DIAGNOSTIC METHOD OF HIRSCPRUNG’S DISEASE
on
METODE DIAGNOSIS PENYAKIT HIRSCPRUNG
I Putu Trisnawan, I Made Darmajaya
Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
ABSTRAK
Penyakit hirschprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kegagalan migrasi dari sel ganglion selama kehamilan. Penyakit hirschsprung pada umumnya mengenai kolon rektosigmoid tetapi dapat juga mengenai seluruh bagian kolon, dan jarang mengenai usus kecil. Gejala penyakit ini pada pada masa bayi biasanya kesulitan pergerakkan usus, nafsu makan yang menurun, penurunan berat badan, serta kembung pada perut. Diagnosis awal penting untuk mencegah terjadinya komplikasi. Dengan penatalaksanaan yang tepat, banyak pasien tidak akan mengalami efek samping dalam jangka waktu yang lama, serta dapat hidup secara normal.
Kata kunci: penyakit hirsprung, aganglion
DIAGNOSTIC METHOD OF HIRSCPRUNG’S DISEASE
ABSTRACT
Hirschsprung’s disease (congenital megacolon) is caused by the failed migration of colonic ganglion cells during gestation. Hirschsprung’s disease most commonly involves the rectosigmoid region of the colon but can affect the entire colon and, rarely, the small intestine. Symptoms in infants include difficult bowel movements, poor feeding, poor weight gain, and progressive abdominal distention. Early diagnosis is important to prevent complications (e.g., enterocolitis, colonic rupture). With proper treatment, most patients will not have long-term adverse effects and can live normally.
Keyword: hirschprung disease, aganglion
PENDAHULUAN
Penyakit Hirschsprung”s (PH) adalah suatu penyakit akibat obstruksi fungsional yang berupa aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke arah proximal dengan panjang segmen tertentu, setidak –tidaknya melibatkan sebagian rektum. Penyakit Hirschprung (PH) dtandai dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus auerbach dan meissner.1
Insidensi
Insiden PH pada bayi aterm dan cukup bulan diperkirakan sekitar 1:5000 kelahiran dan lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1.1-4 Risiko tertinggi terjadinya PH biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga PH dan pada pasien penderita Down Syndrome.2,3
Etiologi
Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai penyebab tersebut yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk bermigrasi ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan rektum. Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut. sehingga menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus yang mengalami aganglion.3,4
Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan
sphincter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.1Dasar patofisiologi dari penyakit hirschprung adalah tidak adanya gelombang propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus yang terkena.2,3
Kerusakan yang terjadi pada Penyakit hirschsprung
Tidak terdapatnya ganglion (aganglion) pada kolon menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen kolon terlambat yang menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi dibawahnya. Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut, atau kronis yang tergantung panjang usus yang mengalami aganglion. Obstruksi kronis menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang disertai iritasi feses sehingga menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Selanjutnya dapat terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon. Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan terjadi sepsis akibat dehidrasi dan kehilangan cairan rubuh yang berlebihan.2,3,4
DIAGNOSIS
Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya pengeluaran mekonium dalam waktu 24 jam setelah lahir. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif, kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada semua kasus. 2,4
Gejala klinik
Pada bayi yang baru lahir manifestasi PH yang khas biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran mekonium pertama, selanjutnya diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah hijau atau fekal. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalamm usia 24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus PH mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah cukup. Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya, yang merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis PH. Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterokolitis.1,4
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. PH dapat juga
menunjukkan gejala lain seperti adanya fekal impaction, demam, diare yang
menunjukkan adanya tanda-tanda enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh kembang. 1,4 Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada minggu atau bulan pertama kehidupan. 1
Beberapa anak yang lebih besar mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.2,5 Pasien didiagnosis dengan PH karena adanya riwayat konstipasi, distensi abdomen dan gelombang peristaltik dapat terlihat, sering dengan enterokolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khusus di sekitar umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis 1,2,4
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan PH yang berumur kurang dari 3 bulan. Bila ditemukan harus dipikirkan gejala enterokolitis yang merupakan komplikasi serius dari aganglionosis.2 Enterokolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan PH. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga translokasi. Selain itu disertai perubahan komponen musim dan pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficile atau Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala walaupun telah dilakukan kolostomy. Enterokolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang
mengancam jiwa. Enterokolitis ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien dengan PH. Ada hubungan erat antara panjang colon yang aganglion dengan perforasi.3
Diagnosis dini PH dan penanganan yang tepat sebelum terjadinya komplikasi merupakan hal yang penting dalam mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini.2
Pemeriksaan penunjang
Diagnostik pada PH dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus. Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping teknik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis.1
-
a. Foto polos abdomen
PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara (gambar1). Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih jelas dapat terlihat.1 Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi usus karena adanya gas.2
Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.1
Gambar 1. Foto polos abdomen pada noenatus dengan PH.11
-
b. Barium enema
evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk PH adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen tertentu, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan segmen dilatasi.1,2 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan Arnold dari tahun 1974 sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat mendiagnosis 60% dari 99 pasien dengan PH.6 Dalam literatur dikatakan bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan spesifisitas 65-100%.8
Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya zona transisi. Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium enema yaitu 1. Abrupt, perubahan mendadak; 2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut; 3. Funnel, bentuk seperti cerobong.1,2
Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon yang berada dalam keadaan kosong.1 Pemerikasaan barium enema tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya resiko perforasi dinding kolon.2,4
a penderitaHirschsprung. pitan,dilatasi sigmoid dan
Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema merupakan hal
yang penting pada PH, khusunya pada masa neonatus. Foto retensi barium
dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan foto polos abdomen untuk elihat
retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu barium membaur dengan feses ke
arah proksimal di dalam kolon berganglion normal. Retensi barium dengan
obtipasi kronik yang bukan disebabkan PH terlihat semakin ke distal,
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan
apabila pada foto enema barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda PH.1 Apabila terdapat jumlah retensi barium yang cukup signifikan
di kolon, hal ini juga meningkatkan kecurigaan PH walaupun zona transisi tidak
Gambar 3. Foto retensi barium 24 jam menunjukan rettensi barium dengan zona transisi pada fleksura splenik pada bayi berumur 10 hari.
1. Anorectal manometry
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson pada
tahun 1949 dengan memasukkan balón kecil dengan kedalaman yang berbeda-beda dalam rektum dan kolon.1 Alat ini melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti 7
poligraph atau komputer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
-
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
-
2. Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik; Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.
-
3. Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan.1
Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal manometri tersebut dikerjakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan, misalnya pada kasus PH ultra pendek. Laporan positif palsu hasil pemeriksaan manometri berkisar antara 0-62% dan hasil negatif palsu 0-24%. 1 Pada literature disbutkan 8
bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75-100% dan spesifisitasnya 85-95 %.8 Hal serupa hamper tidak jauh beda dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas sebesar 95%.7 Perlu
diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus prematur atau neonatus aterm
belum berkembang sempurna sebelum berusia 12 hari.1
Keuntungan metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak
invasif dan dapat segera dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena
tidak dilakukan anestesi umum.1
Gambar 4: gambaran manometri anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Padapenderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi sfingter ani.
Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang dapat dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon yang normal menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi PH didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus tersebut. Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf
parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan
haematoxylin eosin. Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya peningkatan asetilkolinesterase di mukosa dan submukosa disertai dengan manifestasi gejala yang khas dan adanya foto barium enema yang menunjukkan adanya zona transisi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis PH. Hanya saja pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan. Disamping memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan enolase spesifik neuron dan. pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase yang dapat memudahkan penegakan diagnosis PH.1,8
