JMU

Jurnal medika udayana       ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 11 NO.10,OKTOBER, 2022



Diterima:2021-11-29 Revisi:2022-08-28 Accepted: 25-09-2022

PENGARUH TERAPI HIPERTONIK NACL 3% DAN MANNITOL 20% TERHADAP KEPARAHAN EDEMA SEREBRAL PADA CEDERA OTAK TRAUMATIK MODERAT DIFFUS

Farhad Bal’afif1,2,*, Tommy Nazwar Alfandy1,2, Donny Wisnu Wardhana1,2, Prisca Anindhita2

1Bagian Bedah Saraf Jurusan Bedah Universitas Brawijaya RS Saiful Anwar Malang Indonesia 2Jurusan Bedah Universitas Brawijaya Malang Indonesia e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Cedera otak traumatis adalah salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan dalam kelompok usia produktif. Kasus cedera otak traumatis umumnya diterapi dengan Mannitol dan NaCl hipertonik, namun, beberapa pedoman dan penelitian menyatakan hasil yang kontradiktif mengenai pilihan terapi kedua cairan tersebut. Studi ini bertujuan untuk menilai efek Mannitol 20% dan NaCI hipertonik 3% pada cedera otak sedang difus. Studi ini merupakan studi prospektif yang melibatkan 30 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing 15 pasien. Kelompok pertama mendapatkan terapi Mannitol 20% (0,5g/kgBB) dan kelompok kedua mmendapatkan terapi NaCl 3% (5cc/kgBB). Studi dilakukan selama 7 hari, penilaian pasien meliputi respon terapi dan secara klinis menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan gambaran edema serebral dibuktikan dengan CT scan kepala. Hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan uji-t, uji regresi linier, dan uji regresi logistik. Terdapat perbedaan bermakna (p = 0,092, IK 95% 0,77, 28,04) antara terapi NaCl 3% dan Mannitol 20%. Didapatkan bahwa pasien yang mendapat terapi NaCl 3% memiliki nilai GCS yang lebih tinggi dibandingkan dengan terapi Mannitol 20% (p = 0,033, IK 95% 1,14, 26,41). NaCl 3% meningkatkan GCS lebih baik daripada Mannitol 20% dengan penyimpangan GCS 2 poin, (p=0,001), NaCl 3% meningkatkan edema serebral 40% lebih baik daripada Mannitol 20% (p=0,001). Secara keseluruhan, penelitian kami menunjukkan bahwa NaCl 3% hipertonik dan Mannitol 20% dapat meningkatkan keparahan edema serebral dan GCS untuk pasien cedera otak traumatis difus..

Kata kunci : Cedera otak traumatis, Cerebral edema, GVS, Mannitol 20%, NaCI3%

ABSTRACT

Traumatic brain injury (TBI) is one of the primary reasons of mortality and disabilty withinside the effective age group. TBI cases are usually managed with Mannitol and hypertonic NaCl, however, several guidelines and studies have contradictive result on which fluid should be. This have a look at ambitions to assess the impact of Mannitol 20% and hypertonic NaCI 3% in diffuse moderate brain injury with diffuse brain injury. A prospective study was carried out on 30 patients divided into two groups of 15 patients each. First group received Mannitol 20% (0.5g/kgBW) and second received NaCl 3% solution (5cc/kgBW). Monitoring of the head injury was followed for 7 days, assessment of the patient consisted of therapy and the clinical images represented by Glasgow Coma Scale (GCS) and the edema appearance on the head via CT scan. Result was statistically analyzed using t-test, linier regression tests, and logistic regression test. There was a significant difference (p = 0092, 95%CI 0.77, 28.04) between NaCl 3% and Mannitol 20% therapy. It was found that patients who received NaCl 3% therapy had a higher GCS value than Mannitol 20% therapy (p = 0.033, 95% CI 1.14, 26.41). NaCl 3 % increase GCS better than Mannitol 20% with GCS deviation 2 points, (p=0.001), NaCl 3% improve cerebral edema 40% better than Mannitol 20% (p=0.001). Overall, our study showed that both hypertonic NaCl 3% and Mannitol 20% can improve cerebral edema severity and GCS for diffuse traumatic brain injury patients.

Keywords : Brain injury, Edema Cerebri, GCS, Mannitol 20%, NaCl 3%.

