ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 10 NO.9,SEPTEMBER, 2021


Diterima: 2020-12-30 Revisi: 2021-04-16 Accepted: 12-09-2021

KORELASI KADAR GULA DARAH PLASMA DENGAN NILAI HBA1C PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI

Benny Supono1, I Wayan Putu Sutirta Yasa2

1Progam Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2 Departemen Patologi Klinis, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Bali

[email protected]

ABSTRAK

Peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus terjadi tiap tahun dan in terjadi di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan jumlah pasien diabetes terbanyak. Indonesia menempati peringkat ke tujuh dengan jumlah 10 juta pasien diabetes mellitus di tahun 2015 dan diperkirakan akan tetap terjadi peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus pada tiap tahunnya. Diabetes dapat menyebabkan komplikasi yang beragam dari yang ringan sampai yang berat bila pasien tidak melakukan penatalaksanaan yang baik. Pemeriksaan gula darah plasma tidak cukup untuk memandu penatalaksanaan pada pasien karena tidak bisa memberikan gambaran dua sampai tiga bulan yang lalu sehingga diperlukan pemeriksaan HbA1c untuk memandu penatalaksanaan pasien dengan diabetes mellitus. Tujuan penelitian ini untuk melihat korelasi antara tingkat gula darah plasma dengan tingkat HbA1c pada pasien diabetes mellitus. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Data didapatkan dari rekam medis pasien RSUP Sanglah dari Februari 2016 sampai Oktober 2016. Hasil penelitian mendapatkan korelasi yang signifikan antara gula darah plasma puasa dengan HbA1c dengan nilai korelasi(r) sebesar 0,603. Korelasi yang signifikan juga didapatkan antara gula darah plasma 2 jam postprandial dengan HbA1c dengan nilai korelasi (r) sebesar 0,517. Dapat di simpulkan bahwa semakin tinggi tingkat gula darah plasma berhubungan dengan semakin tinggi tingkat HbA1c, jika terdapat perbedaan maka bisa dijadikan sebagai dasar dalam evaluasi penatalaksanaan pada pasien.

Kata Kunci: Diabetes Mellitus, Gula darah plasma, Gula darah Puasa, Gula darah 2 jam postprandial, HbA1c

ABSTRACT

The number of people who suffer diabetes mellitus is increasing every year in every country in the world. Indonesia is one of top ten countries for number of people with diabetes. Indonesia is ranked 7th with total 10 million diabetes mellitus patient in 2015. In future, it estimated that the number of persons with diabetes mellitus in Indonesia will increase. Diabetes can make many complications from mild condition until severe conditions. It could happen if management is not implemented properly. Plasma glucose test are not enough to guide the management of patients because it cannot give a description of two to three months ago so HbA1c is necessary to guide the management of patients with diabetes mellitus. this study aims to find out and identified how the correlation between plasma glucose and HbA1c in patient with diabetes mellitus in Sanglah hospital. This type of study is analytical study with cross-sectional design. This study uses data from the medical records of patient with diabetes mellitus at Sanglah hospital from March 2016 until October 2016. The results of a study reported a significant correlation between fasting plasma glucose with HbA1c values of correlation (r) 0.603. A significant correlation was also found between 2 hours postprandial plasma glucose with HbA1c values of correlation (r) of 0.517. It can be concluded that the higher of the plasma glucose levels associated with higher of HbA1c levels, if there is a difference then can be used as a basis for evaluating the management of patients.

Keywords: Diabetes Mellitus, Plasma Glucose, Fasting Plasma Glucose, 2 hours Postprandial Plasma Glucose, HbA1c

korelasi kadar gula darah plasma dengan nilai hba1c pada pasien diabetes mellitus.., Benny Supono1, I Wayan Putu Sutirta Yasa2

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) secara konstan yang disebabkan oleh disregulasi karbohidrat dan lemak.1 Prevalensi penderita diabetes mellitus terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data survei epidemiologi global, wilayah Pasifik Barat (termasuk Cina, Polinesia, Indonesia, Korea Selatan, dan Taiwan) memiliki penderita diabetes mellitus terbanyak di dunia, mencapai 153 juta atau sekitar 36.9% dari semua penderita diabetes mellitus di dunia.2

Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak. Indonesia menempati urutan ketujuh dengan total penderita diabetes mellitus mencapai 10 juta pasien pada tahun 2015 dimana jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah di masa mendatang. Hingga saat ini, studi melaporkan masih terdapat 29 juta orang di Indonesia mengalami gangguan toleransi glukosa yang berisiko mengalami diabetes mellitus.2

