ISSN: 2597-8012


JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.10,OKTOBER, 2019

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA SISWA SEKOLAH DASAR SD NEGERI 1 SULANGAI, DESA SULANGAI, KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG

Ivy Cerelia Valerie1, I Made Sudarmaja2, I Kadek Swastika2 1Program Studi Pendidikan Dokter, 2Bagian Parasitologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

lierrecv@gmail.com

ABSTRAK

Infeksi soil-transmitted helminths (STH) hingga kini masih menjadi masalah global terutama bagi anak usia sekolah. Morbiditas infeksi STH pada anak usia sekolah disebabkan oleh penurunan kualitas hidup dan performa belajar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko infeksi STH pada siswa sekolah dasar SD Negeri 1 Sulangai, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Penelitian analitik observasional potong lintang ini melibatkan 116 siswa SD Negeri 1 Sulangai di Badung, Bali pada tahun 2017. Setelah dilakukan wawancara dengan kuesioner dan pemeriksaan feses dengan teknik modifikasi Kato-Katz, data dianalisis dengan program pengolahan data untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko infeksi STH pada sampel. Sebanyak 5,2% anak mengalami infeksi STH dengan intensitas ringan dan jumlah anak yang terinfeksi oleh A. lumbricoides dan T. trichiura sama banyak (2,6%). Suka menggigit kuku (RP 8,55; 95% IK 1,10-66,56; p = 0,040) dan selalu bermain di tanah (RP 6,31; 95% IK 1,03-38,71; p = 0,046) merupakan faktor risiko infeksi STH yang signifikan. Adanya anak yang masih mengalami infeksi STH menunjukkan bahwa selain upaya pengobatan massal, diperlukan edukasi yang baik mengenai perilaku menggigit kuku dan kebiasaan bermain di tanah untuk mencegah infeksi STH.

Kata Kunci: Prevalensi, Faktor risiko, Soil-transmitted helminths, Siswa sekolah dasar, Sulangai

ABSTRACT

Soil-transmitted helminths (STH) infection remains a global problem to date especially for schoolaged children. The major morbidity for this population results from decrease in quality of life and school performance. The aim of this study was to assess the prevalence and risk factors of STH infection among elementary school students in SD Negeri 1 Sulangai, Sulangai village, Petang district, Badung regency. A cross-sectional analytic study involving 116 students of SD Negeri 1 Sulangai, Badung, Bali was held in 2017. The data collected using questionnaire and modified Kato-Katz smear technique for stool samples were analyzed with data processing program to find the prevalence and risk factors of STH infection. 5.2% students had light intensity with the prevalence of A. lumbricoides and T. trichiura being equal (2.6%). Tendency to bite nail (PR 8.55; 95% CI 1.10-66.56; p = 0.040) and always playing on soil (PR 6.31; 95% CI 1.03-38.71; p = 0.046) were significant risk factors in this study. The result signify the importance of proper education regarding the habits of nail biting and playing on soil in addition to routine mass deworming program.

Keywords: Prevalence, Risk factors, Soil-transmitted helminths, Elementary school students, Sulangai

PENDAHULUAN

Studi yang mendalam mengenai STH perlu dilakukan mengingat tingginya prevalensi secara global yang diperkirakan melebihi 1,5 miliar jiwa atau 24% populasi dunia.1 Sementara itu, jumlah anak usia sekolah dan prasekolah yang membutuhkan kemoterapi preventif untuk infeksi STH tahun 2013 di

Indonesia mencapai 67.699.700 jiwa.2 Meskipun secara geografis angka kejadian infeksi STH di Indonesia sendiri ditemukan sangat beragam, akan tetapi jika dilihat berdasarkan kelompok umur maka anak usia sekolah (5-14 tahun) dan prasekolah (1-4 tahun) memiliki intensitas infeksi yang paling tinggi.3 Morbiditas infeksi STH dengan intensitas berat pada

anak berupa gangguan pertumbuhan dan perkembangan kognitif, serta defisiensi mikronutrien dapat berdampak pada kualitas hidup dan performa belajar anak.4 Tingginya prevalensi infeksi STH pada anak terutama disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: orang tua bekerja sebagai petani; tidak memiliki jamban di rumah; buang air besar selain di jamban; tidak mencuci tangan saat sebelum makan atau setelah buang air besar; tidak memotong kuku teratur; suka menggigit kuku; memiliki kuku yang panjang atau kotor; mengonsumsi air atau makanan tanpa dimasak terlebih dahulu; kebiasaan memakan sayuran mentah; tidak mencuci buah sebelum dimakan; tidak menutup makanan; tidak minum obat cacing secara rutin; serta bermain di tanah tanpa alas kaki.5-18

