ARTIKEL PENELITIAN

E-JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 7 NO. 5, MEI, 2018 : 203-210

ISSN: 2303-1395

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


Efek pemberian ekstrak ethanol ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) terhadap ketebalan dan diferensiasi sel epitel vagina tikus betina yang mengalami ovariektomi di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana periode Oktober-Desember 2017

Jessica Yuwono1, Wayan Sugiritama2, Gusti Ngurah Mayun2, Wayan Juli Sumadi3

ABSTRAK

Wanita menopause mengalami penurunan kadar hormon estrogen yang menyebabkan atropi vagina yang berakibat menipisnya ketebalan lapisan epitel vagina. Terapi sulih hormon menjadi pilihan dalam mengatasi masalah tersebut, akan tetapi hal tersebut memiliki banyak resiko jangka panjang seperti kanker payudara dan penyakit jantung koroner. Fitoestrogen adalah senyawa dari tumbuhan yang memiliki aktivitas biologikal seperti hormon estrogen, salah satunya sumbernya adalah ubi jalar ungu yang mengandung antosianin (flavonoid) dapat digunakan sebagai terapi alternatif sulih hormon. Studi ini menggunakan rancangan post-test only control group dengan model hewan tikus wistar yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol mendapatkan plasebo, kelompok intervensi 1 (I1) mendapat ekstrak ubi jalar ungu sebanyak 1cc, kelompok I2 dan I3 mendapat ekstrak sebanyak 2 cc dan 4 cc secara berurutan. Ovariektomi dilakukan terlebih dahulu, dan tikus diberikan intervensi selama 1 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologis dan penilaian derajat maturitas dari epitel vagina. Terdapat perbedaan jumlah sel parabasal, intermediate, dan superfisial antara keempat kelompok intervensi (p=0.000), jumlah sel parabasal terbanyak pada kelompok kontrol (151,63±34,13), jumlah sel intermediate terbanyak pada kelompok I3 (52,63±13,59), jumlah sel superfisial terbanyak pada kelompok I3 (48,88±5,27), terdapat perbedaan ketebalan epitel pada keempat kelompok intervensi (p=0,004) dan epitel paling tebal ditemukan pada kelompok I3 (54,24 ± 7,78), deraj at maturitas terbaik ditemukan pada kelompok I3 dengan adanya epitel skuamus berlapis serta lapisan glikogen yang tebal pada bagian permukaan. Derajat maturasi yang terburuk adalah kelompok kontrol dengan gambaran keratinisasi pada bagian permukaan epitel, dan tidak ditemukannya lapisan glikogen serta jumlah sel superfisial yang sangat sedikit. Intervensi pemberian ekstrak ubi jalar ungu menambah ketebalan epitel vagina dan meningkatkan derajat maturasi epitel vagina tikus wistar yang melalui ovariektomi.

Kata kunci: ekstrak ubi jalar ungu, epitel vagina, tebal epitel, derajat maturasi, fitoestrogen.

ABSTRACT

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Udayana 2Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 3Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah

Email: [email protected]


Diterima : 4 April 2018

Disetujui : 26 April 2018

Diterbitkan : 14 Mei 2018


Post menopause woman experiencing estrogen hormone deficiency causing vaginal atrophy leading decrease in vaginal epithelial thickness. Hormone replacement therapy (HRT) was the first choice to overcome those problems. Meanwhile, HRT has so much adverse effect in long term use such as increase risk of breast cancer, and cardiovascular disease. Phytoestrogen is an estrogen compound derived from plant particullary in purple yam, containing antosianin that could be an alternative for estrogen replacement therapy. Study design is post-test only control group with animal model using wistar mice divided into four groups intervention. Control group recieving placebo, intervention group 1 (I1) recieving 1 cc of purple yam ethanol extract, I2 and I3 recieving 2cc and 4 cc of yam ethanol extract respectively. Oovorectomy was done before intervention and intervention was done for one months. Histophatological structure of vaginal epithelial and assesment of vaginal epithelial maturation was observed. There are significant difference between the average number of parabasal cell, intermediate cell, and superficial cell in four groups intervention (p=0.000). The highest number of parabasal cell was found in control group (151.63±34.13), the highest number of intermediate cell was found in I3 group, and the highest number of superficial cell was found in I3 group. There are significant different between thickness of epithelial cell layer in four groups intervention (p=0.004) and I3 group with the thickest layer of ephitel (54.24 ± 7.782). The best maturation degree was found in I3 group with much squamous epithelium with thick layer of glicogen on the surface of epithelial layer. Meanwhile, control group was found with poor maturation, superficial epithelial layer undergoes keratinization with predominant of parabasal cell layer and only a few number of superficial squamous epithelial cell was found. Intervention of purple yam ethanol extract enhance epithelial maturation and differentiation, increase epithelial thickness in rats undergoes oovorectomy.