PENDAHULUAN

Cedera otak traumatis merupakan cedera otak yang disebabkan oleh adanya tekanan fisik yang keras hingga membentur kepala1. Cedera otak traumatis sedang difus adalah salah satu cedera otak traumatis dengan skala Glasgow Coma Scale (GCS) 9-12 dengan edema serebral difus tanpa surgical mass lesion. Secara umum, cedera otak traumatis disebabkan oleh cedera kecelakaan lalu lintas.2 Sebanyak 1,5 juta orang meninggal setiap tahun karena cedera otak traumatis dan merupakan penyebab utama kecacatan pada orang muda3 . Kasus di Indonesia diperkirakan sebanyak 500,000 cedera otak setiap tahun, dengan 10% meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Dari pasien rawat inap, 10% terdiagnosis cedera otak sedang, 10% cedera otak berat, sedangkan sisanya cedera otak ringan. Secara bertahap setelah terjadi cedera otak traumatis, dan muncul pembentukan edema sehingga terjadi kerusakan struktural yang menyebabkan ketidakseimbangan osmotik yang disebabkan dari trauma primer dan sekunder. Trauma primer terjadi pada awal insiden, oleh karena itu tidak dapat dirubah atau diminimalkan risikonya. Trauma sekunder terjadis setelah kejadian karena faktor intrakranial (edema dan hematoma) dan faktor sistemik hipoksia8, hipotensi, hiperkapnia) dan hal ini dimungkinkan untuk diminimalisir. Skala koma Glasgow (GCS) adalah alat klinis yang paling banyak digunakan untuk menentukan cedera otak traumatis4. Beberapa pedoman dalam penanganan trauma otak mencantumkan skor GCS mulai angka 8 sebagai justifikasi untuk kondisi Endotracheal Intubation (ETI) pada pasien dengan cedera otak traumatis kritis, bersama dengan kriteria lain seperti obstruksi jalan nafas, hipoksi persisten meski dengan bantuan oksigen tambahan, hipoventilasi, syok, hemoragik berat dan henti jantung5 .

Pasien cedera otak traumatis dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, edema serebral, biasanya ditangani dengan Mannitol 20% dan NaCl 3%. Manitol 20% telah lama digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Pedoman dari Traumatic Brain Injury Foundation merekomendasikan penggunaan Mannitol 20% di atas NaCl hipertonik 3%6 . Manitol dapat memicu gagal ginjal akut, sedangkan salin hipertonik berpotensi protektif terhadap ginjal.7 Beberapa penelitian dan metaanalisis mengungkapkan bahwa NaCl 3% hipertonik memiliki prognosis yang lebih baik, terutama pada tekanan intrakranial .(5,6) Saline hipertonik memiliki efek jangka panjang pada tekanan intrakranial dan dapat meningkatkan tekanan perfusi serebral secara efektif. .9

Jika dibandingkan dengan manitol, salin hipertonik adalah diuretik yang lebih lemah. Ini memperluas kapasitas intravaskular, meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan aliran darah otak secara lebih berkelanjutan daripada manitol10 Namun hingga saat ini masih belum ada standar mengenai 2 terapi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh Mannitol 20% dan NaCl hipertonik 3% pada kasus cedera otak sedang dengan cedera otak difus. Luaran yang akan dinilai adalah GCS dan edema serebral.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah prospektif kohort yang dimulai Agustus hingga Oktober 2020 di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang, Indonesia. Uji etik penelitian ini didapatkan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RS Saiful Anwar, No: 400/160/K.3/302/ 2020 dirilis pada 28 Juli 2020. Pasien yang terdaftar adalah mereka yang berusia antara 18 hingga 65 tahun dengan diagnosis cedera otak sedang dan hipertensi intrakranial disertai cedera otak difus, dibuktikan dengan CT scan Kepala (Siemens, Stratton MX P, 2019). Kriteria eksklusi adalah multi-trauma yang bermakna, penyakit sistemik (Diabetes Mellitus, asma, gagal jantung, gagal ginjal, sepsis, dll), dikontraindikasikan dengan pemberian Mannitol 20% atau NaCl 3% hipertonik (syok hipovolemik atau gagal ginjal), alkoholik, adanya lesi massa bedah, dan kematian otak. Jika ada komplikasi atau kebutuhan untuk operasi muncul selama masa studi, pasien akan dikeluarkan. GCS dinilai oleh residen Bedah Umum. Cedera otak traumatis sedang di Instalasi Gawat Darurat Reguler (Non-Covid) RS Saiful Anwar menjalani screening Covid-19, berdasarkan kondisi klinis, rontgen dada, dan antibodi spesifik SARS-Cov-2    ECLIA (Electro

Chemiluminescence Immunoassay). Pasien yang terbukti sebagai pasien non-Covid-19 akan dikelola berdasarkan Advances Trauma Life Support (ATLS) 10th Edition 2018. Sebanyak 30 pasien dipilih sesuai dengan kriteria inklusi, seperti cedera otak traumatis sedang (GCS 9-12), edema serebral dan cedera otak difus dibuktikan dengan CT scan kepala dan dianalisis oleh ahli. Informed consent ditandatangani oleh anggota keluarga. Evaluasi terdiri dari hitung darah lengkap (CBC), serum elektrolit (ES), glukosa darah acak (RBG), kadar ureum dan kreatinin (Ur/Cr), analisis gas darah (BGA), tes fungsi hati, faktor koagulasi, dan penunjang lainnya. pemeriksaan penunjang (misalnya CEPAT, rontgen), dan haluaran urin (0,5-1cc/kgBB/jam). Dilakukan posisi elevasi kepala, diikuti dengan suplementasi oksigen, pemasukan cairan IV, kateterisasi NGT & uretra, analgetik, PPI/AntiH2R dan neuroprotektan konvensional. Pengambilan sampel dilakukan secara berurutan, 15 pasien mendapat NaCl 3% dan 15 pasien mendapat Mannitol 20%. Dosis pemuatan manitol 20% adalah 1g/kg BB dalam 1 jam IV, diulang dengan dosis 6x (0,5g/kgBB) pada Hari 1, 5x (0,5g/kgBB) pada Hari 2, 4x (0,5g/kgBB) pada Hari 3, 3x (0,5g/kgBB) di Hari 4, 2x (0,5g/kgBB) di Hari 5, dan 1x (0,5g/kgBB) di Hari 6. Dosis pemuatan NaCl 3% adalah 5cc/kg BB Dalam 1 jam IV. Kadar Natrium diperiksa setiap hari dengan target kadar Natrum setinggi 145-155mmol/L. Setelah target tingkat Natrium tercapai, intervensi NaCl dihentikan. NaCl hipertonik 3% = 513mEq/L.

Rumus Koreksi Na :

= [(Na Target – Na Aktual) x 0,6 x BW] dalam 24 jam

= [(150 – Na aktual x 0,6 x BW] dalam 24 jam

= …mEq

Pada hari ke 7 atau hari pasien keluar dari rumah sakit, dilakukan evaluasi GCS dan CT scan kepala oleh ahlinya. Edema serebral dievaluasi secara kualitatif menggunakan hasil CT Scan Kepala dengan membandingkan ruang cairan serebrospinal. Edema serebral didefinisikan sebagai pendangkalan sulkus serebral, pembengkakan girus serebral, penyempitan ventrikel, dan hilangnya sisterna. Analisis ini dilakukan oleh ahli radiologi. IBM SPSS versi 24 untuk Windows digunakan untuk menganalisis data. Analisis data disajikan dengan uji-t, uji chi-square/fisher. Uji pengaruh antara edema serebral dan GCS menggunakan uji regresi linier.

HASIL

Tabel 1. Karakteristik dasar sampel

Indikator

NaCl 3%

Manitol 20%

p-value

F

%

F

%

18 - 25

3

10%

3

10%

26 - 35

2

7%

3

10%

Umur

36 - 45

3

10%

3

10%

46 - 55

2

7%

3

10%

> 55

5

17%

3

10%

Kelamin

Laki-laki

13

43%

12

40%

0,500

Perempuan

2

7%

3

10%

Pendidikan

SMA/SMK

8

27%

7

23%

0,500

PT

7

23%

8

27%

Onset

< 2 jam

6

20%

0

0%

0,021

2 - 4 jam

0

0%

5

17%

> 4 jam

9

30%

10

33%

Sebanyak 30 pasien memenuhi kriteria inklusi. Dari 15 pasien mendapat NaCl 3% dan 15 pasien mendapat Mannitol 20%. Demografi data kedua kelompok ditunjukkan pada tabel (Tabel 1). Di setiap kelompok, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan onset tidak berbeda secara statistik. Sebagian besar pasien dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah 25 pasien, dan diperoleh nilai p = 0,500. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin pada pilihan terapi. Data pendidikan terakhir menunjukkan rata-rata jumlah kategori SMA dan Perguruan Tinggi, diperoleh nilai p = 0,500. Data onset cedera didapatkan paling banyak >4 jam p = 0,021, artinya tidak ada perbedaan bermakna antara onset cedera dengan pilihan terapi. Sebanyak 30 pasien memenuhi kriteria inklusi. Dari 15 pasien mendapat NaCl 3% dan 15 pasien mendapat Mannitol 20%. Demografi data kedua kelompok ditunjukkan pada tabel (Tabel 1). Di setiap kelompok, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan onset tidak berbeda secara statistik. Sebagian besar pasien dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah 25 pasien, dan diperoleh nilai p = 0,500. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin pada pilihan terapi. Data pendidikan terakhir menunjukkan rata-rata jumlah kategori SMA dan Perguruan Tinggi, diperoleh nilai p = 0,500. Data onset cedera didapatkan paling banyak >4 jam p = 0,021, artinya tidak ada perbedaan bermakna antara onset cedera dengan pilihan terapi.

Tabel 2. Perbedaan terapi NaCl 3% dan Mannitol 20% terhadap Edema Serebral dan GCS

NaCl 3%

Manitol 20%

p-value

Peningkatan

2 (6,7%)

8 (26,7%)

Edema serebral

13 (43,3%)

7 (23,3%)

GCS

13,53 ± 1,30

11,53 ± 1,50

0,002

Pada pasien yang mendapat terapi NaCl 3% terdapat 13 pasien (86,67%) yang mengalami perbaikan edema serebral,

sedangkan pada pasien yang mendapat Mannitol 20% hanya 7 pasien yang mengalami perbaikan edema serebral (p=0,054). Dengan demikian, terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan NaCl 3% dan Mannitol 20% pada edema serebral (IK 95% 0,059, 0,939, 34,45). Selain itu pasien yang mendapat terapi NaCl 3% memiliki nilai GCS sebesar 13,53 ± 1,30 (p = 0,002), dimana penggunaan NaCl 3% memiliki nilai GCS yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan Mannitol 20%.

Tabel 3. Pengaruh terapi NaCl 3% dan Mannitol 20% terhadap Edema Serebral dan GCS

Variabel

GCS

Edema serebral

B

(p>0.05)                  (p>0.05)

IK 95 %     B       IK 95 %

Terapi

2,000

0,033, 1,145,               0,059,

26,412        2,005     0,939, 34,45

Pengaruh kedua terapi terhadap GCS dinilai dengan uji regresi linier, (p=0,001, IK 95% 0,033, 1,14, 26,41) diperoleh, dengan persamaan y= 11,533 + x 2,00. Dapat disimpulkan bahwa NaCl 3% meningkatkan GCS lebih baik daripada Mannitol 20% dengan deviasi GCS 2 poin. Pengaruh kedua terapi terhadap edema serebral diperoleh (p=0,059, IK 95% 0,939, 34,45), dengan persamaan y= 2,055 – 1,872 (x), dengan probabilitas =

1

l+exp(-y). Disimpulkan bahwa NaCl 3% dapat memperbaiki edema serebral 40% lebih baik daripada Manitol 20%.

Tabel 4. Pengaruh Edema Serebral pada GCS

Variabel

B

T

(p>0.05)

IK 95 %

Edema serebral

0,349

1,792

0,084, 0,74

-0,050,

Tabel 4 menunjukkan pengaruh edema serebral terhadap GCS, (P= 0,092, IK 95% 0,776, 28,04) diperoleh, sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadinya edema serebral secara signifikan akan menurunkan nilai GCS pada pasien.

PEMBAHASAN

Cedera otak traumatis juga diklasifisikasikan berdasarkan trauma langsung dan trauma tidak langsung. Cedera otak primer dapat berkembang menjadi cedera otak fokal dan difus. Cedera otak difus didefinisikan sebagai pasien dengan penurunan kesadaran tanpa disertai gambaran lesi pada CT-Scan atau MRI.11. Cedera otak difus merupakan peningkatan keparahan kerusakan otak akibat peningkatan trauma akselerasi-deselerasi. Cedera otak difus merupakan tipe cedera otak yang paling sering dan paling dasar12. Cedera otak sekunder muncul sebagai komplikasi dari cedera otak primer. Salah satu penyebab cedera otak sekunder adalah tekanan intra kranial yang tinggi. Iskemik lokal yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial, menurunkan aliran mikro sirkulasi, atau inflamasi neurovaskular juga dapat berkontribusi terhadap cedera otak tambahan karena edema. Selanjutnya, edema intraseluler yang secara khas merupakan

edema sitoktoksik akibat cedera otak traumatis memicu pembentukan oksigen reaktif, yang dikenal berperan dalam patogenesis cedera otal traumatis13. Beberapa studi menunjukkan bahwa usia lanjut berkontribusi sebagai faktor prediktif respon terapi yang buruk. Nilai GCS awal dan gangguan neurologis merupakan prediktor kuat untuk mortalitas, di mana GCS rendah memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mortalitas14. GCS merupakan indikatif kuat terhadap derajat keparahan dan mortalitas cedera otak 15. Usia lanjut, multi trauma, nilai GCS awal yang rendah, dan penggunaan ventilasi mekanik merupakan variabel prognosis negatif yang signifikan16. Usia lanjut memiliki resiko tinggi terhadap lesi fokal karena atrofi otak dan bridging vein lebih mudah robek. Berdasarkan karakteristik esensial subjek penelitian ini, menunjukkan bahwa laki-laki berisiko mengalami cedera otak traumatis daripada perempuan. Namun, tidak didapatkan perbedaan distribusi usia. 4 pasien berusia di atas 55 tahun. Antara tahun 2002 hingga 2015, Trauma Register Deutsche Gesellschaft für Unfallchirurgie mendata semua mortalitas pasien dengan Injury Severity Score (ISS) 216 dievaluasi berdasarkan waktu kematian, mekanisme trauma, area tubuh yang terkena trauma, dan distribusi usia. Sepsis dan kagagalan multi organ terjadi di jam pertama setelah pasien tiba di RS. 10,8% kematian terjadi dalam 6 jam, 25,5% terjadi setelah 12 jam, 40% setelah 24jam, 53,2% setelah 48jam, dan 61,9% terjadi dalam 48 jam pertama17. Terapi cairan bertujuan untuk menggantikan volume yang hilang akibat perdarahan dan untuk keseimbangan cairan18. Indikator fisiologis antara lain perbaikan tekanan darah, nadi, penurunan laktat, defisit basa yang kembali normal, perdarahan terkontrol digunakan untuk menilai respon resusitasi cairan intravena19. Terapi osmotik termasuk menciptakan gradien osmotik menembus sawar darah-otak dengan obat-obatan seperti mannitol atau saline hipertonik, yang mana dapat menarik cairan dari intestitium ke vaskular. Selanjutnya, mannitol dan salin hipertonik dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mempertahankannya pada pasien-pasien stroke iskemik8,10.

Cairan hipertonik yang umum digunakan untuk terapi edema serebral adalah Mannitol 20% dan salin hipertonik, Mannitol 20% terbukti dapat menembus membran sel. Hal ini berarti efek ekspansi plasma Mannitol 20% tidak bertahan lama dan tidak dapat digunakan untuk meningkatkan volume plasma yang rendah. Terlebih lagi, terdapat kemungkinan peningkatan volume disebabkan oleh efek rebound sementara akibat akumulasi Mannitol 20% intrasel. Pada salin hipertonik, efek pompa natrium di membran sel dapat menghambat akumulasi natrium dan klorida intrasel. Efek absorpsi salin hipertonik bertahan lebih lama daripada Mannitol 20%, sehingga dapat menurunkan resiko efek rebound 21,22. Sebagai agen osmotik, NaCl lebih efektif daripada Mannitol. Hanya 60% kehilangan cairan otak yang diharapkan oleh perilaku osmotik ideal, yang didapatkan dari natrium dan klorida otak. Mayoritas respon rebound adalah proses elektrolit, yang mana tidak dipengaruhi oleh obat-obat farmakologi yang digunakan23.

Dari penelitian ini, NaCL 3% secara signifikan dapat memperbaiki edema dibandingkan dengan terapi Mannitol 20%. Akibat impermeabilitas sawar darah-otak terhadap natrium, infus salin hipertonik menyebabkan tekanan osmotik yang mendorong cairan kembali ke interstitial dan area intervaskular dari area intrasel24. Aksi ini mirip dengan Mannitol yang dapat menarik

cairan dari jaringan saraf ke intravaskular dan mengurangi produksi cairan serebro spinalis, memperbaiki tekanan intrakranial; Salin hipertonik memiliki efek diuretik yang lebih rendah, bermanfaat dalam meningkatkan volume intravaskular, meningkatkan MAP, cardiac output, dan CBF, dan secara simultan menurunkan tekanan intra kranial dan memperbaiki intrakranial. Salin hipertonik juga menurunkan adesi leukosit, yang memiliki efek anti-inflamasi25.

Agen hiperosmolar yang digunakan untuk terapi cedera otak berat adalah Mannitol dan NaCl 3%. Berdasarkan rekomendasi dari The Brain Trauma Foundation, terapi utama untuk hipertensi intrakranial adalah Mannitol 20%, walaupun NaCl 3% juga merupakan alternatif terapi yang potensial21,22. Beberapa peneliti sebelumnya sudah membandingkan penggunaan Mannitol 20% dan NaCl 3% namun hasilnya bervariasi. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa NaCl 3% hipertonik memiliki hasil yang lebih baik dalam menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi dibandingkan dengan mannitol 20%8,29. GCS merupakan standar utama untuk menilai keparahan cedera otak traumatis secara klinis. Terdapat hubungan antara GCS yang rendah dengan intubasi. Indikasi intubasi yang tepat harus meliputi GCS38. GCS digunakan sebagai skor prediktif prognosis untuk kasus trauma cedera otak traumatis, trauma lain yang terkait, dan komplikasi terapi30. Data menunjukkan bahwa 82% pasien dengan GCS lebih dari sama dengan 11 memiliki respon terapi yang baik, hanya 12% pasien yang meninggal atau menderita disabilitas berat. Peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan herniasi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian. Tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial meliputi nyeri kepala, mual, dan muntah, hipertensi sistolik, bradikardi, trias Cushing, respirasi ireguler, respirasi Cheyne-stokes, pingsan, delirium, penglihatan ganda, pupil tidak bereaksi terhadap cahaya, pupil anisokor, penurunan kesadaran, dan koma31.

Studi ini menunjukkan bahwa NaCl 3% meningkatkan GCS lebih baik secara signifikan daripada Mannitol 20%. Baik Mannitol dan NaCl 3% dapat dipilih sebagai terapi cedera otak traumatis. Keduanya dipercaya secara efektif dapat menurunkan tekanan intrakranial dalam tata laksana hipertensi intrakranial akibat trauma. Beberapa studi, termasuk RCT menunjukkan bahwa NaCl 3% lebih efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi dibandingkan dengan Mannitol 20%. Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa NaCl 3% lebih dipilih daripada Mannitol dalam terapi peningkatan tekanan intrakranial akibat cedera otak traumatis. NaCl 3% memiliki beberapa manfaat, lebih aman dan lebih ditoleransi31. Namun, manfaat dalam meningkatkan status neurologi masih belum jelas walaupun lebih baik di NaCl 3%33. Walaupun tidak didapatkan perbedaan yang jelas antara mortalitas dan respon neurologi antara salin hipertonik dan Mannitol, tetapi salin hipertonik lebihn cenderung menurunkan mortalitas dan memiliki efek yang lebih baik terhadap CPP, dan dalam menurunkan tekanan intrakranial32.

Penelitian ini membuktikan bahwa edema secara signifikan dapat menurunkan GCS. Berdasarkan doktrin Monro-Kellie, peningkatan volume otak yang disebabkan oleh edema serenbral menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial secara cepat34. Koma yang disertai dengan riwayat nyeri kepala dapat dicurigai sebagai peningkatan tekanan intrakranial35. Perubahan fungsi pada batang otak reticular activating system (RAS) di atas

mid pons, atau kedua hemisfer otak, menyebabkan koma36. Peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan herniasi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian. Gejala dari peningkatan tekanan intrakranial meliputi 8 nyeri kepala hebat, muntah, gangguan visus, dan perubahan perilaku dan kesadaran. Edema serebral berkontribusi dalam peningkatan volume intrakranial 37. Serebral edema yang menyebabkan tekanan intrakranial yang tinggi akan menyebabkan perubahan GVS. Sebaliknya, perbaikan edema serebral akan menyebabkan perbaikan GCS pula.


  • 1.    SIMPULAN

Pemberian NaCl 3% hipertonik untuk pasien cedera otak traumatis sedang dengan edema serebral difus dan tekanan intrakranial tinggi yang dibuktikan dengan CT Scan kepala dapat mempebaiki derajat edema lebih baik daripada Mannitol 20%.

10.


11.


2. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas kontribusi    12.

semua anggota Tim bedah saraf di RSA Saiful Anwar

RSSA, Malang, Jawa Timur, Indonesia.                       13.


DAFTAR PUSTAKA

14.


  • 1.    Gardner AJ, Zafonte R. Neuroepidemiology of traumatic brain injury. Handb Clin Neurol. 2016; 138:207-23.

  • 2.    Faried A, Bachani AM, Sendjaja AN, Hung YW, Arifin MZ. Characteristics of Moderate and Severe Traumatic Brain Injury of Motorcycle Crashes in Bandung, Indonesia. World Neurosurg. 2017; 100:195200

  • 3.    Bonow RH, Barber J, Temkin NR, Videtta W, Rondina C, Petroni G, et al. The Outcome of Severe Traumatic Brain Injury in Latin America. World Neurosurgery. 2018; 111, e82–e90

  • 4.    Hosseini SH, Ayyasi M, Akbari H, Ali M, & Gorji H. Comparison of Glasgow Coma Scale Full Outline of Unresponsiveness and Acute Physiology and Chronic Health Evaluation in Prediction of Mortality Rate Among Patients With Traumatic Brain Injury Admitted to Intensive Care Unit Anesth Pain Med. 2016;7(5):e33653.

  • 5.    Carney N, Totten AM, O'Reilly C, Ullman JS, Hawryluk GW, Bell MJ, et al. Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury, Fourth Edition. Neurosurgery. Brain Trauma Foundation 2016; 0:p 1-10.

  • 6.    Patil H & Gupta R. A Comparative Study of Bolus Dose of Hypertonic Saline, Mannitol, and Mannitol Plus Glycerol Combination in Patients with Severe Traumatic Brain Injury. World Neurosurgery. 2019; 125:e221–e228.

  • 7.    Kamel H, Navi BB, Nakagawa K, Hemphill JC 3rd, Ko NU. Hypertonic saline versus mannitol for the

    15.

    16.

    17.

    18.

    19.

    20.

    21.


treatment of elevated intracranial pressure: a metaanalysis of randomized clinical trials. Crit Care Med 2011; 39:554-9

Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A, Griessennauer CJ, Shoja MM, Tubbs RS, et al. Hypertonic saline for treating raised intracranial pressure: literature review with meta-analysis. J Neurosurg. 2012; 116: 210–21.

Shi J, Tan L, Ye J, Hu L. Hypertonic saline and mannitol in patients with traumatic brain injury, Medicine 2020; 28:99-35.

Witherspoon B, & Ashby NE. The Use of Mannitol and Hypertonic Saline Therapies in Patients with Elevated Intracranial Pressure: A Review of the Evidence. Nursing Clinics of North America. 2017; 52:249–260

Japardi I. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Popular: Jakarta 87-97, 2004

Richard GE, Laligam NS, and Neil K. Principles of Neurological Surgery. 4th Ed. Elsevier; 2018

Tucker B, Aston J, Dines M, Caraman E, Yacyshyn M, McCarthy M, et al. Early Brain Edema is a Predictor of In-Hospital Mortality in Traumatic Brain Injury. Journal of Emergency Medicine. 2017; 53:18–29 Ostermann RC, Joestl J, Tiefenboeck TM, Lang N, Platzer P, Hofbauer M. Risk factors predicting prognosis and outcome of elderly patients with isolated traumatic brain injury. J Orthop Surg Res. 2018; 13:277.

Baum J, Entezami, P, Shah K, & Medhkour A. Predictors of Outcomes in Traumatic Brain Injury. World Neurosurgery. 2016; 90, 525–529.

Lenell S, Nyholm L, Lewén A, & Enblad P. Clinical outcome and prognostic factors in elderly traumatic brain injury patients receiving neurointensive care. Acta Neurochirurgica. 2019; 161:1243–1254.

Rauf R, von Matthey F, Croenlein M, Zyskowski M, van Griensven M, Biberthaler P, et al. Changes in the temporal distribution of in-hospital mortality in severely injured patients. An analysis of the TraumaRegister DGU. PLOS ONE. 2019;  14:

e0212095.

Alvis Miranda HR. Castellar-Leones SM, Moscote-Salazar LR. Intravenous fluid therapy in Traumatic Brain Injury and Decompressive Craniectomy. Bulletin of emergency and trauma. 2014; 2: 3-14

Wise R, Faurie M, Malbrain MLNG, Hodgson E. Strategies for Intravenous Fluid Resuscitation in Trauma Patients. World J Surg 2017; 41:1170–1183.

Witherspoon B, & Ashby NE. The Use of Mannitol and Hypertonic Saline Therapies in Patients with Elevated Intracranial Pressure: A Review of the Evidence. Nursing Clinics of North America. 2017; 52:249–260.

Haddad S, Arabi Y. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults. Scandinavian

Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 2012; 20:12.

  • 22.    Kolmodin L, Sekhon MS, Henderson WR, Turgeon AF, Griesdale DE. Hypernatremia in patients with severe traumatic brain injury: a systematic review. Annal Intensive Care. 2013; 3:35

  • 23.    Oernbo EK, Lykke K, Steffensen AB, Töllner K, Kruuse C, Rath MF, et al. Cerebral influx of Na+ and Cl- as the osmotherapy-mediated rebound response in rats. Fluids Barriers CNS. 2018; 15:27.

  • 24.    Etezadi F, Babaie M, Larijani A, Ketabchi M, Mojtahedzadeh M, Jalali A, et al. Comparison of Preoperative Hypertonic Saline versus Mannitol for Intraoperative Brain Relaxation and Early Postoperative Outcome among Patients with Cerebral Low-grade Glioma: A Prospective Study. Asian J Neurosurg. 2020; 15:941-945.

  • 25.    Llorente G & Nino de Meija MC. Mannitol versus hypertonic saline solution in neuroanaesthesia, Colombian Journal of Anesthesiology. 2015; 43:29-39

  • 26.    Haddad S, Arabi Y. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 2012; 20:12

  • 27.    Kolmodin L, Sekhon MS, Henderson WR, Turgeon AF, Griesdale DE. Hypernatremia in patients with severe traumatic brain injury: a systematic review. Annal Intensive Care. 2013; 3:35

  • 28.    Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A, Griessennauer CJ, Shoja MM, Tubbs RS, et al. Hypertonic saline for treating raised intracranial pressure: literature review with meta-analysis. J Neurosurg. 2012; 116: 210–21.

  • 29.    Collins TR. Hyperosmolar therapy yield worse results in primary ICH patients, database review show. Neurology Today. 2014; 42–5

Golden N, Mardhika P, NiryanaW, Sukarya I, Prabawa I. Risk factors and novel prognostic score for predicting the 14-day mortality of severe traumatic brain injury patients. Intisari Sains Medis. 2020; 11: 1020-1028

Tripathy S, Ahmad SR. Raised Intracranial Pressure Syndrome. A Stepwise Approach. Indian J Crit Care Med. 2019; 23;S129-S135.

Schwimmbeck F, Voellger B, Chappell D, Eberhart L. Hypertonic Saline Versus Mannitol for Traumatic Brain Injury. A Systematic Review and Meta-analysis With Trial Sequential Analysis. J Neurosurg Anesthesiol 2021; 33(:10-20

Ahmad RM, Hanna. Effect of equiosmolar solutions of hypertonic sodium lactate versus mannitol in craniectomy patients with moderate traumatic brain injury. Med J Indones. 2014; 23–1.

Padilla R & Domina A. Effectiveness of sensory stimulation to improve arousal and alertness of people in a coma or persistent vegetative state after traumatic brain injury. A systematic review. American Journal of Occupational Therapy. 2016; 70:1–8.

Avner JR. Altered states of consciousness. Pediatrics in Review. 2006; 27: 331-8

Bauer ZA, De Jesus O, Bunin JL. Unconscious Patient. [Updated 2021 Feb 7]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing, 2021. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30860764/

Koenig MA. Cerebral Edema and Elevated Intracranial Pressure. CONTINUUM Lifelong Learning in Neurology. 2018; 24:1588–1602.

Hatchimonji JS, Dumas RP, Kaufman EJ, Scantling D, Stoecker JB, & Holena DN: Questioning dogma. does a GCS of 8 require intubation?. European Journal of Trauma and Emergency Surgery. 2020; 1-7.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2022.V11.i10.P11

68