Prevalensi kecacingan pada siswa SD di Bali tahun 2004-2014 ditemukan sebesar 0-92%.19 Situasi infeksi STH pada desa yang berbeda di Kecamatan Petang telah diteliti sebelumnya oleh Kapti dkk20. Penelitian yang bertujuan untuk menguji efektivitas terapi infeksi STH pada siswa SD 1-5 Desa Pelaga pada tahun 2006 menemukan bahwa 28,4% dari siswa SD 1-5 mengalami infeksi STH, dengan prevalensi tiap SD berkisar antara 12,8%-67,7%. Desa Sulangai merupakan sebuah desa di Kecamatan Petang, Kabupaten Badung yang memiliki kondisi yang sesuai untuk menunjang daur hidup STH dilihat dari lingkungan yang hangat dan lembab, serta sebagian besar wilayahnya berupa perkebunan dan persawahan.21 Melihat tingginya prevalensi infeksi STH di Kecamatan Petang, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko infeksi STH pada siswa SD di Desa Sulangai saat ini.

BAHAN DAN METODE

Penelitian analitik observasional potong lintang ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret tahun 2017 untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko infeksi STH pada siswa sekolah dasar SD Negeri 1 Sulangai, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Dengan total sampling terpilih 116 anak kelas 1-6 SD Negeri 1 Sulangai tahun ajaran 2016/2017 sebagai sampel penelitian. Sampel kemudian diwawancara dengan menggunakan kuesioner dan feses yang dikumpulkan diperiksa dengan teknik modifikasi Kato-Katz. Data mengenai

prevalensi dan faktor risiko dianalisis dengan SPSS 23 menggunakan uji chi square dan regresi logistik dengan 95% interval kepercayaan.

HASIL

Karakteristik sampel dapat dilihat pada Tabel 1. Sampel penelitian mayoritas merupakan perempuan dengan rerata usia 9,2 tahun. Sebagian besar siswa (43,1%) tinggal di Banjar Sulangai yang juga merupakan lokasi SD Negeri 1 Sulangai. Lebih dari setengah orang tua siswa bekerja sebagai wiraswasta dengan pendidikan terakhir SMA.

Tabel 1. Karakteristik sosiodemografi sampel penelitian

Karakteristik sosiodemografi

Rerata (SB) atau n (%)

Usia (tahun)

9,2 (2,0)

Jenis kelamin

Laki-laki

50 (43,1)

Perempuan

66 (56,9)

Kelas

1

19 (16,4)

2

15 (12,9)

3

27 (23,3)

4

12 (10,3)

5

14 (12,1)

6

29 (25,0)

Tempat tinggal

Banjar Sulangai

50 (43,1)

Banjar Wanakeling

23 (19,8)

Banjar Wanasari

43 (37,1)

Pekerjaan orang tua

Pegawai swasta

19 (16,4)

Petani

35 (30,2)

Pegawai Negeri Sipil

3 (2,6)

Wiraswasta

59 (50,9)

Pendidikan terakhir orang tua

SD

13 (11,2)

SMP

25 (21,6)

SMA

68 (58,6)

SMK

1 (0,9)

Perguruan Tinggi

9 (7,8)

Tabel 3. Analisis bivariat karakteristik sosiodemografi dan faktor risiko dengan infeksi STH

Variabel

Positif n (%)

Negatif n (%)

RP (95% IK)

p

Usia >9 tahun

3 (5,7)

50 (94,3)

1,19 (0,25-5,65)

1,000

Laki-laki

5 (10,0)

45 (90,0)

6,60 (0,80-54,73)

0,083

Tempat tinggal

0,796

Orang tua bekerja sebagai petani

2 (5,7)

33 (94,3)

