JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 11, Nomor 2, bulan September, 2023

Pengaruh Cara Mematikan dan Lama Waktu Post-Mortem terhadap Mutu Kesegaran Filet Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus)

Effect of Killing Method and Post-Mortem Duration on the Freshness Quality of Tilapia Fish (Oreochromis Mossambicus) Fillet

Oliver Owen, I Wayan Widia*, dan Mentari Kinasih

Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

*email: [email protected]

Abstrak

Filet ikan mujair merupakan salah satu bahan pangan sumber protein yang sangat diperlukan untuk pemenuhan gizi. Mutu kesegaran ikan filet ditentukan oleh beberapa hal, antara lain kualitas bahan baku dan cara mematikan ikan yang digunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh cara mematikan dan lama waktu post-mortem terhadap mutu kesegaran filet ikan mujair (Oreochromis mossambicus). Penelitian ini menggunakan percobaan faktorial-RAL (rancangan acak lengkap) dengan 2 faktor, yaitu cara mematikan ikan dan lama waktu post-mortem. Cara mematikan ikan memiliki 3 taraf perlakuan, yaitu mati menggelepar, suhu dingin, dan teknik ikejime. Sedangkan, lama waktu post-mortem memiliki 8 taraf perlakuan, yaitu; 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, dan 14 jam. Perlakuan diulang sebanyak 2 kali, sehingga didapat 24 kombinasi perlakuan dan 48 sampel percobaan. Parameter yang diamati adalah indeks rigor, organoleptik mutu kesegaran ikan, pH, kadar protein, dan organoleptik mutu kesegaran filet. Data hasil pengamatan diolah dengan analisis sidik ragam (ANOVA), uji Duncan, dan uji Kruskal-Wallis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa cara mematikan dan lama waktu post-mortem berpengaruh nyata terhadap beberapa parameter mutu kesegaran filet ikan mujair. Kombinasi perlakuan terbaik adalah mematikan dengan teknik ikejime dengan lama waktu post-mortem 0 jam dengan karakteristik pH sebesar 6,94, kadar protein sebesar 26,65% dan skor organoleptik daging ikan sebesar 8,80, serta skor tekstur daging ikan sebesar 8,95.

Kata kunci: cara mematikan ikan, ikan mujair, lama waktu post-mortem, mutu kesegaran filet

Abstract

Tilapia fish filet is one of the protein-rich foods needed by the body. The freshness quality of the tilapia fish filet is affected by the quality of the raw materials and the method of killing the fish. This study aimed to determine the effect of the lethal technique and the length of post-mortem time on the freshness of tilapia fish (Oreochromis mossambicus) filets. This study used a factorial-CRD trial (Completely Randomized Design) for two factors. The first factor is how to kill the fish (floating death, cold temperature, and ikejime technique). The second factor was the length of post-mortem time (0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, and 14 hours). Each treatment was repeated by 2 times so that 48 samples were obtained from 24 treatment combinations. The observed parameters are the rigor index, organoleptic freshness, pH, and protein content. Observational data were processed by Analysis of Variance (ANOVA), Duncan test, and Kruskal-Wallis test. The results of this study indicate that the method of shutting down and the length of time post-mortem significantly affect several parameters of the freshness quality of tilapia fish fillets. The best combination of treatment is lethal with the ikejime technique with a post-mortem time of 0 hours which has a pH of 6.94, protein content of 26.65% and fish meat organoleptic score of 8.80, and fish meat texture score of 8.95.

Keywords: fillet freshness quality, fish killing method, post-mortem duration, tilapia

PENDAHULUAN

Filet merupakan salah satu produk olahan hasil perikanan yang populer di kalangan masyarakat karena memiliki beberapa keuntungan, seperti; dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama, bebas dari tulang serta duri, mudah dalam penyimpanan, dan memiliki metode penanganan yang mudah. Mutu kesegaran pada filet ditentukan berdasarkan kualitas

dari bahan bakunya, yang dipengaruhi oleh lama waktu post-mortem pada ikan (pre-rigormortis, rigormortis, dan post-rigormortis). Selain itu, cara mematikan ikan merupakan salah satu perlakuan penanganan yang harus diperhatikan, karena mempengaruhi mutu dan daya simpan ikan. Cara mematikan ikan yang berbeda mempengaruhi kandungan glikogen yang dimiliki, sehingga berpengaruh terhadap laju penurunan tingkat

kesegarannya. Kordi dalam Trisnawati (2020) menyebutkan bahwa adanya perubahan drastis terhadap suhu dapat menyebabkan stress pada ikan dan membunuhnya, sehingga mempercepat penurunan mutu ikan. Cara mematikan ikan secara langsung dapat mencegah peningkatan stress, sehingga memperpanjang laju penurunan tingkat kesegaran ikan (Herawati & Darmanto, 2014).