Terdapat beberapa kriteria diagnosis diabetes mellitus berdasarkan American Diabetes Association (ADA) tahun 2015 yang juga digunakan di Indonesia. Kriteria tersebut meliputi: glua darah puasa (GDP) 126 mg/dL (7,0 mmol/L) atau gula darah 2 jam post prandial (GD2PP) 200 mg/dL (11,1 mmol/L) setelah menjalani Tes Toleransi Glukosa Oral (OGTT). Tes OGTT terstandar sebaiknya menggunakan asupan glukosa yang mengandung setara dengan 75 g glukosa anhidrat yang dilarutkan dalam air. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik, glukosa plasma acak 200 mg/dL (11,1 mmol/L) juga dapat digunakan sebagai kriteria penegakkan diagnosis diabetes mellitus.3

Di Indonesia, kadar glukosa plasma digunakan secara luas sebagai alat diagnosis standar untuk menegakkan diagnosis pasien diabetes mellitus. Di sisi lain, nilai HbA1c seringkali digunakan untuk menilai respon terapi dan keberhasilan kontrol gula darah. Terdapat banyak komplikasi yang disebabkan oleh diabetes mellitus dimana nilai HbA1c dapat memprediksi komplikasi. Oleh karena itu, nilai HbA1c penting untuk manajemen. HbA1c dapat memberikan gambaran klinis tentang kadar glukosa dalam tiga bulan terakhir. Namun, pemeriksaan HbA1c tidak selalu tersedia terutama pada daerah pedalaman dan terpencil. Kadar glukosa plasma dapat dikonversi menjadi nilai HbA1c menggunakan standar konversi berdasarkan ADA yang digunakan secara internasional.

Oleh karena itu, korelasi glukosa plasma darah dan HbA1c sangatlah bermanfaat dalam penegakkan diagnosis dan tatalaksana diabetes mellitus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi korelasi antara glukosa darah plasma dan HbA1c pada pasien diabetes mellitus di RSUP Sanglah.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross-sectional. Penelitian

dilakukan pada bulan Agustus 2016 sampai dengan Oktober 2016. Data didapatkan dari rekam medis pasien diabetes melitus di RSUP Sanglah. Data yang diambil dari pasien adalah kadar glukosa plasma puasa, kadar glukosa plasma 2 jam postprandial, dan kadar HbA1c. Penelitian ini telah memperoleh izin etik dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar dengan nomor izin kelayakan etik No.1797/UN.14.2/Litbang/2016.

Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih menggunakan metode consecutive sampling. Kriteria inklusi dalam pengambilan sampel ini adalah pasien diabetes melitus yang telah dirawat selama 3 bulan atau lebih dan kriteria eksklusi penelitian ini adalah sampel yang tidak memiliki data lengkap glukosa plasma puasa, glukosa plasma 2 jam postprandial dan HbA1c. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis menggunakan perangkat lunak Statistical Package for the Social Sciences (SPSS®) versi 20 untuk Windows. Normalitas distribusi data dinilai menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Korelasi kadar glukosa plasma dan nilai HbA1c dianalisa menggunakan uji Spearman karena data yang ada tidak berdistribusi normal.

HASIL

Terdapat total 77 pasien diabetes mellitus yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada penelitian ini. Rerata usia sampel adalah 56.75 ± 9.98 tahun dengan usia termuda adalah 33 tahun dan usia tertua adalah 77 tahun. Sebagian besar subjek berusia 51-60 tahun (39,0%) dan berjenis kelamin laki-laki (66,2%) (Tabel 1).

Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik

Frekuensi (n)

Persentase (%)

Usia (tahun)

31-40

6

7,8

41-50

14

18,2

51-60

30

39,0

61-70

19

24,7

71-80

8

10,4

Jenis Kelamin

Laki-laki

51

66,2

Perempuan

26

33,8

Total

77

100,0

Distribusi Kontrol Glikemik berdasarkan Nilai HbA1c

Data nilai HbA1c pada penelitian memiliki nilai minimum 4,3% dan nilai maksimum 14,6% dengan rerata ± SD sebesar 7,55% ± 2,18. Nilai HbA1c lebih lanjut dikategorikan menjadi kontrol glikemik baik (nilai HbA1c <7%) dan kontrol glikemik buruk (nilai HbA1c

≥7%). Berdasarkan Tabel 2, sebagian besar pasien laki-laki (51%) dan perempuan (49%) memiliki kontrol glikemik yang buruk. Kontrol glikemik yang baik lebih banyak ditemukan pada laki-laki (n=25) dibandingkan dengan perempuan (n=10). Hasil analisa uji Chi-square menunjukkan tidak ada perbedaan kontrol glikemik (nilai HbA1c) signifikan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan (p = 0.379).