1,16 (0,22-6,03)

0,588

Pendidikan terakhir orang tua SD

2 (15,4)

11 (84,6)

3,96 (0,80-19,55)

0,135

Sumber air selain PDAM

2 (5,7)

33 (94,3)

1,16 (0,22-6,03)

1,000

Sumber air berwarna, berbau, berasa

1 (5,6)

17 (94,4)

1,09 (0,14-8,78)

1,000

Tidak memiliki jamban di rumah

1 (33,3)

2 (66,7)

7,53 (1,23-46,28)

0,149

BAB selain di jamban

2 (14,3)

12 (85,7)

3,64 (0,73-18,09)

0,153

Potong kuku >1 minggu sekali

2 (4,1)

47 (95,9)

0,68 (0,13-3,59)

0,497

Suka menggigit kuku

2 (28,6)

5 (71,4)

7,79 (1,71-35,44)

0,042

Tidak cuci tangan sebelum makan

2 (12,5)

14 (87,5)

3,13 (0,62-15,69)

0,192

Tidak cuci tangan setelah BAB

2 (10,0)

18 (90,0)

2,40 (0,47-12,22)

0,276

Kuku panjang*

2 (6,5)

29 (93,5)

1,37 (0,26-7,12)

0,510

Kuku kotor*

4 (5,6)

67 (94,4)

1,27 (0,24-6,64)

0,570

Air minum tidak dimasak

4 (7,8)

47 (92,2)

2,55 (0,49-13,37)

0,233

Pernah makan lalapan

5 (6,1)

77 (93,9)

2,07 (0,25-17,10)

0,431

Tidak mencuci buah sebelum dimakan

1 (6,3)

15 (93,8)

1,25 (0,16-10,02)

0,598

Makanan di rumah tidak ditutup

0 (0)

3 (100,0)

-

0,851

Obat cacing >1 tahun sekali

0 (0)

10 (100,0)

-

0,575

Selalu bermain di tanah

4 (14,3)

24 (85,7)

6,29 (1,22-32,51)

0,029

Tidak menggunakan alas kaki

0 (0)

20 (100,0)

-

0,312

(BAB = Buang air besar, IK = Interval Kepercayaan, p = nilai p, PDAM = Perusahaan Daerah Air Minum, RP = Rasio Prevalens)

*Berdasarkan observasi langsung


Feses dari 116 siswa diperiksa dan didapatkan 6 anak (5,2%) mengalami infeksi STH. Jumlah infeksi oleh A. lumbricoides dan T. trichiura ditemukan sama banyak, yaitu masing-masing pada 3 (2,6%) anak yang berbeda (Tabel 2). Seluruh anak mengalami infeksi dengan intensitas ringan. Prevalensi berdasarkan kelas untuk A. lumbricoides tertinggi pada siswa kelas 4 (8,3%), melebihi prevalensi tertinggi T. trichiura pada siswa kelas 1 (5,3%).

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa tidak ditemukan adanya hubungan antara infeksi STH dengan kelima variabel sosiodemografi yang diteliti, yaitu: usia, jenis kelamin, tempat tinggal, serta pekerjaan dan pendidikan terakhir orang tua. Jika dilihat berdasarkan tempat tinggalnya, 3 (7%), 1 (4,3%), dan 2 (4%) anak yang terinfeksi STH tinggal di Banjar Wanasari, Wanakeling, dan Sulangai secara berturut-turut. Dari 6 anak yang terinfeksi, 4 (6,8%) dan 2 (5,7%) anak berturut-turut memiliki orang tua yang bekerja sebagai wiraswasta dan petani. Pendidikan terakhir orang tua berturut-turut adalah SD, SMP, dan SMA pada 2 (15,4%), 2 (8,0%), dan 2 (2,9%) anak tersebut.