Keywords: purple yam extract, vagina epithelial, thickness of epithelial, maturation degree, phytoestrogen.

PENDAHULUAN

Menopause menurut American Association of Clinical Endocrinologists didefinisikan sebagai berhentinya menstruasi minimal selama satu tahun pada wanita usia lanjut, yang disebabkan oleh penurunan produksi hormon estrogen oleh folikel ovarium. Pada beberapa wanita bersifat asimptomatik, namun sekitar 80% wanita mengalami gejala vasomotor seperti hot flushes, berkeringat di malam hari dan disertai jantung berdebar-debar, dan dilaporkan sekitar 25% gejala tersebut memburuk. Sekitar 85% wanita menopause merasa tidak nyaman dengan gejala vasomotor tersebut sehingga terjadi gangguan tidur, cemas, dan irritability.1

Menopausal Hormon Therapy (MHT) merupakan intervensi terbaik yang disarankan oleh AACE untuk meringankan gejala menopause sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.1 Sedangkan di Indonesia dikenal dengan istilah Terapi Sulih Hormon (TSH) atau Hormon Replacement Therapy (HRT).2 Prinsip terapi ini adalah menggantikan hormon estrogen yang rendah dalam tubuh dengan hormon estrogen atau kombinasi hormon estrogen dan progesteron.1 Terapi Sulih Hormon juga dapat mencegah penyakit kronis seperti osteoporosis, penyakit jantung koroner, dan dementia.3

Namun penggunaan Terapi Sulih Hormon masih sedikit karena Women Health Initiative (WHI) menemukan peningkatan risiko kanker payudara, penyakit jantung koroner, dan stroke pada hasil follow up terhadap pasien yang menerima hormon estrogen dan progestrin selama 5.2 tahun.4, 5 Oleh sebab itu, para ahli menyarankan agar menggunakan terapi alternative untuk mengatasi gejala – gejala menopause. Salah satu terapi alternative yang banyak dikembangkan saat ini adalah fitoestrogen.6

Fitoestrogen adalah senyawa polifenol non-steroid yang berasal dari tumbuhan yang memiliki aktivitas biologikal seperti hormon estrogen.6, 19 Secara garis besar fitoestrogen dibagi menjadi 4 jenis; isoflavon, flavonoid, stilbenes, dan lignan. Salah satu contoh makanan yang banyak mengandung fitoestrogen adalah kedelai dan olahannya. Kedelai dan olahannya terbukti dapat mengatasi gejala menopause seperti hot flushes dan night sweating. Hal ini dapat terjadi karena fitoestrogen memiliki kemiripan struktur dengan estrogen 17β estradiol, yang dapat meningkatkan aktivitas hormon estrogen. Selain itu, fitoestrogen juga berperan mencegah osteoporosis, penyakit kardiovaskular, dan keganasan pada payudara maupun prostat.7

Antosianin termasuk dalam golongan

flavonoid yang paling berperan penting dan letaknya berada di dalam cairan sel yang bersifat larut air.8 Antosianin mempunyai termostabilitas yang tinggi, mempunyai aktivitas antioksidan, mampu menghambat pertumbuhan sel kanker, dan pemberi warna alami pada makanan. Antosianin memiliki struktur dan biosintesis yang mirip dengan flavonoid golongan flavonols, flavones, flavanones, dan isoflavon.9 Oleh karena ada kemiripan struktur dengan isoflavon, maka dapat diperkirakan bahwa ketiga jenis antosianin; pelargonidin, cyaniding chloride dan delphidin chloride mempunyai aktivitas estrogenik yang potensial juga.10 Sehingga antosianin diperkirakan juga mampu menghambat proses atropi mukosa vagina pada wanita menopause.

Ubi jalar ungu mengandung antosianin dengan komponen turunan mono atau diasetil 3-(2-glukosil) glukosil-5-glukosil peonidin dan sianidin. Menurut penelitian yang sudah dilakukan, umbi jalar ungu di Bali memiliki kadar antosianin sekitar 110 – 210 mg / 100 gram.8 Karena kandungan antosianin di dalamnya, maka ubi jalar ungu berfungsi debagai antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga dapat mencegah proses penuaan dan penyakit degeneratif. Selain itu ubi jalar ungu juga bersifat antimutagenik dan antikarsinogenik sehingga dapat berperan dalam pencegahan kanker. Namun sampai saat ini belum ada penelitian tentang peranan estrogenik dalam ubi jalar ungu.

Tikus betina yang menjalani prosedur ovariektomi bilateral memiliki karakteristik yang mirip dengan wanita postmenopause, seperti penurunan massa tulang. Sehingga tikus betina yang mengalami ovariektomi dapat dijadikan sebagai model dalam penelitian ini. Pada penelitian ini akan meneliti tentang aktivitas estrogenik ekstrak ubi jalar ungu melalui pemeriksaan ketebalan dan diferensiasi jaringan epitel vagina tikus betina yang mengalami ovariektomi.

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental murni dengan pola Post Test Only Control Group Design pada hewan coba invivo, digunakan 16 ekor tikus wistar betina pada penelitian ini yang sebelumnya telah dilakukan ovariektomi. Tikus tersebut kemudian dibagi secara acak menjadi empat kelompok yang berbeda, kelompok kontrol (K) mendapat intervensi aquadest, kelompok I1 mendapat ekstrak ubi jalar ungu 1 ml/hari, kelompok I2 mendapat ekstrak ubi jalar ungu sebanyak 2 ml/hari, dan kelompok I3 mendapat ekstrak ubi jalar ungu sebanyak 4 ml/hari. Kandungan antosianin dalam

ekstrak tersebut adalah 119 mg/ml. Setelah 30 hari pemberian intervensi dilakukan penilaian terhadap epitel vagina tikus melalui pembuatan preparat histologi dengan menggunakan pengecatan standar hematoksilin dan eosin. Penilaian dilakukan dengan cara melakukan perhitungan pada jumlah sel parabasal, intermediate, dan superfisial serta membandingkan ketebalan epitel antar kelompok intervensi. Pengukuran ketebalan epitel diukur menggunakan perangkat lunak Image Reiter, dengan mengambil tiga titik pengukuran yang berbeda dari dasar hingga puncak jaringan epitel dan pengukuran dinyatakan dalan mikro meter (µm). Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji ANOVA, kemudian dilanjutkan dengan Uji Post-Hoc untuk menilai perbedaan secara berpasangan antara dua kelompok intervensi. Penelitian dilakukan selama periode bulan Oktober hingga Desember 2017. Pemeliharaan tikus dan seluruh intervensi ekstrak ubi jalar ungu dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, sedangkan intepretasi derajat diferensiasi epitel vagina dilakukan di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah.

HASIL

Pengamatan dilakukan terhadap perubahan dari sel penyusun epitel vagina yang akan dibedakan menjadi tiga jenis sel yaitu sel para basal,

sel intermediate, dan sel superfisial serta ketebalan epitel. Dilakukan perhitungan terhadap sel tersebut kemudian dilakukan alisis Anova terhadap perbedaan jumlah sel pada setiap kelompok intervensi yaitu Kelompok kontrol (K), Intervensi ektrak ubi jalar ungu 1cc (I1), intervensi ekstrak ubi jalar ungu 2 cc (I2), dan intervensi ekstrak ubi jalar ungu 4cc (I3). Berikut adalah hasil analisis uji Anova yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan jumlah sel parabasal paling banyak terdapat pada kelompok kontrol yaitu dengan rerata 151,63 ± 34,134, sedangkan sel parabasal paling sedikit ditemukan pada kelompok I3 yaitu dengan rerata 42.48 ± 9.516, melalui analisis Anova didapatkan nilai p = 0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sel parabasal pada epitel vagina pada keempat kelompok intervensi. Berdasarkan rerata perhitungan jumlah sel terdapat kecendrungan untuk mengalami penurunan jumlah sel para basal dari kelompok kontrol hingga kelompok I3.

Jumlah sel intermediate ditemukan paling banyak pada kelompok I3 yaitu dengan rerata 52,63 ± 13,596 dan paling sedikit pada kelompok kontrol yaitu dengan rerata 27,63 ± 10,487. Melalui analisis Anova didapatkan nilai p = 0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sel intermediate pada epitel vagina pada keempat kelompok intervensi. Berdasarkan rerata perhitungan jumlah sel terdapat

Tabel 1. Perbandingan jumlah sel parabasal, intermediate, superfisial dan ketebalan epitel vagina tikus

Variabel Kelompok Intervensi

n

Rerata ± SD

F

Nilai p

Sel Parabasal

K

4

151,63 ± 34,134

I1

4

122,63 ± 17,880

41,947

0,000*

I2

4

85,13 ± 10,967

I3

4

42,48 ± 9,516

Sel Intermediate

K

4

27,63 ± 10,487

I1

I2

4

27,27 ± 11,634

8,381

0,000*

4

35,75 ± 10,403

I3

4

52,63 ± 13,596

Sel Superfisial

K

4

10,50 ± 10,583

I1

I2

4

10,88 ± 30,38

16,451

0,000*

4

30,38 ± 19,220

I3

4

48,88 ± 5,276

Ketebalan Epitel

K

4

15,94 ± 1,406

I1

I2

4

20,99 ± 3,525

10,272

0,004*

4

32,52 ± 16.235

I3

4

54,24 ± 7,782

*signifikan (p<0,05)


Gambar 1. Perbedaan jumlah sel vagina tikus dan ketebalan epitel antar kelompok intervensi.


kecendrungan untuk mengalami peningkatan jumlah sel intermediate dari kelompok kontrol hingga kelompok I3.

Jumlah sel superfisial ditemukan paling banyak pada kelompok I3 yaitu dengan rerata 48,88 ± 5,276 dan paling sedikit ditemukan pada kelompok kontrol yaitu dengan rerata 10,50 ± 10,583. Melalui analisis Anova didapatkan nilai p = 0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sel superfisial pada epitel vagina pada keempat kelompok intervensi. Berdasarkan rerata perhitungan jumlah sel terdapat kecendrungan untuk mengalami peningkatan jumlah sel superfisial dari kelompok kontrol hingga kelompok I3.

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui rerata tebal jaringan epitel pada kelompok kontrol adalah 15,94 ± 1,406 µm, pada kelompok I1 adalah 20,99 ± 3,525 µm, pada kelompok I2 adalah 32,52 ± 16,235 µm, dan pada kelompok I3 adalah 54,24 ± 7,782 µm. Berdasarkan analisis dari uji Anova didapatkan nilai p = 0,004, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan ketebalan epitel antara kelompok kontrol, I1, I2, dan I3.

Uji Post Hoc pada komponen penilaian sel parabasal, intermediate, superfisial serta ketebalan epitel disajikan pada gambar 1.

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada jumlah sel parabasal total antara kelompok kontrol dengan I1 (p>0.05). Terdapat perbedaan yang bermakna antara kontrol dengan I2 dan I3 (p<0.05). Hasil analisis beda rerata adalah: K vs I1, p=0,53. K vs I2, p=0,000. K vs I3, p=0,000. I1 vs I2, p=0,006. I1 vs I3, p=0,000. I2 vs I3, p=0,001.

Kelompok I3 menunjukkan jumlah sel parabasal yang paling sedikit. (gambar 1)

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada jumlah sel intermediate total antara kelompok kontrol dengan I1, kontrol dengan I2, dan kontrol dengan I3 (p>0.05). Terdapat perbedaan yang bermakna antara kontrol dengan I3 (p<0.05). Hasil analisis beda rerata adalah: K vs I1, p=1,00. K vs I2, p=1,00. K vs I3, p=0,001. I1 vs I2, p=0,92. I1 vs I3, p=0,001. I2 vs I3, p=0,042. Kelompok I3 menunjukkan jumlah sel intermediate yang paling banyak. (gambar 1)

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada jumlah sel superfisial total antara kelompok kontrol dengan I1 (p>0.05). Terdapat perbedaan yang bermakna antara kontrol dengan I2 dan I3 (p<0.05). Hasil analisis beda rerata adalah: K vs I1, p=1,00. K vs I2, p=0,026. K vs I3, p=0,000. I1 vs I2, p=0,03. I1 vs I3, p=0,000. I2 vs I3, p=0,044. Kelompok I3 menunjukkan jumlah sel superfisial yang paling banyak. (gambar 1)

Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada ketebalan epitel antara kelompok kontrol dengan I1 dan I2 (p>0.05). Terdapat perbedaan yang bermakna antara kontrol dengan I3 (p<0.05). Hasil analisis beda rerata adalah: K vs I1, p=0,52. K vs I2, p=0,58. K vs I3, p=0,01. I1 vs I2, p=0,163. I1 vs I3, p=0,002. I2 vs I3, p=0,02. Kelompok I3 menunjukkan memiliki lapisan epitel yang paling tebal. (gambar 1)

Analisis derajat maturasi pada preparat histologi dilakukan penilaian terhadap sel parabasal, sel intermediate, sel superfisial, dan lapisan glikogen permukaan epitel (gambar 2A,

Gambar 2A. Hasil preparat histologi epitel vagina tikus kelompok kontrol yang mendapat intervensi placebo, dapat terlihat adanya bagian superfisial yang mengalami keratinisasi (panah merah), adanya predominan sel parabasal dengan ciri nukleus yang besar (panah biru), kemudian tampak adanya sel intermediate (sel dengan bentuk oval, nukleus yang sudah mengecil dibandingkan dengan sel parabasal) dengan rasio nukleus : sitoplasma 1 : 6 (panah hijau), serta tidak tampak adanya epitel skua-mus berlapis pada bagian superfisial. Hal ini dapat disimpulkan bahwa epitel vagina tidak berdiferensiasi secara baik pada kelompok tikus yang menerima plasebo.

Gambar 2B. hasil preparat histologi epitel vagina tikus kelompok I1 yang mendapat intervensi ekstrak ubi jalar ungu sebanyak 1cc, dapat terlihat adanya bagian superfisial yang tidak mengalami keratinisasi (panah merah), adanya predominan sel parabasal dengan ciri nukleus yang besar (panah biru), kemudian tampak adanya sel intermediate (panah hijau), serta tampak adanya sedikit jumlah sel epitel skuamus (panah hitam) serta lapisan glikogen sudah mulai tampak adanya sedikit lapisan glikogen yang terpulas dengan pewarna yang lebih gelap. Hal ini mencirikan adanya diferensiasi epitel vagina yang tidak baik.

2B, 2C, dan 2D).

kelompok kontrol cenderung untuk mengalami derajat diferensiasi yang masih buruk, masih didominasi oleh sel parabasal dengan jumlah sel superfisial yang hampir tidak terlihat, dan adanya bagian superfisial yang mengalami keratinisasi (Gambar 2A). Kemudian pada kelompok I1 keratinisasi pada lapisan superfisial sudah tak tampak, akan tetapi epitel skuamus berlapis pada bagian superfisial masih sangat jarang terlihat, hal ini juga menandakan bahwa derajat diferensiasi kelompok I1 masih buruk. (Gambar 2B)

Kelompok I2, sudah tampak adanya lapisan glikogen pada bagian superfisial jaringan epitel vagina tikus, dan adanya epitel skuamus berlapis yang lebih banyak, jumlah sel parabasal yang semakin berkurang, hal ini menandakan adanya derajat diferensiasi yang baik (Gambar 2C). Kelompok I3 menunjukkan adanya lapisan glikogen pada permukaan jaringan epitel yang tebal, serta jumlah sel skuamus berlapis yang banyak, hal tersebut menunjukkan adanya derajat diferensiasi yang sangat baik (Gambar 2D).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat perbedaan jumlah sel para basal, intermediate, dan superfisial antara kelompok kontrol, I1, I2, dan I3. Serta jumlah sel para basal cenderung mengalami penurunan pada setiap kelompoknya, sedangkan sel intermediate dan sel superfisial cenderung untuk mengalami peningkatan pada setiap kelompoknya.

Susunan jaringan epitel bagina tikus pada penelitian ini menunjukkan, pada kelompok kontrol dan kelompok I1 cenderung untuk mengalami maturasi yang buruk, keadaan ini dilihat melalui jumlah sel superfisial yang sangat sedikit dan lebih didominasi oleh sel parabasal. Selain itu tampak adanya struktur epitel vagina tikus yang mengalami keratinisasi dan tidak adanya lapisan glikogen pada permukaan epitel vagina sehingga hal ini memberikan suatu gambaran keadaan yang menyerupai struktur kulit yang ditandai dengan adanya suatu lapisan epidermis yang dilapisi oleh keratin.11 Keadaan tersebut cenderung menggambarkan adanya permukaan vagina yang kering, dan kasar oleh karena adanya keratinisasi dan tidak adanya lapisan glikogen permukaan yang ada. Hal tersebut cenderung berakibat pada vagina yang menjadi tipis dan rapuh.12

Penelitian oleh Bertin (2014) mengenai ekspresi dari reseptor estrogen dan enzim steroidogenik yang terlibat dalam pembentukan estradiol vagina pada monyet (Mascaca fascicularis). Studi ini melakukan evaluasi reseptor estrogen

Gambar 2C. Hasil preparat histologi epitel vagina tikus kelompok I2 yang mendapat intervensi ekstrak ubi jalar ungu sebanyak 2cc, dapat terlihat adanya bagian superfisial yang tidak mengalami keratinisasi (panah merah), tampak adanya sel parabasal yang sudah lebih berkurang jumlahnya dengan ciri nukleus yang besar (panah biru), kemudian tampak adanya sel intermediate (panah hijau), serta tampak adanya jumlah sel epitel skuamus berlapis yang lebih banyak (panah hitam) serta lapisan glikogen sudah mulai lebih tebal yang terpulas dengan pewarna yang lebih gelap. Hal ini mencirikan adanya suatu diferensiasi sel epitel vagina yang baik.


Gambar 2D. hasil preparat histologi epitel vagina tikus kelompok I3 yang mendapat intervensi ekstrak ubi jalar ungu sebanyak 4cc, dapat terlihat adanya bagian superfisial yang tidak mengalami keratinisasi, dan tampak adanya lapisan glikogen superfisial yang tebal (panah merah), tampak adanya sel parabasal yang sudah lebih berkurang jumlahnya dengan ciri nukleus yang besar (panah biru), kemudian tampak adanya sel intermediate (panah hijau), serta tampak adanya jumlah sel epitel skuamus berlapis yang sangat banyak di lapisan superfisial (panah hitam). Hal ini mencirikan adanya suatu diferensiasi sel epitel vagina yang sangat baik.


serta struktur jaringan vagina pada monyet. Studi ini menemukan bahwa reseptor estrogen paling banyak terkonsentrasi pada lapisan superfisial epitel skuamus vagina monyet, pembuluh darah, dan otot vagina. Keadaan ini memberikan kesan gambaran bahwa adanya estrogen akan memberikan suatu efek maturasi dari epitel vagina yang mengalami suatu predominasi oleh sel skuamus berlapis.13

Studi lain oleh Archer dkk (2017) mengenai perbandingan dari intravagina prasterone, 0.3 mg estrogen terkonjugasi, dan 10 µg estradiol terhadap keadaan gejala atrofi vagina, intervensi dilakukan selama 12 minggu, dan dilakukan perbandingan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol terhadap gejala-gejala atrofi vagina dan dyspareunia. Secara keseluruhan kelompok intervensi memberikan hasil tingkat keparahan gejala yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.14

Studi lain oleh Portman dkk (2014), sebuah studi uji klinis fase III, mengenai pemberian estrogen modulator terhadap kekeringan vagina yang berhubungan dengan adanya atrofi vagina pada kelompok post menopause. Kemudia dilakukan evaluasi terhadap jumlah sel parabasal dan superfisial pada epitel vagina. Studi ini menemukan adanya perbedaan jumlah sel parabasal yang cenderung mengalami penurunan jumlah sel setelah dilakukan pemberian intervensi dibandingkan dengan kelompok plasebo (p<0.001), dan terjadi kecendrungan untuk mengalami peningkatan jumlah sel superfisial yang lebih banyak pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok plasebo (p<0.001). Keadaan ini memberikan gambaran adanya pemberian estrogen yang akan meningkatkan indeks maturasi dari sel epitel vagina.15

Penelitian lain oleh Keiler dkk (2014) mengenai efek pemberian flavonoid naringenin (suatu fitoestrogen) terhadap perkembangan uterus dan vagina tikus lewis. Studi ini menemukan adanya penambahan berat uterus, peningkatan ketebalan epitel uterus, dan adanya proliferasi sel vagina pada tikus yang mendapatkan naringenin.16

Terdapat dua jenis reseptor estrogen yang paling umum dijumpai yaitu estrogen reseptor α dan β (ERα dan ERβ). Ekspresi dari ERβ lebih banyak ditemukan pada pada daerah ovarium, kelenjar payudara, permukaan mukosa mulut rahim, paru-paru, kelenjar adrenal, dan permukaan epitel dari vagina. Fitoesterogen memiliki suatu cincin fenol yang merupakan suatu syarat untuk mampu melakukan ikatan dengan reseptor estrogen. Fitoestrogen memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap ERβ, adanya estrogen yang berikatan dengan ERβ pada permukaan epitel vagina akan

menyebabkan suatu maturasi epitel yang mayoritas disusun oleh sel epitel skuamus berlapis, terjadinya peningkatan pelepasan nitrit oksida, vasodilatasi dan peningkatan lapisan glikogen permukaan sehingga menimbulkan suatu lubrikasi yang adekuat. 17

Penelitian ini menggunakan tikus yang telah melalui ovariektomi, secara sederhana hal ini merupakan hal yang serupa dengan keadaan menopause dimana terjadi suatu estrogen defisiensi karena tidak adanya sekresi estrogen dari ovarium. Keadaan defisiensi estrogen akan menyebabkan sel epitel vagina menjadi tipis dan rapuh, penurunan sekresi dan lubrikasi vagina, penurunan aliran darah menuju vagina, peningkatan pH vagina, dan vagina menjadi lebih pendek, menyempit, dan kurang elastis.12

Seluruh perubahan yang terjadi akibat berkurangnya estrogen yang bersirkulasi akan menyebabkan gejala pada genital perempuan seperti adanya rasa gatal, pendarahan, dyspareunia, dan atrofi dari vagina. Terlebih lagi estrogen memiliki peranan terhadap pelepasan dari Endhotelial Nitric Acid Syntase (eNOS) yang memberikan efek vasodilatasi pada pembuluh darah sekitar vagina, yang memungkinkan untuk terjadinya suatu lubrikasi yang maksimal dan mencegah keadaan dyspareunia.18 Penggunaan terapi penggantian hormone sering dikaitkan terhadap adanya kejadian emboli paru, risiko kanker payudara yang tinggi sehingga intervensi pemberian ekstrak ubi jalar ungu sebagai agen yang mengandung fitoestrogen menjadi suatu alternative yang sangat baik. Pada penelitian ini memberikan hasil sebuah gambaran adanya perbaikan epitel vagina pada sel superfisial, intermediate, dan parabasal pada tikus yang telah dilakukan ovariektomi, sehingga hal ini menjadi suatu dasar kemungkinan dilakukan suatu terapi sulih hormon berbasis ekstrak ubi ungu.

