ISSN: 2303-1395                 E-JURNAL MEDIKA, VOL. 7 NO.8,AGUSTUS, 2018

I--∖f—∖ Λ I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__V \__J JOURNALS

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN SIROSIS HEPATIS

DENGAN KEJADIAN PERITONITIS BAKTERIAL SPONTAN

Putu Bagus Darmayasa1, Gede Somayana2, I Ketut Mariadi3

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2,3Bagian Penyakit Dalam Divisi Gastroenterohepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) merupakan komplikasi parah yang sering terjadi pada pasien sirosis dengan asites. Kejadian SBP berada pada angka 10-30% kasus dengan angka mortalitas sebesar 20-40%. Diagnosis SBP ditegakkan berdasarkan jumlah polymorphonuclear leucocyte count (PMN count) melebihi 250/mm3 dengan ataupun tanpa kultur mikrobial yang positif pada cairan asites. Kunci penanganan SBP yakni memiliki pengetahuan mengenai regimen antibiotik yang tepat dan dengan mengetahui setting dimana infeksi dapat muncul, terutama pada pasien dengan risiko tinggi. Studi ini dilakukan untuk mengetahui angka prevalensi SBP serta mengevaluasi apakah ada hubungan antara derajat keparahan sirosis hepatis dengan angka kejadian SBP. Sebanyak 104 sampel didapatkan prevalensi SBP sebesar 14,4%. Analisis bivariat tidak menunjukkan kemaknaan (RO=2,365; IK 95%=0,815-5,253).

Kata kunci: Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP), Sirosis Hepatis, skoring CTP

ABSTRACT

Cirrhotic patients with ascites often accompanied with stark complication, one of them is spontaneous bacterial peritonitis (SBP). The mortality rate is 20-40% and usually occurs in 1030% of cases. The occurrence of a polymorphonuclear leucocyte sum larger than 250/mm3 with or without positive monomicrobial ascitic fluid culture is the threshold used to diagnose SBP. Efficacious treatment of SBP lies on the understanding of proper antibiotic regimen and a thoughtful knowledge of the setting in wich infection develops, particularly those individuals at high risk of infection. Identifying the prevalence of SBP and to appraise the severity of hepatic cirrhosis as possible risk factor was the main points of this study. Prevalence of SBP was 14.4%. Bivariate analysis was statisticaly insignificant (OR=2.365; CI 95%=0.815-5.253).

Keywords: Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP), Hepatic Cirrhosis, CTP score

PENDAHULUAN

Sirosis hepatis merupakan masalah kesehatan publik di seluruh dunia. Sirosis hepatis didefinisikan sebagai perkembangan histologis nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan bridging fibrous septa irreversible menyeluruh sehingga

mengakibatkan perubahan struktural lobus hati sebagai respon terhadap kerusakan hati kronis. Pembentukan nodul tanpa fibrosis, seperti dalam transformasi parsial bukan merupakan sirosis.1 Diperkirakan prevalensi sirosis hepatis di amerika mencapai angka 0,15% dengan penyebab

I!--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS I_> ^ √/  ι^√ JOURNALS

sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik dan infeksi virus hepatitis kronis yang mana angka tersebut masih dianggap underestimated     karena     tingginya

prevalensi sirosis hepatis yang tidak terdiagnosis pada pasien non-alcoholic steatohepatosis (NASH) dan hepatitis C.2 Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rerata prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% atau rerata 47,4 dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat dengan perbandingan prevalensi sirosis pada pria : wanita adalah 2,1 : 1 dan usia rerata 44 tahun.3

Belakangan ini, publikasi konsesus, penelitian dan dokumen mengenai SBP telah mengalami peningkatan, yang berdampak terhadap semakin mudahnya mengidentifikasi pasien-pasien dengan faktor risiko BP disamping juga mempermudah    optimalisasi    terapi.6

Meskipun begitu, prevalensi SBP pada pasien sirosis hepatis masih berada pada angka 10-30%, angka mortalitas berada pada 20-40%, dengan angka harapan hidup 1 tahun sekitar 67%. Angka kejadian SBP pada pasien sirosis hepatis di Rumah Sakit Indonesia berada pada angka 10-30%, dimana hampir setengahnya dialami saat pasien mengalami perawatan di rumah sakit.7 Sebanyak 54,1% dari 157 kasus sirosis hepatis didiagnosis SBP, yang paling banyak terjadi pada pasien dengan CTP C (P=0,003) dibandingkan dengan CTP A dan B (P=0,002).8 Besarnya angka kejadian serta kemungkinan faktor risiko penyebab SBP penting diketahui sebagai usaha pencegahan SBP serta pengawasan keberhasilan    strategi    yang telah

diimplementasikan oleh baik rumah sakit maupun pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi SBP di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar pada periode 1 April 2016 hingga 1 April 2017 dan hubungannya dengan derajat keparahan sirosis hepatis yang dinilai melalui skor CTP.