Tabel 2. Distribusi Nilai HbA1c berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Kontrol Glikemik berdasarkan Nilai HbA1c

Total n (%)

Baik

Buruk

n (%)

n (%)

Laki-laki

25 (49)

26 (51)

51 (100)

Perempuan

10 (38,5)

16 (61,5)

26 (100)

Total

35 (45,5)

42 (54,5)

77 (100)

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada distribusi kontrol glikemik berdasarkan HbA1c menurut kelompok umur (p = 0,084). Persentase kontrol glikemik buruk tertinggi pada kelompok usia 41-50 tahun (85,7%), sedangkan persentase kontrol glikemik baik tertinggi pada kelompok usia 71-80 tahun (62,5%) (Tabel 3).

Distribusi Kadar Glukosa Plasma Puasa

Kadar glukosa plasma puasa memiliki nilai minimum 48 mg/dL dan nilai maksimum 422 mg/dL dengan rerata ±SD 152,57 ±61,45 mg/dL. Data glukosa plasma puasa dikategorikan menjadi kontrol glikemik baik (80-130 mg/dL) dan kontrol glikemik buruk (> 130 mg/dL). Distribusi kontrol glikemik berdasarkan glukosa plasma puasa menurut jenis kelamin diperoleh 20 pasien laki-laki (39,2%) memiliki kontrol glikemik baik dan 31 pasien laki-laki (60,8%) memiliki kontrol glikemik buruk. Di sisi lain, data dari pasien wanita menunjukkan bahwa 11 pasien (42,3%) memiliki kontrol glikemik yang baik dan 15 pasien (57,7%) memiliki kontrol glikemik yang buruk (Tabel 4). Namun, tidak terdapat perbedaan kontrol glikemik berdasarkan jenis kelamin (p = 0,794).

Persentase kontrol glikemik buruk tertinggi pada kelompok 61-70 tahun (68,4%), sedangkan persentase kontrol glikemik baik tertinggi pada kelompok 31-40 tahun (50%). (Lihat Tabel 5). Hasil uji chi-square menunjukkan tidak ada perbedaan kontrol glikemik berdasarkan kadar glukosa plasma puasa berdasarkan kelompok usia (p = 0,084).

Tabel 3. Distribusi Kontrol Glikemik dari nilai HbA1c berdasarkan Kelompok Usia Kontrol Glikemik berdasarkan

Kelompok Usia             Nilai HbA1c                  Total

(tahun)            Baik           Buruk              n (%)

n (%)           n (%)

31-40

2 (33,3)

4 (66,7)

6 (100)

41-50

2 (14,3)

12 (85,7)

14(100)

51-60

15 (50)

15 (50)

30 (100)

61-70

11 (57,9)

8 (42,1)

19 (100)

71-80

5 (62,5)

3 (37,5)

8 (100)

Total

35 (45,5)

42 (54,5)

77 (100)

Nilai p = 0,084 berdasarkan uji Chi-square

Tabel 4. Distribusi Kontrol Glikemik dari Kadar Glukosa Plasma Puasa berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Kontrol Glikemik berdasarkan Kadar Glukosa

Plasma Puasa

Baik n(%)               Buruk n(%)            Total n(%)

Laki-laki Perempuan Total

20 (39,2)                   31 (60,8)                  51 (100)

11 (42,3)                    15 (57,7)                   26 (100)

31 (40,3)                   46 (59,7)                  77 (100)

Nilai p = 0,794 berdasarkan uji Chi-square

Tabel 5. Distribusi Kontrol Glikemik dari Kadar Glukosa Plasma Puasa berdasarkan Kelompok Usia

Kelompok Usia

Kontrol Glikemik berdasarkan Kadar Glukosa Plasma Puasa

Total n(%)

Baik n(%)

Baik n(%)

31-40 tahun

3 (50)

3 (50)

6 (100)

41-50 tahun

6 (42,9)

8 (57,1)

14(100)

51-60 tahun

13 (43,3)

17 (56,7)

30 (100)

61-70 tahun

6 (31,6)

13 (68,4)

19 (100)

71-80 tahun

3 (37,5)

5 (62,5)

8 (100)

Total

31 (40,3)

46 (59,7)

77 (100)

Nilai p = 0,904 berdasarkan uji Chi-square

Distribusi Kadar Glukosa Plasma 2 Jam Post Prandial

Data glukosa plasma 2 jam postprandial memiliki nilai minimum 69 mg/dL dan nilai maksimum 533 mg/dL dengan rerata ±SD 212,84 mg/dL±89,94. Data glukosa plasma 2 jam postprandial dikategorikan menjadi kontrol glikemik baik (<180 mg/dL) dan kontrol glikemik buruk (≥180 mg/dL). Distribusi kontrol glikemik berdasarkan glukosa plasma 2 jam postprandial menurut jenis kelamin adalah 22 pasien laki-laki (43,1%) memiliki kontrol glikemik yang baik dan 29 pasien laki-laki (56,9%) memiliki kontrol glikemik yang buruk. Data dari pasien wanita menunjukkan bahwa 11 pasien (42,3%) memiliki kontrol glikemik yang baik dan 15 pasien (57,7%) memiliki kontrol glikemik yang buruk. (Lihat Tabel 6) Dari uji chi square distribusi kontrol glikemik berdasarkan glukosa plasma 2 jam postprandial diperoleh nilai p sebesar 0,945 (p>0,05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan distribusi kontrol glikemik berdasarkan glukosa plasma 2 jam postprandial oleh seks. Persentase kontrol glikemik baik berdasarkan glukosa plasma 2 jam postprandial pada pasien laki-laki lebih tinggi dibandingkan pasien perempuan (43,1% menjadi 42,3%), sedangkan persentase kontrol glikemik buruk lebih tinggi pada wanita (57,7% menjadi 56,9%). (Lihat Tabel 6)

Distribusi kontrol glikemik berdasarkan kadar glukosa plasma 2 jam postprandial menurut kelompok

umur, ditemukan adanya perbedaan yang bermakna karena hasil uji chi square p-value 0,023 (p>0,05). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa usia memiliki peran penting yang mempengaruhi distribusi kadar glukosa plasma 2 jam postprandial. Kelompok umur yang memiliki persentase kontrol glikemik baik tertinggi adalah kelompok 71-80 tahun, sedangkan persentase kontrol glikemik buruk tertinggi pada kelompok 31-40 tahun. (Lihat Tabel 7)

Korelasi Kadar Glukosa Plasma Puasa dengan Nilai HbA1c

Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov diperoleh kadar glukosa plasma puasa memiliki p value 0,000 dan nilai HbA1c memiliki p value 0,002 yang artinya kadar glukosa plasma puasa dan nilai HbA1c pada penelitian ini tidak berdistribusi normal. Oleh karena itu, uji korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji spearman. Nilai p dari uji Spearman adalah 0,000 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara kadar glukosa plasma puasa dengan nilai HbA1c. Korelasi antara kadar glukosa plasma puasa dengan kadar HbA1c pada penelitian ini memiliki nilai korelasi (r) sebesar 0,603 (Gambar 1). Dari nilai korelasi (r) tersebut dapat diartikan bahwa terdapat korelasi yang sedang dan memiliki hubungan yang positif 4. Artinya semakin besar kadar glukosa darah puasa akan berkorelasi dengan semakin besar pula nilai HbA1c.

Tabel 6. Distribusi Kontrol Glikemik dari Kadar Glukosa Plasma 2 Jam Post Prandial berdasarkan Jenis

Kelamin

Jenis Kelamin

Kontrol Glikemik berdasarkan Kadar Glukosa Plasma 2 jam Post Prandial

Total n(%)

Baik n(%)

Buruk n(%)

Laki-laki

22 (43.1)

29 (56.9)

51 (100)

Perempuan

11 (42.3)

15 (57.7)

26 (100)

Total

33 (42.9)

44 (57.1)

77 (100)

Nilai p = 0,945 berdasarkan uji Chi-square

Tabel 7. Distribusi Kontrol Glikemik dari Kadar Glukosa Plasma 2 Jam Post Prandial berdasarkan Kelompok Usia

Kelompok Usia

Kontrol Glikemik berdasarkan Kadar Glukosa Plasma 2 jam Post Prandial

Total n(%)

Baik n(%)

Buruk n(%)

31-40 tahun

1 (16.7)

5 (83.3)

6 (100)

41-50 tahun

5 (35.7)

9 (64.3)

14(100)

51-60 tahun

17 (56.7)

13 (43.3)

30 (100)

61-70 tahun

4 (21.1)

15 (78.9)

19 (100)

71-80 tahun

6 (75)

2 (25)

8 (100)

Total

33 (42.9)

44 (57.1)

77 (100)

Nilai p = 0.023 berdasarkan uji Chi-square

dengan Nilai HbA1c

Korelasi Kadar Glukosa Plasma 2 Jam Post Prandial dengan Nilai HbA1c

Berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov normalitas diperoleh kadar glukosa plasma 2 jam postprandial memiliki p-value 0,000 dan HbA1c p-value 0,002 yang berarti kadar glukosa puasa dan nilai HbA1c pada penelitian ini tidak berdistribusi biasanya. Karena data tidak berdistribusi normal maka uji korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Spearman. Nilai p dari uji Spearman untuk korelasi antara kadar glukosa plasma 2 jam postprandial dengan nilai HbA1c adalah 0,000 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kadar glukosa plasma 2 jam postprandial dengan nilai HbA1c. Nilai korelasi (r) antara kadar glukosa plasma 2 jam postprandial dengan nilai HbA1c adalah 0,517 yang dapat diartikan bahwa terdapat korelasi sedang dan memiliki hubungan positif antara keempatnya (Gambar 2). Artinya semakin besar 2 jam kadar glukosa plasma akan berkorelasi dengan nilai HbA1c yang semakin besar.

Gambar 2. Korelasi Glukosa Plasma 2 Jam Post

Prandial dengan Nilai HbA1c

DISKUSI

Korelasi antara kadar glukosa plasma puasa dengan nilai HbA1c serupa dengan hasil yang diperoleh dari penelitian di India oleh Gupta et al.5 Hasil ini membuktikan bahwa perbedaan ras dan wilayah tidak mempengaruhi korelasi antara glukosa plasma puasa dengan nilai HbA1c.

Nilai korelasi (r) antara kadar glukosa plasma 2 jam postprandial dengan nilai HbA1c adalah 0,517. Habib et al dan Gupta et al memperoleh korelasi yang sama dengan hasil ini.5,6 Hal ini juga membuktikan bahwa perbedaan ras dan wilayah tidak mempengaruhi korelasi antara glukosa plasma 2 jam postprandial dengan nilai HbA1c. SIMPULAN

Kadar glukosa plasma puasa dan glukosa plasma 2 jam post prandial memiliki korelasi positif sedang dengan nilai HbA1c (r = 0,603, r = 0,517, secara berurutan). Dengan demikian, semakin tinggi kadar glukosa plasma puasa dan glukosa plasma 2 jam post prandial maka akan semakin tinggi pula nilai HbA1c. Korelasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pembentukan standar konversi kadar glukosa plasma darah menjadi nilai HbA1c pada fasilitas kesehatan di daerah terpencil yang mungkin tidak memiliki fasilitas pemeriksaan HbA1c mengingat nilai HbA1c sangatlah penting dalam tatalaksana pasien diabetes mellitus.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Susanto H, Agustina D, Abbas F, Vissink A. Xerostomia , glucose regulation and serum inflammatory markers in Indonesians with type 2 diabetes mellitus. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology and Oral Radiology. 2015;119:112.

  • 2.    International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas [Internet]. 7th ed. Brussels, Belgium: International Diabetes Federation; 2015. Available from: http://www.diabetesatlas.org

  • 3.    American Diabetes Association. 2. Classification and Diagnosis of Diabetes. Diabetes Care. 2015;38:8–16.

  • 4.    Mukaka MM. Statistics corner: A guide to appropriate use of correlation coefficient in medical research. Malawi Med J. 2012;24(3):69–71.

  • 5.    Gupta S, Puppalwar P, Chalak A. Correlation of fasting and post meal plasma glucose level to increased HbA1c levels in type-2 diabetes mellitus. Int J Adv Med [Internet].      2014;1(2):1.      Available      from:

http://www.scopemed.org/?mno=165096

  • 6.    R KY, Partan RU, Habib M. Korelasi Antara Gula Darah 2 Jam Postprandial Danhba1c di Laboratorium Klinik Graha Spesialis RSMH Palembang. MKS. 2014;15(1):18–24.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V10.i9.P18

112