PERBANDINGAN GEJALA KLINIS DAN HISTOPATOLOGIS PADA RHINOSINUSITIS KRONIS DENGAN POLIP NASAL EOSINOFILIK (ECRSWNP) DAN NON-EOSINOFILIK (NON-ECRSWNP) DI RSUP SANGLAH, DENPASAR PERIODE JANUARI 2017-SEPTEMBER 2018
on
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.7,JULI, 2019
DOAJ≡F OsTnta
PERBANDINGAN GEJALA KLINIS DAN HISTOPATOLOGIS PADA RHINOSINUSITIS KRONIS DENGAN POLIP NASAL EOSINOFILIK (ECRSWNP) DAN NON-EOSINOFILIK (NON-ECRSWNP) DI RSUP SANGLAH, DENPASAR PERIODE JANUARI 2017-SEPTEMBER 2018
Astari Rahayu Dewi1, Sari Wulan Dwi Sutanegara 2, Komang Andi Dwi Saputra 2
1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Sanglah Denpasar
Email : [email protected]
ABSTRAK
Rhinosinusitis kronis merupakan kondisi yang lazim ditemukan di masyarakat. Rhinosinusitis kronis dapat bermanifestasi dalam bentuk CRSwNP (Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyp). Pola inflamasi polip nasal pada CRS terdiri dari dua bentuk yakni inflamasi eosinofilik (ECRSwNP) dan inflamasi non-eosinofilik (non-ECRSwNP). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan gejala klinis dan histopatologis pada rhinosinusitis kronis dengan polip nasal eosinofilik (ECRSwNP) dan non-eosinofilik (non-ECRSwNP) di RSUP Sanglah, Denpasar periode Januari 2017-September 2018. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional retrospective (potong lintang retrospektif). Peneliti mendapatkan subjek penelitian sebanyak 24 orang. Data yang digunakan adalah data sekunder dari rekam medis pasien di bagian Rekam Medis RSUP Sanglah. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan gejala klinis, didapatkan bahwa keluhan berupa obstruksi nasi, sekret hidung dan rasa dahak di tenggorok lebih tinggi pada kelompok ECRSwNP dibandingkan dengan kelompok non-ECRSwNP. Untuk keluhan nyeri kepala dan wajah, kelompok non-ECRSwNP memiliki persentase yang lebih tinggi. Berdasarkan kondisi histopatologis, didapatkan bahwa sebaran eosinofil lebih padat dan dengan persentase lebih tinggi pada kelompok ECRSwNP dibandingkan dengan kelompok non-ECRSwNP. Sedangkan untuk infiltrasi neutrofil ditemukan lebih tinggi pada kelompok non-ECRSwNP.
Kata Kunci: CRSwNP, eosinofilik, non-eosinofilik, perbandingan, gejala klinis, histopatologis.
ABSTRACT
Chronic rhinosinusitis is a common condition that happened in the society. Chronic rhinosinusitis can manifest into CRSwNP (chronic rhinosinusitis with nasal polyp). The inflammation pattern in nasal polyp of the CRS consist of the eosinophilic pattern (ECRSwNP) and the non-eosinophilic pattern (non-ECRSwNP). The goal of this research was to determine the comparison of clinical symptoms and histopatology of eosinophilic chronic rhinosinusitis with nasal polyp (ECRSwNP) and non-eosinophilic chronic rhinosinusitis with nasal polyp (non-ECRSwNP) at RSUP Sanglah, Denpasar, in January 2017-September 2018. This research used a descriptive retrospective cross-sectional approach. The researcher got 24 samples for the study. The data taken was a secondary data from the medical record unit in RSUP Sanglah. As the result, for the clinical symptoms, nasal obstruction, nasal discharge, and post nasal drip was higher in ECRSwNP group compared to non-ECRSwNP group. For headache and facial pain, the percentage of symptom was higher in non-ECRSwNP group. For the histopatology condition, the eosinophil was denser in ECRSwNP group compared to non-ECRSwNP group. For neutrophil infiltration, non-ECRSwNP group has higher percentage.
Keywords: CRSwNP, eosinophilic, non eosinophilic, comparison, clinical symptoms, histopatology.