BAHAN DAN METODE

Rancangan penelitian yang digunakan adalah desain penelitian analitik cross-sectional dengan teknik consecutive sampling, yaitu dengan mengikutsertakan seluruh pasien sirosis hepatis sesuai kriteria penelitian hingga jumlah sampel minimal terpenuhi.

Variabel penelitian terdiri dari derajat keparahan sirosis hepatis yang diukur melalui sistem skoring CTP sebagai variabel bebas, serta status SBP sebagai variabel terikat. Prosedur penelitian dengan mengumpulkan data rekam medis pasien sirosis hepatis yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar periode 1 April 2016 - 1 April 2017. Subyek penelitian dipilah sesuai dengan kriteria inklusi yakni merupakan pasien sirosis hepatis yang ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis standar yang dikeluarkan oleh International Hepatology Informatic Group (1994), dan berusia ≥ 12 tahun, serta kriteria eksklusi yakni pasien dengan infeksi intra-abdomen definitif yang dapat ditangani secara surgikal, pasien dengan disseminated intravascular coagulation (DIC), serta pasien dengan riwayat laparotomi berulang. Derajat keparahan sirosis hepatis sampel kemudian digolongkan menggunakan sistem skoring CTP dan status SBP ditentukan dengan menggunakan data parasentesis abdominal yang menunjukkan PMN count > 250 mm3 dengan hasil kultur bakterial positif maupun negatif, hingga jumlah sampel minimal terpenuhi. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan antar variabel.

HASIL

Jumlah sampel penelitian adalah 104 pasien. Pasien yang mengalami SBP adalah 15 orang (14,4%), sedang yang bukan SBP adalah 89 orang (85,6%). Pasien laki-laki pada penelitian ini lebih banyak 79 (76%) sedang wanita 25 (24%), dengan rerata umur 55,36 tahun, umur termuda 28 tahun dan tertua 91 tahun. Karakteristik pasien berdasarkan

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

manifestasi klinis yang meliputi demam 45 (43,2%), keluhan nyeri perut 27 (24,9%), muntah 12 (12,5%), diare 1 (1%), gangguan kesadaran 4 (3,8%), abdominal tenderness 7 (6,7%), dan ileus paralitik 8 (7,7%). Dari pemeriksaan laboratorium didapat pasien dengan HbsAg positif 41 (39,4%) dan Anti HCV positif 16 (15,4%).

Tabel 1. Manifestasi Klinis Pasien Sirosis

Hepatis

Manifestasi klinis

n (%)

Demam

45 (43,2)

Keluhan nyeri perut

27 (24,9)

Muntah

12 (12,5)

Ileus paralitik

8 (7,7)

Abdominal tenderness

7 (6,9)

Gangguan kesadaran

4 (3,6)

Diare

1 (1)

Data yang didapat kemudian di transformasi menjadi tabel seperti pada tabel 1 dimana skor CTP terletak pada kolom dan status SBP diletakkan pada baris. Skor CTP yang dimaksud adalah gabungan dari lima parameter yakni serum maksimal tiga poin dan poin minimal satu, skor digolongkan menjadi CTP A apabila skor total 5-6, digolongkan menjadi CTP B bila skor total 7-9, digolongkan menjadi CTP C apabila total skor 10-15. Status SBP digolongkan menjadi SBP dan non-

Tabel 2. Gambaran Hepatitis Pasien Sirosis Hepatis

Tipe Hepatitis

n (%)

Hep B

41 (39,4)

Hep C

16 (15,4)

Non-Hepatitis

47 (45,1)

SBP berdasarkan standar definisi operasional variabel yang telah peneliti tetapkan sebelumnya, yakni dikatakan SBP apabila hitung PMN parasintesis asites melebihi atau sama dengan 250/mm3 dengan ataupun tanpa hasil kultur bakteri yang positif, semua yang tidak memenuhi kriteria tersebut digolongkan menjadi kasus non-SBP. Sebanyak 104 pasien sirosis hepatis dengan asites, pasien Child C (21,6%) lebih banyak mengalami SBP dibanding Child B (11,1%). Tidak ada pasien dengan Child A.