Cara mematikan ikan serta lama waktu post-mortem berpengaruh terhadap mutu kesegaran filet yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari cara mematikan ikan yang digunakan dan lama waktu post-mortem yang terjadi terhadap mutu kesegaran filet ikan yang dihasilkan. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk menemukan kombinasi terbaik dari cara mematikan ikan yang digunakan dan lama waktu post-mortem yang terjadi terhadap mutu kesegaran filet ikan yang dihasilkan. Pada penelitian ini, ikan yang dipilih adalah ikan mujair (Oreochromis mossambicus) yang berasal dari Danau Batur, Kintamani

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2022 sampai dengan bulan Juli 2022. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Teknik Pasca Panen, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

Bahan dan Alat

Bahan utama dalam pembuatan filet adalah air bersih dan ikan mujair yang diambil dari petambak Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Ikan mujair yang digunakan dalam sebanyak 44 ekor dengan berat 250 gram perekor yang akan diambil dalam kondisi masih hidup. Bahan yang digunakan untuk menganalisis filet dan ikan mujair adalah; es curai, larutan akuades, asam borat, tablet kjeldahl, indikator PP, H2SO4 (asam sulfat), HCl (asam klorida), dan NaOH (natrium hidroksida). Sedangkan, alat yang digunakan dalam pembuatan filet adalah; pisau, pisau ikejime, saringan, talenan, dan baskom. Alat yang digunakan untuk menganalisis filet dan ikan mujair adalah; tong, oksigen, penggaris, Alat Tulis Kerja (ATK), sarung tangan plastik, pH meter, scoresheet organoleptik, coolbox, timbangan elektrik, beaker glass, corong, mikropipet, buret, erlenmeyer, gelas ukur, seperangkat alat destruksi, seperangkat alat kjeldahl, autodestilation, labu ukur, pipet tetes, dan rak tabung reaksi.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial-RAL (Rancangan Acak Lengkap) dan memiliki 2 (dua) faktor. Faktor pertama adalah 3 (tiga) cara mematikan

ikan mujair (A) yang berbeda, yakni; menggelepar (A1), suhu dingin (A2), dan dengan teknik ikejime (A3). Faktor kedua adalah lama waktu post-mortem (T) yang diamati setiap 2 jam selama 14 jam, yaitu; 0 jam (T0), 2 jam (T1), 4 jam (T2), 6 jam (T3), 8 jam (T4), 10 jam (T5), 12 jam (T6), dan 14 jam (T7). Penentuan lama waktu post-mortem berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Liviawaty & Afrianto (2014), yakni kematian ikan kurang dari 2 jam adalah fase pre-rigormortis, 2 sampai 12 jam adalah fase rigormortis, dan diatas 12 jam adalah fase post-rigormortis. Perlakuan diulang sebanyak 2 (dua) kali, sehingga didapat 24 kombinasi perlakuan dan total sampel yang didapat secara keseluruhan adalah 48 sampel.

Pelaksanaan Penelitian

Tahapan awal dari prosedur yang dilakukan adalah menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan. Bahan utama dalam penelitian ini adalah ikan mujair yang diambil dalam kondisi masih hidup dari Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Ikan mujair ditimbang dan dimasukkan ke dalam tong, lalu diberikan oksigen dan dibawa menuju Laboratorium Teknik Pasca Panen, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

Ikan mujair dimatikan dengan 3 (tiga) cara kematian berbeda, yakni (1) menggelepar, (2) suhu dingin, dan (3) teknik ikejime. Perlakuan cara mematikan pada ikan mujair dengan cara menggelepar dilakukan dengan mengambil ikan dari air dan diletakkan didalam ember kosong. Ikan kemudian dibiarkan menggelepar selama 60 menit. Sedangkan, cara mematikan ikan mujair dengan teknik ikejime dilakukan dengan menusukkan pisau ikejime ke otak ikan dan dikeluarkan darah dari tubuh ikan dengan waktu kematian tidak lebih dari 1 menit. Untuk cara mematikan ikan mujair dengan suhu dingin dilakukan dengan menaruh ikan mujair kedalam coolbox yang berisikan es curai selama 60 menit. Insang ikan yang tidak bergerak menandakan ikan sudah mengalami kematian. Ikan diambil sebagian untuk dilakukan analisis setiap 2 jam selama 14 jam. Ikan yang tersisa akan di-filet menggunakan pisau.

Filleting dilakukan dengan mematikan dan mencuci ikan menggunakan air bersih untuk membersihkan kotoran yang ada pada tubuh ikan. Sisik ikan mujair dibersihkan menggunakan pisau dan dipisahkan bagian badan ikan dari kepalanya dengan cara memotong mengikuti garis miring pada bagian sirip dibawah insang ikan hingga kepala ikan terpisah dari badannya. Isi perut ikan juga dipisahkan dengan cara memotong bagian perut ikan hingga kebagian tengah, dan mengeluarkan isi perut ikan hingga bersih. Ikan kemudian di-fillet untuk memisahkan daging ikan

dari kulit dan tulangnya. Daging filet ikan mujair akan dianalisis setiap 2 jam selama 14 jam.