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.7,JULI, 2019
DOAJ?= OsTnta
PENDAHULUAN
Gangguan pada hidung merupakan kondisi yang lazim ditemukan di masyarakat. Salah satunya adalah rhinosinusitis kronis. Rhinosinusitis kronis atau sering disingkat dengan CRS (Chronic Rhinosinusitis) merupakan penyakit kronis yang melibatkan inflamasi jangka panjang pada mukosa sinus nasal dan paranasal. Rhinosinusitis kronis menyebabkan tidak hanya penderitaan fisik, akan tetapi juga berdampak pada aspek psikologi dan fungsi keseharian pasien. Rhinosinusitis kronis diperkirakan menyebabkan sekitar 18 hingga 22 juta kunjungan dokter di Amerika Serikat.1 Rhinosinusitis kronis bermanifestasi dalam dua bentuk, yakni tanpa polip nasal yang bisa disingkat dengan CRSsNP (Chronic Rhinosinusitis without Nasal Polyp) dan dengan polip nasal atau bisa disingkat dengan CRSwNP (Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyp).
Pembentukan polip pada CRS sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Inflamasi dan turbulensi di kompleks ostiomeatal menyebabkan perubahan struktur mukosa hidung. Mukosa ini lebih lanjut akan mengalami prolaps yang diikuti dengan reeepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru hingga membentuk polip. Peningkatan permeabilitas kapiler karena ketidakseimbangan saraf vasomotor juga dapat menyebabkan kondisi polip karena akan memunculkan pelepasan sitokin dari sel mast yang kemudian menimbulkan edema pada mukosa hidung.2 Pola inflamasi polip nasal pada CRS terdiri dari dua bentuk yakni inflamasi eosinofilik dan inflamasi non-eosinofilik, sehingga membentuk dua kelompok penyakit yakni eosinophilic CRSwNP (ECRSwNP) dan non-eosinophilic CRSwNP (non-ECRSwNP). Pola inflamasi pada kasus CRSwNP berbeda pada setiap wilayah geografis dan menunjukkan perbedaan gambaran histopatologis dan gejala klinis.
Di populasi Asia, CRSwNP memiliki prevalensi 20 hingga 33 persen dan didominasi oleh inflamasi non-eosinofilik (neutrofilik).3 Pada populasi Thailand dikatakan 81,9 persen dari polip nasal yang terjadi memiliki pola non-eosinofilik. Hal serupa juga terjadi pada populasi Malaysia yang menyumbang 67,5 persen dari keseluruhan polip nasal untuk pola non-eosinofilik.4 Pasien CRSwNP pada negara Cina dan Jepang juga menunjukkan pola inflamasi non-ECRSwNP.5 Pada populasi Kaukasia, polip nasal menunjukkan komponen eosinofilia.
Hal ini disebabkan oleh fenomena induksi dan upregulation interleukin (IL-5). Disampaikan bahwa kaskade sitokin yang memicu overproduksi dari IL-5 dengan downregulation dari TGF-β1, dapat meningkatkan respons eosinofilik pada tipe polip di daerah ini. Hal ini menyebabkan pada populasi Kaukasia, sebagian besar kasus yang terjadi adalah ECRSwNP.6
Perbandingan gejala klinis dan histopatologis mengenai kedua kelompok polip nasal pada CRS diteliti oleh banyak peneliti dari berbagai negara di dunia, sehingga diperlukan penelitian ini untuk melengkapi informasi mengenai kondisi CRSwNP.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif retrospektif yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Maret hingga bulan September 2018. Subjek penelitian dipilih dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien rhinosinusitis kronis dengan polip nasal (CRSwNP) yang telah melakukan prosedur polipektomi dan terdata di buku registrasi di Poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2017-September 2018. Serta tidak memenuhi kriteria eksklusi yaitu pasien rinosinusitis kronis dengan polip nasal (CRSwNP) yang tidak memiliki data lengkap meliputi gejala klinis dan laporan hasil pemeriksaan histopatologis.
Teknik pengumpulan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling dimana penentuan sampel menggunakan populasi yang ada pada batasan waktu dari Bulan Januari 2017 hingga Bulan September 2018.
Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data rekam medis pasien yang terdata di buku registrasi dan sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang akan dicatat meliputi beberapa komponen yaitu gejala klinis pasien dengan CRSwNP dan laporan hasil pemeriksaan histopatologi pada pasien bersangkutan. Data diinput ke dalam SPSS ver. 16 yang kemudian diverifikasi. Data yang didapat akan diolah secara manual, dianalisa secara deskriptif, dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram atau grafik disertai penjelasan untuk menentukan perbandingan gejala klinis dan histopatologis ECRSwNP dan non-ECRSwNP.
