BIOAVAILABILITAS TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) DALAM TANAH PERTANIAN SERTA KANDUNGANNYA DI DALAM BIJI PADI
on
Cakra Kimia (Indonesian E-Journal of Applied Chemistry)
Volume 10 Nomor 2, Oktober 2022
Cafaa tKjmia
BIOAVAILABILITAS TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) DALAM TANAH PERTANIAN SERTA KANDUNGANNYA DI DALAM BIJI PADI
Ni Desak Komang Ayu Hartani, I Made Siaka*, I Wayan Suarsa
Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Bali-Indonesia *Corresponding author: [email protected]
ABSTRAK: Penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus pada tanah pertanian dapat menyebabkan peningkatan akumulasi logam berat dalam tanah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran, bioavailabilitas logam Pb dan Cu dalam tanah, dan kandungan logam tersebut dalam beras yang dihasilkan dari pertanian tersebut. Metode ekstraksi bertahap digunakan untuk spesiasi dan penentuan konsentrasi logamnya menggunakan instrumen AAS. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kandungan logam total Pb dan Cu dalam tanah berturut-turut pada kisaran 58,76-70,22 mg/kg dan 66,60-72,31 mg/kg untuk tanah sebelum penanaman padi dan saat panen berkisar 65,33-78,09 mg/kg dan 71,07-82,25 mg/kg. Logam Pb dan Cu yang bioavailable pada tanah sebelum penanaman padi ditemukan paling rendah, yaitu 13,80-19,71% dan 10,82-11,69%, diikuti oleh logam non bioavailable: 35,33-38,83% dan 23,97-35,51%, dan paling tinggi adalah logam yang
berpotensi bioavailable, yaitu 44,17-47,37% dan 52,98-64,62%. Akan tetapi, kandungan Pb dan Cu dalam beras berturut-turut 0.12-0,29 mg/kg dan 1,88-2,518 mg/kg. Berdasarkan hasil penelitian ini, tanah pertanian di Desa Kukuh, Tabanan tergolong tidak tercemar menurut nilai the former Greater London Council (GLC), yaitu <500 mg/kg untuk Pb dan <100 mg/kg untuk Cu. Begitu juga, persentase logam yang bioavailable paling rendah, sehingga dapat diprediksi bahwa tidak lebih dari 20% logam-logam tersebut terakumulasi dalam tanaman. Ini terbukti bahwa kandungan Pb dan Cu dalam beras sangat kecil dan berada di bawah ambang batas yang diperbolehkan FAO/WHO, yaitu <0,3 mg/kg untuk Pb dan <10 mg/kg untuk Cu. Dengan demikian, beras yang diproduksi dari tanah pertanian tersebut tidak tercemar logam berat dan aman untuk dikonsumsi.
Kata Kunci: beras; bioavailabilitas; spesiasi; tanah; tembaga; timbal
ABSTRACT: The use of inorganic fertilizers on agricultural soils continuously and excessively can lead to an increase in the accumulation of heavy metals in the soil. This study aimed to determine the level of contamination, the bioavailability of Pb and Cu in soil, and their contents in rice produced from agriculture. The sequential extraction method was used to determine the bioavailability of the metals. In this study, it was found that the total metals content of Pb and Cu in the soil were 58.76-70.22 mg/kg and 66.60-72.31 mg/kg for the soil before planting rice and at harvest time were 65.33-78.09 mg/kg and 71.07-82.25 mg/kg, respectively. The Pb and Cu being bioavailable in the soil before planting rice were found to be the lowest at 13.80-19.71% and 10.82-11.69%, followed by non-bioavailable metals: 35.33-38.83% and 23.97-35.51%, and the highest were the metals being potentially bioavailable: 44.17-47.37% and 52.98-64.62%. However, Pb and Cu contents in rice were 0.12-0.29 mg/kg and 1.88-2.518 mg/kg. Based on the results of this study, agricultural soil in Kukuh Village, Tabanan was classified as unpolluted according to the value of the former Greater London Council (GLC) for Pb <500 mg/kg and <100 mg/kg for Cu). Moreover, it was found that the metals content in the rice was below the maximum limit allowed by FAO/WHO (<0.3 mg/kg for Pb and <10 mg/kg for Cu). Thus, rice produced from the
agricultural soil of Kukuh-Tabanan was not contaminated by heavy metals and was safe for consumption.