Tabel 3 kemudian di transformasi menjadi tabel 2x2 untuk dilakukan analisis bivariat dengan Chi-Square dimana variabel CTP A dan CTP B digabung menjadi satu variabel yakni variabel CTP ringan-sedang, sedangkan CTP C menjadi variabel CTP berat. Analisis bivariat Pearson Chi-Square tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (P=0,12) dengan RO=2,365, IK 95% (0,782-7,153). Dikatakan tidak bermakna karena nilai P lebih tinggi dibandingkan nilai P yang telah ditetapkan untuk penelitian ini yakni 0,05. Nilai P pada penelitian dapat diinterpretasikan bahwa terdapat 12% kemungkinan, apabila penelitian ini diulang, akan menghasilkan hipotesis nol yang diterima. Selain itu nilai IK pada penelitian ini memiliki batas bawah dan batas atas yang melewati angka satu yang juga diinterpretasikan sebagai hal yang tidak signifikan secara statistik.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi SBP Menurut Derajat Gangguan Fungsi Hati Berdasarkan Kriteria Child-Turcotte-Pug

CTP

Score

SBP

(%)

Non SBP (%)

Total (%)

CTP A

0 (0)

4 (100)

4 (100)

CTP B

7 (11,1)

56 (88,9)

63 (100)

CTP C

8 (21,6)

29 (78,4)

37 (100)

3

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

Tabel 4. Prevalensi SBP

Peneliti

Tahun

Negara

Kasus (n)

SBP (%)

Andreu10

1993

Spanyol

110

28

(25,45)

Kaymako glu11

1997

Turki

80

20 (22)

Hasan12

1999

Indonesia

44

19

(43,2)

Rosa, dkk8

2000

Brazil

382

69 (18)

Gayatri AAY6

2006

Indonesia

62

19

(39,6)

Peneliti

2017

Indonesia

104

15

(14,4)

PEMBAHASAN

Penelitian ini menemukan bahwa dari 104 pasien sirosis hepatis dengan asites didapatkan 15 (14,4%) mengalami SBP. Pada penelitian ini prevalensi SBP tampak lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian lain seperti tampak pada tabel 4. Namun angka tersebut masih meliputi jarak yang dipaparkan oleh Gines P, dkk.9 yakni 10%-30%.

Manifestasi klinis yang diamati pada penelitian ini adalah demam, keluhan nyeri perut, muntah, diare, ileus paralitik, abdominal tenderness, gangguan kesadaran, diare, hipotensi dan hipotermi. Hasil pemeriksaan laboratorium darah seperti AST, ALT, albumin, globulin dan bilirubin serum secara umum mendukung diagnosis sirosis hepatis stadium lanjut. Petanda Hepatitis HbsAg positif lebih banyak 41 (39,4%) sedang anti HCV 16 (15,4%).

Derajat keparahan sirosis hepatis didasari atas derajat gangguan fungsi hati. Hipersplenisme yang mengakibatkan Penurunan fungsi serta jumlah sel leukosit terutama PMN, sel Kupfer yang mengalami penurunan fungsi, serta penurunan produksi komplemen (C3) oleh hati, mengakibatkan penurunan aktifitas opsonisasi dan fagositosis, dimana hal tersebut akan memudahkan terjadinya SBP. Hal ini seringkali diamati terjadi pada pasien sirosis hepatis dengan derajat

berat. Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pasien mengalami SBP lebih banyak pada CTP C, seperti pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi SBP pada Tingkat

Keparahan Sirosis Hepatis

Asal data

SBP (n)

Child A

(%)

Child B

(%)

Child C

(%)

Andreu, dkk10

28

-

8 (28,5)

20

(71,5)

Samsuridjal13

21

-

3 (14,3)

18

(85,7)

Gayatri AAY6

19

-

2 (10,5)

17

(89,5)

Peneliti

15

-

7 (46,7)

8 (53.3)

Pada penelitian ini tidak ditemukan kemaknaan secara statistik antara derajat keparahan sirosis hepatis dengan angka kejadian SBP ketika dilakukan analisis bivariat dimana didapatkan P=0,12 dengan RO=2,365, IK 95% (0,782-7,153). Hal ini juga didapatkan pada penelitian oleh Gayatri AAY, dkk.6 dimana hasil analisis bivariat tidak menunjukkan kemaknaan, namun pada analisis multivariat Uji Log Regresi menunjukkan kemaknaan dengan RO=5,297, IK 95% (1,036-27,079).