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
HASIL
Perbandingan gejala klinis dan histopatologis ECRSwNP dan non-ECRSwNP di RSUP Sanglah, Denpasar periode Januari 2017-September 2018 dipaparkan berdasarkan sebaran karakteristik dasar, serta perbandingan gejala klinis mayor dan kondisi histopatologis pada ECRSwNP dan non-ECRSwNP.
Hasil penelitian mengenai sebaran karakteristik dasar menunjukkan bahwa mayoritas jenis CRSwNP yang terjadi adalah jenis non-ECRSwNP. Kelompok non-ECRSwNP dimiliki oleh 15 (62,5%) dari total 24 sampel yang digunakan. Nilai ini 25% lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kejadian kelompok ECRSwNP yang dimiliki oleh 9 sampel (37,5%). Kasus CRSwNP terjadi paling sering pada golongan usia dewasa madya (41,7%), lalu disusul dengan golongan usia dewasa dini (33,3%), lalu diikuti dengan golongan dewasa tua (20,8%), dan remaja (4,2%). Sementara untuk golongan usia anak-anak tidak ditemukan adanya kasus CRSwNP pada penelitian ini. Dari segi jenis kelamin, prevalensi CRSwNP lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dengan jumlah sebesar 15 sampel (62,5%) untuk laki-laki dan 9 sampel (37,5%) untuk perempuan. 16 sampel tidak mengeluhkan adanya bersin yang memberikan persentase sebesar 66,7%. Sebanyak 13 kasus memiliki polip bilateral yang terjadi pada kedua sisi kavum nasi, sementara 11 lainnya merupakan polip unilateral. Sebagian besar sampel tidak melaporkan adanya rekurensi polip yakni dengan persentase 70,8%. Durasi gejala yang sebagian besar dialami oleh sampel hingga saat datang ke poli THT-KL RSUP Sanglah, Denpasar adalah kurang dari enam bulan (40,7%). Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar jaringan yang dimiliki sampel mengalami dilatasi kelenjar dan stroma sembab dengan jumlah masing-masing 20 sampel yang memberikan persentase sebesar 83,3%. Seluruh sampel yang digunakan pada penelitian ini memiliki infiltrasi limfosit pada jaringan yang diperiksakan histopatologinya. 9 dari 24 sampel (37,5%) yang digunakan memiliki sebaran padat eosinofil yang selanjutnya dikategorikan ke dalam kelompok ECRSwNP. Sementara 9 sampel lainnya (37,5%) mengalami sebaran ringan dan 6 sampel (25%) tidak memiliki infiltrasi eosinofil sama sekali, dimana kedua kondisi ini selanjutnya akan dimasukkan ke dalam kelompok non-ECRSwNP. Sebanyak 9 sampel (37,5%) memiliki neutrofil dalam jaringannya dan sebanyak 3 sampel (12,3%) memiliki sel plasma.
Tabel 1. Perbandingan gejala klinis mayor CRS pada ECRSwNP dan non-ECRSwNP.
Variabel |
ECRSwN P, n (%) |
Non-ECRSwNP, n (%) |
Obstruksi nasi Ada Tidak ada |
9 (100%) 0 (0% |
13 (86,7%) 2 (13,3) |
Nyeri kepala dan wajah Ada Tidak ada |
0 (0%) 9 (100%) |
4 (26,7%) 11 (73,3%) |
Rasa dahak di tenggorok Ada Tidak ada |
3 (33,3%) 6 (66,7%) |
1 (6,7%) 14 (93,3%) |
Sekret hidung Ada Tidak ada |
7 (77,8%) 2 (22,2%) |
6 (40%) 9 60%) |
Sebanyak sembilan sampel yang merupakan kelompok ECRSwNP seluruhnya memiliki gejala obstruksi nasi, sehingga menghasilkan persentase 100% untuk kelompok ECRSwNP. Sedangkan pada kelompok non-ECRSwNP, sebanyak 13 sampel dari total 15 sampel pada kelompok ini memiliki gejala obstruksi nasi. Jumlah ini menghasilkan persentase sebesar 86,7% untuk kelompok non-ECRSwNP, sehingga persentase lebih tinggi pada kelompok ECRSwNP. Hanya empat pasien yang seluruhnya merupakan kelompok non-ECRSwNP yang mengeluhkan rasa nyeri pada kepala dan wajah. Sedangkan 20 sampel lainnya tidak mengeluhkan hal ini. Sebanyak tiga orang pada kelompok ECRSwNP memiliki keluhan rasa dahak di tenggorok, sementara hanya satu orang dari kelompok non-ECRSwNP yang memiliki keluhan ini. Persentase masing-masing kelompok adalah 33,3% dan 6,7% untuk kelompok ECRSwNP dan kelompok non-ECRSwNP secara berturut-turut. Pada penelitian ini, didapatkan bahwa tujuh orang dari sembilan orang yang tergolong dalam kelompok ECRSwNP memiliki sekret hidung. Nilai ini menghasilkan persentase sebesar 77,8%. Sementara persentase sampel pada kelompok non-ECRSwNP yang mengalami keluhan tersebut adalah 40%, sehingga persentase keluhan lebih tinggi pada kelompok ECRSwNP dibandingkan pada kelompok non-ECRSwNP.
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
Tabel 2. Perbandingan infiltrasi eosinofil dan
neutrofil pada ECRSwNP dan non-ECRSwNP.
Variabel |
ECRSwNP, n (%) |
Non-ECRSwNP, n (%) |
Total, n (%) |
Eosinofil | |||
Padat |
9 (100%) |
0 (0%) |
9 |
Ringan |
0 (0%) |
9 (60%) |
9 |
Tidak ada |
0 (0%) |
6 (40%) |
6 |
Neutrofil | |||
Ada |
3 (33,3%) |
6 (40%) |
9 |
Tidak ada |
6 (66,7%) |
9 (60%) |
15 |
Pada kelompok ECRSwNP, seluruhnya memiliki sebaran padat eosinofil, sedangkan pada kelompok non-ECRSwNP, 60% memiliki sebaran ringan dan 40% tanpa infiltrasi eosinofil. Untuk neutrofil, persentase infiltrasi ditemukan lebih tinggi pada kelompok non-ECRSwNP, dimana kelompok ini memiliki persentase sebesar 40%, dibandingkan dengan kelompok ECRSwNP yang memiliki persentase sebesar 33,3%.
PEMBAHASAN
Populasi Asia memiliki mekanisme patologis yang berbeda dari populasi Kaukasia karena pada populasi Asia, pola non-eosinofilik justru memiliki prevalensi yang lebih tinggi secara signifikan.4 Penelitian yang membandingkan kadar marker eosinofil ECP (eosinophil cationic protein) dan hasil laporan histopatologi terhadap polip dan jaringan sinus pada pasien dengan CRSwNP yang merupakan kelompok generasi kedua ras Asia yang bertempat tinggal di Illinois (negara bagian Amerika Serikat) dengan kelompok etnis lainnya yang bertempat tinggal di Illinois sejak lahir menunjukkan bahwa kadar ECP pada polip dan sampel uncinate tissue lebih rendah secara signifikan pada kelompok generasi kedua ras Asia dibandingkan dengan kelompok ras non-Asia seperti ras Kaukasia, Afrika-Amerika dan Hispanik.7 Hal ini menunjukkan adanya peran genetik pada perbedaan pola inflamasi antar ras tersebut.
Penelitian kohort Amerika menunjukkan bahwa insiden CRSwNP pada umur 65-74 tahun hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok CRSsNP ataupun kelompok kontrol.8 Peneliti lain menyampaikan bahwa seiring dengan pertambahan usia, prevalensi CRSwNP juga meningkat, dengan prevalensi tertinggi yakni 4,1% pada usia dekade ketujuh.9 Penambahan usia menimbulkan kerusakan dari fungsi epithelial barrier, sementara inflamasi eosinofil menurun
seiring dengan usia pada perjalanan penyakit CRS. Dewasa tua memiliki kadar ECP yang lebih rendah dibandingkan golongan usia lainnya yang memiliki kondisi CRS. Selain itu, kadar S100A8/9 juga menurun secara signifikan bersamaan dengan proses penuaan. Kondisi ini menyebabkan disfungsi epithelial barrier yang memainkan peranan penting pada patogenesis CRS.8 Meskipun angka kejadian jauh lebih tinggi pada laki-laki di banyak penelitian, tidak ada mekanisme meyakinkan yang memberikan penjelasan patofisiologi yang membedakan antara kejadian laki-laki dan wanita.10
Pada eosinofil yang dimediasi oleh IgE, eosinofil secara potensial dapat mengekspresikan tiga jenis reseptor IgE, yakni reseptor IgE afinitas rendah, molekul lectin-type binding IgE, dan reseptor IgE afinitas tinggi (FcεRI). Bila terjadi inhalasi alergen, antibodi IgE yang bersirkulasi akan menghasilkan ikatan silang dengan reseptor IgE FcεRI yang berada pada sel mast. Hal ini akan menyebabkan degranulasi sel mast dan pelepasan histamin dari sel mast. Pelepasan histamin ini akan menimbulkan gejala berupa bersin. Di sisi lain, pada CRS, fase awal dari reaksi cepat diatas tidak terjadi karena infiltrasi eosinofil pada CRS tidak bergantung pada IgE, sehingga gejala bersin sebagai salah satu dari gejala pelepasan histamin tidak menjadi karakteristik penyakit CRS.6
Kondisi kongesti pada polip nasal diasosiasikan dengan pembentukan edema yang terjadi karena proses inflamasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan eosinofil dan mediator lainnya berhubungan dengan polip nasal. Inflamasi mukosa pada kondisi ini bertanggungjawab atas kondisi-kondisi yang berkontribusi menyebabkan kongesti, seperti dilatasi vena, peningkatan sekret hidung, dan edema jaringan. Pola inflamasi yang didominasi oleh TH2 pada kelompok ECRSwNP memiliki karakteristik berupa produksi IgE, infiltrasi eosinofil dan upregulation dari sitokin dan mediator, seperti IL-5, ECP dan eotaxin, yang akan memicu respon eosinofil.11 Hal ini menyebabkan persentase keluhan obstruksi nasi bernilai lebih tinggi pada kelompok ECRSwNP dibandingkan dengan pada kelompok non-ECRSwNP.
Meskipun beberapa guideline mengenai CRS mencantumkan nyeri wajah sebagai kriteria diagnosis, hubungan antara CRS dan nyeri wajah masih kontroversial karena literatur menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil pasien CRS mengalami nyeri wajah.12 Oklusi dari kompleks osteomeatal menimbulkan resorpsi gas pada sinus yang disertai dengan tekanan negatif yang menimbulkan sensasi nyeri. Akan tetapi, mayoritas pasien dengan CRS
I DIRECTORY OF
OPEN ACCESS J JOURNALS
memiliki kompleks osteomeatal yang terbuka. Selain pengaruh kompleks osteomeatal, mediator inflamasi lokal juga mampu mengeksitasi saraf mukosa sinonasal yang menimbulkan rasa nyeri. Destruksi jaringan lokal dan mediator inflamasi juga dapat mempengaruhi mekanisme nyeri sentral menggunakan komunikasi immune-to-brain melalui transmisi otonom aferen, disalurkan melewati sawar darah otak ataupun organ sirkumventrikular.13
Presentasi klinis dari pasien dengan rasa dahak di tenggorok (post nasal drip) biasanya adalah batuk yang disertai dengan sensasi dahak mengalir ke tenggorokan, kongesti nasi dan sekret hidung. Mukus yang terasa pada keluhan post nasal drip ini dihasilkan dari epitel permukaan sel goblet yang memberikan respons terhadap iritasi dan infeksi saluran pernafasan. Komponen utama mukus pada saluran nafas merupakan mukus yang dikode oleh gen MUC5AC dan MUC5B. Gen ini bertanggungjawab atas munculnya fenotipe berupa hipersekresi mukus saat terjadi paparan kronis dari partikel kecil, allergen, iritan dan patogen pada saluran pernafasan.14 Hipersekresi mukus dan inflamasi saluran nafas yang persisten diakibatkan oleh peningkatan ekspresi dari gen mucin MUC5AC, dimana gen ini diinduksi oleh aktivitas IL-17A. Kondisi upregulation ekspresi MUC5AC pada ECRSwNP menunjukkan mekanisme dari hipersekresi mukus yang terjadi dengan nilai lebih tinggi pada kelompok ECRSwNP dibandingkan pada kelompok non-ECRSwNP. Lokalisasi dari ekspresi IL-17A secara dominan terjadi bersamaan dengan adanya eosinofil dan limfosit CD-4 pada CRSwNP yang diteliti di populasi Jepang. Infiltrasi sel dengan CD4 dan IL-17A (sel TH17) menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap jumlah eosinofil dan mucosal remodeling.15
Mayoritas kondisi histopatologis polip nasal adalah kelenjar yang berdilatasi dan terisi material mukus pada lumennya.16 Polip nasal secara signifikan memiliki lebih banyak eosinofil, neutrofil, dan sel plasma dibandingkan dengan mukosa nasal. Dari semua jenis sel yang menginfiltrasi, limfosit merupakan sel yang secara signifikan berjumlah paling banyak pada mukosa nasal dan polip nasal.17 Pada ECRSwNP, sel inflamasi dominan yang diasumsikan akan memberikan gambaran klinis adalah eosinofil. Sedangkan pada kelompok non-ECRSwNP, sel inflamasi yang memberikan gambaran klinis bukanlah dominan eosinofil, sehingga merupakan kolaborasi sel inflamasi tertentu yang muncul pada mukosa nasal pasien.
Sel Treg merupakan turunan sel yang berdiferensiasi dari sel T CD4 naive yang memainkan peranan penting dalam mengontrol respon inflamasi, https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
dimana sel T akan menginduksi reaksi imunitas serta inflamasi, sedangkan sel Treg inhibitor akan bekerja sebaliknya dengan menekan sel T efektor untuk membatasi respon inflamasi yang berlebihan. Penurunan dari sel Treg akan menghilangkan efek supresi pada fungsi TH2 yang akan memicu reaksi inflamasi yang didominasi oleh TH2. Hal ini akan mengakibatkan penginkatan infiltrasi eosinofil ke jaringan. Inflamasi pada ECRSwNP merupakan reaksi yang diregulasi oleh TH2 yang memiliki karakteristik adanya IL-4, IL-5, dan IL-13.18
IL-17A merupakan faktor inflamasi yang memiliki beragam fungsi dan diproduksi oleh sel TH17. Sitokin ini memainkan peranan penting dalam inflamasi, kanker, pertahanan tubuh dan penyakit autoimun. IL-17A dapat secara langsung maupun tidak langsung menginduksi rekrutmen neutrofil ke daerah inflamasi. Korelasi positif ditermukan pada kadar ekspresi IL-17A dan jumlah neutrofil pada saluran pernafasan. Pada CRSwNP, IL-17A dapat memodulasi kesintasan neutrofil yang ditemukan pada inflamasi non-eosinofilik.18
Perbedaan pola inflamasi pada polip nasal, dimana pola inflamasi akan didominasi oleh salah satu sitokin atau terjadinya ketidakseimbangan antara Th17/Treg menimbulkan perbedaan sel inflamasi yang muncul pada kedua kelompok CRSwNP.
SIMPULAN
Berdasarkan gejala klinis yang dibandingkan pada kelompok ECRSwNP dan non-ECRSwNP, didapatkan bahwa keluhan berupa obstruksi nasi, sekret hidung dan rasa dahak di tenggorok lebih tinggi pada kelompok ECRSwNP dibandingkan dengan kelompok non-ECRSwNP. Sedangkan untuk keluhan nyeri kepala dan wajah, kelompok non-ECRSwNP memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ECRSwNP. Berdasarkan kondisi histopatologi yang dibandingkan pada kelompok ECRSwNP dan non-ECRSwNP, didapatkan bahwa sebaran eosinofil lebih padat dan dengan persentase lebih tinggi pada kelompok ECRSwNP dibandingkan dengan kelompok non-ECRSwNP. Sedangkan untuk infiltrasi neutrofil ditemukan lebih tinggi pada kelompok non-ECRSwNP dibandingkan dengan kelompok ECRSwNP.
SARAN
Untuk peneliti selanjutnya, disarankan untuk menggunakan cut off berupa skor yang spesifik untuk mengelompokkan jumlah eosinophil yang
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
akan dikategorikan ke dalam kelompok ECRSwNP maupun non-ECRSwNP. Untuk penilaian gejala klinis, disarankan menggunakan instrumen yang telah tervalidasi seperti VAS dan SNOT-20. Untuk instansi dan tenaga kesehatan, disarankan agar lebih memerhatikan pencatatan rekam medis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien agar data sekunder yang diperlukan dapat diperoleh dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Kern, E.B., Sherris, D., Stergiou, A.M., Katz, L.M., Rosenblatt, L.C., & Ponikau, J. Diagnosis and treatment of chronic rhinosinusitis: focus on intranasal Amphotericin B. Therapeutics and Clinical Risk Management; 2007; 3(2): 319–325.
