HUBUNGAN FAKTOR RISIKO DENGAN ANGKA KEJADIAN KELAINAN REFRAKSI MAHASISWA TAHUN PERTAMA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
on

ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 10 NO.5,MEI, 2021


Diterima: 2020-11-30Revisi: 2021-01-19 Accepted: 19-05-2021
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO DENGAN ANGKA KEJADIAN KELAINAN REFRAKSI MAHASISWA TAHUN PERTAMA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
Ni Wayan Jayanti Pradnyandari1, I Gusti Ayu Made Juliari2, Made Agus Kusumadjaja2, Siska2 1Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kelainan refraksi merupakan gangguan penglihatan yang dapat menyebabkan gangguan pada kehidupan sehari-hari hingga kebutaan. Prevalensi kebutaan dan gangguan penglihatan di Indonesia yang disebabkan oleh kelainan refraksi sebesar 22,1% dan 15% diantaranya merupakan anak usia sekolah. Kejadian kelainan refraksi dapat disebabkan oleh berbagai faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan aktivitas melihat dekat seperti menggunakan laptop dan alat elektronik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan faktor risiko dengan angka kejadian kelainan refraksi pada mahasiswa tahun pertama Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain penelitian potong-lintang dengan menggunakan 218 responden sebagai sampel penelitian. Proporsi kejadian kelainan refraksi pada mahasiswa tahun pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah sebanyak 139 dari 218 responden (63,8%). Kelainan refraksi yang paling banyak terjadi adalah miopia yaitu sebanyak 125 responden (57,3%). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara riwayat keluarga responden dengan angka kejadian kelainan refraksi (p=0,000; IK 95% 1,683(1,270–2,230)), dan terdapat hubungan yang signifikan antara jarak membaca buku dengan angka kejadian kelainan refraksi (p=0,001; IK 95% 1,411(1,127–1,765)). Sehingga dapat disimpulkan bahwa riwayat keluarga dan jarak membaca buku merupakan faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap angka kejadian kelainan refraksi.
Kata kunci: kelainan refraksi, faktor risiko, mahasiswa tahun pertama
ABSTRACT
Refractive disorders are visual disturbances that can cause disturbances in daily life to blindness. The prevalence of blindness and visual disturbances in Indonesia caused by refractive errors is 22.1% and 15% of them are school age children. The incidence of refractive errors is caused by various factors including age, gender, family history, and close viewing activities such as using laptops and gadgets. This study aims to determine the relationship between risk factors and the incidence of refractive errors in first-year students of the Undergraduate Medicine Study Program and the Medical Profession, Faculty of Medicine, Udayana University. This study is an analytical study with a cross sectional study design using 218 respondents as the research sample. The proportion of the incidence of refractive errors in first-year students at the Faculty of Medicine, Udayana University was 139 from 218 respondents (63.8%). The most common refractive errors were myopia, as many as 125 respondents (57.3%). According to analysis result, it was found a significant relationship on family history of respondents with the incidence of refractive errors (p = 0.000; 95% CI 1.683 (1.270-2.230)), and likewise on reading distance with the incidence of refractive errors (p = 0.001);95% CI 1.411 (1.127–1.765)). So it can be conclude that family history and book reading distance are risk factors that significantly affect the incidence of refractive errors. Keywords: refractive error, risk factors, first-year students
HUBUNGAN FAKTOR RISIKO DENGAN ANGKA KEJADIAN KELAINAN REFRAKSI.. Ni Wayan Jayanti Pradnyandari1, I Gusti Ayu Made Juliari2, Made Agus Kusumadjaja2, Siska2
PENDAHULUAN
Indera penglihatan merupakan objek vital yang sangat penting dalam menunjang aktivitas rutin manusia karena semua infomasi visual diserap oleh mata. Namun, saat ini gangguan penglihatan mulai banyak terjadi mulai dari derajat ringan hingga berat.1 Kelainan refraksi merupakan satu di antara gangguan penglihatan yang dominan terjadi saat ini. Miopia, hipermetropia, dan astigmatisma merupakan tiga jenis kelainan refraksi yang dominan ditemukan di masyarakat. Miopia merupakan gangguan penglihatan yang menyebabkan penderita tidak dapat memfokuskan bayangan objek dalam jarak yang jauh tepat di retina. Hipermetropia adalah gangguan penglihatan yang menyebabkan penderita tidak dapat memfokuskan objek dalam jarak yang dekat tepat di retina. Sedangkan astigmatisma adalah kelainan penglihatan yang mengakibatkan bayangan jatuh pada meridien yang berbeda.2
Kelainan refraksi pada mata dapat terjadi apabila seorang individu melaksanakan aktivitas melihat dekat seperti membaca buku dan menggunakan gadget dalam jarak dekat dengan rentangan waktu yang cukup lama tanpa memberi waktu istirahat pada mata.3 Selain hal tersebut, terdapat kondisi patologis seperti perubahan jarak aksis mata, bentuk kornea, penuaan lensa, dan gangguan akomodasi dapat menyebabkan gangguan refraksi dan dapat mengganggu kegiatan sehari-hari.2
Kelainan refraksi yang tidak tertangani dapat menyebabkan kebutaan.4 Pada studi meta analisis yang dilaksanakan oleh Flaxman dkk5 yang membahas mengenai penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan di dunia menyebutkan bahwa kelainan refraksi diprediksi dapat meningkatkan kejadian kebutaan sebanyak 8 juta kasus pada tahun 2020. Prevalensi penderita severe low vision (rentangan visus <6/60 – 3/60) di Indonesia dengan penduduk yaitu 224.714.112 orang sebesar 26,02% dengan 0,09% (39.975 orang) diantaranya merupakan usia aktif belajar (524 tahun) dan prevalensi kebutaan yang mempunyai visus <3/60 adalah sebesar 13,51%.1 Dirjen Bina Upaya Kesehatan Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa prevalensi kebutaan di Indonesia mencapai 22,1%. Sebesar 15% dari 22,1% merupakan anak berusia 5-19 tahun.6
Kelainan refraksi merupakan masalah penting yang harus segera ditangani karena dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya. Kejadian kelainan refraksi dapat disebabkan oleh berbagai faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan aktivitas melihat dekat seperti
menggunakan laptop dan gadget.7 Sesuai dengan permasalahan tersebut, peneliti akan melaksanakan studi tentang kelainan refraksi yang terjadi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan angka kejadian kelainan refraksi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan desain potong-lintang untuk mengetahui hubungan fakto risiko dengan angka kejadian kelainan refraksi. Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana selama bulan Mei 2020 – September 2020. Sampel yang digunakan adalah seluruh mahasiswa tahun pertama Program Studi Sarjana Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Metode pengumpulan data menggunakan teknik total sampling. Data bersumber dari dari pengisian kuesioner online (google form) yang diisi secara mandiri oleh responden. Data yang sudah terhimpun akan diolah menggunakan program komputer bernama SPSS versi 25, Microsoft Excel, dan Microsoft Word dan selanjutnya akan diverifikasi. Data yang diperoleh merupakan data kategorikal dan dianalisis. Uji chi-square akan dilakukan untuk menganalisis hubungan faktor risiko dengan angka kejadian kelainan refraksi. Data akan dianalisis secara analitik dan disajikan dalam bentuk tabel dengan variabel yang telah ditentukan.
HASIL
Total sampling digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini dengan jumlah total populasi sampel adalah 247 mahasiswa. Dari keseluruhan sampel tersebut didapatkan 218 mahasiswa yang memenuhi kriteria sebagai sampel. Data dari hasil kuesioner online (google form) direkap menggunakan spreadsheet dan diolah menggunakan SPSS versi 25. Data akan ditampilkan dalam bentuk tabel.
Distribusi karakteristik responden berdasarkan kejadian kelainan refraksi ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel 1. Distribusi kejadian kelainan refraksi
Kelainan Refraksi |
Frekuensi (n=218) |
Persentase (%) |
Ya | ||
Miopia |
125 |
57,3 |
Hipermetropia |
2 |
0,9 |
Astigmatisma |
12 |
5,5 |
Tidak |
79 |
36,2 |
Menurut Tabel 1, dapat dilihat bahwa sebanyak 139 responden (63,8%) mengalami kelainan refraksi. Kelainan refraksi terbanyak yang diderita oleh responden adalah miopia yaitu sebanyak 125 responden (57,3%). Kelainan refraksi
hipermetropia diderita oleh 2 orang reponden (0,9%) sedangkan 12 orang reponden (5,5%) lainnya mengalami astigmatisma. Responden yang tidak mengalami kelainan refraksi sejumlah 79 orang (36,2%).
Persebaran data responden menurut karakteristik usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 2. Distribusi karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga
Karakteristik |
Frekuensi (n=218) |
Persentase (%) |
Usia | ||
18 Tahun |
14 |
6,4 |
19 Tahun |
119 |
54,6 |
20 Tahun |
78 |
35,8 |
21 Tahun |
5 |
2,3 |
22 Tahun |
2 |
0,9 |
Jenis Kelamin | ||
Perempuan |
134 |
61,5 |
Laki-laki |
84 |
38,5 |
Riwayat Keluarga | ||
Ya |
147 |
67,4 |
Tidak |
71 |
32,6 |
Berdasarkan Tabel 2, distribusi berdasarkan usia pada 218 reponden adalah sebanyak 14 responden (6,4%) berusia 18 tahun, 119 responden (54,6%) berusia 19 tahun, 78 responden (35,8%) berusia 20 tahun, 5 responden (2,3%) berusia 21 tahun, dan 2 responden (0,9%) berusia 22 tahun. Jenis kelamin responden didominasi oleh perempuan yaitu sebesar 134 responden (61,5%) dan sebanyak 84 responden (38,5%) berjenis kelamin laki-laki. Terdapat 147 (67,5%) responden mempunyai riwayat keluarga dengan kelainan refraksi dan sebanyak 71 responden (32,6%) tidak mempunyai riwayat keluarga yang mempunyai kelainan refraksi.
Distribusi responden yang mempunyai kelainan refraksi berdasarkan pemakaian kacamata ditampilkan pada tabel di bawah.
Tabel 3. Distribusi karakteristik berdasarkan pemakaian kacamata
Karakteristik |
Frekuensi (n=139) |
Persentase (%) |
Pemakaian Kacamata | ||
Ya |
129 |
92,8 |
Tidak |
10 |
7,2 |
terdapat 129 responden (92,8%) memakai kacamata dan sebanyak 10 responden (7,2%) tidak menggunakan kacamata.
Distribusi faktor risiko aktivitas melihat dekat responden dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 4. Distribusi karakteristik berdasarkan aktivitas
melihat dekat
Karakteristik |
Frekuensi (n=218) |
Persentase (%) |
Lama Membaca Buku <2 jam |
47 |
21,6 |
≥2 jam |
171 |
78,4 |
Jarak Membaca Buku <30 cm |
125 |
57,3 |
≥30 cm |
93 |
42,7 |
Lama Menggunakan Laptop <2 jam |
22 |
10,1 |
≥2 jam |
196 |
89,9 |
Jarak Menggunakan Laptop <30 cm |
62 |
28,4 |
≥30 cm |
156 |
71,6 |
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan lama membaca buku dengan total responden yaitu 218 responden terdapat 47 responden (21,6%) membaca buku kurang dari 2 jam dan sebanyak 171 responden (78,4%) membaca buku 2 jam atau lebih. Distribusi responden berdasarkan jarak membaca buku adalah sebanyak 125 responden (57,3%) membaca buku kurang dari 30 cm dan sebanyak 93 responden (42,7%) membaca buku dengan jarak 30 cm atau lebih. Distribusi responden berdasarkan lama menggunakan laptop adalah sebanyak 22 responden (10,1%) menggunakan laptop kurang dari 2 jam dan sebanyak 196 responden (89,9%) menggunakan laptop 2 jam atau lebih. Distribusi responden berdasarkan jarak menggunakan laptop adalah sebanyak 62 responden (28,4%) menggunakan laptop kurang dari 30 cm dan sebanyak 156 responden (71,6%) menggunakan laptop dengan jarak 30 cm atau lebih.
Tabulasi silang antara faktor risiko dengan angka kejadian kelainan refraksi dapat dilihat pada tabel berikut.
Berdasarkan Tabel 3, distribusi berdasarkan pemakaian kacamata dengan total responden yaitu 139 responden yang mengalami kelainan refraksi
Tabel 5. Tabulasi silang antara faktor risiko dengan
angka kejadian kelainan refraksi
Faktor Risiko |
Kelainan Refraksi | |
Ya (n=139) |
Tidak (n=79) | |
Jenis Kelamin Perempuan, n (%) |
90(67,2) |
44(32,8) |
Laki-laki, n (%) |
49(58,3) |
35(41,7) |
Riwayat Keluarga Ya, n (%) |
108(73,5) |
39(26,5) |
Tidak, n (%) |
31(43,7) |
40(56,3) |
Lama Membaca Buku <2 jam, n (%) |
34(72,3) |
13(27,7) |
≥2 jam, n (%) |
105(61,4) |
66(38,6) |
Jarak Membaca Buku <30 cm, n (%) |
91(72,8) |
34(27,2) |
≥30 cm, n (%) |
48(51,6) |
45(48,4) |
Lama Menggunakan Laptop <2 jam, n (%) |
10(45,5) |
12(54,5) |
≥2 jam, n (%) |
129(65,8) |
67(34,2) |
Jarak Menggunakan Laptop <30 cm, n (%) |
40(64,5) |
22(35,5) |
≥30 cm, n (%) |
99(63,5) |
57(36,5) |
Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa sebanyak 90 perempuan (67,2%) dan 49 laki-laki (58,3%) mengalami kelainan refraksi. Berdasarkan faktor risiko riwayat keluarga diperoleh bahwa sebanyak 108 orang (73,5%) dengan riwayat keluarga dan sebanyak 31 orang (43,7%) tanpa riwayat keluarga mengalami kelainan refraksi. Berdasarkan durasi membaca buku diperoleh bahwa sebanyak 34 orang (72,3%) yang membaca buku <2 jam dan sebanyak 105 orang (61,4%) dengan riwayat ≥2 jam membaca buku mengalami kelainan refraksi. Berdasarkan jarak membaca buku didapatkan bahwa sebanyak 91 orang (72,8%) yang membaca buku dengan jarak <30 cm dan sebanyak 48 orang (51,6%) dengan riwayat membaca buku dengan jarak ≥30 cm mengalami kelainan refraksi. Berdasarkan durasi menggunakan laptop diperoleh bahwa sebanyak 10 orang (45,5%) yang menggunakan laptop <2 jam dan sebanyak 129 orang (65,8%) dengan riwayat menggunakan laptop ≥2 jam mengalami kelainan refraksi. Berdasarkan jarak menggunakan laptop diperoleh bahwa sebanyak 40 orang (64,5%) yang menggunakan laptop dengan jarak <30 cm dan sebanyak 99 orang (63,5%) dengan riwayat menggunakan laptop dengan jarak ≥30 cm mengalami kelainan refraksi.
Hasil analisis antara faktor risiko dengan angka kejadian kelainan refraksi. Secara detail dijabarkan sebagai berikut.
Tabel 6. Hasil analisis hubungan faktor risiko
dengan angka kejadian kelainan refraksi | ||
Faktor Risiko |
P-value |
PR (IK 95%) |
Jenis Kelamin |
0,187 |
1,151 |
(0,928–1,429) | ||
Riwayat Keluarga |
0,000 |
1,683 (1,270–2,230) |
Lama Membaca |
0,167 |
1,178 |
Buku |
(0,952–1,458) | |
Jarak Membaca |
0,001 |
1,411 |
Buku |
(1,127–1,765) | |
Lama Menggunakan Laptop |
0,060 |
0,691 (0,432–1,104) |
Jarak Menggunakan |
0,884 |
1,107 |
Laptop |
(0,816–1,266) |
Berdasarkan Tabel 6, hasil uji chi-square yang dilakukan antara faktor risiko dengan angka kejadian kelainan refraksi diperoleh bahwa riwayat keluarga dan jarak membaca buku mempunyai hubungan yang signifikan dengan angka kejadian kelainan refraksi (p < 0,05) sedangkan jenis kelamin, lama membaca buku, lama menggunakan laptop, dan jarak menggunakan laptop tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap angka kejadian kelainan refraksi (p > 0,05).
PEMBAHASAN
Tabel 1 memperlihatkan dari 218 responden jumlah kejadian kelainan refraksi pada sampel adalah sejumlah 139 orang (63,8%) dan proporsi yang tidak mengalami kejadian kelainan refraksi adalah sebanyak 79 orang responden (36,2%). Kelainan refraksi yang paling banyak diderita adalah miopia dengan proporsi 125 orang responden (57,3%). Hasil ini mempunyai kesamaan dengan studi yang dilaksanakan oleh Alsaif dkk8 yang menyatakan bahwa kelainan refraksi yang paling banyak dijumpai adalah miopia yaitu sebesar 47,9%. Kelainan refraksi terjadi karena terdapat kesalahan pada pembiasan cahaya yang diakibatkan oleh ketidaksesuaian antara panjang aksial mata dengan kekuatan lensa mata yang mengakibatkan gambar yang diterima oleh retina kabur. Penyebab terbanyak kedua kebutaan di dunia adalah kelainan refraksi yang tidak ditangani.9 Saat ini, kelainan refraksi yang dominan terjadi di masyarakat adalah miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Miopia merupakan kelainan refraksi yang menyebabkan penderita hanya bisa
melihat objek yang dekat dan tidak bisa melihat jauh. Pada penderita miopia, panjang aksial mata terlalu panjang sehingga lensa mata memfokuskan bayangan di depan retina. Namun, penderita miopia tidak membutuhkan akomodasi lensa mata jika melihat objek yang dekat.10 Hipermetropia merupakan kelainan refraksi yang terjadi ketika cahaya sejajar yang datang dibiaskan dan difokuskan ke bagian belakang retina ketika daya akomodasi lensa mata dalam keadaan istirahat.11 Astigmatisma merupakan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh ketidaknormalan bentuk kornea atau lensa mata. Kelainan refraksi ini biasa terjadi pada anak-anak.12 Berdasarkan Tabel 2, sebagian besar responden berusia 19 tahun (54,6%). Hal ini disebabkan oleh keseluruhan sampel berasal dari mahasiswa tahun pertama Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 139 responden yang mengalami kelainan refraksi terdapat 129 orang (92,8%) menggunakan kacamata. Hal ini menandakan bahwa tingkat kesadaran responden tinggi dalam menyikapi kelainan refraksi yang mereka punya. Pada tahun 2015, kasus kebutaan yang ada di dunia adalah sebesar 36 juta kasus. Penyebab kebutaan terbanyak disebabkan oleh katarak (12,6 juta kasus), kelainan refraksi yang tidak dikoreksi (7,4 juta kasus), dan glaukoma (2,9 kasus). Gangguan penglihatan derajat sedang sampai berat yang disebabkan oleh kelainan refraksi diperkirakan meningkat sekitar 10% menjadi 128 juta kasus dan pada tahun 2020 diprediksi bahwa kasus kebutaan akibat kelainan refraksi akan meningkat sebanyak 8 juta kasus.5
Tabel 6 menyajikan hasil chi-square antara faktor risiko dengan angka kejadian kelainan refraksi. Berdasarkan faktor risiko jenis kelamin diperoleh nilai probabilitas 0,187 (p > 0,05) dan prevalence risk senilai 1,187 dengan IK 95% (0,928–1,429). Hasil tersebut menggambarkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan angka kejadian kelainan refraksi. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan di SMP Swasta Bersama Berastagi yang menyatakan bahwa kejadian kelainan refraksi mempunyai hubungan dengan jenis kelamin.13
Hasil analisis pada Tabel 6 berdasarkan faktor risiko riwayat keluarga diperoleh nilai probabilitas 0,000 (p < 0,05) dan prevalence risk senilai 1,683 dengan IK 95% (1,270–2,230). Data tersebut menjabarkan terdapat hubungan yang signifikan antara angka kejadian kelainan refraksi dengan riwayat keluarga. Pernyataan tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Kumar dkk14 yang membahas tentang kelainan
refraksi dan faktor risiko yang berhubungan pada mahasiswa kedokteran. Kontribusi genetik terhadap kelainan refraksi diperkirakan relatif kecil jika dibandingkan dengan faktor lingkungan sekitar.8 Namun, terdapat sebuah konsensus yang menyatakan bahwa genetik dapat menentukan kerentanan individu terhadap faktor lingkungan. Deteksi dini terhadap faktor genetik dan lingkungan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kelainan refraksi dan komplikasi.15
Uji analisis lama membaca buku terhadap angka kejadian kelainan refraksi pada Tabel 6 diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,167 (p > 0,05) dan prevalence risk senilai 1,178 dengan IK 95% (0,952–1,458). Nilai tersebut mendefinisikan tidak adanya keterkaitan antara lama membaca buku dengan angka kejadian kelainan refraksi. Pernyataan tersebut mempunyai kesamaan dengan studi yang dilaksanakan oleh Joseph dkk16 yang membahas mengenai proporsi kelainan refraksi dan hubungannya dengan faktor risiko pada siswa menengah atas.
Berdasarkan faktor risiko jarak membaca buku pada analisis yang ditunjukkan pada Tabel 6 menunjukkan nilai probablitas sebesar 0,001 (p < 0,05) dan prevalence risk senilai 1,411 dengan IK 95% (1,127–1,765). Besar nilai tersebut menggambarkan adanya hubungan yang signifikan antara jarak membaca buku dengan angka kejadian kelainan refraksi. Pernyataan tersebut mempunyai kesamaan dengan studi yang dilaksanakan di SMP Swasta Bersama Berastagi mengenai kelainan refraksi yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara jarak membaca dan kejadian kelainan refraksi.13
Uji analisis lama menggunakan laptop terhadap angka kejadian kelainan refraksi pada Tabel 6 didapatkan p-value 0,060 dan nilai prevalence risk adalah 0,691 dengan IK 95% (0,432–1,104). Hasil uji chi-square antara jarak menggunakan laptop dengan angka kejadian kelainan refraksi menunjukkan bahwa p-value 0,084 dan nilai prevalence risk sebesar 1,107 (0,816–1,266). Nilai tersebut menggambarkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama dan jarak penggunaan laptop dengan angka kejadian kelainan refraksi. Hal tersebut sesuai dengan studi tentang kejadian refraksi pada siswa SMP Al-Azhar Medan yang menyatakan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara kejadian kelainan refraksi dengan lama dan jarak pemakaian alat elektronik.17
Kelainan refraksi yang diakibatkan oleh aktivitas dekat berkaitan dengan daya akomodasi mata yang tidak adekuat. Akomodasi mata yang tidak adekuat akan menyebabkan bayangan akan
jatuh di belakang retina dan memicu pertumbuhan dari segmen posterior yang menyebabkan pemanjangan aksial mata. Bayangan yang terbentuk akan menjadi tidak fokus atau buram. Perubahan tersebut menstimulasi dilepaskannya neuro-modulator retina yang berperan dalam mengontrol elongasi aksial mata.18
Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu data yang didapatkan tidak berdasarkan prosedur cek visus secara langsung sehingga tidak dapat memetakan derajat kelainan refraksi responden serta faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian kelainan refraksi belum diteliti secara lengkap seperti usia, pencahayaan, status gizi, dan status sosial ekonomi dari responden.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh simpulan yaitu terdapat 63,8% responden mengalami kelainan refraksi, kelainan refraksi yang paling banyak terjadi adalah miopia, riwayat keluarga dan jarak membaca buku adalah faktor risiko yang berhubungan secara signifikan dengan angka kejadian kelainan refraksi, sedangkan faktor risiko yang tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan angka kejadian kelainan refraksi adalah jenis kelamin, lama membaca buku, lama menggunakan laptop, dan jarak menggunakan laptop.
Sesuai dengan penelitian yang telah dilaksanakan, saran yang dapat diberikan yaitu hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai kajian pustaka pada studi sejenis untuk mahasiswa. Namun, penelitian ini mempunyai keterbatasan karena dilaksanakan pada saat pandemi sehingga tidak dapat mengukur secara langsung derajat kelainan refraksi responden. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah agar dilaksanakan cek visus secara langsung dan menganalisis mengenai faktor risiko lainnya yang berhubungan dengan kejadian kelainan refraksi. Bagi universitas, hasil studi ini bisa dijadikan acuan untuk studi yang akan datang. Bagi masyarakat, disarankan untuk mengenali faktor risiko kelainan refraksi untuk mencegah terjadinya kelainan refraksi atau komplikasi yang lebih serius di masa mendatang. Disarankan juga untuk tetap menjaga pola hidup sehat dan menjaga kesehatan mata dengan tidak melihat objek seperti handphone, laptop, dan televisi yang dengan jarak terlalu dekat dan terlalu lama.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. 2014.
-
2. Budiono S, Saleh TT, Moestijab, Eddyanto. Bahan Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press. 2013.
-
3. Lestari T, Anggunan, Triwahyuni T, Syuhada R. Studi Faktor Risiko Kelainan Miopia di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. 2020;11(1): 305-312.
-
4. Lou L, Yao C, Jin Y, Perez V, dan Ye J. Global Patterns in Health Burden of Uncorrected Refractive Error. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2016;57:6271-7.
-
5. Flaxman SR, dkk. Global causes of blindness and distance vision impairment 1990–2020: a systematic review and meta-analysis. Lancet Glob Health 2017. 2017:2-13.
-
6. Departemen Kesehatan RI. Mata sehat di segala usia untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. 2012.
-
7. Enira TA. Prevalensi dan Penyebab Kelainan Refraksi pada Anak Usia Sekolah Dasar Muhammadiyah 16 Palembang [Skripsi]. Palembang: Universitas Muhammadiyah
Palembang; 2016.
-
8. Alsaif BA, Aljindan BA, Alrammah, HM, Alshahrani SS. Refractive errors among Saudi college students and associated risk factors. Clinical Ophthalmology. 2019;13. 437-443.
-
9. Harb EN, Wildsoet. Origins of Refractive Errors: Environmental and Genetic Factors. Annu. Rev. Vis. Sci. 2019;5:47–72.
-
10. Schiefer U, Kraus C, Baumbach P, Ungewiß J, dan Michels R. Refractive errors. Dtsch Arztebl Int. 2016; 113: 693–702.
-
11. Majumdar S, Tripathy K. Hyperopia. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
-
12. Setyandriana Y, Meida NS, Ikliludin A, dan Ayuputri AN. Hubungan Faktor Genetik dan Gaya Hidup dengan Astigmatisma pada Anak. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2018;18(2):55-60.
-
13. Pohan, M. R. N. Analisis Faktor Risiko Kelainan Refraksi pada Siswa SMP Swasta Bersama Berastagi Tahun 2019 [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara: Medan; 2019.
-
14. Kumar N, Jangra B, Jangra MS, dan Pawar N. Risk factors associated with refractive error among medical students. Int J Community Med Public Health. 2018;5(2):634-638.
-
15. Lim DH, Han J, Chung T-Y, Kang S, Yim HW, on behalf of The Epidemiologic Survey Committee of the Korean Ophthalmologic Society. The high prevalence of myopia in Korean children with influence of parental refractive errors: The 2008-2012. Korean
National Health and Nutrition Examination Survey. PLoS ONE. 2018;13(11): e0207690.
-
16. Joseph N, Nelliyanil M, Rekha TP, Majgi SM, Rai S, dan Kotian SM. Proportion of Refractive Error and Its Associated Factors among High School Students in South India. British Journal of Medicine & Medical Research. 2016;11(11): 1-9.
-
17. Arsa, Dwi Masyaroh. Faktor-Faktor Terjadinya Kelainan Refraksi Pada Pelajar Kelas 3 SMP Al-Azhar Di Kota Medan Tahun 2018 [Tesis] Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan; 2018.
-
18. Ramamurthy D, Chua SYL, Saw S. A review of environmental risk factors for myopia during early life, childhood and adolescence. Clin Exp Optom. 2015;98: 497-506.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
doi:10.24843.MU.2020.V10.i5.P03
20
Discussion and feedback