Parameter Penelitian

Indeks Rigor

Pengamatan indeks rigor dilakukan untuk melihat dan mengukur perubahan yang terjadi di tiap fase postmortem pada ikan mujair (Concollato et al., 2016; Gatica et al., 2010; Islami et al., 2014; Lestari et al., 2020). Untuk menentukan indeks rigor, ikan terlebih dahulu dimatikan dan diletakkan diatas tepi meja secara horizontal. Sesuai dengan interval waktu yang dipilih, maka persamaan 1 yang digunakan.

Rigor Irtdex (%) = d°-d x 100

' '        D0

Keterangan:

D0             : Panjang awal vertikal bagian ekor

ikan

D              : Panjang interval waktu vertikal

bagian ekor ikan

Uji Organoleptik

Uji organoleptik menggunakan metode scoresheet dengan acuan berdasarkan SNI 2729:2013. Ikan mujair yang telah dimatikan diuji oleh 10 orang panelis. Panelis memberikan nilai dengan skala 1-9 pada scoresheet sesuai dengan mutu ikan mujair. Hasil yang didapat akan diuji menggunakan Uji Kruskal-Wallis pada aplikasi SPSS.

Derajat keasaman (pH)

Penentuan derajat keasaman (pH) pada filet ikan mujair dilakukan dengan menggunakan alat pH meter (Lemae & Lasmi, 2019; Lestari et al, 2020; Suwetja, 2007). Sampel ditimbang sebanyak 10 g, dan dihomogen-kan menggunakan mortar dengan 20 ml aquades selama 1 menit. Nilai pH adalah pembacaan jarum penunjuk pH setelah jarum skala konstan kedudukannya.

Kadar Protein

Untuk mengetahui nilai kadar protein pada fillet ikan mujair, maka digunakan metode Kjehdahl (Sudarmadji et al., 1997). Sampel dilumatkan sebanyak 0,1 gr, lalu dimasukkan kedalam labu Kjehdahl 30 ml. Ditambahkan tablet kjehdahl (0,5 gr) dan H2SO4 (5 ml), lalu didestruksi selama 1 sampai 1,5 jam hingga berwarna jernih. Sampel didinginkan dan ditambahkan akuades (25 ml), kemudian dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Sampel ditambahkan NaOH 50% (25 ml), 3 tetes indikator PP, dan akuades (50 ml). Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 3% (10 ml). Destilasi dilakukan sampai diperoleh 50 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3.   Destilat di-titrasi dengan

menggunakan HCL 0,1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Kadar protein pada sampel dapat dihitung dengan persamaan 2 dan 3.

(%) N = (ml sampel-ml b'ank°) x n HCl x 14,008 x 100% [2] Berat Sampel (mg)

Kadar Protein (%) = %N x Fk            [3]

Keterangan    :

N            : Normalitas NaOH baku

Fk             : Faktor konversi 6,25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks Rigor Ikan Mujair

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa interaksi antara perlakuan cara mematikan (A) dan lama waktu post-mortem (T) berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap parameter indeks rigor ikan mujair. Rata-rata nilai indeks rigor ikan mujair dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai indeks rigor (%) ikan

Cara Mematikan (A)

Lama Waktu Post-Mortem (Jam)

T0 (0)

T1 (2)

T2 (4)

T3 (6)

T4 (8)

T5 (10)

T6 (12)

T7 (14)

A1 (Menggelepar)

0.00g

7.33fg

11.00efg

18.33def

33.33bcd

33.33bcd

45.00ab

58.00a

A2 (Suhu dingin)

0.00g

16.67ef

16.67ef

25.00cde

25.00cde

41.67b

48.33ab

56.67a

A3 (Ikejime)

0.00g

8.28fg

8.28fg

8.28fg

8.28fg

17.14ef

17.14ef

34.28bc

Keterangan:   Huruf yang sama dibelakang nilai rata rata menunjukkan nilai perbedaan yang tidak nyata (P>0,05)

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 1, diketahui bahwa nilai indeks rigor terendah diperoleh pada perlakuan A1T0 (menggelepar, 0 jam), A2T0 (suhu dingin, 0 jam), dan A3T0 (ikejime, 0 jam) yakni

sebesar 0,00%. Sedangkan, nilai indeks rigor tertinggi diperoleh pada perlakuan A1T7 (menggelepar, 14 jam) yakni sebesar 58.00%. Berdasarkan uji lanjut yang dapat dilihat pada

Lampiran 1, perlakuan A1T0, A2T0, dan A3T0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A1T1, A3T1, A1T2, A3T2, A3T3, dan A3T4 namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan, perlakuan A1T7 dan A2T7 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A1T6, dan A2T6. Perlakuan A2T5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A1T4, A1T5, A1T6, A2T6 dan A3T7, namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.. Selain itu, berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 1 juga diketahui bahwa terjadi penurunan indeks rigor selama fase kemunduran kesegaran pada ikan mujair.