-
2. Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2015. h.118-122.
-
3. Lee, K.J. Essential Otolaringology. New York: McGraw-Hill Companies. 2012.
-
4. Syuhada, O., Shalini, P., Lim, W.K., Anmar, A., Suria, M.P., Aneeza, W.H., dkk. Malaysian Nasal Polyps: Eosinophil or Neutrophil-
Predominant. Med & Health; 2016; 11(1): 56– 61.
-
5. Kawauchi, H., Passali, D., Mladina, R., Lopatin, A., & Zabolotnyi, D. Recent Advances in
Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Kugler Publications. 2015.
-
6. Önerci, T.M. & Ferguson, B.J. Nasal Polyposis: Pathogenesis, Medical and Surgical Treatment. Springer Berlin Heidelberg. 2010. h. 53-63.
-
7. Mahdavinia, M., Suh, L.A., Carter, R.G., Stevens, W.W., Norton, J.E., Kato, A., dkk. Increased noneosinophilic nasal polyps in chronic rhinosinusitis in US second-generation Asians suggest genetic regulation of eosinophilia. The Journal of Allergy and Clinical Immunology; 2015; 135(2): 576-579.
-
8. Cho, S. H., Hong, S.J., Han, B., Lee, S.H., Suh, L., Norton, J., dkk. Age-related differences in the pathogenesis of chronic rhinosinusitis. The Journal of Allergy and Clinical Immunology; 2011; 129(3): 858–860.
-
9. Ahn, J.C., Kim, J.W., Lee, C. H., & Rhee, C.S. Prevalence and Risk Factors of Chronic Rhinosinusitus, Allergic Rhinitis, and Nasal Septal Deviation: Results of the Korean National Health and Nutrition Survey 2008-2012. JAMA Otolaryngology-- Head & Neck Surgery; 2016; 142(2): 162–167.
-
10. Ference, E. H., Tan, B.K., Hulse, K.E., Chandra, R.K., Smith, S.B., Kern, R.C., dkk. Commentary on gender differences in prevalence, treatment, and quality of life of patients with chronic rhinosinusitis. Allergy & Rhinology. 2015;
6(2):e82-e88.
-
11. Naclerio, R. M., Bachert, C., & Baraniuk, J. N. Pathophysiology of nasal congestion. International Journal of General Medicine; 2010; 3: 47–57.
-
12. Fokkens, W.J., Lund, V.J., Mullol, J., Bachert, C., Alobid, I., Baroody, F., dkk. EPOS 2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for otorhinolaryngologists. Rhinology; 2012; 50(1): 1–12.
-
13. DeConde, A. S., Mace, J. C., Ashby, S., Smith, T. L., Orlandi, R. R., & Alt, J. A.
Characterization of facial pain associated with chronic rhinosinusitis using validated pain evaluation instruments. International Forum of Allergy & Rhinology; 2015; 5(8): 682–690.
-
14. Sanu, A., & Eccles, R. Postnasal drip syndrome. Two hundred years of controversy between UK and USA. Rhinology; 2008; 46(2): 86–91.
-
15. Ikeda, K., Shizawa, A., Ono, N., Kusunoki, T., HIrotsu, M., Homma, H., dkk. Subclassification of chronic rhinosinusitis with nasal polyp based on eosinophil and neutrophil. The
Laryngoscope; 2013; 123(11): 1-9.
-
16. Assanasen, P. & Naclerio, R.M. Medical and surgical management of nasal polyps. Current Opinion in Otolaryngology & Head and Neck Surgery; 2001; 9(1): 27-36.
-
17. Morinaka, S. & Nakamura, H. Inflammatory cells in nasal mucosa and nasal polyps. Auris Nasus Larynx; 2000; 27(1): 59-64.
-
18. Wu, D., Wang, J., & Zhang, M. Altered
Th17/Treg Ratio in Nasal Polyps With Distinct Cytokine Profile: Association With Patterns of Inflammation and Mucosal Remodeling. Medicine; 2016; 95(10), e2998.
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
Discussion and feedback