Hal ini kemungkinan terjadi karena desain penelitian menggunakan teknik cross sectional dengan sampel berupa data sekunder. Bila penelitian ini dilakukan secara prospektif dengan data primer, maka kemungkinan dapat mengevaluasi perjalanan penyakit lebih akurat sehingga mungkin mendapatkan frekuensi SBP yang berbeda. Seperti pada penelitian oleh Deschenes, dkk.14 melibatkan 140 pasien sirosis dengan perdarahan saluran makanan bagian atas yang dirawat di rumah sakit. Dua puluh dua persen mengalami SBP pada 48 jam pertama perawatan dan meningkat menjadi 35-66% dalam 7-14 hari berikutnya.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis sedangkan penelitian lainnya menggunakan data primer. Hal ini menyebabkan penulis kesulitan untuk mengkonfirmasi secara

I!--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS I_√      ∖^√ JOURNALS

langsung parameter klinis yang dijadikan penentu untuk dilakukannya parasintesis yang dapat menegakkan diagnosis SBP. Selain itu status parasintesis kurang terekam dengan baik di rekam medis dan tidak rutin dikerjakan pada pasien sirosis yang belum menunjukkan manifestasi klinis SBP di RSUP Sanglah. Berdasarkan penelitian Alaniz C, dkk.15 hampir 30% pasien dengan parasentesis-proven SBP bisa benar-benar asimtomatik, sehingga terdapat kemungkinan adanya pasien SBP asimtomatis yang tidak dilakukan parasintesis sehingga tidak terdiagnosis sebagai SBP (false negative). Peneliti juga tidak menggunakan riwayat penggunaan antibiotika selama 7 hari terakhir seperti pada penelitian Gayatri AAY, dkk.6 yang juga dapat berpengaruh pada hasil parasintesis.

Hasil yang tidak signifikan, kemungkinan juga disebabkan karena kriteria CTP kurang representatif dalam menggambarkan faktor risiko timbulnya SBP. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Deschenes, dkk.14 yakni penelitian faktor risiko pencetus infeksi bakteri terhadap 140 pasien sirosis rawat inap. Analisis univariat dan analisi multivariat uji log regresi dilakukan terhadap derajat asites, derajat ensefalopati, prothrombin time, serum albumin, serum total bilirubin, riwayat masuk ICU, riwayat perdarahan gastrointestinal, serta riwayat skleroterapi endoskopi. Berdasarkan poin-poin parameter tersebut, hanya serum albumin sebagai perwakilan skor CTP yang secara bermakna sebagai faktor risiko infeksi bakteri     yang     berperan     dalam

berkembangnya SBP selama rawat inap. Hal tersebut juga didukung oleh Alaniz C, dkk.15 yang mengatakan bahwa tiga populasi pasien yang membutuhkan profilaksis karena berisiko menimbulkan SBP adalah pasien dengan riwayat SBP, pasien dengan perdarahan saluran makanan bagian atas, dan pasien dengan protein asites yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Llovet, dkk.16 juga

menegaskan bahwa poin-poin pada skoring CTP kurang representatif untuk menggambarkan parameter yang dapat meningkatkan risiko terjadinya SBP, dimana Llovlet menyatakan bahwa SBP terjadi apabila terdapat kombinasi antara virulensi strain kuman yang lebih tinggi dibandingkan kemampuan sel imun tubuh, serta imunitas tubuh yang melemah, baik imun sistemik yang terdiri dari sistem retikuloendotelial maupun imunitas lokal oleh makrofag peritoneum dan netrofil, dimana hal tersebut kurang tergambarkan pada poin-poin sistem skoring CTP.

Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu menggunakan data sekunder sehingga tidak dapat mengkonfirmasi langsung parameter klinis yang digunakan untuk dasar parasintesis, tidak bisa memantau perjalanan penyakit sirosis hepatis hingga munculnya SBP karena penelitian menggunakan metode cross sectional yang berpengaruh terhadap jumlah kasus SBP yang tercatat serta, tidak bisa menyatakan hubungan sebab akibat dari derajat keparahan sirosis hepatis dengan SBP karena rancangan penelitian menggunakan rancangan cross sectional sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menemukan hubungan antara derajat keparahan sirosis hepatis dengan kejadian SBP dengan rancangan yang lain, misalnya studi longitudinal atau kohort.

SIMPULAN

Prevalensi SBP pada pasien sirosis hepatis di RSUP Sanglah periode 1 April 2016 – 1 April 2017 sebanyak 14,4% serta derjajat keparahan sirosis berdasarkan skoring CTP tidak berhubungan secara statistik terhadap kejadian SBP dengan nilai P=0,12, RO=2,365, IK 95% (0,7827,153).

SARAN

Peneliti selanjutnya sebaiknya menggunakan data primer untuk dapat mengkonfirmasi langsung parameter klinis yang digunakan untuk dasar parasintesis,

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

serta menggunakan desain studi longitudinal atau kohort agar bisa memantau perjalanan penyakit sirosis hepatis. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara kejadian SBP dengan faktor risiko yang lain sehingga dapat dilakukan analisis multivariat Uji Log Regresi untuk mendapatkan hasil statistik yang lebih bermakna.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Dooley,     Lok,     Burroughs,

Heathcote. Sherlock diseases of the liver and biliary system. 12th edition. Singapore:     Willey-

Blackwell. 2011:119-134.

  • 2.    Schuppan, D., Afdhal, N. H. Liver cirrhosis. Lancet. 2008; 371(9615), 838 – 851.

  • 3.    Sulaiman, Akbar, Lesmana, Noer. Buku ajar ilmu penyakit hati. Jakarta: Jayabadi. 2007:50-56.

  • 4.    Aguirre Valadez, J. M., Rivera-Espinosa, L., Méndez-Guerrero, O., Chávez-Pacheco, J. L., García Juárez, I., & Torre, A. Intestinal permeability in a patient with liver cirrhosis. Therapeutics and Clinical Risk Management. 2016;  12:

1729–1748.

  • 5.    Dever, J. B., Sheikh, M. Y. Review article:    spontaneous    bacterial

peritonitis     –     bacteriology,

diagnosis, treatment, risk factors and prevention. Aliment Pharmacol Ther. 2015; 41(11):1365-2036.

  • 6.    Gayatri, A. A. Y., Wibawa, I. D. N. Peritonitis bakterial spontan pada sirosis hati dan hubungannya dengan beberapa faktor risiko. J Peny Dalam. 2006; 7(2):84-91.

  • 7.    PPHI. Diagnosis dan terapi peritonitis bakteri spontan pada sirosis       hati.       Konsensus

Perhimpunan Peneliti    Hati

Indonesia. 2001.

  • 8.    Rosa, H., Silverio, A.O., Perini, R.F., Arruda, C.B. (2000) Bacterial infection in chirrotic patients and

its relationship with alcohol. Am J Gastroenterol. 2000; 95:1290-3.

  • 9.    Gines, P., Cardenas, A., Arroyo, V., Rodes, J. Management of chirrosis and ascites. N Engl J Med. 2004; 350:1646-54.

  • 10.    Andreu M., Sola R., Sitges-Serra A., dkk. Risk factors for spontaneous bacterial peritonitis in chirrotic patients with ascites. Gastroenterology.            1993;

104(4):1133-8.

  • 11.    Kaymakoglu S., Eraksoy H., Okten A., dkk. Spontaneous ascitic infection in different chirrotic groups: prevalence, risk faktors and the efficacy of cefotaxime therapy. Eur J Gastroenterol Hepatol. 1997; 9:71-76.

  • 12.    Hasan HA. Spontaeous Bacterial Peritonitis. In: Adi S, Setiawan PB, Yogiantoro     M,     Pranawa,

Tjokroprawiro     A,     editors.

Pendidikan           Kedokteran

Berkelanjutan XVI. Surabaya: Lab/SMF Penyakit Dalam FK UNAIR-RSUD Dr Soetomo. 2001:41-59.

  • 13.    Samsuridjal D. Faktor imunologis cairan asites yang mempengaruhi kejadian peritonitis bakteri spontan pada sirosis hepatis. Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta. 1999.

  • 14.    Deschenes M, Villeneuve JP. Risk faktors for the development of bacterial infections in hospitalized patients with chirrosis. Am J Gastroenterol. 1999; 94:2001-3.

  • 15.    Alaniz, C., Regal R. E. Spontaneous bacterial peritonitis: a review of treatment options. PT. 2009; 34(4):204-210.

  • 16.    Llovet J.M., Bartoli R., March F., dkk. Translocated Intestinal bacteria cause spontaneous bacterial peritonitis in chirrotic rats:   molecular epidemiologic

I--∖z—∖ A I DIRECTORY OF OPEN ACCESS

I__∕ V_>/ \~_J JOURNALS

evidence. J Hepatol. 1998; 28:307-              313.

7

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum