ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.7,JULI, 2020



Diterima:09-07-202  Revisi:13-07-2020 Accepted: 16-07-2020

INSIDEN TUBEX POSITIF PADA PASIEN ANAK-ANAK YANG DICURIGAI DEMAM TIFOID DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Michael Christian Widjaja1, I Wayan Putu Sutirta Yasa2

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departemen/KSM Patologi Klinik RSUP Sanglah Koresponden : Michael Christian Widjaja

Email: [email protected]

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan penyakit menular yang diakibatkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhii yang memunculkan gejala sistemik pada penderitanya. Demam tifoid mudah dijumpai di wilayah-wilayah yang memiliki kualitas kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai. Wilayah tersebut umumnya memiliki iklim tropis dan sub-tropis. Setiap tahun, diperkirakan jumlah kasus tifoid terjadi sebanyak 20 juta kasus di seluruh dunia, dimana 200.000 diantaranya mengakibatkan kematian. Di Indonesia, prevalensi tifoid diperkirakan mencapai 800 per 100.000 penduduk pada tahun 2007, dengan hampir dua pertiga nya menjangkiti usia 4-19 tahun. Tingkat kematian pada pasien rawat inap mencapai hingga 10 persen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah insiden pemeriksaan Tubex memberikan hasil positif pada pasien anak-anak usia 5-11 tahun (berdasarkan kriteria usia anak tahun 2009 menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia) yang dicurigai dengan demam tifoid dan dirawat inap di RSUP Sanglah. Metode penelitian ini adalah potong-lintang yang diambil dari data rekam medik selama periode waktu bulan Maret hingga September 2016. Hasil penelitian adalah, dari 66 rekam medik pasien anak-anak yang dirawat inap dengan kecurigaan demam tifoid, didapatkan delapan pasien yang memiliki hasil Tubex positif. Dengan rerata usia pasien 7,6 tahun, proposi penderita laki-laki sebesar 50% dan penderita perempuan 50%, sesuai dengan teori epidemiologi demam tifoid dimana tidak ada perbedaan insiden yang signifikan pada kedua jenis kelamin. Nilai pemeriksaan Tubex yang didapatkan bervariasi, berkisar dari +4 hingga +8.

Kata Kunci: demam tifoid, insiden, anak, RSUP Sanglah

ABSTRACT

Typhoid fever is an infectious disease caused by bacilli Salmonella typhii which showed systemic symptoms in patient. Typhoid fever still easily found in areas with poor hygiene and sanitation. Those areas are generally had tropic and sub-tropic climate. Each year, about 20 million of typhoid cases are reported worldwide, while 200.000 of them ended with mortality. In Indonesia, prevalence of typhoid fever in year 2007 was up to 800 cases per 100.000 population, while two-third of them attacked age group of 4 to 19 years old. Mortality rate in hospitalized patients was up to ten percent. This research was aimed to find out the frequency of occurrence of positive Tubex result in children who was suspected with typhoid fever and hospitalized at RSUP Sanglah. Age criteria of children is five to eleven year old, based on Indonesia Department of Health, in year 2009. Research method used is cross-sectional, while

Tubex test result gathered from assessment of medical records within the period from March to September 2016. The result was, from 66 medical records of hospitalized children patients suspected with typhoid fever, eight patients had positive Tubex result. Mean age of patients was 7.6 year old, gender proportion was 50% male and 50% female, parallel to popular theories about typhoid fever which says there was no specific difference of typhoid fever occurrence between male and female. All patients diagnosed by Tubex examination, with various value from +4 up to +8.

Keywords: typhoid fever, incident, children, RSUP Sanglah

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksius yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Hingga saat ini, demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan serius yang muncul di negara-negara berkembang dan menyumbang angka kesakitan dan kematian yang tidak sedikit. Bentuk penularan umumnya melalui kontaminasi feses-oral terhadap bahan pangan dan sumber air, serta diperparah dengan buruknya kualitas sanitasi di wilayah-wilayah padat penduduk. Angka insiden di seluruh dunia dapat mencapai lebih dari 20 juta kasus setiap tahunnya, dimana 200.000 diantaranya berakhir dengan kematian.1 Demam paratifoid, yang menampakan gejala serupa tifoid namun lebih ringan, jumlah kasusnya sendiri di seluruh dunia pada tahun 2000 mencapai sekitar 5,4 juta kasus.2,3 Wilayah-wilayah beriklim tropis dan sub-tropis menunjukan angka prevalensi demam tifoid yan tinggi, contohnya di Asia Tengah (301 per 100.000), Asia Selatan (409 per 100.000), Asia Tenggara (196 per 100.000), Afrika Tengah (557 per 100.000), dan Afrika Timur (537 per 100.000).4

Di Indonesia, prevalensi demam tifoid pada tahun 2007 berkisar antara 358 hingga 810 per 100.000 penduduk, dimana 64% kasus dialami oleh penduduk kelompok usia 3-19 tahun. Angka mortalitas pada pasien demam tifoid yang dirawat di fasilitas kesehatan bervariasi antara 3,1-10,4%. Kasus-kasus demam tifoid biasanya muncul sepanjang tahun, dan memuncak pada saat memasuki musim kemarau.5 Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 melaporkan bahwa demam tifoid merupakan penyebab ketiga terbanyak masalah kesehatan yang dialami oleh pasien-pasien rawat inap (41.081 kasus). Kasus tifoid lebih banyak ditemukan di wilayah pinggir kota atau perdesaan dibandingkan di tengah kota besar, pada kelas sosio-ekonomi menengah kebawah, dan tingkat pendidikan penduduk yang rendah.

Gejala demam tifoid meliputi demam, nyeri kepala, pembesaran hati dan limfa, ruam, hilang nafsu makan, dan gangguan pencernaan. Demam

tifoid jarang berakhir fatal (tingkat fatalitas 14%) apabila dirawat dengan pemberian antibiotik yang tepat, namun pada pasien yang mengalami komplikasi, fatalitas meningkat signifikan hingga 30-40%.2,6 Pemeriksaan baku emas untuk demam tifoid yaitu kultur darah, yang sayangnya membutuhkan waktu setidaknya tujuh hari, serta memerlukan peralatan yang memadai, dan staf yang handal, sesuatu yang sulit dipenuhi di banyak negara-negara berkembang.7

Kota Denpasar merupakan wilayah dengan kepadatan populasi yang cukup tinggi, dan juga masyarakatnya memiliki gaya hidup yang beragam. Tempat-tempat yang kebersihannya kurang terjaga sering dijumpai, umumnya di pasar tradisional, pedagang makanan pinggir jalan, serta pemukiman kumuh yang penduduknya terbiasa membuang sampah dan limbah rumah tangga secara sembarangan, baik karena kurangnya faktor kepedulian akan kebersihan atau kurangnya sarana pembuangan sampah yang baik. Dampak kesehatan berupa penyakit menular yang ditimbulkan dari kebersihan lingkungan yang buruk dapat muncul kapan saja, dan anak-anak menjadi kelompok populasi yang lebih mudah terjangkit masalah kesehatan.

Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini dibuat untuk menunjukan prevalensi demam tifoid pada anak-anak di wilayah kota Denpasar, serta menentukan kelompok usia yang lebih sering terjangkit demam tifoid. RSUP Sanglah sebagai rumah sakit rujukan utama di kota Denpasar, akan dijadikan sebagai tempat dilaksanakannya penelitian ini, dengan harapan angka prevalensi yang diperoleh dari penelitian di RSUP Sanglah dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk menggambarkan prevalensi demam tifoid pada anak-anak, serta berperan dalam menentukan kebijakan terkait promosi kesehatan di seluruh wilayah kota Denpasar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dikerjakan dengan cara mencari data rekam medis pasien anak-anak yang dirawat di RSUP Sanglah karena demam tifoid dalam

kurun waktu antara bulan Maret 2016 hingga September 2016. Pengumpulan data dilakukan dengan metode total sampling, dimana peneliti tidak menentukan jumlah sampel minimum, melainkan mengambil sebanyak-banyaknya sampel yang ditemukan selama proses pengumpulan data. Proses pencarian dan pengumpulan data dilaksanakan selama bulan Sepember 2016 hingga Desember 2016. Kriteria sampel meliputi pasien anak-anak berusia 5-11 tahun yang menjalani rawat inap di RSUP Sanglah, terdiagnosis demam tifoid melalui pemeriksaan antibodi IgM spesifik S. typhi yang dikerjakan di RSUP Sanglah pada bulan Maret 2016 hingga September 2016. Peneliti telah mendapat kelaiakan etik atas pelaksanaan penelitian ini melalui surat bernomor 1859/UN.14.2/Litbang/2016 dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

HASIL

Peneliti memperoleh sebanyak 66 data rekam medik pasien anak-anak yang dirawat inap dalam kurun waktu bulan Maret-September 2016, yang dicurigai demam tifoid, dan melalaui konfirmasi hasil tes Tubex, didapatkan hasil positif pemeriksaan antibodi IgM spesifik S. typhi, sebanyak delapan pasien. Gambaran usia pasien dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Usia pasien anak-anak yang terdiagnosis demam tifoid dan dirawat di RSUP

Sanglah

pada

kurun

waktu

bulan

Maret-

September 2016.

n

Terend ah

Tertin ggi

Rera ta

Medi an

Q 1

Q 3

Usia pasi en

8

5

11

7,63

7

5

1

1

Rerata usia pasien adalah 7,63 tahun, dengan usia termuda dan tertua didapatkan berturut-turut 5 tahun dan 11 tahun. Tidak ada perbedaan jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin, seperti ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 2. Jumlah pasien berdasarkan kelompok usia.

Usia

5

6

7

8

9

10

11

Frekue

1

1

3

1

0

1

1

nsi

(12,

(12,

(37,

(12,

(0

(12,

(12,

(%)

5)

5)

5)

5)

)

5)

5)

Tabel 3. Jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin.

Jenis      Laki-laki    Perempuan

kelamin

n (%) 4 (50) 4 (50)

Semua pasien didiagnosis dengan demam tifoid. Diagnosis ini didukung dengan hasil pemeriksaan antibodi IgM spesifik S. typhi.

Tabel 4. Nilai positif pemeriksaan antibodi IgM spesifik S. typhi pada pasien.

Nilai

Frekuensi (%)

+4

2 (25)

+6

3 (37,5)

+8

3 (37,5)

Total

8 (100)

PEMBAHASAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh masuknya bakteri Salonella typhi ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Di saluran pencernaan, bakteri memasuki sirkulasi darah melalui plak Peyer di usus halus, untuk selanjutnya dengan bantuan makrofag, menyebar ke organ-organ seperti hati, limpa, dan sirkulasi limfatik untuk melakukan proses replikasi. Bakteri lalu kembali memasuki aliran darah dan menimbulkan gejala klinis. Patogenesis ini bergantung kepada imunitas penderita. Anak-anak yang berusia lebih tua mungkin memiliki kekebalan lebih tinggi, baik secara alamiah atau akibat ada riwayat infeksi tifoid di masa lampau. Penelitian oleh Sarasombath dkk. menemukan bahwa pasien tifoid yang telah sembuh memiliki kekebalan terhadap infeksi S. typhi hingga satu tahun berikutnya, bahkan seumur hidup apabila pasien secara terus-menerus kontak dengan bakteri penyebab yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggal. Penelitian lain yang mencoba mengaitkan jenis kelamin dengan infeksi tifoid menunjukan hasil yang serupa dengan teori populer, bahwa baik pria maupun wanita memiliki risiko yang relatif sama terhadap infeksi. Berdasarkan hasil penelitian di atas, peneliti mencoba memperkirakan riwayat penyakit dan riwayat sosial pasien. Pasien anak yang berusia lebih tua mungkin belum pernah terjangkit demam tifoid sebelumnya, atau pernah terjangkit jauh di masa lampau, sehingga telah kehilangan imunitas yang diperoleh dari infeksi sebelumnya. Anak-anak tersebut juga berada pada usia sekolah, sehingga perhatian dan kontrol orangtua terhadap pola makan serta kebersihan pasien berkurang. Kebiasaan anak usia sekolah yang mulai mengonsumsi jajanan makanan atau minuman dari sumber yang kebersihannya meragukan, berkontribusi pada peningkatan insiden demam tifoid. Pada anak berusia muda atau yang belum bersekolah,

kontrol orangtua atau pengasuh terhadap kebersihan anak biasanya lebih ketat, sehingga lebih jarang kontak dengan sumber infeksi. Penelitian ini tidak mencari tahu latar belakang pendidikan pasien dan orangtua atau pengasuh pasien, sehingga sulit mencari apakah ada hubungan tingkat pendidikan dengan prevalensi demam tifoid pada anak-anak.

SIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini, dari 66 pasien rawat inap yang dicurigai demam tifoid, didapatkan delapan (12,1%) pasien yang positif demam tifoid. Usia yang paling banyak dijumpai pada usia 7 tahun, tidak didapatkan perbedaan signifikan jumlah insiden antara kedua jenis kelamin, serta nilai hasil pemeriksaan Tubex berkisar antara +4 hingga +8.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Kanj S, Kanafani Z, Shehab M, Sidani N, Baban T, Baltajian K, dkk. Epidemiology, clinical manifestations, and molecular typing of salmonella typhi isolated from patients with typhoid fever in Lebanon. Journal of Epidemiology and Global Health. 2015;5(2):159-65.

  • 2.    Buckle G, Walker C, Black R. Typhoid fever and paratyphoid fever: Systematic review to estimate global morbidity and mortality for 2010. Journal of Global Health. 2012;2(1):2.

  • 3.    Guerrant R, Walker D, Weller P. Tropical infectious       diseases.       Edinburgh:

Saunders/Elsevier, 2011.

  • 4.    Mogasale V, Maskery B, Ochiai R, dkk.

Burden of typhoid fever in low-income and 5. Hatta M. Enteric fever in endemic areas of

Indonesia:  an increasing problem of

resistance. J Infect Developing Countries. 2008;2(4):279-82.

  • 6.    Neil K, Sodha S, Lukwago L, O-tipo S, Mikoleit M, Simington S, dkk. A Large Outbreak of Typhoid Fever Associated with a High Rate of Intestinal Perforation in Kasese District, Uganda, 2008-2009. Clinical        Infectious        Diseases.

2012;54(8):1091-9.

  • 7.    Thriemer K, Ley B, Ame S, Deen J, Pak G, Chang N,    dkk.    Clinical and

Epidemiological Features of Typhoid Fever in Pemba, Zanzibar: Assessment of the Performance of the WHO Case Definitions. PLoS         ONE,         2012;7(12):1.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P11

63