Keywords: bioavailability; copper; lead; rice; speciation; soil
Pada beberapa dasawarsa belakangan ini, produk pertanian menjadi perhatian para peneliti, terutama produk pertanian yang terkontaminasi oleh cemaran logam berat. Salah satu produk pertanian tersebut adalah padi atau beras. Beras adalah makanan pokok terpenting bagi penduduk di Asia Tenggara [1]. Sekitar 90% dari produksi beras ditanam dan dikonsumsi di Asia Tenggara [2]. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok beras. Bali telah dikenal sebagai daerah produksi pertanian terbesar. Hal ini dikarenakan pertanian menjadi sumber pendapatan sebagian besar penduduk Bali selain sektor pariwisata. Bagian-bagian tanaman yang dapat dimakan (edible parts) seperti biji-bijian dapat menyebabkan perpindahan langsung polutan logam ke manusia [3].
Aktivitas pertanian yang meliputi penggunaan pupuk organik dan anorganik, mengaplikasikan pestisida sintetis yang berlebihan (tidak terkontrol), penggunaan air limbah untuk irigasi dan penambahan lumpur limbah ke dalam tanah merupakan sumber utama Pb dan Cu di tanah pertanian. Apabila pupuk anorganik yang digunakan tidak dikendalikan secara serius bersama pupuk organik yang memadai maka dapat menyebabkan peningkatan logam timbal dan tembaga yang berpotensi mencemari tanah dan tanaman [4]. Beberapa pupuk anorganik yang sering diaplikasikan dalam lahan pertanian seperti pupuk NPK majemuk dan pupuk SP-36. Menurut Siaka [5] konsentrasi logam Pb dan Cu di dalam pupuk NPK majemuk adalah 8,56 mg/kg dan 17,92 mg/kg. Disisi lain, konsentrasi logam Pb dan Cu di dalam pupuk SP-36 adalah 1,24 mg/kg dan 17,31 mg/kg.
Unsur-unsur Pb dan Cu diserap oleh akar padi dan didistribusikan ke berbagai
bagian tanaman yang akhirnya terakumulasi di bagian-bagian tertentu dari tanaman tersebut. Logam berat tersebut dapat terserap ke dalam tanah dan berpotensi terakumulasi ke dalam tanaman yang mana hal ini berhubungan dengan bioavailabilitas. Konsep bioavailabilitas telah lama digunakan dalam ilmu tanah. Misalnya, menentukan jumlah unsur yang berhasil tersedia (available) dalam tanaman [6].
Desa Kukuh terletak di Kecamatan Kerambitan, Tabanan, Bali yang mana daerah tersebut sangat potensial di bidang agrowisata. Hal itu dikarenakan daerahnya cukup luas dengan pertanian. Beberapa penelitian yang berkaitan tentang kandungan logam berat dalam tanah pertanian di Bali telah dilakukan sebelumnya. Siaka et al [7] melaporkan adanya kandungan logam timbal pada tanah pertanian basah tertinggi sebesar 16,1072 mg/kg sedangkan pada tanah pertanian kering tertinggi sebesar 14,7189 mg/kg. Penelitian yang dilakukan Devi et al [8] di Gianyar, Bali menunjukkan kandungan logam Cu pada tanah pertanian organik sebesar 45,3922 mg/kg sedangkan tanah pertanian anorganik sebesar 48,9121 mg/kg.
Dalam penelitian ini dilakukan metode ekstraksi bertahap. Ekstraksi bertahap digunakan untuk membedakan bentuk yang bervariasi dari keberadaan logam dalam tanah. Bentuk tersebut dibedakan menjadi 3, yaitu fraksi bioavailable (bentuk ion), fraksi yang berpotensi bioavailable (logam yang terikat dengan Fe/Mn oksida dan bahan organik), dan fraksi non bioavailable (logam yang terikat dengan silikat). Perlu diketahui tingkat bioavailabilitas logam Pb dan Cu dalam tanah untuk mengetahui banyaknya
kadar logam tersebut yang dapat diserap oleh tanaman.
Penelitian bioavailabilitas logam berat dalam tanah pertanian di Desa Kukuh, Tabanan belum pernah dilakukan sebelumnya. Bioavailabilitas logam timbal (Pb) serta tembaga (Cu) pada lahan pertanian di Desa Kukuh, Tabanan dan konsentrasi logamnya di dalam biji padi (sekam maupun beras) dilakukan dengan metode ekstraksi bertahap kemudian dianalisis dengan instrumen Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).