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif selanjurnya.1 Disamping itu juga teknik ini dapat menyebabkan komplikasi seperti perforasi, perdarahan rektum, dan infeksi.9 Noblett tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini dapat dikerjakan lebih sederhana, aman, dan tidak memerlukan anastesi umum serta akurasi pemeriksaan yang mencapai 100%.1 Akan tetapi, menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung pada specimen, tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan keahlian dari
spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%.9 Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan sel ganglion Meisner dan ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila hasil biopsi isap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.1
Gambar 5a: Pengecatan Acetylcholinesterase dari biopsy hisap rectum. Normal rektum menunjukan minimal aktivitas Acetylcholinesterase dari lamina propia dan ganglion submukosa.10
Gambar 5b: Penyakit Hirschsprung dikarakteristikan dengan peningkatan positif acetylcholinesterase di lamina propia dan penebalan serabut saraf di submukosa.10
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari penyakit hirschsprung didasarkan pada beberapa penyakit yang mempunyai gejala obstruksi letak rendah yang mirip penyakit hirschsprung. Pada neonatal gejala yang mirip dengan penyakit hirschsprung dapat berupa meconium plug syndrome, stenosis anus, prematuritas, enterokolitis nekrotikans, dan fisura ani. Sedangkan pada anak-anak yang lebih besar diagnosis bandingnya dapat berupa konstipasi oleh karena beberapa sebab, stenosis anus, tumor anorektum, dan fisura anus.5,6
Penanganan
Setelah pasti didiagnosis penyakit hirschsprung tindakan harus mutlak dilakukan segera adalah tindakan dekompresi medik, atau dekompresi bedah dengan pembuatan sigmoidostomi. Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada penyakit hirschsprung merupakan tindakan bedah sementara dan bedah definitf. Prinsip penanganan atau terapi penyakit hirschsprung umumnya dengan melaksanakan dekompresi yang dilakukan dengan rectal washing dan diversion(colostomi). Serta terapi definitifnya adalah dengan pembedahan yaitu dengan mengganti atau membungkus usus yang mengalami aganglion dengan yang ganglion.7,8
RINGKASAN
PH merupakan penyakit anomaly congenital yang bila ditegakkan secara dini dan ditangani secara tepat dapat menghasilkan prognosis yang baik. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis yang khas pada PH lebih dari 90% kasus PH mekonium keluar setelah 24 jam yang diikuti distensi abdomen serta obtipasi kronik yang merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Sedangkan untuk anak yang lebih besar mempunyai gejala klinis kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi berulang serta gagal tumbuh kembang. Pada beberapa bayi yang baru lahir atau yang lebih besar dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterokolitis yang bila tidak ditangani dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis ini merupakan komplikasi tersering PH yang ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot serta berbau busuk, distensi abdominal, dehidrasi dan syok.
Pemeriksaan penunjang PH yang dipakai saat ini adalah radiologi, anorektal manometri, dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan radiologi diantaranya foto polos abdomen untuk melihat adanya tanda-tanda obstruksi usus letak rendah (setinggi ileum terminal atau lebih rendah lagi). Foto barium enema dapat memperlihatkan gambaran segmen sempit, segmen transisi dan segmen dilatasi. Sedangkan pemeriksaan anorektal manometri pada PH yang didapatkan adalah hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi, tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik, dan tidak dijumpai relaksasi sfingter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses.
Diagnosis pasti PH ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi yang dapat dilakukan dengan cara biopsi isap rektum atau open biopsi. Diagnosis histopatologi ini didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) serta ditemukan penebalan serabut saraf .
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Kartono Darmawan. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta. 2004.
-
2. Pasumarthy L and Srour JW. Hirschsprung’s Disease:A Case To Remember. Practical Gastroenterology. 2008:42-45.
-
3. Nurko SMD. Hirschsprung Disease. Center for Motility and Functional Gastrointestinal Disorders.2007
-
4. Kessman JMD. Hirschsprung Disease: Diagnosis and Management. American Family Physician. 2006;74:1319-1322.
-
5. Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F. Clinical Manifestations of Hirschsprung’s Disease: A Six Year Course Review of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal of Digestive Diseases. 2009;1:68-73.
-
6. Theodore Z, Polley JR, Coran GA. Hirschsprung's Disease In The Newborn. Pediatric Surgery International. 1986:80-83.
-
7. Baucke VL, Pringle KC, Ekwo EE. Anorectal Manometry for Exclusion of Hirschsprung’s Disease in Neonates. Jurnal Of Pediatric Gastroentrology and Nutrition. 1985;4:596-603.
-
8. Gerson KE. Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 5th edition. Philadelphia. W.B. Saunders Company;2009:p456-475
-
9. Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal Suction Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association Pediatric Surgery. 2010;15:56-58.
-
10. Puri P. Hirschsprung’s Disease and Variants in: Pediatric Surgery. London. Spinger; 2009:page 453-462.
-
11. A. John. M Adam. Klasifikasi dan Kriteria diagnosis Penyakit
Hirschsprung, Avalaible : http://emedicine.medscape.com/article/409150-media. Acces : 4 Juli 2009
-
12. Wansjoer A. Tatalaksana Penyakit hirschsprung. Avalaible :
http://www.surgical-
tutor.org.uk/pictures/images/hne&p/hirschsprungs3.jpg. Acces: 5 Mei 2009
18
Discussion and feedback