Perubahan drastis yang terjadi pada nilai indeks rigor menandakan pergantian fase post-mortem dari ikan mujair. Fase pre-rigormortis untuk setiap perlakuan cara kematian dimulai dari T0 (0 jam) dengan nilai indeks rigor adalah 0,00%. Pada fase ini, ikan mujair baru dimatikan sehingga masih memiliki ciri-ciri ikan segar. Fase rigormortis dimulai pada T1 (2 jam) dan berakhir pada T6 (12 jam). Perubahan yang terjadi pada nilai indeks rigor selama fase ini berlangsung terjadi karena proses glikolisis pada ikan mujair. Fase post-rigormortis dimulai pada T7 (14 jam) hingga ikan mengalami pembusukan yang disebabkan karena reaksi autolisis. Hal ini sejalan dengan penelitian Liviawaty & Afrianto (2014), yaitu kematian ikan kurang dari 2 jam adalah fase pre-rigormortis, 2 sampai 12 jam adalah fase rigormortis, dan diatas 12 jam adalah fase post-rigormortis.

Selain itu, hasil analisis parameter indeks rigor menunjukkan laju fase post-mortem ikan yang berbeda-beda. Dari ketiga perlakuan cara mematikan yang dilakukan, perlakuan A3 (ikejime) merupakan perlakuan ikan yang mengalami laju perkembangan fase kemunduran kesegaran paling lambat. Hal tersebut disebabkan karena cara mematikan dengan teknik ikejime dapat mencegah peningkatan stress, yakni tidak adanya aktivitas otot selama proses perlakuan berlangsung, sehingga dapat memperpanjang laju penurunan tingkat kesegaran ikan (Herawati & Darmanto, 2014; Robb, 2002). Perlakuan A1 (menggelepar) dan A2 (suhu dingin) mengalami laju fase post-mortem yang cepat. Perlakuan A1 dan A2 akan memiliki aktivitas otot yang maksimal sampai mengalami kematian, sehingga sel-sel dalam ikan akan mengandung lebih banyak asam laktat dari respirasi an-aerob, ATP dihentikan dan memicu laju tahapan kemunduran kesegaran (mutu) yang lebih cepat (Borderías & Sánchez-alonso, 2011). Aktivitas otot yang maksimal juga berpengaruh terhadap penggunaan energi ikan yang berlebih serta terjadinya kerusakan fisik pada tubuh ikan, sehingga mempercepat laju post-mortem pada ikan.

Mutu Kesegaran Ikan Mujair

Mata

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diketahui bahwa interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap indikator mata ikan mujair.

Tabel 2. Nilai rata-rata organoleptik mata ikan mujair pengaruh interaksi antar perlakuan

Cara Mematikan

Lama Waktu Post-Mortem (Jam)

(A)

T0 (0)   T1 (2)   T2 (4)   T3 (6)   T4 (8)   T5 (10)   T6 (12)   T7 (14)

A1 (Menggelepar)

8,85     7,55     6,70     5,90     5,25     4,15      2,70      1,40

A2 (Suhu dingin)

8,85     7,80     7,50     6,95     6,40     5,65      4,55      2,90

A3 (Ikejime)

8,85     7,95     7,60     7,05     6,50     5,85      4,95      4,00

Penilaian organoleptik mata dilakukan dengan melihat kondisi mata ikan mujair selama postmortem. Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan A3T0 (ikejime, 0 jam) menghasilkan nilai organoleptik mata tertinggi, yaitu sebesar 8,85. Sedangkan, perlakuan A1T7 (menggelepar, 14 jam) memiliki nilai organoleptik mata terendah, yaitu sebesar 1,40. Perlakuan A3T0 memiliki nilai organoleptik mata tertinggi karena ikan baru mengalami kematian (post mortem), sehingga masih memiliki ciri-ciri ikan segar

(Siregar, 2020). Perlakuan A1T7 memiliki nilai organoleptik mata terendah karena ikan sudah cukup lama dibiarkan di suhu ruang dan memasuki fase pembusukan (post-rigormortis) (Trisnawati, 2020). Selain itu, berdasarkan data pada Tabel 2, bahwa laju penurunan nilai organoleptik mata untuk perlakuan A3 (ikejime) lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan A1 (menggelepar) dan A2 (suhu dingin). Ikan yang menggelepar sebelum mati akan kehilangan banyak glikogen, sehingga menyebabkan

fase rigormortis dan pembusukan berlangsung lebih Insang


cepat (Nurilmala et al., 2009).


Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diketahui bahwa interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap indikator insang ikan mujair.

Tabel 3. Nilai rata-rata organoleptik insang ikan mujair pengaruh interaksi antar perlakuan

Cara Mematikan

Lama Waktu Post-Mortem (Jam)

(A)

T0 (0)   T1 (2)   T2 (4)   T3 (6)   T4 (8)   T5 (10)   T6 (12)   T7 (14)

A1 (Menggelepar)

8,70     7,70     6,90     6,35     5,40     4,50      2,75      1,50

A2 (Suhu dingin)

8,70     7,70     7,05     6,60     6,10     5,45      4,05      2,30

A3 (Ikejime)

8,85     7,90     7,30     7,00     6,20     5,65      4,95      4,15

Penilaian organoleptik insang dilakukan dengan melihat kondisi warna insang ikan mujair selama post-mortem. Berdasarkan hasil uji lanjut yang disajikan pada Tabel 3 diketahui bahwa perlakuan A3T0 (ikejime, 0 jam) menghasilkan nilai organoleptik insang tertinggi, yaitu sebesar 8,85. Sedangkan, perlakuan A1T7 (menggelepar, 14 jam) menghasilkan nilai organoleptik insang terendah, yaitu sebesar 1,50. Tingginya nilai organoleptik insang pada perlakuan A3T0 disebabkan oleh ikan baru mengalami kematian, sehingga memiliki ciri-ciri ikan segar. Ikan segar memiliki warna insang yang berwarna merah cerah, dikarenakan akumulasi sel darah merah yang membawa oksigen di kapiler insang.