Setelah dilakukan analisis bivariat ditemukan bahwa faktor risiko signifikan terjadinya infeksi STH adalah tidak memiliki jamban di rumah, suka menggigit kuku, dan selalu bermain di tanah (Tabel 3). Faktor risiko suka menggigit kuku memiliki nilai RP tertinggi dan nilai RP terendah ditemukan pada variabel memotong kuku lebih dari satu minggu sekali, namun variabel ini tidak dapat disimpulkan sebagai faktor protektif. Meskipun variabel lain tidak bermakna secara statistik dan tidak dapat disimpulkan sebagai faktor risiko,

namun perlu diperhatikan bahwa tidak ada kasus positif yang terjadi pada kelompok yang tidak menutup makanan di rumah, meminum obat cacing lebih dari satu tahun sekali, dan tidak menggunakan alas kaki setiap ke luar rumah dan bermain. Perilaku tidak memasak makanan tidak disertakan dalam analisis karena tidak ada yang memiliki faktor risiko tersebut.

Tabel 2. Prevalensi infeksi STH berdasarkan kelas dan spesies STH

Kelas

Prevalensi infeksi STH n (%)

Negatif

A.l

T.t

1

0

1 (5,3)

18 (94,7)

2

0

0

15 (100)

3

1 (3,7)

1 (3,7)

25 (92,6)

4

1 (8,3)

0

11 (91,7)

5

0

0

14 (100)

6

1 (3,4)

1 (3,4)

27 (93,1)

Total

3 (2,6)

3 (2,6)

110 (94,8)

(A.l = Ascaris lumbricoides, T.t = Trichuris trichiura)

Dari hasil analisis multivariat pada Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi STH adalah suka menggigit kuku dan selalu bermain di tanah. Hal ini berarti bahwa anak yang suka menggigit kuku memiliki risiko terkena infeksi STH 8,55 kali lebih besar dibandingkan yang tidak suka menggigit kuku. Sedangkan anak yang selalu bermain di tanah memiliki risiko terkena infeksi STH 6,31 kali lebih besar dibandingkan yang tidak selalu bermain di tanah.

Tabel 4. Analisis regresi logistik multivariat terhadap faktor risiko infeksi STH

Variabel

RP Kasar (95% IK)

RP Multivariat (95% IK)

p

Suka

7,79

8,55

0,040

menggigit

(1,71-35,44)

(1,10-66,56)

kuku

Selalu

6,29

6,31

0,046

bermain

(1,22-32,51)

(1,03-38,71)

di tanah

PEMBAHASAN

Studi ini merupakan studi analitik yang meneliti mengenai prevalensi dan faktor risiko infeksi STH pada siswa SD Negeri 1 Sulangai. Prevalensi infeksi STH pada studi ini (5,2%) lebih rendah dari studi sebelumnya di Desa Pelaga20 (28,4%) yang berada pada kecamatan yang sama. Angka prevalensi ini juga lebih rendah dari penelitian yang dilakukan di Abiansemal (87,5%-88,8%), Kabupaten Badung oleh Kapti dkk22 serta di Kabupaten Karangasem (17,31%-71,54%) oleh Diarthini dkk23. Jika dibandingkan dengan rentang prevalensi di Bali (0-92%), prevalensi infeksi STH penelitian ini tergolong rendah.

Prevalensi infeksi STH pada penelitian ini mirip dengan yang ditemukan pada penelitian di Kalimantan Timur (6,16%), Sumatera Selatan (6,8%), dan Jawa Tengah (7,29%) tahun 2014-2015. Sementara di luar negeri, angka kejadian ini komparabel dengan beberapa negara tropis lainnya, yaitu Filipina (2,34%), Etiopia (4,9%), dan India Barat (7,56%) dalam rentang tahun 2010-2016.19,24,25,26,27,28

Prevalensi yang rendah pada penelitian ini dapat disebabkan oleh program pemberian albendazol 400 mg setiap tahunnya sejak tahun 2015 oleh puskesmas untuk seluruh siswa SD Kabupaten Badung. Selain itu, sebagian besar siswa sudah memiliki sanitasi lingkungan dan personal hygiene yang baik, tidak memiliki faktor risiko lain, serta memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan yang baik. Dapat dilihat dari banyaknya siswa yang menggunakan sumber air PDAM (69,8%); sumber air tidak berwarna, berbau, maupun berasa (84,5%); memiliki jamban di rumah (97,4%); selalu BAB di jamban (87,9%); memotong kuku seminggu sekali (57,8%); tidak suka menggigit kuku (94%); mencuci tangan sebelum makan (86,2%) maupun sesudah BAB (82,8%); air minum dimasak terlebih dahulu (56%); mencuci buah sebelum dimakan (86,2%); menutup makanan di rumah (97,4%); minum obat cacing setidaknya setahun sekali (91,4%); menggunakan alas kaki setiap ke luar rumah dan bermain (82,8%); serta memiliki kuku yang pendek (73,3%). Sebagian besar orang tua siswa telah menempuh pendidikan hingga SMA (58,6%), hanya sedikit (11,2%) yang tidak menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun.

