ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.2,FEBRUARI, 2020



Diterima:16-01-2020 Revisi:20-01-2020 Accepted:22-02-2020

PREVALENSI RAWAT INAP AKIBAT GEJALA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA USIA DI BAWAH LIMA TAHUN YANG DITITIPKAN DI TAMAN PENITIPAN ANAK (TPA) KOTA DENPASAR Alvin Alvelino Putra Sutrisna, Ayu Setyorini Mestika Mayangsari2, Eka Gunawijaya2 1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar

Email : [email protected]

ABSTRAK

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) salah satunya pneumonia, merupakan salah satu penyebab tertinggi kematian pada balita usia di bawah lima tahun. Berkurangnya waktu antara anak dan orang tua akibat tuntutan ekonomi dan pekerjaan membuat pengawasan terhadap anak, terutama mengenai tumbuh kembang dan kesehatan anak mulai berkurang. Alasan ini membuat orang tua memilih Taman Penitipan Anak (TPA) sebagai salah satu solusi tempat anak tumbuh dan berkembang. TPA diduga mampu menjadi risiko tempat penyebaran penyakit pada balita, salah satunya adalah ISPA. Atas dasar tersebut penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui prevalensi dan karakteristik faktor balita, lingkungan, dan TPA pada balita yang di rawat inap akibat gejala ISPA yang dititipkan di TPA Kota Denpasar. Penelitian deskriptif potong lintang dengan sampel sebanyak 120 sampel didapat melalui data primer berupa kuesioner yang telah dilakukan di 12 TPA, tersebar di empat wilayah administratif Kota Denpasar. Sampel diambil menggunakan metode Multi Stage Random Sampling. Prevalensi balita yang dirawat inap menunjukkan angka total 10,8%, di mana empat balita dirawat inap akibat gejala ISPA (3,3%) yang diduga seluruhnya menderita pneumonia. Karakteristik balita berupa usia, jenis kelamin, berat lahir, status gizi, rirwayat imunisasi, dan riwayat ASI eksklusif, serta karakteristik lingkungan balita seperti kepadatan hunian, pendidikan ibu, penghasilan, adanya anggota keluarga yang merokok, dan kepadatan TPA pun dievaluasi untuk dapat dijadikan acuan penelitian lebih lanjut.

Kata kunci: prevalensi, rawat inap, ISPA, pneumonia, TPA, penitipan anak

ABSTRACT

Acute respiratory infection (ARI), one of which is pneumonia, is one of the highest causes of death in children under five years of age. The reduced time between children and parents due to the demands of the economy and work, make supervision of children, especially regarding growth and development of children's health began to decrease. These reasons made parents choose the Child Care as one of the solutions where children could grow and develop. Child care is thought to be able to become a risk for the spread of disease in infants, one of which is ARI. Based on these causes, the research was carried out with the aim of knowing the prevalence and characteristics of toddlers, environmental, and child care factors in children under five who were hospitalized due to symptoms of ARI who were placed at child care in Denpasar City. A cross-sectional descriptive study with a sample of 120 samples was obtained through primary data in the form of a questionnaire that had been carried out in 12 child care, spread over four administrative regions of Denpasar City. Samples were taken using the Multi Stage Random Sampling method. The prevalence of hospitalized toddlers shows a total rate of 10.8%, of which four children under five were hospitalized due to symptoms of ARI (3.3%) who were suspected of all suffering from pneumonia. Characteristics of toddlers in the form of age, sex, birth weight,

PREVALENSI RAWAT INAP AKIBAT GEJALA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA).., Alvin Alvelino Putra Sutrisna, Ayu Setyorini Mestika Mayangsari2, Eka Gunawijaya2

nutritional status, immunization history, and history of exclusive breastfeeding, as well as environmental characteristics of infants such as house density, maternal education, income, family members who smoke, and density of childcare were evaluated for further research reference.

Keywords: prevalence, hospitalization, ARI, pneumonia, child care, day care

PENDAHULUAN

Batuk dan pilek merupakan mekanisme respon normal yang dialami ketika saluran pernapasan kita terserang bakteri, virus, ataupun agen asing lainnya. Seringkali, batuk dan pilek juga menyerang bayi hingga balita dikarenakan masih berkembangnya sistem imun mereka. Banyak yang tidak menyadari bahwa penyakit dengan gejala seperti batuk dan sesak napas pada bayi ataupun balita memerlukan perhatian lebih dikarenakan dampaknya yang cukup berat, mulai dari rawat inap hingga kematian. Salah satu penyakit pernapasan yang menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Infeksi saluran pernapasan akut merupakan infeksi akut yang dapat menyerang satu atau lebih bagian dari saluran napas manusia.1 ISPA atau dalam bahasa Inggris disebut Acute Respiratory Infection (ARI) umumnya ditandai dengan gejala seperti batuk, demam, pilek, hidung tersumbat, sakit tenggorokan, dan sesak pada dada.2-3 Sebagian besar ISPA ditularkan melalui tetesan (droplet) yang keluar saat bersin atau batuk, dan juga melalui kontak langsung terhadap benda terinfeksi yang diikuti inokulasi tak sengaja. Penyebaran melalui aerosol juga dapat terjadi pada beberapa patogen penyebab ISPA.4

Tahun 2016 lalu, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa dari 5,6 juta kematian pada balita usia di bawah lima tahun, pneumonia / ISPA lainnya merupakan salah satu penyebab utama berdampingan dengan diare dan malaria.5 Pada tahun 2016, data Profil Kesehatan Indonesia menunjukkan jumlah kasus penderita pneumonia usia di bawah satu tahun sebanyak 169.183 jiwa dan usia satu sampai empat tahun sebanyak 334.555 jiwa dengan jumlah kematian balita sejumlah 551 jiwa pada kedua kelompok usia.6 Kasus kejadian ISPA di Bali yang tercatat pada Riskesdas tahun 2013 menunjukkan angka period prevalence ISPA kelompok usia satu hingga empat tahun sebesar 23,3% yang terdiagnosa oleh dokter dan 37,7% lainnya memiliki gejala ISPA. Bangli merupakan daerah dengan period prevalence tertinggi berdasarkan data tersebut.7

Semakin cepatnya zaman dan tuntutan ekonomi, membuat semakin banyak orang tua harus fokus untuk bekerja. Tingginya tuntutan ekonomi dan berubahnya paradigma wanita memiliki peran dalam pembangunan ekonomi, merupakan alasan utama orang tua memilih Taman Penitipan Anak (TPA) sebagai salah satu solusi tempat anak tumbuh dan berkembang.8 Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, TPA merupakan salah satu bentuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

yang bersifat nonformal.9 Namun orang tua diharapkan tetap perlu berhati-hati dikarenakan TPA diduga mampu menjadi risiko tempat penyebaran penyakit pada balita, salah satunya adalah ISPA.

Penelitan di Denmark menyebutkan kejadian rawat inap tertinggi akibat ISPA terjadi pada kelompok usia di bawah satu tahun yang dititipkan di TPA pada enam bulan pertama yaitu 69% lebih tinggi dibandingkan dengan perawatan anak di rumah.10 Akan tetapi, penelitian terbaru maupun yang dilakukan di Indonesia masih belum ditemukan. Oleh karena hal tersebut, penelitian awal dengan tujuan untuk mencari tahu berapakah prevalensi rawat inap akibat gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita usia di bawah lima tahun yang dititipkan di taman penitipan anak (TPA) Kota Denpasar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian epidemiologi deskriptif retrospektif dengan desain penelitian potong lintang (cross-sectional). Penelitian dilakukan di TPA Kota Denpasar, Bali pada bulan Februari 2018 hingga Desember 2018. Besar sampel dalam penelitian cross sectional pada jumlah populasi yang tidak diketahui dengan sampel tunggal dihitung menggunakan formula Lemeshow dengan sampel minimal sebanyak 96 sampel. Sampel penelitian diambil menggunakan metode probability sampling yaitu multistage random sampling. Data penelitian berupa data primer diambil menggunakan kuesioner yang berisi riwayat rawat inap, karakteristik balita, dan lingkungan. Karakteristik TPA juga dinilai melalui hasil wawancara langsung kepada penanggung jawab TPA yang bersangkutan. Penelitian telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar dengan nomor 2628/UN14.2.2.VII.14/LP/2018.

HASIL

Penelitian dilakukan di 12 TPA yang tersebar di empat wilayah administratif Kota Denpasar dengan jumlah sampel akhir penelitian yaitu sebanyak 120 sampel. Hasil penelitian akan menggambarkan prevalensi rawat inap akibat gejala ISPA kemudian dilanjutkan dengan pemaparan gambaran faktor-faktor yang dapat memengaruhi prevalensi rawat inap tanpa melihat adanya hubungan antar variabel tersebut.

Prevalensi Rawat Inap pada Balita di TPA Kota Denpasar

33%   7.5%

■ Gejala ISPA

■ Bukan Gejala ISPA

■ Tidak Rawat Inap

Grafik 1. Prevalensi Rawat Inap pada Balita yang dititipkan di TPA Kota DenpasarGrafik 1 menunjukkan prevalensi rawat inap akibat gejala ISPA sebesar 3,3%, yaitu sebesar 4 sampel balita. Sebanyak 9 balita (7,5%) mengaku pernah dirawat inap namun bukan akibat gejala ISPA, dan 107 sampel lainnya tidak pernah di rawat inap.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Faktor Balita

Variabel

Akibat Gejala ISPA N (%)

Tidak / Bukan Akibat Gejala ISPA

N (%)

Jumlah N (%)

Usia Balita

1  - 12 bulan

0 (0,0)

12 (100,0)

12 (10,0)

13 - 36 bulan

3 (4,8)

59 (95,2)

62 (51,7)

37 - 59 bulan

1 (2,2)

45 (97,8)

46 (38,3)

Jenis Kelamin

Laki-Laki

1 (1,6)

62 (98,4)

63 (52,5)

Perempuan

3 (5,3)

54 (94,7)

57 (47,5)

Berat Badan Lahir

≤ 2500 gram

0 (0,0)

4 (100,0)

4 (3,3)

> 2500 gram

Status Gizi

4 (3,4)

112 (96,6)

116 (96,7)

Gizi Kurang

0 (0,0)

9 (100,0)

9 (7,5)

Gizi Baik

4 (3,6)

107 (96,4)

111 (92,5)

Riwayat Imunisasi

Tidak Lengkap

0 (0,0)

13 (100,0)

13 (10,8)

Lengkap

4 (3,7)

103 (96,3)

107 (89,2)

Riwayat ASI Eksklusif

Tidak ASI Eksklusif

1 (1,4)

68 (98,6)

69 (57,5)

ASI Eksklusif

3 (5,9)

48 (94,1)

51 (42,5)

Tabel 1 menunjukkan karakteristik faktor baita pada balita yang dirawat inap akibat gejala ISPA dan balita yang tidak dirawat inap atau dirawat inap bukan akibat gejala ISPA. Pada penelitian, ditemukan sampel terbanyak dengan karakteristik usia 13-36 bulan (51,7%), jenis kelamin laki- laki (52,5%), berat lahir >2500 gram (96,7%), memiliki status gizi baik

(92,5%), riwayat imunisasi lengkap (89,2%), dan riwayat tidak ASI eksklusif (57,5%).

Status gizi dihitung berdasarkan perhitungan berat badan menurut umur (BB/U). Hasil pengukuran kemudian dikelompokkan dalam ambang batas z-score. Gizi kurang dinilai apabila hasil perhitungan berada dalam rentang -3SD sampai <-2 SD, dan gizi baik berada pada rentang -2 SD sampai 2 SD. Gizi buruk dan dan gizi lebih merupakan kriteria eksklusi dikarenakan diduga dapat mempengaruhi kondisi balita dan memberikan kerancuan data.

Riwayat imunisasi yang dinilai adalah riwayat pemberian imunisasi (terutama DTP dan campak) sesuai dengan jadwal imunisasi anak rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2017. Riwayat imunisasi didapatkan melalui lampiran kartu imunisasi balita tersebut.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Faktor Lingkungan

Variabel

Akibat Gejala ISPA N (%)

Tidak / Bukan Akibat Gejala ISPA

N (%)

Jumlah N (%)

Kepadatan Hunian

Padat

0 (0,0)

2 (100,0)

2 (1,7)

Tidak Padat

4 (3,4)

114 (96,6)

118 (98,3)

Status Sosial Ekonomi

Rendah

1 (6,2)

15 (93,8)

16 (13,3)

Sedang

2 (3,3)

59 (96,7)

61 (50,8)

Tinggi

1 (2,3)

42 (97,7)

43 (35,8)

Anggota Keluarga Merokok

Ada

2 (5,0)

38 (95,0)

40 (33,3)

Tidak Ada

2 (2,5)

78 (97,5)

80 (66,7)

Pendidikan Ibu

Dasar

1 (50,0)

1 (50,0)

2 (1,7)

Menengah

1 (4,3)

22 (95,7)

23 (19,2)

Tinggi

2 (2,1)

93 (97,9)

95 (79,2)

Kepadatan TPA

Padat

1 (3,3)

29 (96,7)

30 (25,0)

Tidak Padat

3 (3,3)

87 (96,7)

90 (75,0)

Tabel 2 menunjukkan faktor lingkungan yang meliputi kepadatan hunian, status sosial ekonomi, adanya anggota keluarga yang merokok di dalam rumah, pendidikan ibu, dan kepadatan di TPA. Kepadatan hunian dan TPA dihitung berdasarkan luas bangunan dibagi dengan jumlah orang. Luas yang dianjurkan adalah minimal 8 m2 per orang dewasa di mana dua balita <5 tahun atau satu anak >5 tahun dihitung satu orang dewasa. Dalam sampel ditemukan 98,3 % memiliki hunian yang tidak padat, dan pada

Alvin Alvelino Putra Sutrisna, Ayu Setyorini Mestika Mayangsari2, Eka Gunawijaya2

TPA tempat dilakukanya penelitian, 9 dari 12 TPA termasuk TPA tidak padat (75,0%).

Status sosial ekonomi dinilai dengan total penghasilan orang tua setiap bulannya, di mana status rendah memiliki penghasilan kurang dari Rp 2.500.000, penghasilan sedang yaitu Rp 2.500.000 hingga Rp 5.000.000, dan penghasilan tinggi yaitu lebih dari Rp 5.000.000. Paparan asap rokok dinilai berdasarkan ada tidaknya anggota keluarga yang merokok dan tinggal satu rumah dengan balita. Pendidikan ibu dinilai berdasarkan pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti oleh ibu. Pendidikan dasar meliputi pendidikan SD hingga SMP, pendidikan menengah yaitu SMA/SMK, dan tinggi yaitu diploma ataupun sarjana.

PEMBAHASAN

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi balita yang dirawat inap akibat gejala ISPA cukup rendah yaitu 3,3%. Empat balita yang dirawat inap memberikan keterangan diagnosa yaitu bronchopneumonia, infeksi paru, ISPA, dan radang paru. Keempat keterangan tersebut menunjukkan adanya kemungkinan bahwa keempat balita yang dirawat inap menderita ISPA berat berupa pneumonia.

Adapun jumlah balita yang dirawat inap akibat gejala bukan ISPA yaitu sebanyak 9 balita (7.5%) diantaranya didiagnosa sebagai diare (4 balita), demam tinggi (1 balita), idiopathic thrombocytopenic purpura atau ITP (1 balita), sel darah putih meningkat (1 balita), dan penyakit kuning (2 balita). Data ini mendukung pernyataan hasil tinjauan pustaka bahwa selain pneumonia, diare dikatakan sebagai salah satu penyakit tertinggi yang diderita oleh balita, bahkan merupakan penyebab kematian tertinggi. Dua balita yang menyebutkan demam tinggi dan sel darah putih meningkat tidak menyebutkan diagnosa secara spesifik sehingga dapat menyebabkan kemungkinan kerancuan data. Kerancuan data ini disebabkan oleh karena demam tinggi maupun sel darah putih meningkat merupakan salah satu gejala ISPA berat.

Data tabel 1 mengenai distribusi faktor balita, sampel balita lebih banyak berada pada usia 13 bulan hingga 36 bulan, dan kelompok usia ini merupakan kelompok balita yang paling banyak mengalami rawat inap akibat gejala ISPA (4,8%). Jenis kelamin perempuan juga ditemukan lebih banyak pada balita yang dirawat inap akibat ISPA (5,3%), walaupun proporsi total sampel perempuan sedikit lebih rendah (47,5%) dibandingkan laki-laki (52,5%).

Data berat badan lahir menunjukkan angka yang cukup baik di mana prevalensi bayi berat badan lahir rendah ≤ 2500 gram yaitu 3,3%. Pada penelitian ini ditemukan data bahwa keempat balita yang dirawat inap akibat gejala ISPA memiliki berat lahir normal. Selain itu ditemukan bahwa seluruh balita yang

dirawat inap akibat gejala ISPA memiliki status gizi yang baik, di mana berdasarkan dasar teori, balita dengan gizi kurang lebih berisiko terkena ISPA.

Kedua hasil tersebut memang berbeda dengan hasil tinjauan pustaka, namun melihat total perbandingan kedua variabel, tidaklah cukup untuk ditarik kesimpulan hanya dari angkat tersebut tanpa adanya uji statistik lebih lanjut. Data sampel juga menunjukkan rendahnya prevalensi gizi kurang yaitu 7,5% pada responden, yang menunjukkan bahwa tingkat kesehatan pada sampel sudah cukup baik.

Melihat faktor riwayat imunisasi balita, ditemukan bahwa pada balita yang dirawat inap akibat ISPA seluruhnya telah melakukan imunisasi wajib secara lengkap. Pada sampel keseluruhan pun, riwayat imunisasi sampel sudah cukup baik karena lebih dari 89,0% sampel telah melakukan imunisasi wajib. Hasil penelitian lain yang menarik perhatian yaitu masih banyak dari ibu balita yang tidak memberikan ASI eksklusif pada anaknya, yaitu sebanyak 57,5%. Namun prevalensi rawat inap akibat ISPA pada balita yang mendapatkan ASI eksklusif didapatkan angka lebih tinggi yaitu sebanyak 3 balita (5,9%).

Tabel 2 menunjukkan faktor kepadatan hunian pada sampel didapatkan sudah cukup baik di mana hanya 1,7% responden yang tinggal pada hunian yang padat. Prevalensi balita rawat inap akibat gejala ISPA didapatkan paling tinggi pada keluarga dengan penghasilan rendah (6,2%). Adanya anggota keluarga yang merokok di dalam rumah menunjukkan angka yang masih tinggi yaitu 33.3%, dan pada prevalensi balita yang dirawat inap akibat ISPA pun menunjukkan angka lebih tinggi pada kelompok tersebut, yaitu 5.0%. Pada penelitian ditemukan bahwa prevalensi balita yang dirawat inap tertinggi ditemukan pada ibu dengan pendidikan dasar yaitu memiliki pendidikan SD hingga SMP saja (50,0%).

Ketiga faktor tersebut, yaitu status sosial ekonomi, paparan asap rokok, dan pendidikan ibu menunjukkan penurunan angka prevalensi rawat inap akibat gejala ISPA. Semakin tinggi status sosial ekonomi maka prevalensi rawat inapnya pun semakin rendah (rendah (6,2% ; sedang 3,3% ; tinggi 2,3%). Hal yang sama ditunjukkan pada tidak adanya paparan asap rokok (adanya paparan 5,0%; tidak adanya paparan 2,5%). Semakin tinggi pendidikan ibu juga menunjukkan penurunan prevalensi rawat inap balita akibat gejala ISPA (pendidikan dasar 50,0% ; menengah 4,3% ; tinggi 2,1%)

SIMPULAN

Prevalensi rawat inap pada balita yang dititipkan akibat gejala ISPA di TPA Kota Denpasar menunjukkan angka rendah yaitu sebesar 3,3% dengan proporsi balita terbanyak berada pada kelompok usia 13-36 bulan dengan jenis kelamin perempuan.

VSeluruh balita yang dirawat inap akibat gejala ISPA lahir dengan berat badan >2500 gram, memiliki status gizi yang baik, dan memiliki riwayat imunisasi yang lengkap. Satu dari empat balita yang dirawat inap akibat gejala ISPA tidak diberikan ASI eksklusif. Pemberian ASI eksklusif juga ditemukan masih cukup rendah pada responden.

Distribusi frekuensi kejadian rawat inap akibat gejala ISPA lebih banyak terjadi pada balita dengan orang tua dengan penghasilan rendah, adanya anggota keluarga yang merokok, dan pendidikan ibu yang rendah. Dalam penelitian ini ditemukan terjadinya penurunan prevalensi rawat inap seiring dengan meningkatnya penghasilan orang tua, tidak adanya anggota keluarga yang merokok, dan meningkatnya pendidikan ibu.

Penelitian ini memiliki beberapa kelemahan yang diharapkan dapat diperbaiki pada penelitian selanjutnya, di antaranya diperlukannya jumlah sampling dan metode sampling yang lebih baik seperti studi kohort agar dapat dilakukan analisis hubungan faktor risiko yang lebih mendalam. Hal tersebut akan membantu mengurangi recall bias yang merupakan kelemahan dalam penelitian ini.

Penelitian mengenai pengetahuan ibu terhadap ASI eksklusif di Indonesia, lebih khususnya di Bali juga dapat dijadikan ide penelitian lainnya oleh karena ditemukan masih rendahnya angka ASI eksklusif untuk balita maupun bayi pada responden dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1    Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011.

  • 2    Kusetiarini, A. Pneumonia Pada Balita di Puskesmas Simo Kabupaten Madiun Tahun 2012. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2012.

  • 3    Tambunan S, Suharyo, Saptorini KK. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2013. Semarang: Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro. 2014.

  • 4    World Health Organization. Infection Prevention and Control of Epidemic and Pandemic-prone Acute Respiratory Diseases in Health Care. Geneva: WHO Interim Guidelines, 2007.h.12.

  • 5    World Health Organization. WHO Fact Sheet, Children: reducing mortality. Geneva: WHO Media Centre. 2017. Retrieved from http://www.who.int /mediacentre/factsheets/fs178/en/

  • 6    Kementerian Kesehatan RI. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2017.h.100. Retrieved from http://www.depkes.go.id/resources/download/ pusdatin/lain-lain/Data-dan-Informasi-Kesehatan-profil-kesehatan-indonesia-2016-smaller-sizeweb.pdf

  • 7    Kementerian Kesehatan RI. Riskesdas 2013 Provinsi Bali. Bali: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013.

  • 8    Aprillia, S. Pelaksanaan Pengasuhan Anak Usia Dini di Tempat Penitipan Anak (TPA) Dharma Yoga Santi Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. 2015

  • 9    Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.    Jakarta:     Sekretariat

Negara.2003

  • 10    Kamper-Jorgensen et al. Population-Based Study of the Impact of Childcare Attendance on Hospitalizations for Acute Respiratory Infections. Pediatrics, 118(4): 1439–1446.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i2.P18

111