Perlakuan A1T7 memiliki nilai organoleptik insang terendah karena memiliki aktivitas otot yang maksimal sebelum kematian dan mempercepat terhentinya peredaran darah dan suplai oksigen (Siregar, 2020; Trisnawati, 2020). Selain itu, pada Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai organoleptik insang pada ikan mujair dari setiap perlakuan yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena insang pada ikan yang sudah mati akan mengalami pembusukan dan berubah menjadi pucat, sehingga mempengaruhi penilaian organoleptik insang (Siregar, 2020).

Lendir

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diketahui bahwa interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap indikator lendir ikan mujair.

Tabel 4. Nilai rata-rata organoleptik lendir ikan mujair pengaruh interaksi antar perlakuan

Cara Mematikan (A)

Lama Waktu Post-Mortem (Jam)

T0 (0)

T1 (2)

T2 (4)

T3 (6)

T4 (8)

T5 (10)

T6 (12)

T7 (14)

A1 (Menggelepar)

8,605

7,35

6,70

6,05

5,30

4,20

2,90

1,60

A2 (Suhu dingin)

8,70

7,65

7,15

6,80

5,90

5,20

3,90

2,30

A3 (Ikejime)

8,65

7,60

7,45

6,90

6,35

5,85

5,30

4,35

Penilaian organoleptik lendir dilakukan dengan melihat lendir pada permukaan ikan mujair selama post-mortem. Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 4 diketahui bahwa perlakuan A2T0 (suhu dingin, 0 jam) menghasilkan nilai organoleptik lendir tertinggi, yaitu sebesar 8,70. Sedangkan perlakuan A1T7 (menggelepar, 14 jam) menghasilkan nilai organoleptik lendir terendah, yaitu sebesar 1,60. Perlakuan A2T0 memiliki nilai organoleptik lendir tertinggi dikarenakan kondisi ikan yang masih dalam fase pre-rigormortis (Liviawaty & Afrianto, 2014).

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai kadar organoleptik lendir ikan mujair. Hal tersebut disebabkan karena aktivitas mikroba yang terjadi pada ikan akan menghasilkan benang-benang jamur dan lendir-lendir, sehingga terjadi penggumpalan lendir (Bawinto et al., 2015).

Bau

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diketahui bahwa interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap indikator bau ikan mujair.

Tabel 5. Nilai rata-rata organoleptik bau ikan mujair pengaruh interaksi antar perlakuan

Cara Mematikan (A)

Lama Waktu Post-Mortem (Jam)

T0 (0)

T1 (2)

T2 (4)

T3 (6)

T4 (8)

T5 (10)

T6 (12)

T7 (14)

A1 (Menggelepar)

8.60

7.10

6.45

5.65

4.85

3.70

2.10

1.30

A2 (Suhu dingin)

8.65

7.55

6.85

6.30

5.65

5,00

3.90

2.40

A3 (Ikejime)

8.75

7.90

7.40

6.95

6.35

5.75

5.30

4.35

Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 5 diketahui bahwa perlakuan A3T0 (ikejime, 0 jam) menghasilkan nilai organoleptik bau tertinggi, yaitu sebesar 8,75. Sedangkan, perlakuan A1T7 (menggelepar, 14 jam) menghasilkan nilai organoleptik bau terendah, yaitu sebesar 1,30. Selain itu, berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5, terjadi penurunan nilai organoleptik bau dari setiap perlakuan cara kematian pada ikan mujair.

Hal ini disebabkan karena terjadinya pembongkaran protein di fase rigormortis oleh

enzim otolitik yang menyebabkan ikan berbau busuk (Lemae & Lasmi, 2019).

Derajat Keasaman (pH) Filet Ikan Mujair

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa interaksi antara perlakuan cara mematikan (A) dan lama waktu post-mortem (T) tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap parameter derajat keasaman (pH) filet ikan mujair, sehingga tidak dilakukan uji lanjut pada parameter ini. Rata-rata nilai derajat keasaman (pH) filet ikan mujair dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai derajat keasaman (pH) filet ikan mujair

Cara Mematikan (A)

Lama Waktu Post-Mortem (Jam)

T0 (0)

T1 (2)

T2 (4)

T3 (6)

T4 (8)

T5 (10)

T6 (12)

T7 (14)

A1 (Menggelepar)

6,71

6,57

6,51

6,44

6,33

6,31

6,20

6,43

A2 (Suhu dingin)

6,76

6,50

6,48

6,44

6,35

6,33

6,22

6,41

A3 (Ikejime)

6,94

6,67

6,58

6,52

6,41

6,35

6,30

6,42

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 6, diketahui bahwa nilai derajat keasaman (pH) terendah diperoleh pada perlakuan A1T6

(menggelepar, 12 jam), yakni sebesar 6,20. Sedangkan, nilai derajat keasaman (pH) tertinggi diperoleh pada perlakuan A3T0 (ikejime, 0 jam)

yakni sebesar 6,94. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3 juga diketahui bahwa terjadi penurunan derajat keasaman (pH) ikan mujair pada fase penurunan kesegaran 0 jam (T0) sampai 12 jam (T6), namun meningkat pada fase 14 jam (T7).

Penurunan derajat keasaman pada filet ikan mujair terjadi di fase rigormortis. Pada fase ini, tahapan glikolisis akan menyebabkan terjadinya pengeluaran ATP sampai nilai yang paling rendah untuk memproduksi asam laktat, sehingga derajat keasaman (pH) pada daging ikan akan terus berkurang. Derajat keasaman (pH) akan mengalami peningkatan saat berada di fase post-rigormortis yang disebabkan oleh proses autolisis, yakni proses penghancuran sel oleh enzim yang mengakibatkan terjadinya pembusukan pada daging ikan. Pembusukan yang terjadi akan mendukung pertumbuhan bakteri dan meningkatkan derajat keasaman seiring dengan berjalannya waktu (Duarte et al., 2020).

Selain tahapan glikolisis dan proses autolisis, penurunan derajat keasaman pada filet ikan mujair terjadi karena ikan mengalami kerusakan oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme. Pem-filetan ikan pada penelitian ini dilakukan pada suhu

ruang (20-25 °C), dimana terdapat bakteri jenis psikrofilik dan mesofilik yang tumbuh dan mempengaruhi laju kemunduran kesegaran pada filet ikan mujair. Lingkungan yang besifat asam atau basa juga dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan derajat keasaman (pH) pangan (Daniel, 2016). Berdasarkan data yang didapat, laju penurunan derajat keasaman (pH) untuk perlakuan A3 (ikejime) adalah yang paling lambat dibandingkan dengan perlakuan A1 (menggelepar) dan A2 (suhu dingin). Hal tersebut dikarenakan adanya penanganan terhadap stress ikan sebelum dimatikan, sehingga meminimalisir aktivitas otot yang terjadi dan memperlambat laju post-mortem daging ikan, namun kenaikan derajat keasaman (pH) akan tetap terjadi di tahap post-rigormortis untuk setiap perlakuan (Borderías & Sánchez-alonso, 2011).

Kadar Protein Filet Ikan Mujair

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa interaksi antara perlakuan cara mematikan (A) dan lama waktu post-mortem (T) tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap parameter kadar protein filet ikan mujair, sehingga tidak dilakukan uji lanjut pada parameter ini.. Rata-rata nilai kadar protein fillet ikan mujair dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai kadar protein (%) ikan mujair

Cara Mematikan (A)

Fase Post-Mortem

Pre-Rigormortis

Rigormortis

Post-Rigormortis

A1 (Menggelepar)

26,20

17,01

12,47

A2 (Suhu dingin)

29,64

22,29

23,47

A3 (Ikejime)

26,65

26,54

22,15

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 7, diketahui bahwa nilai kadar protein terendah diperoleh pada perlakuan A1 (menggelepar) saat fase post-rigormortis, yakni sebesar 12,47. Sedangkan, nilai kadar protein tertinggi diperoleh pada perlakuan A2 (suhu dingin) saat fase pre-rigormortis, yakni sebesar 29,64. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 7 juga diketahui bahwa cenderung terjadi penurunan nilai kadar protein pada ikan mujair, dimana kadar protein tertinggi dari setiap perlakuan terletak pada fase pre-rigormortis, sedangkan kadar protein terkecil cenderung dari setiap perlakuan terletak pada fase post-rigormortis.

Penurunan nilai kadar protein yang terjadi pada filet ikan mujair berhubungan dengan derajat keasaman (pH). Menurut Masengi et al (2021), ikan yang kehilangan energi lebih banyak sebelum kematiannya akan menyebabkan penurunan pH yang berlangsung cepat, sehingga terjadi aktivitas enzim yang dapat menguraikan protein. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan, dimana perlakuan A1 (menggelepar) dan A2 (suhu dingin) mengalami kehilangan energi dalam jumlah besar akibat besarnya aktivitas otot sebelum kematiannya. Penurunan nilai kadar protein pada perlakuan A1

(menggelepar) jauh lebih besar dibandingkan perlakuan A2 (suhu dingin), karena aktivitas otot dari perlakuan A1 jauh lebih besar hingga menyebabkan luka fisik pada tubuh ikan sampai mengalami kematian. Sedangkan, penurunan kadar protein pada perlakuan A3 (ikejime) disebabkan karena menurunnya derajat keasaman (pH), sehingga enzim autolisis akan aktif dan mendegradasi protein-protein pada ikan mujair (Lestari et al., 2020).

Selain derajat keasaman (pH), penurunan kadar protein pada fillet ikan mujair juga dipengaruhi oleh suhu. Pada penelitian ini, ikan mujair dimatikan dan di-fillet pada suhu ruang yang memicu aktivitas enzim berlangsung cepat pada ikan mujair, sehingga mempengaruhi laju post-mortem.

Mutu Kesegaran Filet Ikan Mujair

Daging

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diketahui bahwa interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap indikator daging ikan mujair. Tabel 8. Nilai rata-rata organoleptik daging ikan mujair pengaruh interaksi antar perlakuan.

Tabel 8. Nilai rata-rata organoleptik daging ikan mujair pengaruh interaksi antar perlakuan.

Cara Mematikan (A)

Lama Waktu Post-Mortem (Jam)

T0 (0)   T1 (2)   T2 (4)   T3 (6)   T4 (8)   T5 (10)   T6 (12)   T7 (14)

A1 (Menggelepar)

8,75     7,60     6,80     6,00     5,25     4,05      2,80      1,50

A2 (Suhu dingin)

8,75     7,65     7,25     6,55     6,00     5,40      4,55      2,70

A3 (Ikejime)

8,80     7,80     7,45     7,00     6,55      5,95      5,20      4,55

Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 8, diketahui bahwa perlakuan A3T0 (ikejime, 0 jam) menghasilkan nilai organoleptik daging tertinggi, yaitu sebesar 8,80. Sedangkan, perlakuan A1T7 (menggelepar, 14 jam) menghasilkan nilai organoleptik daging terendah, yaitu 1,50. Perlakuan A3T0 memiliki nilai organoleptik daging tertinggi karena kondisi ikan yang baru dimatikan dan masih dalam fase pre-rigormortis (Liviawaty & Afrianto, 2014). Dari Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai organoleptik daging dari setiap perlakuan cara kematian ikan mujair.

Hal tersebut disebabkan karena kekuatan daging akan menurun hingga tahap post-rigormortis sampai hasil yang terendah karena saat post-rigormortis, diduga daging sudah mengalami kemunduran mutu (Wibowo et al., 2014).

Tekstur

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diketahui bahwa interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap indikator tekstur daging ikan mujair.

Tabel 9. Nilai rata-rata organoleptik tekstur daging ikan mujair pengaruh interaksi antar perlakuan

Lama Waktu Post-Mortem (Jam)

Cara Mematikan (A)

T0 (0)

T1 (2)

T2 (4)

T3 (6)

T4 (8)

T5 (10)

T6 (12)

T7 (14)

A1 (Menggelepar)

8,75

7,60

6,85

5,90

5,30

4,10

3,30

1,70

A2 (Suhu dingin)

8,75

7,70

7,30

6,45

6,00

5,20

4,25

2,50

A3 (Ikejime)

8,95

7,95

7,65

7,05

6,55

6,00

5,40

4,50

Penilaian organoleptik tekstur dilakukan dengan memencet filet ikan mujair menggunakan tangan selama post-mortem. Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 9 diketahui bahwa perlakuan A3T0 (ikejime, 0 jam) menghasilkan nilai organoleptik tekstur tertinggi, yaitu sebesar 8,95. Sedangkan, perlakuan A1T7 (menggelepar, 14 jam) menghasilkan nilai organoleptik tekstur terendah, yaitu sebesar 1,70. Perlakuan A3T0 memiliki nilai organoleptik tekstur terbesar dikarenakan kondisi ikan yang baru dimatikan dan masih dalam fase pre-rigormortis mempunyai tekstur daging yang sama dengan ikan hidup (Liviawaty & Afrianto, 2014). Sedangkan, perlakuan A1T7 memiliki nilai organoleptik tekstur terendah dikarenakan terjadinya peningkatan aktivitas enzim dalam fase post-rigormortis yang merombak daging ikan (autolisis) (Duarte et al., 2020). Selain itu, pada Tabel 9 juga dapat diketahui bahwa terjadi penurunan nilai organoleptik tekstur pada setiap perlakuan cara kematian, dimana perlakuan A3 memiliki laju penurunan yang lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut disebabkan karena cara kematian yang dilakukan tidak meningkatkan aktivitas otot pada ikan, sehingga ikan masih memiliki sisa ATP sebagai hasil dari proses glikolisis yang menyebabkan otot dapat ber-kontraksi serta relaksasi (Liviawaty & Afrianto, 2014).

KESIMPULAN

Cara mematikan dan lama waktu post-mortem berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap indeks rigor, mutu kesegaran organoleptik ikan mujair, dan mutu kesegaran organoleptik filet ikan mujair. Cara mematikan yang terbaik adalah cara mematikan dengan teknik ikejime, karena memiliki laju postmortem ikan mujair yang lebih lambat dibandingkan dengan cara kematian yang lain (menggelepar, dan suhu dingin). Sedangkan, fase post-mortem yang terbaik adalah fase pre-rigormortis (0 jam), karena kondisi ikan yang mati pada fase tersebut masih memiliki ciri-ciri yang sama dengan ikan segar, sehingga mempengaruhi kualitas dan mutu ikan.

Kombinasi perlakuan terbaik adalah cara kematian dengan teknik ikejime pada fase 0 jam (pre-rigormortis), yakni menghasilkan nilai indeks rigor 0,00%, organoleptik mata sebesar 8,85, organoleptik insang sebesar 8,85, organoleptik lendir sebesar 8,65, organoleptik bau sebesar 8,75, derajat keasaman (pH) sebesar 6,94, kadar protein sebesar 26,65%, organoleptik daging sebesar 8,80, dan organoleptik tekstur daging sebesar 8,95.

DAFTAR PUSTAKA

Bawinto, A. S., Mongi, E., & Kaseger, B. (2015). The Analysis of Moisture, pH, Sensory, and Mold Value of Smoked Tuna (Thunnus sp.) at Girian Bawah District, Bitung City, North Sulawesi. Media Teknologi Hasil Perikanan, 3(2), 55–65.

Borderías, A. J., & Sánchez-alonso, I. (2011). First Processing Steps and the Quality of Wild and Farmed Fish. Journal of Food Science, 76(1), 1– 5.

Concollato, A., Olsen, R. E., Vargas, S. C., Bonelli, A., Cullere, M., & Parisi, G. (2016). Effects of stunning/slaughtering methods in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) from death until rigor mortis resolution. Aquaculture, 464, 74–79.

Daniel, H. (2016). Mikroorganisme penyebab kerusakan pada ikan dan hasil perikanan lainnya. Buletin Matric, 13(2), 17–21.

Duarte, A. M., Silva, F., Pinto, F. R., Barroso, S., & Gil, M. M. (2020). Quality assessment of chilled and frozen fish—Mini review. Foods, 9(12), 1– 26.

Gatica, M. C., Monti, G. E., Knowles, T. G., & Gallo, C. B. (2010). Muscle pH, rigor mortis and blood variables in Atlantic salmon transported in two types of well-boat. Veterinary Record, 166(2), 45–50. https://doi.org/10.1136/vr.c71

Herawati, D. P., & Darmanto, Y. (2014). The

Influence of Mortality Process and The Fish Freshness Reduction Phase of Carp (Cyprinus

carpio) Paste Quality. Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(3), 23–31.

Islami, S. N.-E., Reza, M. S., Mansur, M. A., Hossain, M. I., Shikha, F. H., & Kamal, M. (2014). Rigor index, fillet yield and proximate composition of cultured striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus) for its suitability in processing industries in Bangladesh. Journal of Fisheries, 2(3), 157.

Lemae, & Lasmi, L. (2019). Studi pengaruh kemunduran mutu terhadap kandungan gizi Ikan Betok (Anabas testudineus) dari Daerah Mandor. Octopus, 8(1), 20–26.

Lestari, S., Baehaki, A., & Rahmatullah, I. M. (2020). Pengaruh Kondisi Post Mortem Ikan Patin (Pangasius Djambal) dengan Kematian Menggelepar yang Disimpan pada Suhu Berbeda Terhadap Mutu Filletnya. Jurnal FishtecH, 9(1), 34–44.

Liviawaty, E., & Afrianto, E. (2014). Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman. Jurnal Akuatika Indonesia, 5(1), 244592.

Masengi, S., Winda Sary, & Hotmauli Sipahutar, Y. (2021). Pengaruh Cara Kematian dan Tahap Penurunan Mutu Filet Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus). Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 24(2), 284–291. https://doi.org/10.17844/jphpi.v24i2.32498

Nurilmala, M., Nurjanah, & Hardja Utama, R. (2009).

Kemunduran Mutu Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) Pada Penyimpanan Suhu Chilling Dengan Perlakuan Cara Mati, 1–16.

Robb, D. (2002). Seafoods — Quality, Technology and Nutraceutical Applications. In Seafoods — Quality, Technology and Nutraceutical Applications.

Siregar, R. A. (2020). Penilaian Organoleptik dan TVB Ikan Mas (Cyprinus carpio) dengan Cara Kematian yang Berbeda Selama Penyimpanan Suhu Ruang (Vol. 4, Issue 1) [Universitas Riau].

Sudarmadji, S., Haryono, B., & Suhardi. (1997). Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian (4th ed.). Liberty.

Suwetja, I. K. (2007). Biokimia Hasil Perikanan (3rd ed.). Universitas Ratulangi Manado.

Trisnawati, D. (2020). Kemunduran Mutu Ikan Gabus (Channa striata) dengan Teknik Mematikan Ikan yang Berbeda pada Suhu Ruang 28˚C [Universitas Riau]. In Konstruksi Pemberitaan Stigma Anti-China pada Kasus Covid-19 di Kompas.com (Vol. 68, Issue 1).

Wibowo, I. R., Darmanto, Y., & Anggo, A. D. (2014). Pengaruh Cara Kematian Dan Tahapan Penurunan Kesegaran Ikan Terhadap Kualitas Pasta Ikan Nila (Oreochromis Niloticus). Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(3), 95–103.

306