SIMPULAN

Pemberian intervensi ekstrak ubi jalar ungu memberikan efek penurunan jumlah sel parabasal, meningkatkan jumlah sel intermediate dan sel superfisial. Intervensi ini juga meningkatkan ketebalan epitel vagina tikus serta menimbulkan derajat diferensiasi dan maturasi yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Goodman NF, Cobin RH. American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Treatment of Menopause. Endocrine Practice. 2011. 17(6);21-26.

  • 2.    Wratsangka R. Pemberian Terapi Sulih Hormon Sebagai Upaya Meningkatkan Kesehatan Wanita Menopause. Jurnal Kedokteran Trisakti. 1999. 18(3):155–162.

  • 3.    Rozenberg S, Vandromme J, Antoine C. Postmenopausal hormone therapy: risks and benefits. Nature Reviews Endocrinology. 2013. 9(4):216–227.

  • 4.    Jacques ER. Risks and Benefits of Estrogen Plus Progestin in Healtyh Postmenopausal Women. American Medical Association. 2002. 288(3):321-333.

  • 5.    Krebs EE. Phytoestrogens for Treatment of Menopausal Symptoms: A Systematic Review. The American College of Obstetricians and Gynecologist. 2004. 104(4):824-36.

  • 6.    Cos P, Apers S. Phytoestrogens : Recent Developments. Planta Med. 2003. 69:589–99.

  • 7.    Wolf AS, Phytoestrogens – Value and Significance During Menopause. ed. Menopause Andropause. 2001. p. 51-60.

  • 8.    Husna NE. Anthocyanins Content and Antioxidant Activity of Fresh Purple Fleshed Sweet Potato and Selected Products. Agritech. 2013. 33(3):296-302.

  • 9.    Raghvendra V. Chemical and potential aspects of anthocyanins - A water-soluble vacuolar flavonoid pigments: A review. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research. 2011.6(1):28–33.

  • 10.    Zand RS, Jenkins DJ, Diamandis EP. Steroid Hormone Activity of Flavonoids and Related Compounds. Breast cancer research and treatment. 2000. 62(2):35–49.

  • 11.    Koss LG, Melamed MR. Koss Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases Fifth Edition. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2015. p. 180-184.

  • 12.    Woods NF. An Overview of Chronic Vaginal Atrophy and Options for Symptom Management. Nursing for Women’s Health. 2012. 16(6):484-494.

  • 13.    Bertin J, Ouellet, J, Dury AY. Expression of the estrogen receptors and steroidogenic enzymes involved in estradiol formation in the monkey vagina. Am J Obstet Gynecol. 2014. 211:499. e1-9.

  • 14.    Archer DF, Labrie F, Montesino M, Martel C. Comparison of intravaginal 0.5% prasterone, 0.3mg conjugated estrogens and 10 µg estradiol on estrogen-related symptoms of vulvovaginal atrophy. Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology. 2017.. 64(6):44-56.

  • 15.    Portman D, et al. Ospemifene, A Non-oestrogen Selective Oestrogen Receptor Modulator for The Treatment of Vaginal Dryness Associated with

Postmenopausal Vulvar and Vaginal Atrophy: A randomised, Placebo-controlled, Phase III trial. Maturitas. 2014. 78:91–98.

  • 16.    Keiler AM, Dorfelt P, Chatterjee N. Assessment of The Effects of Naringenin – Type Flavanones in Uterus and Vagina. Journal of Steroid Biochemistry and Molecular Biology. 2014. 145:49-57.

  • 17.    Moreira AC, et al. Phytoestrogens as Alternative Hormone Replacement Therapy in Menopause: What is Real, What is Unknown. Journal of Steroid Biochemistry & Molecular Biology. 2014. 143:61–71.

  • 18.    Daniel R, et al. Estrogen Replacement Therapy: An Overview. Am J Obstet Gynecol. 1989.161:11825-11827.

  • 19.    Jawi IM, Sutirtayasa IWP, Mahendra AN. Antihypertensive and antioxidant potential of purple sweet potato tuber dry extract in hypertensive rats. Bali Med J. 2016;5(2):252-255.

210

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum