ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 9 NO.7,JULI, 2020



Diterima:09-07-202     Revisi:13-07-2020



Accepted: 16-07-2020


HUBUNGAN TERAPI OBAT ANTIEPILEPSI TERHADAP FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN EPILEPSI ANAK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH PERIODE MARET 2016-NOVEMBER 2016

Nanda Putri Chintia1, Ida Ayu Sri Wijayanti2, Dewi Sutriani Mahalini3

1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2 Departemen/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah 3Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah Koresponden : Nanda Putri Chintia Email: [email protected]

ABSTRAK

Epilepsi merupakan penyakit kronis dengan angka insiden yang tinggi pada anak-anak. Epilepsi merupakan masalah kesehatan dan sosial, dimana masalah kesehatan ini dapat berdampak pada gangguan kognitif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan obat antiepilepsi terhadap fungsi kognitif pada pasien epilepsi anak di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik potong lintang. Selama 9 bulan periode penelitian, didapatkan 69 sampel yang masuk dalam kriteria inklusi.. Data penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel. Dari data penelitian ini didapatkan hasil berupa proporsi pasien yang mendapatkan terapi obat antiepilepsi dengan satu macam obat antiepilepsi (monoterapi) yaitu 85,5%, dan 14,5% pasien mendapatkan terapi obat antiepilepsi dengan dua macam obat antiepilepsi (politerapi). Proporsi pasien yang sudah mendapatkan terapi obat antiepilepsi kurang dari dua tahun yaitu 84,1% dan sebanyak 15,9% sudah mendapatkan terapi obat antiepilepsi lebih dari sama atau sama dengan dua tahun. Didapatkan juga proporsi fungsi kognitif kategori average (60,9%) yang lebih tinggi dibanding kategori below average (21,7%) dan above average (17,4%). Terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah macam obat antiepilepsi dengan fungsi kognitif (p=0,000). Terhadap lama pengobatan obat antiepilepsi didapatkan hubungan yang signifikan terhadap fungsi kognitif (p=0,000). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dari jumlah macam obat antiepilepsi dan lama pengobatan terhadap fungsi kognitif.

Kata kunci: epilepsi anak, obat antiepilepsi, fungsi kognitif

ABSTRACT

Epilepsy is a chronic disease with high incidence rates in children. Epilepsy is a health and social problems, those health problems can have an impact on cognitive function. The purpose of this study to determine the relationship of antiepileptic drugs on cognition in children patients with epilepsy at the General Hospital Sanglah. The purpose of this study was to determine the association of antiepileptic drugs on cognition in children with epilepsy patients at the General Hospital Center Sanglah. This study used an analytical cross-sectional study design. During 9 months of the study period, obtained 69 samples which are included in inclusion criteria. The research data were then presented in tabular form. From the study data, obtained the proportion of patients who have received antiepileptic drug therapy with a single antiepileptic drug (monotherapy) is 85.5%, and 14.5% patients received antiepileptic drug therapy with two kinds of antiepileptic drugs (polytherapy). The proportion of patients who have received an antiepileptic drug therapy less than two years is 84.1% and 15.9% have received an antiepileptic drug therapy more or equal to two years. Also obtained the

proportion of average category of cognitive function (60.9%) higher than the below average (21.7%) and above average (17.4%). There is a significant association of the number of antiepileptic drugs with cognitive function (p = 0.000). For the duration of antiepileptic drug therapy is found a significant association to cognitive function (p = 0.000). It can be concluded that there is a significant association of the number of antiepileptic drugs and duration of treatment on cognitive function.

Keywords: epilepsy, children, antiepilepsy drug, cognitive function

PENDAHULUAN

Epilepsi masih menjadi salah satu permasalahan penting dalam bidang kesehatan maupun psikologi-sosial di dunia dan khususnya juga di Indonesia, dapat dilihat dari prevalensi, dampak yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan munculnya stigma di masyarakat terkait pasien epilepsi.

Epilepsi adalah penyakit otak yang didefinisikan dengan salah satu kondisi berikut: setidaknya dua kejang tak beralasan atau refleks terjadi dalam interval lebih dari 24 jam; satu kejang tak beralasan atau tanpa provokasi dan kemungkinan kejang lanjut mirip dengan risiko kekambuhan umum (setidaknya 60%) setelah dua kejang tanpa provokasi, terjadi selama 10 tahun ke depan; atau diagnosis sindrom epilepsi.1

Sekitar 50 juta orang di dunia mengidap epilepsi yang menyebabkan epilepsi menjadi salah salah satu penyakit neurologi yang sering terjadi dan hampir 80% dari orang dengan epilepsi berada di negara dengan pendapatan menengah ke bawah.2 Menurut World Health Organization (WHO), dalam banyak penelitian di dunia bersama-sama mengestimasi bahwa rerata prevalensi epilepsi aktif adalah sekitar 8.2 per 1000 pada populasi umum. Namun, angka ini dapat di bawah dari estimasi sebagaimana penelitian di negara-negara berkembang yang mengusulkan lebih dari 10 per 1000 dari populasi.

Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan dan dapat mulai pada usia berapapun, tetapi paling sering ditemukan pada awal kehidupan atau pada masa anak-anak. Golongan anak-anak memiliki prevalensi dan insiden  yang paling banyak dibandingkan

dengan golongan yang lain. Sekitar 10.5 juta anak memiliki diagnosis epilepsi aktif pada 25% populasi di dunia dengan epilepsi.3 Di Indonesia, sedikitnya terdapat 700.000 - 1.400.000 kasus epilepsi dimana terdapat pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak.4

Melihat cukup sering ditemukannya kasus epilepsi, perhatian lebih perlu diberikan karena sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien epilepsi. Beberapa studi sebelumnya menyebutkan epilepsi berhubungan dengan

fungsi kognitif. Umumnya, proporsi disfungsi intelektual (IQ <80) pada anak-anak dengan epilepsi bervariasi antara 26% dan 57% dan dalam studi berbasis populasi, sekitar 20-40% anak dengan epilepsi dilaporkan memiliki keterbelakangan mental. Selain itu, dalam tulisan Rantaten dipaparkan gangguan neurokognitif lainnya yakni 28% dari pasien epilepsi mengalami gangguan bicara dan 23% mengalami gangguan belajar.6 Banyak faktor yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif pada epilepsi, termasuk di dalamnya obat anti epilepsi. OAE dapat mempengaruhi fungsi kognitif dengan menekan perangsangan neuron atau meningkatkan penghambatan neurotransmisi. Meskipun penggunaan OAE dalam jangka panjang dengan jelas dapat menimbulkan gangguan kognitif, efek kognitif dalam periode singkat sampai satu tahun tidak terdapat bukti meyakinkan. Secara umum, efek pada fungsi kognitif lebih buruk pada OAE tipe lama (fenobarbital) daripada placebo, OAE tipe baru, dan tanpa penggunaan OAE. Penting untuk mengidentifikasi dan meminimalkan efek OAE pada anak dengan epilepsi, dimana perkembangan sistem saraf dapat menjadi lebih rentan untuk konsekuensi jangka panjang berupa gangguan konitif akibat penggunaan OAE.5 Studi yang dilakukan pada   anak-anak

menunjukkan lebih banyak pengaruh fungsi kognitif yang berhubungan dengan politerapi OAE yang dikaitkan dengan dengan masalah neurokognitif, rendahnya kinerja intelektual, dan masalah perilaku .6

Rantanen pada penelitian Social Competence of Preschool Children with Epilepsi mendapatkan prevalensi gangguan pemusatan perhatian dan perilaku sebesar 35% pada anak usia prasekolah dengan epilepsi. Rantanen tiga tahun setelah penelitian sebelumnya mendapatkan prevalensi gangguan perkembangan kognitif pada anak usia prasekolah dengan epilepsi yaitu 50% dari anak-anak peserta penelitian pada batas normal dalam kisaran (IQ ±  70) pada penelitian

Cognitive Impairment in Preschool Children with Epilepsi. Namun, beberapa dari anak-anak ini dapat dipertimbangkan untuk berada pada batas atau borderline (IQ 70-79) fungsi kognitif.

Keterbelakangan mental ringan ditemukan di 21,9% dari peserta dan keterbelakangan yang menengah sampai parah ditemukan di 28,1% dari studi kohort.6

Penelitian tentang epilepsi dalam kaitannya hubungan OAE terhadap fungsi kognitif pada pasien epilepsi anak di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar (RSUP) belum pernah dilakukan. Hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian terkait yang diharapkan akan memberikan informasi dan manfaat bagi aspek pelayanan kesehatan maupun bidang ilmu pengetahuan untuk penelitian selanjutnya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan penelitian potong-lintang. Variabel diukur pada satu saat tertentu dalam penelitian. Responden penelitian adalah 69 pasien epilepsi anak yang berobat di RSUP Sanglah pada rentang waktu Maret 2016-November 2016. Responden adalah semua yang memenuhi salah satu usia 0-68 bulan dan minimal sudah mendapat pengobatan OAE selama 4 minggu. Teknik yang digunakan untuk penentuan sampel penelitian adalah convenient purposive sampling dengan memakai kuisioner dan lembar tes Mullen dan hanya mengambil sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara mewawancarai orang tua atau pengantar pasien. Kriteria inklusi dari responden adalah pasien epilepsi berusia 0-68 bulan dan telah mendapatkan pengobatan OAE ≥ 4 minggu. Kriteria Eksklusi dari responden adalah responden tidak dapat mengikuti sepenuhnya tes Mullen pada hari pengerjaan tes, serta pasien yang menderita retardasi mental dan pasien putus obat.

Penelitian ini sudah memiliki kelaikan etik dengan no surat yaitu, 825/UN.14.2/Litbang/2016 dengan nomor protocol 427.01.1.2016 dari Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Keddokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.

Hasil yang didapat akan dianalisis menggunakan software IBM SPSS Statistics 21 dan disajikan dalam bentuk tabel dalam bentuk distribusi frekuensi yang kemudian dilakukan analisa mengenai hubungan variabel yang diteliti.

HASIL

Distribusi responden menurut jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Sosiodemografi

Karakteristik

Jumlah

Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

33

47,8

Perempuan

36

52,2

Usia

2 -6 bulan

5

7,2

1 tahun

9

13

2 tahun

10

14,5

3 tahun

8

11,6

4 tahun

17

24,6

5 tahun

20

29

Tabel diatas menunjukkan bahwa pasien yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 33 sampel (47,8%) dan sebanyak 36 sampel (52,2%) berjenis kelamin perempuan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien epilepsi anak yang berobat ke poli anak Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan jenis kelamin laki-laki.

Subjek yang diteliti adalah pasien epilepsi anak yang berobat ke poli Anak Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dengan rentang usia subjek adalah 0 hingga 68 bulan atau setara dengan usia hingga 5 tahun. Dari tabel 1, didapatkan distribusi usia terbanyak adalah 4 tahun yaitu sebanyak 20 sampel (29%).

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Temuan Penelitian

Karakteristik

Jumlah

Persentase (%)

Tipe epilepsi

Parsial Fokal

16

23,2

Parsial Kompleks

7

10,1

Parsial Sederhana

3

4,3

Umum Absence

3

4,3

Umum Tonik

40

58

Klonik

Jumlah macam

OAE

1 (Monoterapi)

59

85,5

2 (Politerapi)

10

14,5

Jenis OAE

AsamValproat

26

37,7

Fenobarbital

13

10,1

Karbamazepin

20

29,0

Fenobarbital +

Asam Valproat

7

10,1

Fenobarbital +

Karbamazepin

2,9

Fenobarbital +

1

Fenitoin

1,4

Lama

pengobatan OAE

<2 tahun

58

84,1

≥2 tahun

11

15,9

Fungsi Kognitif

Above Average

12

17,4

Average

42

60,9

Below Average

15

21,7

Distribusi responden berdasarkan temuan penelitian yang terdiri atas tipe epilepsi, jumlah macam OAE, jenis OAE, lama pengobatan OAE, dan fungsi kognitif berdasarkan tes Mullen dapat dilihat pada tabel 2.

Karakteristik responden berdasarkan tipe epilepsi dapat dilihat pada tabel 2, dimana menunjukkan bahwa pasien dengan tipe epilepsi umum tonik klonik memiliki proporsi paling tinggi (58%) dan tipe epilepsi parsial sederhana serta tipe umum absence masing-masing memiliki proporsi terendah (4,3%).

Seluruh pasien epilepsi anak sebanyak 69 sampel (100%) mendapatkan pengobatan OAE, dimana artinya seluruhnya mendapatkan terapi OAE. Dari tabel 2, didapatkan sebagian besar pasien mendapatkan terapi OAE dengan satu macam OAE (monoterapi) yaitu sebanyak 85,5%. Sebagian besar pasien yang mendapatkan monoterapi OAE menggunakan OAE jenis asam valproat yaitu sebanyak 37,7%, sedangkan sebanyak 10,1% menggunakan OAE jenis fenobarbital. Pasien yang mendapatkan politerapi OAE menggunakan OAE jenis fenobarbital dengan asam valproat yaitu sebanyak 10,71%, sedangkan sebanyak 1,4% menggunakan OAE jenis fenobarbital dengan fenitoin.

Seluruh pasien epilepsi anak sebanyak 69 sampel (100%) sudah mendapatkan pengobatan OAE dengan lama pengobatan yang bervariasi dengan tujuan pengobatan selama 2 tahun bebas kejang. Sebagian besar pasien sudah mendapatkan terapi OAE kurang dari dua tahun yaitu sebanyak 84,1%, sedangkan sebanyak 15,9% sudah mendapatkan terapi OAE lebih dari sama atau sama dengan dua tahun.

Tes Mullen dilakukan pada seluruh pasien epilepsi anak sebanyak 69 sampel (100%), dimana didapatkan tiga kategori fungsi kognitif dari lima kategori yang ada. Berdasarkan tabel 2, dari hasil tes Mullen banyak didapatkan pasien dengan fungsi kognitif kategori average, yaitu sebanyak 42 sampel (69,9%).

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 59 pasien yang mendapatkan monoterapi OAE, sebanyak 12 sampel (20,3%) dengan fungsi kognitif kategori above average, 39 sampel (66,1%) dengan fungsi kognitif kategori average, dan 8

sampel (4,3%) dengan fungsi kognitif kategori below average. Sedangkan pasien yang mendapatkan politerapi OAE, sebanyak 3 sampel (30%) dengan fungsi kognitif kategori average dan sebanyak 7 sampel (70%) dengan fungsi kognitif kategori below average.

Tabel 3 Jumlah Macam OAE terhadap Fungsi Kognitif

Kategori fungsi kognitif

Jumlah

macam OAE

9“ > cd q-

x© 3 O

^ re Cd

≡ r

^ . CD

as

λ  _

cd cd

CD

p

1

12 ;

39 ; 66,1

8 ;13,6

(mono)

20,3

O

O O

O

2 (poli)

0 ; 0

3 ; 30

7 ; 70

Jumlah

12 ;

42 ; 60,9

15 ;

17,4

21,7

Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori average lebih tinggi (66,1%) dibanding proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori above average (20,3%) maupun kategori below average (13,6%) pada pasien yang mendapatkan monoterapi OAE. Sedangkan pasien yang mendapatkan politerapi OAE, didapatkan bahwa proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori below average lebih tinggi (70%) dibanding proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori above average (0%) maupun kategori average (30%).

Tabel 4 Lama Pengobatan OAE terhadap Fungsi Kognitif

Kategori fungsi kognitif

Lama Pengobatan OAE




p


<2 tahun

12 ; 20,7

40 ; 69

6 ; 10,3

≥2 tahun

0 ; 0

2 ; 18,2

9 ; 81,8

Jumlah

12 ; 17,4

42; 60,9

15 ;21,7

Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 58 pasien yang sudah mendapatkan terapi OAE kurang dari dua tahun, sebanyak 12 sampel (20,7%) dengan fungsi kognitif kategori above average, 40 sampel (69%) dengan fungsi kognitif kategori average, dan 6 sampel (10,3%) dengan fungsi kognitif kategori below average. Sedangkan pasien yang sudah mendapatkan terapi OAE lebih dari atau sama dengan dua tahun, sebanyak 2 sampel (18,2%) dengan fungsi kognitif kategori average dan sebanyak 9 sampel (81,8%) dengan fungsi kognitif kategori below average.

Proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori average didapatkan lebih tinggi (69%) dibanding proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori above average (20,7%) maupun kategori below average (10,3%) pada pasien yang sudah mendapatkan terapi OAE kurang dari dua tahun. Sedangkan pasien yang sudah mendapatkan terapi OAE lebih dari atau sama dengan dua tahun, didapatkan bahwa proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori below average lebih tinggi (81,8%) dibanding proporsi pasien dengan fungsi kognitif kategori above average (0%) maupun kategori average (18,2%).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pasien epilepsi anak yang berobat ke poli anak Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan jenis kelamin laki-laki, juga didapatkan distribusi usia terbanyak yaitu 5 tahun yaitu sebanyak 20 sampel (29%) dan jumlah paling sedikit adalah rentang usia 2 hingga 6 bulan yaitu masing-masing sebanyak 5 sampel (7,2%). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian milik Suwarba tahun 2011 di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dimana dijumpai pasien epilepsi baru 276 kasus, rata-rata 69 kasus. Sebesar 42% ditemukan pada kelompok umur 1-5 tahun.4

Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan tipe epilepsi, tipe epilepsi umum tonik klonik memiliki proporsi paling tinggi (58%). Didapatkan juga sebagian besar pasien mendapatkan terapi OAE dengan satu macam OAE (monoterapi) yaitu sebanyak 85,5% dimana sebanyak 37,7% pasien menggunakan OAE jenis asam valproat. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian milik Suwarba tahun 2011 di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dimana ditemukan pasien dengan jenis epilepsi umum tonik klonik sebesar 62%, tipe tonik 12,3%, dan tipe absence 4,3%.

Epilepsi fokal/parsial ditemukan pada 12,6% kasus.4

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang sudah mendapatkan terapi OAE kurang dari dua tahun yaitu sebanyak 84,1%. Hasil lain juga didapatkan berdasarkan tes Mullen yang dilakukan yaitu sebanyak 42 sampel (69,9%) adalah pasien dengan fungsi kognitif kategori average.

Berdasarkan hasil analisis uji bivariat didapatkan hubungan antara jumlah macam OAE terhadap fungsi kognitif. Hal ini terbukti dari hasil uji Chi-square dengan hasil p-value<0,05 dengan nilai p sebesar 0,000. Dari hasil ini maka H0 ditolak, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah macam OAE terhadap fungsi kognitif.

Tidak jauh berbeda dengan penelitian tahun 2015 oleh Anderson yang menyimpulkan bahwa penggunaan dua jenis atau lebih OAE (politerapi)    meningkatkan kemungkinan

munculnya adverse drug reactions (ADRs) pada anak-anak. Fungsi kognitif yang terganggu bisa menjadi salah satu bentuk ARDs tersebut. Dalam penelitiannya, di catat 27 dari 45 pasien (60%) yang menerima politerapi mengalami ADRs. Risiko terjadinya ADRs secara signifikan lebih rendah pada pasien yang menerima monoterapi dibandingkan dengan yang menerima politerapi (RR:   0,61,

p<0,0001).7

Berdasarkan hasil analisis uji bivariatjuga didapatkan hubungan antara lama pengobatan OAE terhadap fungsi kognitif. Hal ini terbukti dari hasil uji Chi-square dengan hasil p-value<0,05 dengan nilai p sebesar 0,000. Dari hasil ini maka H0 ditolak, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara lama pengobatan OAE terhadap fungsi kognitif.

Dalam penelitian lain juga menunjukkan adanya pengaruh lama pengobatan terhadap fungsi kognitif. Tahun 2011 dalam penelitiannya Mustarsid menyimpulkan bahwa lama pengobatan lebih dari 2 tahun meningkatkan risiko sebesar sepuluh kali lebih besar (p-value sebesar 0,001) daripada anak dengan lama pengobatan <2 tahun (terhadap terjadinya gangguan perhatian visual).8

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien memiliki tipe epilepsi umum tonik klonik dengan proporsi 58%. Seluruh pasien epilepsi anak sebanyak 69 sampel mendapatkan pengobatan OAE, 68

sebagian besar pasien mendapatkan terapi OAE dengan satu macam OAE (monoterapi) yaitu sebanyak 85,5%, sedangkan sebanyak 14,5% pasien mendapatkan terapi OAE dengan dua macam OAE (politerapi). Jenis OAE yang paling banyak digunakan pada pasien yang mendapatkan monoterapi OAE adalah jenis asam valproat sebanyak 37,7%, sedangkan sebanyak 10,1% menggunakan OAE jenis fenobarbital. Pasien yang mendapatkan politerapi OAE menggunakan OAE jenis fenobarbital dengan asam valproat sebanyak 10,71%.

Sebagian besar pasien sudah mendapatkan terapi OAE kurang dari dua tahun yaitu sebanyak 84,1%, sedangkan sebanyak 15,9% sudah mendapatkan terapi OAE lebih dari sama atau sama dengan dua tahun.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan juga bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah macam OAE terhadap fungsi kognitif serta hubungan yang signifikan antara lama pengobatan OAE terhadap fungsi kognitif.

Orang tua pasien diharapkan agar lebih memerhatikan perkembangan fungsi kognitif anaknya serta lebih memerhatikan keluhan-keluhan gangguan fungsi kognitif yang mungkin terlihat dan segera memeriksakan ke pelayanan kesehatan.

Keterbatasan penelitian ini yaitu tes Mullen dilakukan dalam kondisi poli anak yang kurang kondusif, sehingga terkadang menggangu konsentrasi pasien saat melakukan tes Mullen.

Diperlukan juga penelitian lebih lanjut untuk meneliti variabel yang lain seperti tipe epilepsi, dosis OAE, jenis kelamin, dan usia.

Children with Epilepsy. Epilepsia. 2011; 52(8):1499–1505,

  • 7.    Rantanen K., Eriksson K., Nieminen P,. Timonen S,. Neurocognitive Functioning and Social Competencein Preschool Children with Epilepsy. Epilepsy & Behavior. 2009;14(2) 338–343

  • 8.    Anderson M,. Cherrill J., Egunsola O., Millward C. A Prospective Study of Adverse Drug Reactions to Antiepileptic Drugs in Children. BMJ Open. 2015;5:e008298.

  • 9.    Mustarsid., Nur, F., Setiawati S. Pengaruh Obat Antiepilepsi terhadap Gangguan Daya Ingat pada Epilepsi Anak. Sari Pediatri. 2011; 12(5):305

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Fisher, RS,. Acevedo C., Bogasz A., Cross J.H,. A Practical Clinical Definition of Epilepsy. Epilepsia. 2014; 55(4):475–482

  • 2.    World Health Organization. 2015. Tersedia di:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets /fs999/en/ (akses: 11 Oktober 2016)

  • 3.    Yilmaz, BS., Okuyaz C., Komur M. Predictor of Intracable Childhood Epilepsy. Pediatric Neurology. 2013;48:52-55

  • 4.    Suwarba. Insiden dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari Pediatri. 2011;13(2):123.

  • 5.    Park SP dan Kwon SH. 2008. Cognitive Effects of Antiepileptic Drugs. J Clin Neurol. 2008;(4):99-106

  • 6.    Rantanen K., Eriksson K., Nieminen P. Cognitive Impairment in Preschool

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

doi:10.24843.MU.2020.V9.i7.P12

69