Bahan yang digunakan saat penelitian, yaitu sampel tanah pertanian Desa Kukuh, Tabanan, sampel biji padi, aquades, asam asetat (CH3COOH), asam nitrat (HNO3), Pb(NO3)2, Cu(NO3)2.4H2O, CH3COONH4, H2O2, HCl, NH2OH.HCl (Merck). Bahan-bahan yang digunakan tanpa pemurnian lebih lanjut.
Adapun peralatan yang digunakan saat penelitian adalah kantong plastik polietilen, botol plastik polietilen, termometer, alat sentrifugasi, pH meter, labu ukur, botol semprot, pipet volume, gelas ukur, gelas Beaker, pipet tetes, mortar, ayakan 63 µm (230 mesh), kertas saring, corong, oven, cawan porselen, neraca analitik, penangas air, pemanas listrik (hotplate), mesin penggojog
(shaker), ultrasonic bath, Atomic
Absorption Spectrophotometer (AAS) Shimadzu AA7000.
Sampel diambil pada 2 lahan yang berbeda dengan sendok polietilen. Terdapat 3 petak dalam 1 lahan, yakni hulu, tengah, dan hilir. Bagian hulu diambil 8 titik sampel; bagian tengah diambil 8 titik sampel; dan bagian hilir diambil 8 titik sampel. Pada setiap titiknya diambil sampel tanah sebanyak 100-150 g. Delapan titik sampel yang didapatkan digabung dan
menjadi sampel komposit sehingga dalam 1 lahan diperoleh 3 sampel (hulu, tengah dan hilir). Sampel dimasukkan ke kantong plastik polietilen.
Sampel tanah yang telah diambil dipisahkan dari batuan atau butiran keras lalu di oven pada suhu 60°C hingga massa sampel konstan. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan terjadinya transformasi bentuk kimia seperti exchangeable dan karbonat (Shivakumar et al., 2012). Sampel tanah digerus sampai halus dengan mortar lalu diayak pada ukuran 63 µm (230 mesh). Sampel dimasukkan ke dalam botol polietilen [5].
Sampel biji padi yang sudah dipanen dioven pada suhu 60°C hingga mencapai massa konstan. Sampel dipisahkan antara sekam padi dan beras dengan mortar lalu digerus dan diayak pada ukuran 63 µm (230 mesh). Sampel yang telah diayak dimasukkan ke dalam botol polietilen [5].
Penentuan Konsentrasi Logam Pb dan Cu Total dalam Sampel Biji Padi
Sebanyak 1 gram sampel beras yang diperoleh dari biji padi hasil panen dimasukkan ke dalam gelas Beaker. Sampel ditambahkan sebanyak 10 mL campuran asam nitrat pekat dan asam klorida pekat (3:1) yang disebut larutan reverse aquaregia. Campuran didigesti di dalam ultrasonic bath sampai 45 menit pada suhu 60°C. Selanjutnya, campuran dipanaskan sampai 45 menit dengan hotplate pada suhu 140°C [9]. Selanjutnya, larutan
disentrifugasi hingga didapat sentrifugat lalu diencerkan dengan aquades dalam labu ukur 50 mL. Absorbansi larutan diukur dengan instrumen AAS (Panjang gelombang Pb = 217 nm; Cu = 324,7 nm)
Ekstraksi Bertahap (Sequential
Extraction)
Sampel tanah ditimbang dengan teliti sebanyak 1 gram lalu ditambahkan 40 mL asam asetat 0,1 M. Campuran digojog
dengan shaker sampai 2 jam lalu disentrifugasi sampai 10 menit dengan kecepatan 4000 rpm. Hasil sentrifugat diencerkan dengan asam nitrat 0,01 M dalam labu ukur 50 mL. Absorbansi larutan diukur menggunakan instrumen AAS. Hasil residu pada tahap ini diperlukan untuk tahap selanjutnya.
Residu fraksi I ditambahkan 40 mL hidroksilamin hidroklorida (NH2OH.HCl) 0,1 M lalu ditambahkan asam nitrat pekat sampai tingkat keasamaan campuran berada pada pH 2. Campuran digojog dengan shaker sampai 2 jam lalu disentrifugasi sampai 10 menit dengan kecepatan 4000 rpm. Hasil sentrifugat diencerkan dengan asam nitrat 0,01 M dalam labu ukur 50 mL. Absorbansi larutan diukur menggunakan instrumen AAS. Hasil residu pada tahap ini diperlukan untuk tahap selanjutnya.
Residu fraksi II ditambahkan hidrogen peroksida 8,8 M sebanyak 10 mL. Setelah itu, campuran didiamkan sampai 1 jam dengan ditutup kaca arloji. Selanjutnya, campuran dipanaskan dengan penangas air pada keadaan suhu 85°C sampai 1 jam. Campuran ditambahkan lagi hidrogen peroksida 8,8 M sebanyak 10 mL dan dipanaskan lagi sampai 1 jam dengan penangas air pada keadaan suhu 85°C. Campuran didinginkan dan ditambahkan dengan amonium asetat 1 M. Campuran ditambahkan asam nitrat pekat sampai tingkat keasamaan campuran berada pada pH 2. Setelah itu, campuran digojog dengan shaker sampai 2 jam lalu disentrifugasi sampai 10 menit dengan kecepatan 4000 rpm. Hasil sentrifugat diencerkan dengan asam nitrat 0,01 M dalam labu ukur 50 mL. Absorbansi larutan diukur menggunakan instrumen AAS. Hasil residu pada tahap ini diperlukan untuk tahap selanjutnya.
Residu fraksi III ditambahkan dengan 10 mL aquades lalu ditambahkan 10 mL campuran asam nitrat pekat dan asam klorida pekat (3:1) yang disebut larutan reverse aquaregia. Campuran didigesti di dalam ultrasonic bath sampai 45 menit pada suhu 60°C. Selanjutnya, campuran dipanaskan sampai 45 menit dengan hotplate pada suhu 140°C [9]. Selanjutnya, larutan disentrifugasi hingga didapat sentrifugat lalu diencerkan dengan aquades dalam labu ukur 50 mL. Absorbansi larutan diukur dengan instrumen AAS.
Konsentrasi timbal pada lahan A dan B pertanian Desa Kukuh, Tabanan disajikan dalam Gambar 1. Konsentrasi Pb dalam tanah pertanian di Desa Kukuh, Tabanan termasuk tidak tercemar timbal menurut regulasi dari GLC [10]. Menurut nilai GLC tanah tergolong tidak tercemar berada pada kisaran 0-500 mg/kg. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi logam Pb yang paling tinggi pada tanah sebelum penanaman berada pada lahan B dan yang paling rendah di lahan A. Konsentrasi logam Pb yang lebih besar pada saat panen diakibatkan oleh penggunaan pupuk anorganik yang banyak terakumulasi ke dalam tanah.
Tanah Pertanian Padi
Selain itu, konsentrasi logam Pb yang lebih besar pada tanah saat panen menunjukkan bahwa logam yang berhasil terserap ke dalam tanaman tidak terlalu banyak. Pada tanah saat panen, konsentrasi logam Pb paling tinggi juga berada pada lahan B. Masuknya logam tersebut ke lingkungan tanah karena adanya penggunaan bahan agrokimia oleh petani setempat yang langsung terpapar media tanah. Adanya perbedaan konsentrasi logam berat Pb diakibatkan oleh jenis penggunaan pupuk dalam aktivitas budidaya pertanian padi.
Pada lahan A digunakan jenis pupuk SP-36 dan pupuk urea dalam proses produksi padi tersebut. Menurut Siaka [5] kandungan logam Pb di dalam pupuk SP-36 adalah 1,24 mg/kg. Pada lahan B digunakan campuran jenis pupuk urea dan pupuk NPK majemuk dengan perbandingan 1:2. Menurut Siaka [5] kandungan logam Pb di dalam pupuk NPK majemuk adalah 8,56 mg/kg. Kandungan logam Pb di dalam pupuk NPK majemuk tersebut lebih banyak dibandingkan dengan pupuk SP-36. Oleh karena itu, konsentrasi logam total Pb dan Cu lebih banyak terdapat di lahan B.
-
3.2 Konsentrasi Logam Total Tembaga dalam Tanah sebelum Penanaman dan saat Panen
Konsentrasi tembaga di setiap lahan pertanian Desa Kukuh, Tabanan disajikan dalam Gambar 2. Konsentrasi tembaga pada tanah pertanian di Desa Kukuh, Tabanan sama seperti logam Pb yang tergolong tidak tercemar menurut nilai GLC pada kisaran 0-100 mg/kg. Banyaknya logam Cu yang terakumulasi dalam tanah sama halnya dengan logam Pb yang bersumber dari penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetis. Lahan B pada tanah sebelum penanaman dan tanah saat panen menghasilkan konsentrasi Cu paling besar. Hasil ini sama dengan peningkatan logam Pb yang juga berada pada lahan B. Hal itu disebabkan oleh perbedaan jenis pupuk yang digunakan.
Pada lahan A, penggunaan pupuk SP-36 memiliki kandungan logam Cu sebesar 17,31 mg/kg. Pada lahan B menggunakan pupuk NPK majemuk yang memiliki kandungan logam Cu sebesar 17,92 mg/kg [5].
Gambar 2. Konsentrasi Tembaga dalam Tanah Pertanian Padi
-
3.3 Bioavailabilitas Timbal dan Tembaga dalam Tanah sebelum Penanaman dan saat Panen
Spesiasi sebelum penanaman penting untuk mengetahui bentuk spesies (geokimia) pada tiap logam sehingga dapat dijadikan acuan untuk mengetahui banyaknya logam yang terserap ke dalam tanaman [5]. Selain itu, spesiasi dapat memberikan informasi tentang sumber pencemar tersebut. Fraksi yang sumber pencemarnya berasal dari aktivitas manusia adalah F1, F2, dan F3. Disisi lain, fraksi yang sumber pencemarnya berasal dari alam adalah F4. Spesiasi ini perlu dilakukan untuk mengetahui perbedaan logam berat yang bioavailable, berpotensi bioavailable, dan non bioavailable. Tanaman dapat dengan mudah menyerap logam berat yang bioavailable.
Pola penyebaran fraksi logam Pb sebelum penanaman pada lahan A, yaitu F4>F3>F2>F1 sedangkan pola penyebaran pada lahan B, yaitu F4>F3>F1>F2. Logam Pb yang teramati baik di lahan A maupun lahan B paling banyak berikatan pada F4 (fraksi resistan). Fraksi resistan (F4) merupakan fraksi yang paling stabil (inert) dan tidak mungkin membentuk ion.
Tabel 1. Konsentrasi Rata-Rata Timbal dan Tembaga pada Tanah sebelum Penanaman dan saat Panen di Setiap Lahan
Lahan |
Fraksi |
Tanah sebelum penanaman |
Tanah saat panen | ||
Pb (mg/kg) |
Cu (mg/kg) |
Pb (mg/kg) |
Cu (mg/kg) | ||
I (EFLE) |
9,3081 ± |
7,8404 ± |
10,6102 ± |
7,8404 ± | |
0,1794 |
0,0968 |
0,4603 |
0,0968 | ||
II (Fe/Mn |
11,1656 ± |
11,4164 ± |
14,0384 ± |
11,4164 ± | |
A |
Oksida) |
0,2781 |
0,8300 |
0,3118 |
0,8300 |
III |
17,1793 ± |
28,3583 ± |
20,5884 ± |
28,3583 ± | |
(Organik/Sulfida) |
0,4550 |
0,3742 |
0,6342 |
0,3742 | |
IV (Resisten) |
23,1931 ± |
20,3685 ± |
24,9838 ± |
20,3685 ± | |
0,5840 |
0,8804 |
0,4405 |
0,8804 | ||
I (EFLE) |
13,0809 ± |
7,7729 ± |
14,2586 ± |
7,7729 ± | |
0,3463 |
0,3018 |
0,3188 |
0,3018 | ||
II (Fe/Mn |
12,3147 ± |
13,1249 ± |
15,0918 ± |
13,1249 ± | |
B |
Oksida) |
0,3105 |
0,3896 |
0,4921 |
0,3896 |
III |
17,6965 ± |
27,4819 ± |
21,4119 ± |
27,4819 ± | |
(Organik/Sulfida) |
0,6325 |
0,6209 |
0,3706 |
0,6209 | |
IV (Resisten) |
23,8346 ± |
22,3658 ± |
25,6349 ± |
22,3658 ± | |
0,3949 |
0,6357 |
0,5678 |
0,6357 |
Tabel 2. Persentase (%) Bioavailabilitas Timbal dan Tembaga pada Tanah sebelum Penanaman dan saat Panen di Setiap Lahan
Lahan |
Bioavailabilitas |
Tanah sebelum penanaman |
Tanah saat panen | ||
Pb (%) |
Cu (%) |
Pb (%) |
Cu (%) | ||
Bioavailable |
15,27 |
11,54 |
15,05 |
15,20 | |
A |
Berpotensi Bioavailable |
46,60 |
58,50 |
49,32 |
56,46 |
Non bioavailable |
38,13 |
29,97 |
35,63 |
28,34 | |
Bioavailable |
19,54 |
10,99 |
18,66 |
16,00 | |
B |
Berpotensi Bioavailable |
44,84 |
57,40 |
47,78 |
55,36 |
Non bioavailable |
35,61 |
31,61 |
33,56 |
28,63 |
Umumnya, fraksi resistan (F4) terikat kuat dalam mineral dan silikat yang dapat terekstraksi pada keadaan asam kuat dan panas suhu tinggi. Oleh karena itu, logam pada fraksi 4 disebut sebagai non bioavailable.
Berdasarkan hasil penelitian, tanah saat panen baik pada lahan A maupun lahan B meghasilkan pola penyebaran timbal (Pb) sama, yaitu F4>F3>F2>F1. Menurut Siaka
-
[5] pola penyebaran fraksi logam yang relatif sama pada tanah sebelum penanaman dan saat panen dapat membuktikan bahwa tidak ada perubahan pH maupun redoks yang signifikan selama periode penanaman padi pada tanah pertanian tersebut. Akan tetapi, pola penyebaran fraksi logam Pb di lahan B pada tanah sebelum penanaman dan saat panen berbeda. Hal itu disebabkan tanah
saat panen di lahan B terjadi peningkatan konsentrasi logam Pb yang berasosiasi dengan F2 dibanding F1. Fraksi logam Pb yang paling dominan baik tanah sebelum penanaman maupun tanah saat panen adalah fraksi resistan (F4). Dapat dikatakan bahwa sebagian besar timbal yang terkandung di dalam tanah tidak banyak terakumulasi (uptake) ke tanaman padi dan banyak terakumulasi di dalam tanah. Selanjutnya, fraksi terbanyak kedua adalah fraksi organik/sulfida (F3) yang termasuk fraksi berpotensi bioavailable dapat berbahaya jika dalam jumlah banyak.
Pola penyebaran fraksi logam Cu sebelum penanaman pada lahan A dan lahan B sama, yaitu F3>F4>F2>F1. Pada fraksi 3 logam berat dalam bentuk senyawa kompleks organologam, dimana ion H+ asam humat dari pupuk digantikan oleh logam berat. Jika semakin asam atau semakin rendah nilai pH pada tanah maka logam dalam bentuk ion semakin banyak. Semakin rendah pH tanah, semakin tinggi bioavailabilitas logamnya. Nilai pH yang cenderung rendah akan lebih mudah terserap ke dalam tanaman.
Secara umum, pola bioavailabilitas timbal dan tembaga dalam tanah pertanian di Desa Kukuh, Tabanan sebelum penanaman maupun saat panen, yaitu berpotensi bioavailable > non bioavailable > bioavailable. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar tanah pertanian di Desa Kukuh, Tabanan terikat pada kedua fase tersebut, yaitu fraksi Fe/Mn oksida (F2) dan fraksi organik/sulfida (F3) yang mana sumber pencemarnya dapat berasal dari aktivitas manusia, yaitu penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetis. Logam yang berasosiasi pada F2 akan bersifat labil saat kondisi potensial reduksi (Eh) rendah. Disisi lain, logam yang berasosiasi pada F3 dapat terdegradasi di bawah proses oksidasi [11]. Persentase logam yang bioavailable paling rendah, sehingga dapat diprediksi bahwa tidak lebih dari 20% logam-logam tersebut terakumulasi dalam tanaman.
Bagian edible part (dapat dikonsumsi) biji padi yang tumbuh di Desa Kukuh, Tabanan belum tergolong tercemar yang disajikan dalam Tabel 3. Menurut FAO/WHO [12] batas maksimum logam Pb yang ada di dalam beras adalah 0,3 mg/kg sedangkan batas maksimum logam Cu dalam beras adalah 10 mg/kg.
Tabel 3. Konsentrasi Timbal dan Tembaga
dalam Edible Part Biji Padi (Beras) | ||
Lahan |
Pb |
Cu |
mg/kg |
mg/kg | |
A |
0,1436 |
1,9782 |
B |
0,2490 |
2,3535 |
Kandungan logam yang terserap ke dalam biji padi tergolong sedikit. Hal ini sesuai dengan bioavailabilitas logam di dalam tanah yang secara umum memiliki urutan, yaitu berpotensi bioavailable > non bioavailable > bioavailable. Fraksi non bioavailable berada di urutan kedua, sehingga keadaan ini dapat mengindikasikan bahwa tanah-tanah tersebut cukup aman untuk tanaman padi terhadap kontaminasi Pb dan Cu. Kandungan logam total biji padi di lahan B lebih besar dibandingkan lahan A. Hal ini sesuai dengan konsentrasi total di dalam tanah lahan B yang mempunyai konsentrasi paling besar.
Akumulasi logam Pb pada biji padi di Desa Kukuh, Tabanan akibat pencemaran udara memiliki kemungkinan yang sangat kecil karena lokasi lahan tersebut cukup jauh dari jalan raya dan ini dapat dilihat dari Pb yang terkandung di dalam biji padi. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Siaka [5] bahwa kandungan logam Pb yang ada di dalam tanaman kentang di Candikuning, Tabanan lebih kecil dibandingkan dengan bagian akarnya. Hal itu diakibatkan dari penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetis selama proses penanaman dan wilayah tersebut juga jauh dari jalan raya.
Tabel 4. Perbandingan Persentase Logam Pb dan Cu dalam Biji Padi
Lahan |
Beras |
Sekam | ||
%Pb |
%Cu |
%Pb |
%Cu | |
A |
14,08 |
37,64 |
85,92 |
62,36 |
B |
15,98 |
35,10 |
84,02 |
64,90 |
Kandungan logam Pb dan Cu di dalam biji padi paling besar terakumulasi pada sekam dibandingkan dengan beras yang dapat ditunjukkan pada Tabel 4. Dengan demikian, sebagian besar logam Pb dan Cu terakumulasi pada sekam yang bukan merupakan bagian edible part dari biji padi. Tembaga sebagai unsur mikro akan mudah larut pada keadaan yang asam. Begitu pun juga timbal yang terkandung dalam medium tanah menjadi mudah larut sehingga dapat dengan mudah diserap ke tanaman [13]. Akan tetapi, aumulasi logam tersebut akan berbeda pada masing-masing bagian tanaman yang berkaitan dengan translokasi logam tersebut.
Menurut Liu et al [14] bahwa akar tanaman umumnya dapat mengambil cukup banyak Pb dan Cu dari tanah tetapi sangat terbatas translokasi ke bagian atas tanaman padi seperti biji padi. Timbal ditemukan dalam jumlah banyak di dalam dinding sel, ruang antar sel, vakuola, dan diktiosom (badan golgi) sebagai Pb pirofosfat, endapan, dan kristal. Oleh karena itu, Pb tidak mudah ditranslokasikan ke bagian atas tanah terutama bagian biji. Jaringan pengangkut xylem memegang peranan penting dalam proses translokasi logam Cu dari akar ke bagian atas tanaman [15].
Sukarjo et al [16] juga melaporkan bahwa timbal di dalam tanah dapat terserap oleh akar, jerami dan beras yang mana pada bagian akar menghasilkan kontaminasi paling besar karena kontak langsung dengan media tanah. Pernyataan yang lain juga didukung oleh Alrawiq et al [17] bahwa bagian akar padi banyak menyerap logam.
Tanah pertanian di Desa Kukuh, Tabanan tergolong tidak tercemar menurut
regulasi GLC. Persentase bioavailable jauh lebih rendah dibanding logam yang berpotensi bioavailable sehingga dapat diprediksi bahwa tidak lebih dari 20% logam tersebut terakumulasi dalam tanaman. Ini terbukti bahwa kandungan Pb dan Cu dalam padi sangat kecil dan masih berada dalam batas aman menurut regulasi dari FAO/WHO, yaitu tidak lebih dari 0,3 mg/kg untuk timbal dan tidak lebih dari 10 mg/kg untuk tembaga, sehingga beras yang diproduksi dari tanah pertanian Desa Kukuh, Tabanan tidak tercemar logam berat dan aman untuk dikonsumsi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ni Putu Diantariani, S.Si, M.Si, Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, dan Dr. Ir. I Gusti Ayu Kunti Sri Panca Dewi yang telah bersedia memberikan masukan baik saran maupun kritik terhadap penulisan skripsi dan penyusunan jurnal. Terima kasih juga kepada berbagai pihak selama proses penelitian berlangsung.
-
[1] Meharg, A.A., Norton, G., Deacon, C., Williams, P., Adomako, E.E., Price, A., Zhu, Y., Li, G., Zhao, F.J., McGrath, S., Villada, A., Sommella, A., De Silva, P.M.C.S., Brammer, H., Dasgupta, T. dan Islam, M.R. 2013. Variation in Rice Cadmium Related to Human Exposure. Environmental Science & Technology. 47(11):5613-5618
-
[2] Laborte, A.G., de Bie, K.C., Smaling,
E.M., Moya, P.F., Boling, A.A. dan Van Ittersum, M.K. 2012. Rice Yields and Yield Gaps in Southeast Asia: Past Trends and Future
Outlook. European Journal of Agronomy. 36(1): 9-20
-
[3] Zulkafflee, N.S., Redzuan, N.A. M,
Hanafi, Z., Selamat, J., Ismail, M.R., Praveena, S.M. dan Razis, A.F.A. 2019. Heavy Metal in Paddy Soil and
Its Bioavailability in Rice Using in Vitro Digestion Model for Health Risk Assessment. International Journal of Environmental Research and Public Health. 16(23):4769
-
[4] Morismon, M., Budianta, D., Napoleon, A. dan Hermansyah, H. 2017. The Contamination of Pb and Cu in The Intensive Paddy Field at Musi Rawas Regency, South Sumatera, Indonesia. Pollution Research. 36(4):1-6
-
[5] Siaka, I.M. 2016. Spesiasi dan Bioavailabilitas Logam Berat dalam Tanah dan Akumulasinya dalam Sayuran sebagai Dasar Penentuan Tingkat Aman Konsumsi. Disertasi. Universitas Udayana. Denpasar
-
[6] Petruzzelli, G., Pedron, F. dan Rosellini, I. 2020. Bioavailability and Bioaccessibility in Soil: A Short Review and A Case Study. AIMS Environmental Science. 7(2):208-225
-
[7] Siaka, I.M., Sahara, E. dan Dharmayoga, G.A.P.M. 2015. Bioavailabilitas dan Spesiasi Logam Berat Pb dan Cd Pada Tanah Pertanian Basah dan Kering di Daerah Denpasar. Jurnal Kimia. 9(1):132-138
-
[8] Devi, N.W.B.S., Siaka, I.M. dan
Putra, K.G.D. 2019. Spesiasi dan Bioavailabilitas Logam Berat Cu dan Zn Dalam Tanah Pertanian Organik dan Anorganik. Jurnal Kimia. 13(2):213-220
-
[9] Siaka, I.M., Owens, C.M. dan Birch,
G.F. 1998. Evaluation of Some Digestion Methods for The Determination of Heavy Metals in Sediment Samples by Flame-AAS. Analytical Letters. 31(4):703-718
-
[10] Alloway B.J. 1990. Heavy Metal in
Soil. 1st Eds. Blackie Academic &
Proffesional. Glasgow. London
-
[11] Gasparatos, D., Haidouti, C., Adrinopoulos, F. dan Areta, O. 2005. Chemical Speciation and
Bioavailability of Cu, Zn and Pb in Soils from the National Garden of
Athens, Greece. The 9th International Conference on Environmental Science and Technology. Athena, 1-3 September 2005
-
[12] WHO. 1996. Permissible Limits of Heavy Metals in Soil and Plants. Geneva World Health Organization. Switzerland
-
[13] Arisusanti, R.J. dan Purwani, K.I. 2013. Pengaruh Mikoriza Glomus fasciculatum Terhadap Akumulasi Logam Timbal (Pb) pada Tanaman Dahlia pinnata. Jurnal Sains dan Seni ITS. 2(2): 69-73
-
[14] Liu, J., Li, K., Xu, J., Zhang, Z., Ma, T., Lu, X., Yang, J. dan Zhu, Q. 2003. Lead Toxicity, Uptake, and Translocation in Different Rice Cultivars. Plant Science. 165(4): 793802
-
[15] Printz, B., Lutts, S., Hausman, J. F., & Sergeant, K. 2016. Copper Trafficking in Plants and Its Implication on Cell Wall Dynamics. Frontiers in Plant Science. 7(601): 116
-
[16] Sukarjo, S., Hidayah, A. dan Zulaehah, I. 2018. Pengaruh Pupuk Terhadap Akumulasi dan Translokasi Kadmium dan Timbal di Tanah dan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek Ke-3. Surakarta, 5 Mei 2018
-
[17] Alrawiq, N., Khairiah, J., Talib, M.L., Ismail, B.S. dan Anizan, I. 2014. Accumulation and Translocation of Heavy Metals in Paddy Plant Selected from Recycled and NonRecycle Water Area of MADA Kedah, Malaysia. International Journal ChemTech Research. 6:
2347-2356
125
Discussion and feedback