PENANGANAN INSOMNIA

Liya Rosdiana Sholehah

Bagian/SMF Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Tidur merupakan komponen penting dari kesehatan dan kesejahteraan. Pengaruh insomnia, apakah sebagai gejala primer atau sekunder, merupakan masalah kesehatan utama dan harus erat dipelajari dan diperiksa di semua kelompok umur. Ada bukti yang berkembang bahwa efek insomnia pada fungsi remaja adalah sebanding dengan lainnya gangguan kejiwaan utama (misalnya, suasana hati gangguan, gangguan kecemasan, dll). Insomnia dikaitkan dengan negatif yang signifikan konsekuensi berfungsi, sehingga kecacatan di sejumlah emosional, sosial, kognitif, dan fisik domain (Carskadon, 1999; Johnson, Roth, Schultz, & Breslau, 2006; Roberts, Roberts, & Duong, 2008b, Wolfson & Carskadon, 1998). Berdasarkan akademik literatur sampai saat ini, dihipotesiskan bahwa insomnia akan secara signifikan lebih umum di kalangan remaja dari jenis kelamin perempuan dan di antara mereka melaporkan kesehatan psikologis dan / atau fisik keprihatinan. Analisis yang dilakukan meliputi statistik deskriptif dasar (frekuensi / persentase), bivariat analisis (Chi-square test), dan regresi logistik ganda. Tingkat prevalensi insomnia pada remaja adalah 9,5%, dengan tidak ada hubungan yang signifikan ditemukan antara seks dan insomnia. Analisis multivariat menunjukkan insomnia untuk secara signifikan terkait dengan adanya kondisi kronis, gangguan mood dipilih (12 bulan), pada remaja yang mengalami "sedikit" terhadap stres "ekstrim" kehidupan, dan pada remaja yang tinggal di selain dengan kedua orang tua rumah tangga. Insomnia tidak ditemukan secara signifikan terkait dengan seks, kecemasan dipilih gangguan (12 bulan), minum berat, penggunaan ganja berat, dan remaja yang hanya mengalami "beberapa stres kehidupan", penggunaan ganja berat dan memiliki kecemasan yang dipilih gangguan secara bermakna dikaitkan dengan insomnia.

Pengetahuan yang lebih tepat dapat digunakan untuk membuat pencegahan dan pengobatan strategi untuk mengatasi masalah tidur remaja. Dengan melakukan ini, kita bisa mudah-mudahan memitigasi dampak negatif insomnia yang mungkin ada pada kemampuan remaja untuk berfungsi dan mengatasi masalah sebelum mereka menjadi kronis.

Kata kunci: insomnia, kesehatan mental, kehidupan stres, penggunaan obat

MANAGEMENT OF INSOMNIA

ABSTRACT

Sleep is an essential component of health and well-being. The effects of insomnia, Whether as a primary or secondary symptoms, is a major health concern and should be closely studied and

Examined across all age groups. There is growing evidence that the effects of insomnia on Adolescent's functioning is comparable to that of other major psychiatric disorders (eg, mood disorders, anxiety disorders, etc..). Insomnia is associated with significant negative Consequences, impairing functioning across a number of emotional, social, cognitive, and physical domains (Carskadon, 1999; Johnson, Roth, Schultz, & Breslau, 2006; Roberts, Roberts, & Duong, 2008b; Wolfson & Carskadon, 1998). Based on the academic literature to date, it is hypothesized that insomnia will be Significantly more prevalent among Adolescents of the female sex and among those reporting psychological and / or physical health concerns. The analyzes conducted included basic descriptive statistics (frequencies / percentages), bivariate analyzes (Chi-square tests), and a multiple logistic regression. The prevalence rate of

insomnia in adolescents was 9.5%, with no significant association found between sex and insomnia. The multivariate analysis Showed Significantly insomnia to be associated with the presence of a chronic condition, selected mood disorders (12 months), in adolescents who are experiencing "quite a bit" to "extreme" life stress, and in adolescents who were living in than other households with both parents. Insomnia was not found to be associated Significantly with sex, selected anxiety disorder (12 months), heavy drinking, heavy cannabis use, and in Adolescents who were only experiencing "some life stress". heavy cannabis use and having a selected anxiety Significantly disorder was associated with insomnia.

More informed knowledge can be used to create prevention and treatment strategies to address Adolescent sleep problems. By doing this, we can hopefully mitigate any negative impact of insomnia may have on the Adolescent's ability to function and address the concerns before they Become chronic.

Keywords: insomnia, mental health, life stress, medication use

PENDAHULUAN

Insomnia adalah kesulitan untuk memulai tidur atau kesulitan untuk mempertahankan tidur, atau gangguan tidur yang membuat penderita merasa belum cukup tidur pada saat terbangun.1

Prinsip penanganan insomnia selain KIE yaitu mengoptimalkan pola tidur yang sehat. Terapi insomnia dapat dilakukan dengan pendekatan nonfarmakologi ataupun pendekatan farmakologi.1

Fokus utama dari pengobatan insomnia harus diarahkan pada identifikasi faktor penyebab. Setelah faktor penyebab teridentifikasi maka penting untuk mengontrol dan mengelola masalah yang mendasarinya. Identifikasi faktor penyebab yaitu dengan mengoptimalkan penanganan gangguan medis , psikiatri serta penanganan nyeri, menangani gangguan tidur primer , dan penyalahgunaan obat-obatan, jika mungkin dilakukan , mengurangi atau menghentikan obat-obatan yang diketahui memiliki efek yang mempengaruhi fungsi tidur, pada kebanyakan kasus , insomnia kronis dapat disembuhkan jika penyebab medis atau psikiatri di evaluasi dan diobati dengan benar.1

TERAPI NON-FARMAKOLOGI INSOMNIA

Penanganan terapi non farmakologi terdiri dari cognitive and behavioral therapy meliputi: sleep hygine, sleep restriction atau pembatasan tidur, relaxation therapy atau 2

terapi relaksasi dan stimulus control therapy. 2

  • A.    Sleep Hygine

Sleep hygine adalah salah satu komponen terapi perilaku untuk insomnia. Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur pasien. Langkah – langkah ini meliputi : 2 Mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum tidur, tidur sebanyak yang dibutuhkan, berolahraga secara rutin minimal 20

menit sehari, idealnya 4-5 jam sebelum waktu tidur, hindari memaksa diri untuk tidur, hindari caffeine, alkohol, dan nikotin 6 jam sebelum tidur , hindari kegiatan lain yang 2

tidak ada kaitannya dengan tidur kecuali hanya untuk sex dan tidur.2

  • B.    Sleep Restriction

Membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini disebut pembatasan tidur. Hal ini dicapai dengan rata-rata waktu di tempat tidur dihabiskan hanya untuk tidur. Pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa mengantuk. Ini mungkin membantu tidur pasien yang lebih baik pada malam berikutnya karena kurang tidur dari 2

malam sebelumnya.2

Sleep restriction ini didasarkan atas pemikiran bahwa waktu yang terjaga di tempat tidur adalah kontraproduktif sehingga mendorong siklus insomnia. Maka tujuannya adalah untuk menigkatkan efisiensi tidur sampai setidaknya 85% . awalnya pasien disarankan ke tempat tidur hanya pada saat tidur. Kemudian mereka diijinkan untuk meningkatkan waktu terjaga di tempat tidur 15 – 20 menit permalam setiap minggu, asalkan efisiensi tidur melebihi 90%. Waktu di tempat tidur berkurang sebesar 15 - 20 menit jika efisiensi tidur dibawah 90%.2

  • C.    Relaxation Therapy

Relaxation therapy meliputi relaksasi otot progresif, latihan pernafasan dalam serta meditasi. Relaksasi otot progresif melatih pasien untuk mengenenali dan mengendalikan ketegangan dengan melakukan serangkaian latihan , pada latihan perrnafasan dalam maka pasien diminta untuk menghirup dan menghembuskan nafas dalam perlahan – 2

lahan. 2

  • D.    Stimulus Control Therapy

stimulus control therapy terdiri dari beberapa langkah sederhana yang dapat membantu pasien dengan gejala insomnia, dengan pergi ke tempat tidur saat merasa mengantuk, hindari menonton TV, membaca, makan di tempat tidur. tempat tidur hanya digunakan untuk tidur dan aktivitas seksual. jika tidak tertidur 30 menit setelah berbaring, bangun dan pergi ke ruangan lain dan melanjutkan teknik relaksasi, mengatur jam alarm untuk bangun pada waktu tertentu setiap pagi, bahkan pada akhir pecan, hindari bangun kesiangan, hindari tidur siang panjang di siang hari.2

TERAPI FARMAKOLOGI INSOMNIA

Prinsip dasar terapi pengobatan insomnia yaitu, Jangan menggunakan obat hipnotik sebagai satu-satunya terapi, pengobatan harus dikombinasikan dengan terapi non farmakologi, pemberian obat golongan hipnotik dimulai dengan dosis yang rendah, selanjutnya dinaikan perlahan – lahan sesuai kebutuhan, khususnya pada orang tua, hindari penggunaan benzodiazepin jangka panjang, hati – hati penggunaan obat golongan hipnotik khususnya benzodiazepin pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan atau ketergantungan obat, monitor pasien untuk melihat apakah ada toleransi obat, ketergantungan obat atau penghentian penggunaan obat, memberikan edukasi kepada pasien efek penggunaan obat hipnotik yaitu mual dan kecelakaan saat mengemudi atau bekerja, khususnya golongan obat jangka panjang, melakukan tapering obat secara perlahan untuk menghindari penghentian obat dan terjadi rebound insomnia.3

Terapi pengobatan insomnia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : Benzodiazepin, Nonbenzodiazepin - hipnotik, dan obat –obat yang lain yg dapat memberikan efek 3 tertidur.3

Benzodiazepin

Dalam penggunaanya, efek benzodiazepin yang diinginkan adalah efek hipnotik-sedatif. Sifat yang diinginkan dari penggunaan hipnotik-sedatif antara lain adalah perbaikan anxietas, euporia dan kemudahan tidur sehingga obat ini sebagai pilihan utama untuk insomnia , jika keadaan ini terjadi terus menerus , maka pola penggunaanya akan menjadi kompulsif sehingga terjadi ketergantungan fisik . hampir semua golongan obat-obatan hipnotik-sedatif dapat menyebabkan ketergantungan. efek ketergantungan ini tergantung pada besar dosis yang digunakan tepat sebelum penghentian penggunaan dan waktu paruh serta golongan obat yang digunakan. Obat-obatan hipnotik-sedatif dengan waktu paruh lama akan dieliminasi lama untuk mencapai penghentian obat bertahap sedikit demi sedikit. Sedangkan pada obat dengan waktu paruh singkat akan dieliminasi dengan cepat sehingga sisa metabolitnya tidak cukup adekuat untuk memberikan efek hipnotik yang lama. Oleh karena itu , penggunaan obat dengan waktu paruh singkat sangat bergantung dari dosis obat yang digunakan tepat sebelum penghentian penggunaan.3

Gejala gejala abstinensi dapat terjadi pada penggunaan berbagai golongan obat hipnotik- sedatif. Gejala –gejala ini dapat berupa lebih sukar tidur dibanding sebelum penggunaan obat- obatan hipnotik-sedatif . jika gejala ini terjadi , ada kecenderungan untuk menggunakannya lagi . karena mungkin dari sisi psikologis , si pemakai akan 3 merasakan rasa nyaman karena sifat obat tsb sehingga terjadilah ketergantungan fisik.3

Dibeberapa Negara maju dan berkembang seperti di Belanda dan Indonesia , benzodiazepin digolongkan ke dalam golongan psikotropika , sehingga penggunaanya dibatasi karena penyalahgunaan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikis.3

  • A.    Lama kerja benzodiazepin

Berdasarkan lama kerjanya , benzodiazepin dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok yaitu long acting, short acting dan ultra short acting.

Long acting benzodiazepin dirombak dengan jalan demetilasi dan hidroksilasi menjadi metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja ) yang kemudian dirombak kembali menjadi oksazepam yang dikonjugasi menjadi glukoronida tak aktif. Metabolit aktif desmetil biasanya bersifat anxiolitas. Sehingga biasanya, zat long acting digunakan sbg obat tidur walaupun efek induknya yang paling menonjol adalah sedatif-hipnotik.

Short acting benzodiazepine di metabolisme tanpa menghasilkan zat zat aktif. Sehingga waktu kerjanya tidak diperpanjang. Obat-obatan ini jarang menghasilkan efek sisa karena tidak terakumulasi pada penggunaan berulang.

Ultra short acting benzodiazepine memiliki lama kerja yang leih pendek dari short acting hanya kurang dari 5.5 jam. Semakin kuat zat berikatan pada reseptornya maka semakin lama juga waktu kerjanya.

Obat-obatan yang lazim digunakan untuk penatalaksanaan gangguan tidur adalah obat golongan benzodiazepin (kerja pendek/ masa paruh obat <10 jam: misalnya triazolam; kerja menengah/ masa paruh obat 10-20 jam: misalnya alprazolam, lorazepam, estazolam; kerja panjang/ masa paruh obat >20 jam: misalnya diazepam, clonazepam).

Obat golongan benzodiazepin kerja pendek efektif untuk mengatasi insomnia karena kesulitan untuk memulai tidur (sleep-onset insomnia), sedangkan untuk mengatasi insomnia karena terbangun lebih awal/ dini hari, obat golongan benzodiazepin kerja menengah lebih bermanfaat. Obat golongan benzodiazepin kerja panjang tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada orang usia lanjut

  • B.    Mekanisme kerja benzodiazepin

Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neuron yang menggunakan GABA sebagai mediatornya. GABA (gamma-aminobutyric acid) merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP), melalui neuron-neuron modulasi GABA nergik. Reseptor Benzodiazepin berikatan dengan reseptor subtipe GABAA. Berikatan dengan reseptor agonis menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabakan hiperpolarisasi dari membran postsinpatik, dimana dapat membuat neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian obat ini memfasilitasi efek inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan efek GABA dan menghasilkan efek sedasi, tidur dan berbagai macam efek seperti mengurangi kegelisahan dan sebagai muscle relaxant. Reseptor benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas rendah pada medula spinalis.

  • C.    Farmakodinamik benzodiazepine

Farmakodinamik benzodiazepine terdiri dari sedasi, hipnotik, anastesi, efek konvulsan dansebagai relaksan otot.

Sedasi dapat didefinisikan sebagai menurunnya tingkat respon stimulus yang tetap dengan penurunan dalam aktivitas dan ide spontan. Perubahan ini terjadi pada dosis yang rendah.

Zat-zat benzodiazepin dapat menimbulkan efek hipnotik jika diberikan dalam dosis besar. Efeknya pada pola tidur normal adalah dengan menurunkan masa laten mulainya tidur, peningkatan lamanya tidur NREM tahap 2, penurunan lamanya tidur REM, dan penurunan lamanya tidur gelombang lambat.

Efek dalam dosis tinggi dapat menekan susunan saraf pusat ke titik yang dikenal sebagai stadium III anestesi umum. Efek ini tergantung pada sifat fisikokimia yang

menentukan kecepatan mulai dan lama efek zat tersebut. Dalam penggunaannya dalam bedah, selain efek anestesi, juga dimanfaatkan efek amnesia retrogradnya. Sehingga pasien bedah operatif tidak mengingat kejadian menyeramkan selama proses bedah.

Kebanyakan zat hipnotik-sedatif sanggup menghambat perkembangan dan penyebaran aktivitas epileptiformis dalam susunan saraf pusat.

Beberapa zat hipnotik – sedatif dalam golongan benzodiazepin mempunyai efek inhibisi atas refleks polisinaptik dan transmisi internunsius, dan pada dosis tinggi bisa menekan transmisi pada sambungan neuromuskular otot rangka.

Efek pada Respirasi dan Kardiovaskular

Beberapa zat hipnotik-sedatif dapat menimbulkan depresi pernafasan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif. Dan pada penyakit yang melemahkan sistem kardiovaskular bisa menyebabkan depresi kardiovaskular. Ini kemungkinan disebabkan oleh kerja pada pusat vasomotor pada medula oblongata. Pada dosis tinggi, kontraktilitas miokardium dan tonus vaskular mungkin akan tertekan yang akan menyebabkan kolaps sirkulasi. Efek terhadap respirasi dan kardiovaskular akan lebih jelas jika diberikan secara intravena.

Pemberian benzodiazepin pada prakteknya menghasilkan penekanan pada zat endogen mirip benzodiazepin. Sehingga zat-zat ini berkurang kadarnya saat pemberian benzodiazepin. Efek inilah yang akan mempengaruhi ketergantungan tubuh terhadap benzodiazepin. Akan tetapi, hal ini dapat dihindari dengan pemakaian benar dari zat-zat turunan benzodiazepin.

  • D.    Farmakokinetik benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan basa lemah yang sangat efektif diarbsorbsi pada pH tinggi yang ditemukan dalam duodenum. Rearbsorbsi di usus berlangsung dengan baik karena sifat lipofil dari benzodiazepin dengan kadar maksimal dicapai pada ½ sampai 2 jam.

Pengecualian adalah pada penggunaan klordiazepoksida, oksazepam dan lorazepam. Karena sifatnya yang kurang lipofilik, maka kadar maksimumnya baru tercapai pada 1-4 jam. Distribusi terutama di otak, hati dan jantung. Beberapa diantara zat benzodiazepin mengalami siklus enterohepatik.

Jika diberikan suposituria, rearbsorbsinya agak lambat. Tetapi bila diberikan dalam bentuk larutan rektal khusus, rearbsorbsinya sangat cepat. Oleh karena itu bentuk ini sangat sering diberikan pada keadaan darurat seperti pada kejang demam.

Karena zat-zat ini bersifat lipofilik, maka sawar plasenta mampu ditembus dan zat-zat ini dapat mencapai janin. Namun karena aliran darah ke palsenta relatif lambat, maka kecepatan dicapainya darah janin relatif lebih lambat dibandingkan ke sistem saraf pusat. Akan tetapi, jika zat ini diberikan saat sebelum lahir, maka akan menimbulkan penekanan fungsi vital neonatus.

Metabolisme di hati sangat bertanggung jawab terhadap pembersihan dan eliminasi dari semua benzodiazepin. Kebanyakan benzodiazepin mengalami fase oksidasi, demetilasi, dan hidroksilasi menjadi bentuk aktif. Kemudian dikonjugasi menjadi glukoronida oleh enzim glukoronil transferase.

Kebanyakan hasil metabolit benzodiazepin golongan long acting adalah dalam bentuk aktif yang mempunyai waktu paruh yang lebih lama dari induknya. Sehingga lebih dapat menyebabkan efek hangover dari pada golongan short acting pada penggunaan dosis ganda. Yang perlu diwaspadai adalah pada penggunaan golongan short acting lebih dapat menyebabkan efek abstinens. Efek ini timbul karena penggunaannya dapat menekan zat endogen. Sehingga pada penghentian mendadak, zat endogen tidak dapat mencapai maksimal dalam waktu cepat. Sehingga terjadilah gejala abstinens yang lebih parah daripada sebelum penggunaan zat tersebut.

  • E.    Efek Samping benzodiazepin

Beberapa efek samping dapat timbul selama pemakaian awal. Efek tersebut antara lain adalah rasa kantuk, pusing, nyeri kepala, mulut kering, dan rasa pahit di mulut. Adapun efek samping lainnya seperti hang over yaitu Efek sisa yang disebabkan adanya akumulasi dari sisa metabolit aktif. Jika ini terjadi pada pengendara kendaraan bermotor, resiko terjadinya kecelakaan meningkat lebih dari lima kali lipat.Amnesia Retrograde yaitu efek samping ini bisa dimanfaatkan oleh bagian bedah untuk menghilangkan sensasi ngeri karena melihat proses pembedahan dan gejala paradoksal yaitu berupa eksitasi, gelisah, marah-marah, mudah terangsang, dan kejang-kejang, serta ketergantungan yaitu efek ini biasanya lebih bersifat psikologis. Timbulnya efek ini karena timbulnya gejala abstinens yang menyebabkan pemakai merasa lebih nyaman jika menggunakan zat ini. Jika terjadi menahun, hal ini akan menimbulkan kompulsif. Sehingga terjadilah ketergantungan fisik. Toleransi yaitu efek ini terjadi setelah 1-2 minggu pemakaian. Abstinens yaitu gejala yang timbul merupakan gejala yang mirip bahkan lebih parah dibandingkan gejala sebelum dipakainya benzodiazepin. Misal timbulnya nightmare, perasaan takut, cemas, dan ketegangan yang hebat.

  • F.    Ketergantungan benzodiazepin.

Pada dasarnya, benzodiazepin dapat menekan produksi endogen zat yang mirip dengan benzodiazepin. Produksi endogen ini diperlukan guna menekan efek eksitasi dari zat-zat eksitator dalam otak. Jika zat ini tidak ada, maka eksitasi fisiologis tidak dapat dihambat oleh inhibisi fisiologis.

Pada penggunaan benzodiazepin dalam dosis tinggi (yang terutama digunakan untuk mendapatkan daya sedasi), benzodiazepin akan sangat menekan produksi inhibitor endogen yang ada dalam tubuh. Jika penggunaannya dihentikan secara mendadak, zat endogen tersebut tidak dapat kembali ke tingkat semula sebelum ditekan

oleh konsumsi benzodiazepin. Akibatnya akan terjadi efek penarikan atau yang biasa dikenal dengan withdrawal effects.

Kadar endogen yang tidak dapat kembali ke tingkat semula ini akan memperparah keadaan. Hal ini dikarenakan tertekannya efek inhibisi sistem saraf pusat, sedangkan efek zat eksogen (benzodiazepin sudah tidak ada). Akibatnya terjadi eksitasi tanpa terhambat pada sistem saraf pusat. Keadaan ini menyebabkan efek abstinens yaitu efek yang mirip sebelum obat diberikan.

Pada penggunaan yang salah efek tersebut akan terjadi. Akan tetapi penderita akan kembali merasa nyaman saat kembali menggunakan obat tersebut. Karena merasa nyaman setelah penggunaan kembali obat inilah yang menyebabkan ketergantungan psikologis dan fisik terhadap benzodiazepin. Hal inilah yang menjadi awal ketergantungan. Semakin lama dipakai, maka akan terjadi efek kompulsif pada pengguna. Yang lama kelamaan akan menjadi ketergantungan fisik akibat produksi endogen tubuh yang sangat berkurang karena tertekan oleh penggunaan benzodiazepin.

Hal lain yang harus diperhatikan saat pemberian benzodiazepin adalah bahwa obat ini mempunyai dosis letal yang sangat tinggi dan dapat menyebabkan toleransi pada penggunaan lebih dari 1-2 minggu.

Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, bahwa obat ini akan menekan produksi endogen zat inhibitor mirip benzodiazepin. Semakin tinggi dosis yang dipakai karena adanya toleransi, semakin tertekan pula produksi endogen zat inhibitor mirip benzodiazepin dalam sistem saraf pusat. Sehingga efekpun akan berlanjut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Golongan yang biasanya menyebabkan gejala abstinens adalah golongan short acting. Efek ini timbul dikarenakan tidak adanya perpanjangan waktu kerja akibat tidak terbentuknya metabolit aktif dari hasil metabolisme zat benzodiazepin tersebut.

Akibatnya ketika penghentian mendadak, tertekannya zat endogen mirip benzodiazepin tidak dapat diimbangi oleh perpanjangan waktu kerja hasil metabolitnya.

Nonbenzodiazepin Hipnotik

Nonbenzodiazepin hipnotik adalah sebuah alternatif yang baik dari penggunaan benzodiazepin tradisional, selain itu obat ini menawarkan efikasi yang sebanding serta rendahnya insiden amnesia, tidur sepanjang hari, depresi respirasi , ortostatik hipotensi dan terjatuh pada lansia.6

Obat golongan non-benzodiazepin juga efektif untuk terapi jangka pendek insomnia. Obat-obatan ini relatif memiliki waktu paruh yang singkat sehingga lebih kecil potensinya untuk menimbulkan rasa mengantuk pada siang hari; selain itu penampilan psikomotor dan daya ingat nampaknya lebih tidak terganggu dan umumnya lebih sedikit mengganggu arsitektur tidur normal dibandingkan obat golongan benzodiazepin. 6 Zolpidepam

Zolpidepam (ambient), obat golongan hipnotik nonbenzodiazepin dari kelas imidazopiridine, dimana telah disetujui oleh FDA pada tahun 1992 sebagai obat kerja pendek untuk insomnia. Zolpidem secara selektif mengikat reseptor alpha 1 subunit dari GABAA dan memproduksi efek sedatif dan hypnosis yang kuat tanpa adanya efek anxiolitik, miorelaxan, antikonvulsan yang terdapat pada benzodiazepine. 6

Pada uji percobaan , zolpidem mengurangi kesulitan tidur dan menigkatkan durasi tidur selama lebih dari 5 minggu. Selanjutnya Mareek dkk mengikuti perjalanan pasien yang meminum obat zolpidemselama 360 hari dan ditemukan peningkatan yang persisten yaitu berkurangnya kesulitan tidur, serta bangun dimalam hari dan meningkatnya durasi tidur tanpa adanya rebound ataupun efek withdrawal setelah penghentian obat.

Karena onset yang cepat dan durasi kerja obat pendek, sehingga zolpidem digunakan untuk sleep-onset insomnia. 6

Zaleplon

Zaleplon (sonata) ,obat kerja pendek untuk insomnia. Obat ini sangat cepat diabsorbsi dan memiliki waktu paruh yang singkat yaitu 1 jam. Secara selektif mengikat reseptor alpha 1 subunit GABAA . 6

Zaleplon adalah obat kerja pendek sebagai indikasi pengobatan insomnia dan menunjukan adanya penurunan sleep-onset insomnia. Adanya toleransi obat atau efek rebound tidak ditemukan. Zaleplon meningkatkan total waktu tidur dan mengurangi terbangunnya di malam hari. Pada dasarnya obat ini digunakan untuk sleep onset insomnia karena waktu paruhnya pendek serta tidak ditemukan efek hang over. 6 Eszopiclone

Eszopiclone (lunesta ) adalah obat untuk insomnia dan telah disetujui penggunaan oleh FDA pada tahun 2004. Mekanisme aksinya tidak dikeatahui dengan jelas.

Eszopiclone mempunyai waktu paruh cukup lama yaitu 5-6 jam dibanding golongan hipnotik nonbenzodiazepin yg lain dan obat ini diberikan hanya untuk pasien yang memiliki waktu tidur terjaga minimal 8jam. Dosis yang direkomendasikan Yaitu 3mg untuk dewasa sebelum tidur, 1mg untuk sleep-onset Insomnia, 2mg untuk sleepmaintenance insomnia pada lansia dan 1-2mg pada pasien dengna gagal hati. 10 Ramelteon

Ramelteon (rozerem) adalah melatonin reseptor agonis dengan selectivitas yang tinggi terhadap reseptor MT1 dan MT2 di nucleus suprasiasma di hipotalamus. Reseptor ini dipercaya dapat memberikan efek tertidur dan memelihara ritme sirkadian. Waktu paruh obat ini pendek yaitu berkisar 1-6 jam , sehingga cocok untuk sleep-onset insomnia atau sleep -maintenance insomnia. Ramelton secara signifikan meningkatkan total waktu

tidur pada chronic insomnia dan pasien lansia dengan chronic insomnia. Dosis yang

direkomendasikan yaitu 8mg yang diberikan 30 menit menjelang tidur. 6

Sleep-promoting Agents

Melatonin

Melatonin adalah hormon yang dibentuk di glandula pineal, yaitu sebuah kelenjar yang hanya sebesar kacang tanah yang terletak di antara kedua sisi otak. Hormon ini mempunyai fungsi yang sangat khas karena produksinya dipicu oleh gelap dan hening tetapi dapat dihambat oleh sinar yang terang. Hormon ini sedang menjadi fokus para 10

peneliti saat ini.

Sebenarnya belum ada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara peningkatan melatonin dengan lelapnya tidur seseorang. Tetapi berdasarkan teori yang ada, hormon melatonin ini meningkat pada saat seseorang tertidur, terutama pada saat suasana sekitarnya gelap, sesuai dengan sebutan hormon ini, “hormone of the darkness.” Adanya hormon ini dikatakan dapat membantu meningkatkan kualitas tidur seseorang. Dari beberapa penelitian klinik menunjukkan bahwa penggunaan melatonin untuk insomnia ternyata sangat signifikan dalam menurunkan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk jatuh tertidur, memperpanjang durasi tidur termasuk kualitas tidurnya, 7

sehingga seseorang tidak mengantuk lagi saat beraktifitas di pagi hari. 7

Dosis yang direkomendasikan ialah 3mg dan dapat ditingkatkan hingga 12 – 15mg. efek samping yang dilaporkan ialah sakit kepala,pusing ,lemah, iritabel. Megadosis (300mg perhari)dapat menghampat fungsi ovarium.kontraindikasi pada Wanita hamil 7

dan menyusui. 7

Antihistamin

Three – diphenhydramine hydrochloride , dypenhydramine citrate dan doxylamine yang sering digunakan untuk membantu tidur . efek samping penggunaanya adalah pusing, lemah, mual pada 10 – 25% pada orang yang menggunakan obat ini. 10

Antidepresan

Dosis rendah pada antidepresan yg memiliki efek sedasi seperti trazodone (desyrel), amitriptyline (elavil), doxepine (sinequen, adapin) dan mirtazapin ( remeron) sering diresepkan pada pasien bukan depresi untuk pengobatan insomnia, antidepresan sering diberikan untuk insomnia karena pemberiannya tidak terjadwal, relatif tidak mahal, dan memiliki sedikit potensi untuk disaalahgunakan. Namun demikian harus digunakan secara konservatif untuk insomnia karena keberhasilannya terbatas dan berpotensi menghasilkan efek samping yang bermakna. 10

Pengobatan alternative

Sejumlah pengobatan alternative dianggap dapat membantu memulai tidur dan

menigkatkan kualitas tidur namun tidak ada study yang jelas mengenai permasalahan

ini. 9

Kava – kava

Minuman atau suplemen yang dibuat dari sari akar kava – kava telah dikenal sejak berabad –abad yang lalu sebagai obat penenang. Sejumlah riset , termasuk yang dilakukan prof Ernst, terbukti efektif mengatasi kecemasan. Menyusul adanya kasus kematian akibat kerusakan liver diantara pasien yan meminum suplemen kava-kava ini sehingga herbal ini dilarang di wilayah inggris.

Valerian

Valerian berasal dari valeriana officinalis. Mekanisme aksi tidak diketahui. Ada beberapa fakta yang menjelaskan adanya interaksi dengan reseptor GABA sehingga menghasilkan efek sedative.

RINGKASAN

Prinsip penanganan insomnia secara umum yaitu mengidentifikasi faktor penyebab, dimana fokus utama dari pengobatan insomnia harus diarahkan pada identifikasi faktor penyebab. Setelah faktor penyebab teridentifikasi maka penting untuk mengontrol dan mengelola masalah yang mendasarinya, karena hanya dengan mengobati insomnia saja tanpa menangani penyebab utamanya jarang memberikan hasil. Pada kebanyakan kasus insomnia dapat disembuhkan jika penyebab medis atau psikiatri di evaluasi dan diobati dengan benar. Selain itu perlu adanya kontrol lingkungan seperti meredupkan lampu kamar tidur sebelum tidur, membatasi kebisingan dan menghindari kegiatan di tempat tidur kecuali hanya untuk tidur dan sex.

Selain mencari faktor penyebab dan juga kontrol lingkungan penanganan selanjutnya yang penting yaitu dengan pemberian terapi non-farmakologi dan farmakologi dimana pemberian terapi ini diberikan secara kombinasi.

Prinsip dasar penanganan terapi farmakologi yaitu: Jangan menggunakan obat hipnotik sebagai satu-satunya terapi pengobatan maka harus dikombinasikan dengan terapi non farmakologi, Pemberian obat golongan hipnotik dimulai dengan dosis yang rendah selanjutnya dinaikan perlahan – lahan sesuai kebutuhan, Hindari penggunaan benzodiazepin jangka panjang, hati – hati penggunaan obat golongan hipnotik khususnya benzodiazepin pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan atau ketergantungan obat, monitor pasien untuk melihat apakah ada toleransi obat atau ketergantungan obat atau penghentian penggunaan obat, Memberikan edukasi kepada

pasien efek penggunaan obat hipnotik yaitu mual dan kecelakaan saat mengemudi atau bekerja, khususnya golongan obat jangka panjang, Melakukan tapering obat secara perlahan untuk menghindari penghentian obat dan terjadi rebound insomnia. Terapi pengobatan insomnia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : Benzodiazepin, Nonbenzodiazepin - hipnotik, dan obat –obat yang lain yg dapat memberikan efek tertidur.

Penanganan terapi non farmakologi terdiri dari cognitive and behavioral therapy meliputi: sleep hygine, sleep restriction atau pembatasan tidur, relaxation therapy atau terapi relaksasi dan stimulus control therapy.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Jack D. Edinger et al. Cognitive Behavioral therapy for treatment of chronic primary insomnia. Jama: American Medical Association; 2001.

    2. Daniel


    J.


    Chronic


    insomnia.


    Available


    at:


ajp.psychiatryonline.org/vol.165/no.6/june2009 (Downloaded on: 5th of January 2011).

  • 3.    Savard J et al. Chronic insomnia and immune functioning. America: American psychosomatic Society; 2003.

  • 4.    Michael H et al. chronic insomnia. New England journal; 2005.

  • 5.    Wilson S and Nutt D. managenment of insomnia. Availble at: http://bjp.rcpsych.org/cgi/eletter-submit/191/3/195 (Downloaded on 5th of January 2011).

  • 6.    Budur K et al. advances in treating insomnia, 4th edition. Newyork : Cleveland clinic journal of medicine :2007. P. 251-266

  • 7.    Ruth M. NIH State of the Science Conference Statement on Manifestations and Management of Chronic       insomnia in Adults. Available at:

http://ps.psychiatryonline.org/vol.7/no.4/2009     (Downloaded on 6th of January

2010)

January 2011)

January 2010)

Tabel 1: data benzodiazepin yang biasa digunakan untuk sedatif dan tranquilizer

Nama zat

Spesialite

Plasma

t ½

Metabolit   aktif

plasma t ½ nya

dan

Dosis

(mg)

Triazolam

Halcion

3-4 jam

Metil

8 jam

¼ - 1

Estazolam

Esilgan

3-4

(hidroksitr)

Hidroksi estaz

8

1-2

Loprazolam

Dormonoct

8

-

-

0.5-2

Midazolam

Dormicium

2

Alpha Hidrosi-m

1

7,5-15

Oksazolam

Seresta

10-14

-

-

10-30

Temazepam

Normison

8

Oksazepam

-

10-30

Lorazepam

Ativan

12

-

-

1-2

Lormetazepam

Noctamid

12

-

-

1

Diazepam

Valium

20-40

Desmetil

42-96

5-10

Nitrazepam

Mogadon

25

diazepam

-

5-10

Tabel 2. Obat hipnotik nonbenzodiazepin untuk pengoatan insomnia. 6

Obat

Waktu paruh (jam)

Dosis

(mg)

Efek samping

Peringatan

Zolpidem

(ambien)

2.5

5-10

Ngantuk, pusing, sakit kepala, ruam, gangguan intestinal.

Kurangi dosis dampai 50%

pada    pasien    dengan

kerusakan   hati,   lansia,

kontraindikasi       pada

kerusakan hati yg berat

Zaleplon

(sonata)

1

5-10

Pusing, sakit kepala, gellisah, amnesia, malaise

Kurangi dosis sampai 50% pada kerusakan hati dan lansia , kontraindikasi pada kerusakan hati yg berat

Eszopiclon

(lunesta)

6

1-3

Sakit kepala. Pusing, mengantuk

Maksimum pemberian 2mg pada lansia

Ramelteon

(rozerem)

1.5

8

Mengantuk,    pusing,

lemah

Kontraindikasi pada kerusakan hati yg berat, hindari pemakaian bersamaan dengan fluvoxamin (anti depresan)

21