Berdasarkan spesies STH yang menginfeksi, hasil yang ditemukan serupa dengan penelitian sebelumnya di Bali dimana 2 spesies STH yang paling sering menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura.19,20,22,23 Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah tidak ditemukannya spesies cacing selain A. lumbricoides dan T. trichiura serta tidak adanya infeksi campuran oleh lebih dari 1 spesies pada penelitian ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan pada subjek penelitian, karakteristik sosiodemografi, maupun teknik diagnostik yang digunakan pada setiap penelitian.

Tanah merupakan media transmisi cacing STH sehingga sering terpapar tanah, seperti halnya saat bermain di tanah merupakan faktor risiko infeksi STH yang penting. Penelitian terdahulu17,30 mendukung bahwa bermain di tanah merupakan faktor risiko infeksi STH, namun penelitian di Jakarta Pusat31 tidak menemukan hasil yang sama. Hasil yang berbeda tersebut mungkin disebabkan oleh proporsi infeksi STH yang hampir sama pada anak yang bermain di tanah (11,3%) maupun tidak (11,5%). Adanya paparan dengan tanah menunjang terjadinya transmisi secara oral, terlebih jika kuku anak yang terkontaminasi

digigit dan tanah yang melekat di kuku ikut tertelan. Suka menggigit kuku sebagai faktor risiko infeksi STH pada penelitian ini didukung beberapa penelitian sebelumnya di Kalimantan Barat10 dan Yogyakarta32, serta tidak sesuai dengan penelitian di Jawa Tengah33. Dengan banyaknya jumlah siswa yang bermain di tanah dan memiliki kuku yang kotor, kebiasaan suka menggigit kuku menjadi jalur masuk yang sangat potensial bagi telur maupun larva cacing STH. Tidak adanya hubungan antara menggigit kuku jari tangan dengan infeksi STH pada penelitian di Jawa Tengah dikarenakan rendahnya frekuensi anak yang menggigit kuku pada anak yang terinfeksi STH (6,1%).

Beberapa penelitian terdahulu menemukan beragam faktor risiko infeksi STH yang terkait faktor sosial, sanitasi lingkungan, personal hygiene, serta faktor risiko lainnya.11,34,35 Namun hanya sedikit faktor risiko yang signifikan pada penelitian ini. Faktor-faktor yang ditemukan bermakna secara statistik pada penelitian lain namun tidak pada penelitian ini adalah; pekerjaan orang tua sebagai petani;36 sumber dan keadaan air, memasak air minum;37 kepemilikan jamban;7 BAB selain di jamban, minum obat cacing, kuku panjang;11 memotong kuku;9 mencuci tangan sebelum makan, penggunaan alas kaki;34 mencuci tangan setelah BAB;35 makan sayur mentah, mencuci buah;15 menutup makanan di rumah;16 kuku kotor38. Adanya perbedaan dari segi lingkungan, sanitasi lingkungan, gaya hidup, dan budaya di tiap daerah dapat menyebabkan perbedaan determinan infeksi STH untuk setiap daerah.

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, diantaranya adalah pemeriksaan Kato-Katz yang dilakukan pada 1 sampel tiap anak sehingga sensitivitasnya dapat berkurang hingga 50% jika dibandingkan dengan pemeriksaan pada 3 sampel tiap anak.39 Meskipun pemeriksaan Kato-Katz efektif untuk daerah endemis tinggi, akurasinya lebih buruk pada situasi dimana prevalensi dan intensitas infeksi STH rendah.40 Selain itu, prevalensi infeksi STH yang rendah menyebabkan jumlah sampel kurang memadai dalam memberi hasil analisis faktor risiko yang optimal.

SIMPULAN

Prevalensi infeksi STH pada siswa sekolah dasar SD Negeri 1 Sulangai tergolong rendah, yakni sebesar 5,2%. Suka menggigit kuku dan selalu bermain di tanah merupakan faktor risiko terjadinya infeksi STH yang signifikan pada penelitian ini. Pendidikan yang baik mengenai faktor risiko infeksi STH terutama mengenai perilaku menggigit kuku dan kebiasaan bermain di tanah berperan penting untuk mencegah terjadinya infeksi di kemudian hari. Berdasarkan penelitian ini, dibutuhkan penelitian lanjutan untuk

mengetahui prevalensi dan faktor risiko infeksi STH secara nasional sebagai dasar strategi pencegahan infeksi STH di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    WHO. Soil-transmitted helminth infections. 2015.                Tersedia               di:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366 /en/ [Diakses pada 25 Juni 2015].

  • 2.  WHO. Soil-transmitted helminthiases: number of

children (pre-SAC and SAC) requiring Preventive Chemotherapy for soil-transmitted helminthiases. 2013. Tersedia di: http://apps.

  • 3.    who.int/neglected_diseases/ntddata/sth/sth.html [Diakses pada 25 Juni 2015].

  • 4.    WHO. Eliminating soil-transmitted helminthiases as a public health problem in children: progress report 2001–2010 and strategic plan 2011–2020. Geneva:  World Health  Organization;  2012.

Tersedia                                       di:

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44804/1/ 9789241503129_eng.pdf  [Diakses pada 22

Oktober 2017].

  • 5.    Hall A, Hewitt G, Tuffrey V, de Silva N. A review and meta-analysis of the impact of intestinal worms on child growth and nutrition. Matern Child Nutr. 2008 Apr;4 Suppl 1:118-236.

  • 6.    Caroline Okeke O, Obiageli Ubachukwu P. A Cross-Sectional Study of Ascaris lumbricoides Infection in a Rural Community in Ebonyi State, Nigeria: Prevalence and Risk Factors. Iranian Journal of Public Health. 2015;44(10):1430-

1432.

  • 7.    Sali L, Abdullah AZ, Suriah. Faktor Risiko Infestasi Soil Transmitted Helmiths pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Masyarakat Epidemiologi Indonesia;       2013.       Tersedia       di:

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/6 982 [Diakses pada 20 September 2016]

  • 8.    Subrata IM, Nuryanti NM. Pengaruh Personal Higiene dan Sanitasi Lingkungan Terhadap Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Gianyar. Arc. Com. Health. 2016 Vol. 3 No. 2 : 30 – 38.

  • 9.    Rahmawati, Soeyoko, Sumarni S. Hygiene, sanitation and the soil transmitted helminths (STH) infection among elementary school students in West Lombok. J Med Sci. 2014;46(2), pp.94–101.

  • 10.    Yulianto E. “Hubungan Higiene Sanitasi dengan Kejadian Penyakit Cacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang, Kota Semarang” (skripsi). Semarang: Universitas Negeri Semarang; 2007.

  • 11.    Lidia M, Ridha A, Trisnawati. Faktor Perilaku Anak yang Berhubungan dengan Penyakit

Kecacingan pada Anak di Desa Pahokng Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak. Universitas Muhammadiyah Pontianak; 2015. Tersedia                                       di:

http://repository.unmuhpnk.ac.id/304/1/jurnal.pd f. [Diakses pada 12 September 2017]

  • 12.    Kattula D, Sarkar R, Ajjampur SSR, dkk. Prevalence & risk factors for soil transmitted helminth infection among school children in south India. The Indian Journal of Medical Research. 2014;139(1):76-82.

  • 13.    Wiratningsih IAPS. “Infeksi Soil Transmitted Helminth serta Faktor-Faktor Terkait pada Anak-Anak SD 1 Taman dan SD 3 Sibang Kaja, Kecamatan Abiansemal, Badung, Bali” (skripsi). Denpasar: Universitas Udayana; 2004.

  • 14.    Mejia Torres RE, Franco Garcia DN, Fontecha Sandoval GA, dkk. Prevalence and Intensity of Soil-Transmitted Helminthiasis, Prevalence of Malaria and Nutritional Status of School Going Children in Honduras. de Silva N, ed. PLoS Neglected Tropical Diseases. 2014;8(10):e3248.

  • 15.    Kar S. Rapid Assessment of Soil Transmitted Helminth (STH) Infections among School Girls in Odisha. J Gastrointest Dig Syst. 2015;5:336.

  • 16.    Anuar TS, Salleh FM, Moktar N. Soil-Transmitted Helminth Infections and Associated Risk Factors in Three Orang Asli Tribes in Peninsular Malaysia. Sci Rep. 2014;4:4101.

  • 17.    Al-Delaimy AK, dkk. Developing and evaluating health education learning package (HELP) to control soil-transmitted helminth infections among Orang Asli children in Malaysia. Parasites & Vectors, 2014;7:416.

  • 18.    Ginandjar P, Saraswati LD, Martini. Soil-Transmitted Helminth Infection in Elementary School Children: An Integrated Environment and Behavior Case Study in Bandungan Sub-District, Semarang District. Advanced Science Letters, 2017 Vol. 23, Number 4, April 2017, pp. 35653568(4).

  • 19.    Sandy S, Sumarni S, Soeyoko. Footwear as a risk factor of hookworm infection in elementary school students. Universa Medicina. 2014;33(2), pp.133–140.

  • 20.    Sudarmaja IM, Swastika K, Diarthini LPE, Laksemi DAAS, Damayanti PAA, Ariwati NL. Prevalence of Helminths Infection Among Elementary School Student in Bali between 2004 to 2014. Dalam: Proceeding Book 7th ASEAN Congress of Tropical Medicine and Parasitology: Combating the Big Three of Infectious Diseases (AIDS, Tuberculosis and Malaria) and Increasing Awareness of the Neglected Tropical Diseases, 17-19 May 2016, Malang, Indonesia. 2016, pp. 81.

  • 21.    Kapti IN, Ariwati L, Sudarmaja IM, Swastika K. The Effectivity of A Two-Day- Albendazole Treatment Against Trichuriasis Among School Children of SD 1-5 Plaga, Petang, Bali. Dalam: Simposium Nasional Parasitologi dan Penyakit Tropis:  Recent Progresses in Parasitology

Emerging and Reemerging Infectious Diseases, 25-26 Agustus 2007, Denpasar, Indonesia. 2007, pp. 64.

  • 22.    Pemerintah Kabupaten Badung. Profil Badung. 2009,       pp.       4.       Tersedia       di:

www.badungkab.go.id/kpp/profile/profil_badung .doc [Diakses pada 22 September 2016]

  • 23.    Kapti IN, Ariwati L, Sudarmaja IM, Swastika K. Albendazole and Quantrel Effectivity Against Intestinal Helminthic Infection Among School Children of SD2 and SD3 Bongkasa, Abiansemal, Bali. Dalam: Simposium Nasional Parasitologi dan Penyakit Tropis: Recent Progresses in Parasitology Emerging and Reemerging Infectious Diseases,  25-26  Agustus 2007,

Denpasar, Indonesia. 2007, pp. 89.

  • 24.    Diarthini NLPE, Sudarmaja IM, Swastika IK, Damayanti PAA, Laksemi DAAS, Ariwati L. The Prevalence of Soil-Transmitted Helminth (STH) Infections in Elementary School Students at Antiga Kelod Village, Karangasem Regency, Bali, Indonesia. Dalam: Proceeding Book 7th ASEAN Congress of Tropical Medicine and Parasitology:  Combating the Big Three of

Infectious Diseases (AIDS, Tuberculosis and Malaria) and Increasing Awareness of the Neglected Tropical Diseases, 17-19 May 2016, Malang, Indonesia. 2016, pp. 84.

  • 25.    Hairani B, Waris L, Juhairiyah. Prevalensi soil transmitted helminth (sth) pada anak sekolah dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang. 2014 Vol. 5, No. 1, pp. 43-48.

  • 26.    Handayani D, Ramdja M, Nurdianthi  IF.

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) dengan Prestasi Belajar pada Siswa SDN 169 di Kelurahan Gandus Kecamatan Gandus Kota Palembang. MKS, Th. 47, No. 2, 2015, pp. 91-96.

  • 27.    Bestari RS, Supargiyono, Sumarni,  Suyoko.

Derajad Eosinofilia pada Penderita Infeksi Soil-Transmitted Helminth (STH). Biomedika. 2015 Volume 7 Nomor 2, pp.27-34.

  • 28.    Lawangen A, Santillan M, Anacio D, Tomin J. Epidemiology of Soil-Transmitted Helminth Parasitism Among Schoolchildren in Tublay, Benguet. Tangkoyob Journal. 2013 Vol 6 No. 1, pp.88-106.

  • 29.    Belyhun Y, Medhin G, Amberbir A, dkk. Prevalence and risk factors for soil-transmitted helminth infection in mothers and their infants in Butajira, Ethiopia: a population based study. BMC Public Health. 2010;10:21.

  • 30.    Jain SK, Dwivedi A, Shrivastava A, dkk. Prevalence of Soil Transmitted Helminthic Infection in India in Current Scenario: A Systematic Review. J Commun Dis. 2016;48(2):24-35.

  • 31.    Shumbej T, Belay T, Mekonnen Z, Tefera T, Zemene E. Soil-Transmitted Helminths and Associated Factors among Pre-School Children in Butajira Town, South-Central Ethiopia: A Community-Based Cross-Sectional Study. Serrano Ferron E, ed. PLoS   ONE.

2015;10(8):e0136342.

  • 32.    Ghassani A. “Hubungan Infeksi Cacing Usus STH dengan Kebiasaan Bermain Tanah pada SDN 09 Pagi Paseban Tahun 2010” (skripsi). Jakarta: Universitas Indonesia; 2011.

  • 33.    Sofiana L, Sumarni S, Ipa M. Fingernail biting increase the risk of soil transmitted helminth (STH) infection in elementary school children. Health Science Indones. 2011;2:81-6.

  • 34.    Sofiana L. Hubungan Perilaku dengan Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Anak Sekolah Dasar MI Asas Islam Kalibening, Salatiga. Jurnal Kes Mas. 2010. ISSN: 1978-0575. Tersedia di: http://journal.uad.ac.id/index.php/KesMas/article /view/1095/811 [Diakses pada 20 September 2016]

  • 35.    Alelign T, Degarege A, Erko B. Soil-Transmitted Helminth Infections and Associated Risk Factors among Schoolchildren in Durbete Town, Northwestern Ethiopia. Journal of Parasitology Research, 2015 Vol. 2015, Article ID 641602.

  • 36.    Sah RB, Bhattarai S, Yadav S, Baral R, Jha N, Pokharel PK. A study of prevalence of intestinal parasites and associated risk factors among the school children of Itahari, Eastern Region of Nepal. Tropical Parasitology.  2013;3(2):140-

144.

  • 37.    Fifendy M, Sari DN. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Kondisi Sosial Orangtua Murid Kelas 1 SDN No.23 Koto Mandakek Desa Pauh Timur Pariaman. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Bidang Ilmu MIPA 2011: Optimalisasi Energi untuk Kemakmuran Negeri, 9-10 Mei 2011, Banjarmasin, Indonesia. 2011, pp. 73-81.

  • 38.    Strunz EC, Addiss DG, Stocks ME, Ogden S, Utzinger J, Freeman MC. Water, Sanitation, Hygiene, and Soil-Transmitted Helminth Infection: A Systematic Review and MetaAnalysis. Hales S, ed. PLoS  Medicine.

2014;11(3):e1001620.

  • 39.    Wale M, Wale M, Fekensa T. The prevalence of intestinal helminthic infections and associated risk factors among school Children in Lumame town, Northwest, Ethiopia. Journal of Parasitology     and     Vector     Biology.

2014;6(10);156-65.

  • 40.    Knopp S, Mgeni AF, Khamis IS, dkk. Diagnosis of Soil-Transmitted Helminths in the Era of Preventive Chemotherapy: Effect of Multiple Stool Sampling and Use of Different Diagnostic Techniques. Engels D, ed. PLoS Neglected Tropical Diseases. 2008;2(11):e331.

  • 41.    Bergquist R, Johansen MV, Utzinger  J.

Diagnostic dilemmas in helminthology: what tools to use and when? Trends Parasitol. 2009;25(4):151-6.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum