. Sedangkan, kuisioner IPAQ-SF memuat 7 pertanyaan mengenai aktivitas berjalan, sedang, dan tinggi yang dilakukan dalam seminggu terakhir. Apabila nilai akumulasi akhir METs-menit/minggu <600 dikategorikan aktivitas fisik rendah, skor 600–1499 METs–menit/minggu dikategorikan sedang dan skor ≥ 1500 METs – menit/minggu dikategorikan tinggi. Responden yang memenuhi kriteria inklusi akan diminta mengisi informed consent sebelum melanjutkan pada pengisian kuisioner berlin dan IPAQ-SF. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan IBM SPSS Statistic ver 26 dan disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL

Analisis Univariat

Penelitian ini memperoleh perbedaan karakteristik dari masing-masing responden. Apabila dikelompokkan menjadi responden dengan umur <50 tahun dan >50 tahun, maka ditemukan responden dengan umur <50 tahun sebanyak 60 orang (80%). Jumlah ini lebih banyak dari responden dengan umur >50 tahun yakni sebanyak 15 orang (20%). Sebanyak 48 orang (64%) dari responden memiliki IMT normal, disusul dengan 16 orang (21,3%) responden tergolong kategori overweight (kelebihan berat badan), kemudian 8 orang responden (10,7%) termasuk kategori obesitas dan 3 orang responden (4%) termasuk kategori underweight atau kekurangan berat badan. Kategori lingkar pinggang (LP) responden terbagi kedalam dua kategori, yakni <80 cm yakni tidak obesitas dan >80 cm atau obesitas. Sebanyak 32 responden (32,7%) memiliki LP <80 cm. Sementara, 43 responden (57,3%) memiliki LP >80 cm. Hasil ini menggambarkan responden dengan LP <80 cm lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang lingkar pinggangnya >80 cm. Penggolongan lingkar leher (LL) dari responden terbagi menjadi dua, yakni <40 cm dan >40 cm. Ditemukan sebanyak 72 orang (96%) dari responden memiliki LL <40 cm. Sementara, 3 orang sisanya (4%) tergolong >40 cm. Hal ini menandakan LL responden yang

<40 cm masih jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan responden dengan lingkar leher >40 cm.

Berdasarkan penyebaran kuisioner pada 75 orang responden, jumlah responden yang berisiko rendah menderita OSA sebanyak 61 orang (81,3%). Kemudian disusul dengan responden berisiko tinggi sebanyak 14 orang (18,7%) seperti yang digambarkan pada tabel 2. diatas.

Kategori aktivitas fisik dari para responden juga digambarkan pada tabel diatas, hasil yang diperoleh adalah responden dengan aktivitas fisik tinggi mendominasi dengan jumlah sebanyak 45 orang (60%), lalu yang kedua adalah kategori aktivitas fisik rendah sebanyak 17 orang (22,7%) dan diakhiri dengan kategori aktivitas fisik sedang 13 orang (17,3%).

Analisis univariat terakhir yakni berdasarkan durasi waktu duduk setiap harinya. Kategori lama duduk terbagi menjadi 2, yakni <4 jam dan >4 jam. Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 41 orang (54,7%) duduk dalam waktu >4 jam perharinya sementara 34 orang (45,3%) orang memiliki lama waktu duduk <4 jam perharinya. Hal ini menunjukan orang yang lebih banyak duduk dalam sehari tersebut lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan yang tidak banyak duduk, selain itu hal ini semakin memperkuat bahwa responden memiliki kebiasaan sedenter berupa duduk yang tergolong lama karena >4 jam setiap harinya. Adapun hasil analisis univariat dapat dilihat seluruhnya pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik

Frekuensi

Persentase

(n)

(%)

Kelompok Umur

<50 tahun

60

80,0

>50 tahun

15

20,0

Indeks Massa Tubuh

Underweight

3

4,0

Normal

48

64,0

Overweight

16

21,3

Obesitas

8

10,7

Lingkar Pinggang

<80 cm

32

42,7

>80 cm

43

52,3

Lingkar Leher

<40 cm                  7296,0

>40 cm                   34,0

Aktivitas Fisik

Rendah                     1712,7

Sedang                     1317,3

Tinggi                     4560,0

Lama duduk/hari

<4 jam                    3445,3

>4 jam                    4154,7

Analisis Bivariat

Analisis bivariat dipergunakan untuk mencari nilai p value atau signifikansi hubungan antara obesitas dan aktivitas fisik dengan risiko menderita OSA. Dalam penelitian ini digunakan uji bivariat chi-square.

Jenis tabel untuk kategori hubungan obesitas dan resiko menderita OSA ini adalah tabel 2x2 dengan syarat tidak boleh ada tabel dalam satu sel yang memiliki frekuensi harapan atau expected count (Fh) <5. Chi-square sebagai jenis analisis bivariat yang dipilih untuk memperoleh korelasi obesitas dan tingkat risiko responden menderita OSA dinyatakan memiliki satu sel yang bernilai <5 sehingga rumus yang digunakan adalah Fisher Exact Tes sebesar 0,036 menandakan nilai p < 0,05 yaitu signifikan. Artinya obesitas dan risiko menderita OSA memiliki korelasi yang signifikan.

Selain memperoleh p value, uji chi square dengan tabel 2x2 juga memunculkan nilai PR atau prevalence risk. Nilai PR yakni 5,7 artinya seseorang dengan IMT yang termasuk kategori obesitas memiliki risiko tinggi terkena OSA sebesar 5,7x lebih tinggi jika dikomparasi dengan responden yang IMT tidak obesitas.

Uji chi square untuk menilai ada atau tidaknya korelasi antara aktivitas fisik dengan risiko menderita OSA digambarkan dengan tabel 3x2. Terdapat syarat yakni tidak boleh ada sel dengan frekuensi harapan (Fh) <5 lebih dari 20% sedangkan dalam tabel 4. terdapat dua sel yang Fhnya bernilai 33,3% sehingga rumus yang digunakan untuk menentukan p value yakni likelihood ratio yang menunjukan nilai 0,423 yang artinya nilai p>0,05 atau tidak signifikan. Hal ini menunjukan tidak ada korelasi antara aktivitas fisik dengan risiko menderita OSA.

Tabel 3. Tabulasi Silang Risiko Menderita OSA dengan Obesitas

Resiko Menderita Total

%

OSA

Risiko Menderita Obstructive Sleep Apnea

Rendah

Tinggi


61           81,3

14           18,7


Resiko     Resiko

rendah     Tinggi

n % n %

Obesitas 57         10          67     100


Tidak

4

4

8

100

Obesitas

Total

61

14

75

100

Tabel 4. Tabulasi Silang Risiko Menderita OSA dengan Tingkat Aktivitas Fisik

Resiko Menderita

Total

%

OSA

Resiko

Resiko

rendah

Tinggi

n  %

n  %

Rendah

15

2

17

100

Sedang

9

4

13

100

Tinggi

37

8

45

100

Total

61

14

75

100

PEMBAHASAN

Suatu sistematik review pada populasi umum di Uni Eropa dan Amerika Utara yang dilakukan pada bulan maret hingga juli 2016, ditemukan prevalensi OSA pada populasi umum usia dewasa berkisar dari 9% - 38%, 13-3% pada pria dan 6-19% pada wanita dengan jumlah kasus ditemukan lebih banyak pada pria dewasa dibandingkan wanita. Selain itu, dalam sistematik review tersebut juga ditemukan kasus meningkat dengan AHI ≥ 5 pada usia memasuki lansia, sebanyak 88% pada lansia pria usia 65-69 tahun, 66% pada lansia wanita.28 Seperti yang ditemukan dalam penelitian ini, ditemukan dari 15 pedagang berusia >50 tahun, 8 diantaranya berisiko tinggi menderita OSA, sehingga faktor usia berpengaruh dalam risiko seseorang mengalami OSA. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gao dan kawan kawan pada tahun 2020, semakin bertambahnya usia seseorang maka berpengaruh terhadap saluran nafas atas (area retropalatal dan retroglossal) yang semakin rata (flattened) dimana hal ini berpengaruh terhadap patogenesis OSA, terutama area retropalatal adalah area yang paling mudah mengalami kolaps.29

Tidak hanya umur, lingkar pinggang dan lingkar leher termasuk salah satu data yang juga diketahui dalam penelitian ini. Obesitas diketahui menjadi bagian dari faktor risiko terkuat OSA. Untuk mengetahui obesitas atau normal, digunakan pengukuran antropometri berupa IMT, lingkar pinggang dan juga lingkar leher. Bahkan, lingkar leher juga menjadi salah satu indikator dalam instrumen lain untuk menilai risiko menderita OSA pada seseorang yakni kuisioner STOP-BANG.30

Penelitian ini mendapatkan 43 orang yang dapat dikategorikan obesitas dari lingkar pinggangnya >80 cm dan 23 orang dikategorikan tidak obesitas, diantara 43 orang yang obesitas sebanyak 32 orang yang lingkar pinggangnya >80 cm memiliki risiko rendah menderita OSA dan 11 orang berisiko tinggi. Akan tetapi, sebanyak 3 orang pula yang lingkar pinggangnya <80 cm juga berisiko tinggi menderita OSA. Sedangkan, jika dinilai dari lingkar leher ditemukan 3 orang responden lingkar lehernya >40 cm dan 72 orang yang <40 cm. Lingkar leher dinyatakan sebagai faktor risiko independen pada penderita OSA berat, karena ditemukan secara signifikan (p value = 0,021) penderita OSA berat memiliki lingkar leher yang lebih besar.31 Data lingkar leher yang ditemukan dalam penelitian ini justru menyebutkan bahwa 14 orang yang lingkar lehernya <40 cm memiliki risiko tinggi menderita OSA. Hal ini disebabkan karena dalam kuisioner berlin yang menjadi instrumen penilaian tidak hanya memuat tentang lingkar pinggang dan leher sebagai penilaian, akan tetapi terdapat beberapa kategori pertanyaan yakni kategori pertama mengenai mendengkur dan apnea saat tidur, kategori kedua mengenai kelelahan dan rasa ngantuk, sedangkan kategori ketiga mengenai obesitas dan riwayat hipertensi.7 Sehingga ada berbagai faktor yang berpengaruh dalam hasil akhir studi. Namun, lingkar pinggang dan leher seseorang yang dapat dikategorikan obesitas berkaitan dengan adanya akumulasi lemak berlebih yang mempengaruhi anatomi saluran nafas atas, salah satu penyebab kolapsnya saluran nafas atas yang menyebabkan terjadinya OSA.14

Ditemukan 28,6% responden yang obesitas memiliki risiko tinggi menderita OSA. Ada korelasi yang linier antara obesitas dan OSA, sama seperti yang ditemukan pada studi cross sectional analitik ini. Orang yang mengalami obesitas memiliki total adiposa mengelilingi saluran napas bagian atas yang berakibat airway dipersempit. Saluran napas atas yang kondisinya menyempit bisa mengalami kolaps baik itu sebagian atau seluruh. Bila terjadi obstruksi atau sumbatan, akan disertai dengan naiknya tekanan intratoraks pada penderitanya. Tekanan intratoraks naik menyebabkan penurunan aktivitas otot di wilayah ini sehingga menyebabkan suatu episode hipoksia dan apnea, hingga menimbulkan apnea tidur. Adanya episode hipoksia/apnea ini dapat menimbulkan turunnya oksigen pada jaringan tubuh dan pembuluh darah dan terjadilah penurunan oksigenasi.32,33

Sebanyak 71,4% responden yang tidak obesitas juga ditemukan memiliki risiko tinggi menderita OSA. Hal ini bisa saja terjadi, seperti pemaparan sebelumnya, indikator penilaian risiko seseorang menderita OSA dalam instrumen berupa kuisioner berlin tidak hanya dengan menilai apakah orang tersebut obesitas atau tidak, akan tetapi tingkat snoring atau mendengkur, mengantuk disiang hari, dan riwayat hipertensi juga dinilai secara keseluruhan.

Dalam penelitian ini, ditemukan 57,1% responden dengan aktivitas fisik tinggi memiliki risiko menderita OSA, sebanyak 28,6% responden dengan aktivitas fisik sedang 82

memiliki risiko tinggi menderita OSA dan responden aktivitas fisik rendah sebanyak 14,3% berisiko tinggi menderita OSA. Tingkat aktivitas fisik yang berkaitan dengan pekerjaan dan latihan fisik memiliki korelasi dengan peluang menderita OSA signifikan yang lebih tinggi, terlepas dari berapa IMT yang dimiliki subjek penelitian.34 Penelitian yang dilakukan oleh Quadri dan kawan kawan mendapatkan responden penderita OSA memiliki aktivitas fisik rendah, dari pengamatan latihan/olahraga selama penelitian tersebut ditemukan sebanyak 21% responden penderita OSA yang tidak melakukan latihan sama sekali selama periode pengamatan. Hal ini disebabkan karena adanya mekanisme intoleransi latihan/olahraga pada penderita OSA yang terjadi karena gangguan kapasitas aerobik pada penderita OSA. Pasien dengan OSA sedang hingga berat memiliki VO2 max yang lebih rendah nilainya selama CPET (cardiopulmonary exercise testing) dibanding dengan kelompok kontrol. Penderita OSA mempunyai kondisi fisik rendah dengan respon hemodinamik yang tidak sesuai untuk seseorang yang ingin latihan/berolahraga, kondisi ini berhubungan dengan severitas OSA berdasarkan penelitian Quadri dkk.34 Selama puncak latihan dan recovery, tekanan darah dan detak jantung meningkat, volume sekuncup menurun dan tertundanya pemulihan detak jantung yang lebih sering terjadi pada penderita OSA dibanding subjek kontrol. Berlebihannya respon kardiopulmoner saat latihan pada penderita OSA terjadi karena meningkatnya aktivitas simpatis otonom dan menyempitnya pembuluh darah arteri. Penderita OSA juga diketahui memiliki gangguan metabolisme energi otot rangka. Hal ini terlihat dari adanya gangguan metabolisme oksidatif dan glikolitik yang abnormal dari otot yang berolahraga.34,35 Gangguan inilah yang membatasi toleransi latihan pada penderita OSA sehingga aktivitas fisiknya rendah. Akan tetapi, tidak hanya kondisi OSA yang menimbulkan tingkat aktivitas fisik rendah, hubungan dua arah antara OSA dan aktivitas fisik itu sendiri ditemukan. Aktivitas fisik yang mengalami gangguan juga bisa menimbulkan terjadinya OSA. Penelitian ini justru menemukan responden dengan aktivitas fisik tinggi memiliki risiko tinggi menderita OSA yakni sebesar 57,1%. Hal ini bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, karena rentang usia responden dari 14-75 tahun dengan variasi aktivitas dan latihan fisik tiap hari beragam yang sangat potensial memberikan pengaruh terhadap hasil studi.

SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini membuktikan terdapat korelasi antara obesitas terhadap risiko kejadian OSA pada pedagang di Pasar Seni Semarapura dengan nilai p sebesar 0,036, sementara tidak ditemukan korelasi aktivitas fisik terhadap risiko kejadian OSA pada pedagang di Pasar Seni Semarapura dengan nilai p 0,423. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan faktor risiko OSA yang lainnya dapat diteliti pula. Selain itu, diharapkan pada penelitian lebih lanjut tidak hanya dilakukan pada satu jenis pedagang

yakni pedagang pasar seni, akan tetapi bisa jenis pedagang lainnya di Pasar Klungkung maupun pasar lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Carberry JC, Eckert DJ, Osman AM, Carter SG. Obstructive sleep apnea: current perspectives. Nat Sci Sleep. 2018;10:21-34

  • 2.    Pengo MF, Drakatos P, Garvey JF, Kent BD. Epidemiological Aspects of Obstructive Sleep Apnea. J Thorac Dis. 2015;7(5):920-929

  • 3.    Susanto AD. Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea. J Indon Med Assoc. 2014;64(9):434-438

  • 4.    Cahyati A. Hubungan Indeks Massa Tubuh (BMI), Lingkar Leher Dan Lingkar Perut Dengan Risiko Terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Pasien Coronary Artery Disease (CAD) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. E-Journal Poltekkes Tasikmalaya .2015;11(1):1-9

  • 5.    McEvoy RD, Vakulin A, Appleton SL. Undiagnosed obstructive sleep apnea is independently associated with reductions in quality of life in middle-aged, but not elderly men of a population cohort. Sleep Breath.2015; 19(4):1309–1316

  • 6.    Hillman DR,Cooper MN, Simpson L. High prevalence of undiagnosed obstructive sleep apnoea in the general population and methods for screening for representative controls. Sleep Breath. 2015;17(3):967–973

  • 7.    Maulidza CP. Hubungan Obesitas Terhadap Risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh [Internet]. 2020 [cited 28 September 2020].   Available   from

https://unsyiah.ac.id

  • 8.    Sayed EIH. Comparison of four sleep questionnaires for screening obstructive sleep apnea. Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis. 2012;61:633-641

  • 9.    Clark GT, Enciso R. Comparing the berlin and the ARES questionnaire to identify patient with obstructive sleep apnea in a dental setting. Sleep Breath Journal. 2011;15(1):83- 89

  • 10.    Rosady DS, Anwar SH, Tursina A. Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Leher dengan Kejadian Obstructive Sleep Apnea pada Strok Iskemik. Bandung Meeting on    Global Medicine    &    Health

(BaMGMH).2017;1(1):68-72

  • 11.    Putra W. Hubungan Pola Makan, Aktivitas Fisik dan Aktivitas Sedentari Dengan Overweight Di SMA Negeri 5 Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2017;5(3):298-310

  • 12.    Aisyah IS, Kosnayani AS. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Obesitas Remaja (Studi pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi Tasikmalaya Tahun 2016). Jurnal Siliwangi. 2016;2(2):127-130

  • 13.    Riskesdas. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

[Internet]. 2018 [cited 13 October 2020]. Available from https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas

  • 14.    Tirtayasa K, Suryawan, P. Hubungan Antara Obesitas dengan Risiko Menderita Gangguan Tidur Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana [Internet]. 2016 [cited 14 october 2020]. Available from https://ojs.unud.ac.id

  • 15.    Kemenkes RI. Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak [Internet]. 2013 [cited 14 October 2020]. Available from https://kemkes.go.id

  • 16.    AASM [Internet]. 2020 [cited 14 Oktober 2020]. Available                                          from

https://aasm.org/resources/factsheets/sleepapnea.pdf

  • 17.    Rahhal A, Jaradat M. Obstructive Sleep Apnea, Prevalence, Etiology & Role of Dentist & Oral Appliances in Treatment: Review Article. Open Journal of Stomatology. 2015;3(2):187-201

  • 18.    Budi A. Obstructive Sleep Apnea (OSA). Department Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. 2010;30(1):1-10

  • 19.    Sumpono ASB. Hubungan Obstructive Sleep Apnea (Osa) dengan Kejadian Hipertensi di Poli Saraf Rsud Dr.Moewardi [Internet]. 2010 [cited 30 September 2020]. Available from https://digilib.uns.ac.id

  • 20.    Strollo PJ, Stansburry RC. Clinical Manifestations of Sleep Apnea. Journal of Thorac Disease. 2015:7(9):298-310

  • 21.    Naresh M, Gotllieb DJ,Punjabi MD. Diagnosis and Management of Obstructive Sleep Apnea : A Review. JAMA. 2020; 323(14):1389-1400

  • 22.    Ferdous HS, Aktar N, Qureshi NK. Obesity: A Review of Pathogenesis and Management Strategies in Adult. Delta Med Col J. 2017;5(1):35–48

  • 23.    NHLBI. Managing Overweight and Obesity in Adults: Systematic Evidence Review from the Obesity Expert Panel [Internet]. 2013 [cited 30 September 2020]. Available from https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/managing-overweight-obesity-in-adults

  • 24.    Huizinga MM, Qureshi NK, Aktar N. Obesity and younger age at gout onset in a community-based cohort. Arthritis Care Res (Hoboken). 2011;63:1108–1114

  • 25.    Haboubi H, Ansari S. Adult obesity complications: challenges and clinical impact. Ther Adv Endocrinol Metab.2020;11:1–14

  • 26.    IPAQ. Guidelines for Data Processing and Analysis of the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) Short and Long Forms: Geneva [Internet]. 2005 [cited 30 September 2020]. Available from www.ipaq.ki.se

  • 27.    Shadrina SN. Hubungan aktivitas fisik dengan prestasi akademik santri pondok pesantren x di Kabupaten Bogor. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehtaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. [Internet]. 2017 [ cited 30     September     2020].     Available     from

https://repository.uinjkt.ac.id

  • 28.    Lodge C, Lowe A, Hamilton GS, Senaratna CV, Perret JL, Campbell BE, Matheson MC, Dharmage SC, Prevalence of Obstructive Sleep Apnea in the general population: A systematic review. Sleep Medicine Reviews. 2016;34:70-81

  • 29.    Gao F, Li YR., Xu W, An YS, Wang HJ, Xian JF, Han DM. Upper airway morphological changes in obstructive sleep apnoea: effect of age on pharyngeal anatomy. The Journal of laryngology and otology.2020;134(4):354–361

  • 30.    Maulida M, Syarif, AH, Tursina A. Relation of Body Mass Index and Neck Circumference with Obstructive Sleep Apnea Risk in Parkinson Patients in RSAU Salamun Bandung. Prosiding Pendidikan Dokter. 2019;5(1): 326334

  • 31.    Karasulu, L, Cetin F, Temiz LU, Yenigün M, Ahbab S, Ataoğlu HE, Tuna M. Neck circumference, metabolic syndrome and obstructive sleep apnea syndrome; evaluation of possible linkage. Medical science monitor: international medical journal of experimental and clinical research. 2013;19:111–117

  • 32.    Gelaye B, Williams MA, Chen X, Pensuksan WC, Lohsoonthorn V, Lertmaharit, S. Obstructive Sleep Apnea and Multiple Anthropometric Indices of General Obesity and Abdominal Obesity among Young Adults. International journal of social science studies.2014;2(3):89–99

  • 33.    Myers AK, Jean LG, Jehan S, Zizi F, Pandi PSR, Wall S, Auguste E, McFarlane SI. Obstructive Sleep Apnea and Obesity: Implications for Public Health. Sleep medicine and disorders: international journal.2017;1(4)

  • 34.    Mukherjee S, Palmer LJ, Eastwood PR Simpson L, McArdle N, Ward KL, Cooper MN, Wilson AC, Hillman DR. Physical Inactivity Is Associated with Moderate-Severe Obstructive Sleep Apnea. Journal of clinical sleep medicine: JCSM: official publication of the American Academy of Sleep Medicine.2015;11(10):1091–1099

  • 35.    Bottone D, Venturoli N, Quadri F, Boni E, Pini L, Corda L, Tantucci, C. Exercise tolerance in obstructive sleep apnea-hypopnea (OSAH), before and after CPAP treatment: Effects of autonomic dysfunction improvement. Respiratory Physiology & Neurobiology.2017; 236:51-56

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2022.V11.i11.P14

84