ARTIKEL PENELITIAN

E-JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 7 NO. 3, MARET, 2018 : 107 - 112

ISSN: 2303-1395

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


Jenis kelainan anal dan karakteristik pada lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki (LSL) yang melakukan pemeriksaan anoskopi di Klinik Bali Medika Periode Agustus 2014-Agustus 2015

Indah Purnama1, Komang Ayu Kartika Sari2

ABSTRAK

Pemeriksaan anoskopi dilakukan untuk mendeteksi kelainan pada anal. Penelitian ini untuk mengetahui jenis kelainan anal yang didapatkan dari hasil pemeriksaan anoskopi dan karakteristik serta faktor risiko pada LSL di Klinik Bali Medika yang melakukan pemeriksaan anoskopi periode Agustus 2014-Agustus 2015. Penelitian ini menggunakan data rekam medis dengan pengambilan data secara cross-sectional. Penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. Dari 178 sampel yang berhasil dilakukan penelusuran data rekam medis, didapatkan sebesar 0,6% terdiagnosis kista anal, 0,6% herpes/candida, 44,4% proktitis, dan 15,2% kondiloma. Karakteristik LSL yang melakukan pemeriksaan di Klinik Bali Medika dengan proporsi tinggi memiliki pendidikan SMA sebesar 41,0%, belum menikah sebesar 88,2%, kelompok usia 26-37 tahun sebesar 48,3%, frekuensi kunjungan pemeriksaan anoskopi hanya satu kali saja dalam setahun sebesar 68,8%, tidak terinfeksi HIV sebesar 72,5%, tidak menggunakan kondom pada hubungan seksual terakhir sebesar 44,4%, jenis hubungan seksual pada hubungan seksual terakhir secara reseptif sebesar 34,8%, dan melakukan pemeriksaan anoskopi <7 hari dari hubungan seksual terakhir sebesar 38,8%.

LSL dengan proktitis cenderung ditemukan pada kelompok dengan jenis hubungan reseptif dan insertif.

Kata Kunci: LSL, anoskopi, karakteristik..

ABSTRACT

Anoscopy examination performed to detect abnormalities in anal. This study was to determine the type of abnormalities anal, which obtained from the result of the examination anoscopy, characteristics, and risk factors of the MSM in Bali Meidka Clinic who perform anoscopy examination August 2014-August 2015. This study using medical records by taking cross-sectional data, This study using univariate and bivariate analyzes.Of the 178 samples were succefully carried out a search of medical records, obtained by 0,6% diagnosed with anal cyst, 0,6% with herpes/candida, 44,4% with proctitis, and 15,2% with condyloma. Characteristics of the MSM doing examination anoscopy in Bali Medika Clinic with a high proportion have a high school education amounted to 41,1%, 88,2% unmarried, age group 26-37 years old amounted to 48,3%, frequency of visits anoacopy only one time of a year amounted to 68,8%, not infected with HIV amounted to 72,5%, do not use a condom at last sexual intercourse amounted to 44,4%, type of sexual intercourse at last sexual intercourse is receptive amounted to 34,8%, and examination anoscopy <7 days of last sexual intercourse amounte to 39,8%. LSL with proctitis tends to be found in groups with receptive and inserive sexual intercourse.

1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2Bagian IKKIKP

Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana

Email: [email protected]


Keywords: MSM, anoscopy, characteristics.

Diterima : 5 Februari 2018

Disetujui : 23 Februari 2018

Diterbitkan : 1 Maret 2018


Pendahuluan

Penyebaran Human immunodeficiency virus (HIV) di Indonesia terus berkembang dari sejumlah kasus kecil dan kini memasuki tahap epidermis dengan beberapa sub-populasi berisiko tinggi. Salah satu daerah dengan tingkat penyebaran tertinggi terjadi di Provinsi Bali. Provinsi lain yang memiliki tingkat penyebaran HIV tertinggi dan penduduk dengan risiko tinggi meliputi provinsi Irian Jaya/Papua, Riau, dan Sulawesi Utara.1

Hasil data Asian epidemic model (AEM)


memperkirakan jumlah terbesar infeksi HIV baru akan terjadi pada populasi lelaki yang melakukan hubungan seksual dengan lelaki atau LSL.2

Estimasi proporsi populasi LSL di Indonesia adalah sebesar 0,6% dari jumlah penduduk Indonesia, sebagian besar dari kelompok berusia 15-49 tahun.3 Populasi LSL merupakan salah satu kelompok yang rentan untuk terinfeksi atau menularkan HIV maupun penyakit infeksi menular seksual atau IMS.1

Hasil program surveilens terpadu biologis dan perilaku (STBP) tahun 2011 melaporkan

prevalensi IMS pada LSL yaitu sebesar 31%. Meningkat dibandingkan hasil pada tahun 2007 adalah sebesar 29%-34%.4

Hasil survei program STBP tahun 2007 dan tahun 2011 pada LSL ditemukan angka kejadian IMS rektal lebih tinggi. Hal ini merupakan indikasi dari perilaku aktivitas seksual pada LSL yang lebih sering melalui anal. Hasil survei program STBP tahun 2011 juga menemukan sebesar 61% LSL mengaku pernah melakukan pemeriksaan pada bagian anal saat melakukan pemeriksaan IMS.4

Hasil survei program STBP yang dilakukan dari 2007-2010, menemukan tren HIV, sifilis, klamidia rektal, dan gonore rektal pada LSL. Jl, Nash (2014) menemukan hasil penelitian berbeda dimana LSL yang tidak melakukan hubungan seks anal masih berisiko tinggi terhadap IMS yang disebabkan oleh bakteri. Hasil lain yang ditemukan yaitu LSL yang tidak melakukan seks anal memiliki risiko untuk menderita sifilis primer, klamidia uretra, dan gonore uretra.

Dewasa ini, peningkatan tes diagnostik dan pengambilan sampel semakin berkembang. Pada LSL spesimen pemeriksaan dapat diambil dari tenggorokan dan rektum.5 Salah satu alat diagnostik yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendeteksi jenis penyakit melalui rektal pada populasi LSL yaitu anoskopi. Anoskopi merupakan salah satu pemeriksaan dubur dengan perangkat pembesar.

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada data mengenai penjabaran hasil pemeriksaan anoskopi pada LSL di Bali. Sehingga dalam penelitian ini akan dijabarkan jenis penyakit dari hasil temuan pemeriksaan anoskopi berdasarkan data rekam medis pasien LSL yang didapat di Klinik Bali Medika dalam hal ini sebagai salah satu klinik yang telah menyediakan prosedur pemeriksaan anoskopi secara rutin pada LSL.

Metode dan bahan

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif cross sectional. Populasi penelitian ini adalah LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014-Agustus 2015. Pengumpulan data penelitian ini adalah menggunakan data rekam medis berdasarkan tujuan kunjungan yang tercatat di buku registrasi Klinik Bali Medika. Setelah data terkumpul analisis data dilakukan menggunakan program statistik SPSS secara deskriptif univariat dan tabulasi silang bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik, mengetahui frekuensi dan persentase masing-masing variabel, dimana hasil dari analisis ini adalah dalam bentuk jumlah, persentase, dan rerata. Sedangkan tabulasi

silang bivariat untuk menggambarkan hubungan antar variabel.

Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas, yaitu tingkat pendidikan, status pernikahan, umur, frekuensi kunjungan, status HIV, penggunaan kondom pada hubungan seksual terakhir, hubungan seksual terakhir, jenis hubungan seksual pada hubungan seksual terakhir, kelainan anal, herpes/kandida, kista anal, kondiloma, proktitis, dan temuan bakteri hasil anoskopi.

Hasil

Jumlah LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi di Klinik Bali Medika selama satu tahun terakhir sebesar 214 sampel. Dari 214 sampel pasien, sebesar 178 rekam medis yang berhasil dilakukan penelusuran data berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi penelitian. Distribusi karakteristik LSL yang melakukan pemeriksaan di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014-Agustus 2015 dapat dilihat pada Tabel 1. Tingkat pendidikan LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi sebagian besar berpendidikan SMA yaitu sebesar 54,9%, hanya melakukan satu kali pemeriksaan anoskopi selama setahun terakhir, yaitu sebesar 69,1% tanpa melihat status pendidikan maupun tingkat usia LSL, dengan tidak terikat status pernikahan/belum menikah, yaitu sebesar 96,3%. Rerata LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi di Klinik Bali Medika pada periode Agustus 2014-Agustus 2015 yaitu usia 2637 tahun, sebesar 48,3%.

Selain melakukan pemeriksaan anoskopi, pasien juga memeriksakan status HIV. Sebagian besar pasien yang melakukan pemeriksaan status HIV terdeteksi negatif, yaitu sebesar 73,7%.

Distribusi hasil pemeriksaan anoskopi LSL di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014 – Agustus 2015 dapat dilihat pada Tabel 2.

Pemeriksaan anoskopi dalam penelitian ini untuk melihat distribusi pasien LSL yang dideteksi kelainan anal. Didapatkan bahwa sebagian besar LSL terdeteksi terdapat kelainan anal, yang secara berturut-turut paling banyak proktitis (44,4%), kondiloma (15,2%), herpes/candida (0,6%), dan kista anal (0,6%). Sebagian besar LSL paling banyak menderita IMS rektum, yaitu proktitis, dimana penegakan diagnosis proktitis berdasarkan ada atau tidaknya temuan bakteri PMN dan diplokokus. Pasien yang ditemukan PMN + (positif) atau PMN dan diplokokus + (positif) didiagnosis sebagai proktitis.

Tabel 3 menggambarkan distribusi faktor risiko pada LSL di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014 – Agustus 2015, bahwa penggunaan kondom pada hubungan seksual terakhir yang tidak menggunakan alat proteksi yaitu sebesar 79

Tabel 1 Distribusi karakteristik LSL di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014 – Agustus 2015

Variabel

Jumlah (n)

%

Tingkat pendidikan (n= 133)

SD

1

0,8

SMP

11

8,3

SMA

73

54,9

Perguruan tinggi

47

36,1

Marital (n= 164)

Menikah

6

3,7

Belum menikah

157

96,3

Usia (n=178)

< 17 tahun

0

0

17-25 tahun

84

47,2

26-37 tahun

86

48,3

>37 tahun

8

4,5

Frekuensi kunjungan (n=175)

1 kali saja

119

69,1

2-3 kali

49

28,0

> 3 kali

5

2,9

Status HIV (n= 175)

Negatif

129

73,7

Postif

26

26,3


Tabel 2 Distribusi hasil pemeriksaan anoskopi LSL di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014 – Agustus 2015


Variabel

Jumlah (n)

%

Kelainan anal (n=178)

Tidak terdapat kelainan anal

78

43,8

Terdapat kelainan anal

100

56,2

Kista anal (n=178)

Negatif

177

99,4

Positif

1

0,6

Herpes/Candida (n=178)

Negatif

177

99,4

Positif

1

0,6

Kondiloma (n=178)

Negatif

151

84,4

Positif

27

15,2

Proktitis (n=178)

Negatif

99

55,6

Positif

79

44,4

Temuan bakteri (n=152)

PMN -, Diplokokus -

81

53,3

PMN -, Diplokokus +

1

0,7

PMN +, Diplokokus -

33

21,7

PMN +, Diplokokus +

37

24,3


sampel (54,5%). Hal ini belum dapat dijadikan tolak ukur tinggi atau rendahnya kesadaran LSL di Klinik Bali Medika karena penggunaan kondom terakhir tidak mencerminkan riwayat penggunaan kondom ketika melakukan hubungan seksual berisiko. Faktor risiko lain juga dilihat dari kesadaran LSL untuk melakukan pemeriksaan setelah melakukan hubungan seksual berisiko, didapatkan bahwa sebagian besar LSL melakukan pemeriksaan <7 hari setelah melakukan hubungan seksual berisiko, yaitu sebesar 46,5%. Dan sebagian besar jenis hubungan seksual terakhir sebelum malakukan pemeriksaan anoskopi, yaitu secara reseptif sebesar 46,3%.

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar LSL yang memiliki kelainan anal berada pada kelompok usia 26-37 tahun, yaitu sebesar 57,9%, yang diikuti dengan kelompok usia 17-25 tahun, yaitu sebesar 54,8%. Sedangkan hasil analisis tabulasi silang jenis hubungan seksual terakhir berdasarkan jenis kelainan anal pada LSL di Klinik Bali Medika dalam setahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 5.

LSL yang dideteksi positif kista anal, yaitu sebesar 25,0% dengan jenis hubungan seksual terakhir secara oral. LSL yang terdeteksi kondiloma dengan jenis hubungan seksual hanya sebatas masturbasi pada hubungan seksual terakhir yaitu sebesar 33,33%. Sedangkan secara insertif dan oral, yaitu sebesar 41,1% dan 25,0%. Sebagian besar LSL dengan kelainan kondiloma melakukan hubungan seksual secara reseptif dan insertif, serta reseptif saja, yaitu sebesar 12,19% dan 4,48%. Sedangkan distribusi jenis hubungan seksual terakhir dengan positif proktitis, yaitu sebesar 1,3% hanya sebatas masturbasi, sebesar 39,2% secara reseptif, sebesar 11,4% secara insertif, sebesar 29,1% secara reseptif dan insertif, dan sebesar 2,5% secara oral.

Pembahasan

Tingkat pendidikan LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi adalah SMA atau sederajat dan diikuti PT, yaitu sebesar 41,0% dan 26,4%. Proporsi ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rumana NA14, sebagian besar LSL di Tanggerang, Jogjakarta, dan Makassar memiliki pendidikan SMA atau sederajat dan PT, yaitu sebesar 50,3% dan 27,0%.

Tingkatan usia LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi untuk mendeteksi kelainan anal dalam penelitian ini sebagian besar berkisar 17-25 tahun diikuti 26-37 tahun yaitu sebesar 47,2% dan 48,3%. Penelitian lain di Nigeria dari Negara bagian Enugu dan Ebonyi mendapatkan usia rata-rata dari seluruh kelompok LSL adalah 26,6 tahun.8 Temuan STBP pada tahun 2007 juga mendapatkan bahwa sebagian besar LSL berada pada kelompok

Tabel 3 Distribusi faktor risiko pada LSL di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014 – Agustus 2015


Variabel

Jumlah (n)

%

Penggunaan kondom pada hubungan seksual terakhir

(n=146)

Ya

68

45,6

Tidak

79

54,5

Hubungan seksual terakhir (n=146)

< 7 hari

69

46,5

7-14 hari

46

32,2

14-28 hari

4

2,7

> 28 hari

27

18,8

Jenis hubungan seksual (n=134)

Masturbasi

3

2,2

Reseptif

62

46,3

Insertif

24

17,9

Resptif dan Insertif

41

30,6

Oral

4

3,0


Tabel 4 Distribusi status kelainan anus berdasarkan kelompok usia di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014-Agustus 2015


Usia (Tahun)

Kelainan anal

Negatif           Positif

Total

17-25

38

46

84

45,2%

54,8%

26-37

37

49

86

43,0%

57,0%

>37

3

5

8

37,5%

62,5%

Total

78

100

178

43,8%

56,2%


usia <25 tahun dan 25-34 tahun.1

Hasil penelitian frekuensi kunjungan untuk melakukan pemeriksaan anoskopi pada LSL di Klinik Bali Medika dalam setahun terakhir adalah sebesar satu kali saja, yaitu sebesar 68,8%. Penelitian lain mengenai frekuensi kunjungan pemeriksaan anoskopi tidak ditemukan. Namun, temuan STBP tahun 2007 mendapatkan proporsi LSL melakukan kunjungan ke klinik IMS dalam tiga bulan sebelum pelaksaanaan STBP berkisar antara 18%-30%.1

Pasien LSL yang dideteksi memiliki kelainan dalam penelitian ini sebesar 56,2% yang secara berturu-turut terdistrubusi pada proktitis, kondiloma, herpes/candida, dan kista anal. Penelitian yang dilakukan oleh Pathela, dkk.12 mendapatkan LSL menderita kelainan anal

yang disebabkan oleh bakteri, yaitu sebesar >70% dengan distribusi klamidia rektal sebesar 64,0%, gonore rektal 25%, dan yang menderita menderita klamidia dan gonore rektal sebesar 11%.12

Temuan bakteri dari hasil pemeriksaan anoskopi di Klinik Bali Medika bertujuan untuk mengkonfirmasi kelainan proktitis. Dari hasil penelitian ini, ditemukan sebesar 33 sampel (18,5%) dan 37 sampel (20,8%) yang dinyatakan proktitis dengan PMN + tanpa diplokokus dan PMN + dengan diplokokus +. Perbedaan hasil temuan bakteri yang bervariasi disebabkan oleh perbedaan patogen penyebab proktitis. Berdasarkan hasil peneltian ini didapatkan bahwa patogen penyebab proktitis yang paling sering adalah Neisseria gonorrhoeae dan Chalamydia trachomatis.

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan pemilik Klinik Bali Medika mangatakan bahwa tidak terdapat perbedaan terapi dari temuan bakteri pada pasien yang terdiagnosis proktitis sesuai dengan protap WHO. Pedoman lain berdasarkan R. Steele7 bahwa bekteri PMN dan diplokokus yang didapatkan di uretra dan vagina akan terdapat perbedaan dalam hal pemberian terapi. Hal tersebut sama yang disampaikan oleh pemilik klinik Prasetia saat dilakukan wawancara.

Penggunaan kondom pada hubungan seksual terakhir LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi dalam penelitian ini sebagian besar tidak menggunakan kondom, yaitu sebesar 44,4%. Temuan kunci STBP tahun 2011 juga mendapatkan bahwa penggunaan kondom pada seks berisiko diantaranya pada populasi LSL adalah masih rendah.

Jenis hubungan seksual terakhir pada LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi sebagian secara reseptif, yaitu sebesar 34,8%. Penelitian yang dilakukan oleh Pathela, dkk.12 mendapatkan bahwa LSL yang memiliki kelainan anal dalam tiga bulan terakhir dilaporkan lebih sering melakukan hubungan seksual secara reseptif (tidak tercantum proporsi). Sedangkan temuan STBP pada tahun 2007 mendapatkan hasil yang berbeda pada LSL yang memiliki kelainan pada anal di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Batam, dan Malang. Di bulan terakhir melakukan hubungan seksual, lebih besar secara insertif.1

Kelainan anus berdasarkan kelompok usia sebagian besar berada pada kelompok usia 26-37 tahun, diikuti dengan kelompok usia 17-25 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Paetella, dkk.1 di New York dengan menggunakan studi kohort antara pasien HIV dan yang memiliki kelainan anal mendapatkan bahwa sampel yang memiliki kelaianan anal sebagian besar berada pada kelompok usia 20-29 tahun yaitu sebesar 66,0%.

Tabel 5. Distribusi jenis hubungan seksual berdasarkan kelainan anal di Klinik Bali Medika periode Agustus 2014-Agustus 2015

Jenis hubungan seksual terakhir

Kista anal

Kondiloma

Total (n)

Proktitis

Total (n)

Negatif

Positif

Total (n)

Negatif

Positif

Negatif

Positif

3

0

3

2

1

3

2

1

3

Masturbasi

100%

00,0%

66,66%

33,33%

66,66%

33,33%

62

0

62

59

3

62

31

31

62

Reseptif

100%

00,0%

95,16%

4,84%

50,0%

50,0%

24

0

24

23

1

24

15

9

24

Insertif

100%

00,0%

95,83%

4,17%

62,5%

37,5%

41

0

41

36

5

41

18

23

41

Reseptif dan Insertif

100%

00,0%

87,80%

12,19%

43,90%

56,09%

3

1

4

3

1

4

2

2

4

Oral

75,0%

25,0%

75,0%

25,0%

50,0%

50,0%

133

1

134

123

11

134

68

66

134

Total (n)

99,25%

0,75%

91,79%

8,20%

50,74%

49,25%


Demikian pada penelitian yang dilakukan oleh Rumana NA14 pada LSL Tanggerang, Yogyakarta, dan Makassar, bahwa sebagian besar usia pertama kali berperilaku risiko adalah kelompok usia 15-19 tahun diikuti 20-24 tahun, yaitu sebesar 57,1% dan 18,7%.

LSL di Klinik Bali Medika yang melakukan hubungan seksual secara reseptif pada hubungan seksual terakhir sebagian besar terinfeksi proktitis yang disebabkan oleh patogen Neisseria gonorrhoeae, Chalamydia trachomatis. Patogen tersebut diketahui dari temuan bakteri PMN dan diplokokus dari hasil pemeriksaan. Demikian pada LSL yang deteksi kondiloma, sebagian besar melakukan hubungan seksual secara reseptif pada hubungan seksual terakhir.12 Sedangkan LSL dengan kista anal melakukan hubungan seksual secara oral pada hubungan seksual terakhir. Penelitian yang dilakukan oleh Rumana NA14 menyatakan bahwa LSL yang berhubungan baik secara anal atau oral dapat terinfeksi IMS. Penelitian yang dilakukan oleh Pathela, dkk.12 mendapatkan bahwa pasien yang terinfeksi kelainan anal dilaporkan lebih sering melakukan hubungan seksual secara resptif dalam tiga bulan terakhir.

Simpulan

Distribusi hasil pemeriksaan anoskopi LSL yang melakukan pemeriksaan anoskopi dengan

proporsi tinggi memiliki kelainan anal sebesar 56,2% yang secara berturu-turut paling banyak terdiagnosis proktitis (44,4%), kondiloma (15,2%), herpes/kandida (0,6%), dan kista anal (0,6). Status kelainan anal berdasarkan kelompok usia dengan proporsi tinggi adalah sebesar 49 sampel (57,9%) LSL yang memiliki kelainan anal berada pada kelompok usia 26-37 tahun. Jenis hubungan seksual terakhir berdasarkan jenis kelainan anal dengan proporsi tinggi adalah sebagian besar secara reseptif dengan kelainan anal proktitis, yaitu sebesar 50,0%.

Daftar Pustaka

  • 1.    Departemen Kesehatan. Rangkuman surveilens LSL: surveilens terpadu biologis perilaku pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia. 2009.

  • 2.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Estimasi dan proyeksi HIV AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016. 2013.

  • 3.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan infeksi menular seksual 2011. 2011.

  • 4.    Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Lembar fakta LSL: surveilens terpadu biologis dan perilaku pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia. 2011.

  • 5.    Nash JL, Hocking JS, Read TRH, Chen MY, Bradshaw CS, Forcey DS, Fairley CK. Contribution Of sexual practices (other than

anal sex) to bacterial sexually transmitted infection transmission in men who have sex with men: a cross-sectional analysis using electronic health record. 2014 ;90:55–57. doi:10.1136/ sextrans-2013-051103

  • 6.    Assi, Roland. Sexually transmitted infections of the anus and rectum. World J Gastroenterol. 2014; 20(14): 15262-15268.

  • 7.    Benson, Ralph C. Buku saku obstetri dan ginekologi. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Edisi Ke-9. (diakeses: 13 Januari 2015)

  • 8.    Cairn, Gus. LSL mungkin merupakan kelompok dengan risiko tertinggi untuk HIV di Afrika (terjemahan). 2012. (diakses: 5 November 2015, http://spiritia.or.id )

  • 9.    Carter, Micheal. Lelaki gay yang tidak melakukan seks anal masih berisiko tinggi terhadap IMS yang disebabkan oleh bakteri. 2013. (diakses: 5 November 2015, http:// spiritia.or.id )

  • 10.    Daili, Sjaiful Fahmi. Infeksi menular seksual. Dalam: Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda, dr. Mochtar Hamzah, Prof. Dr. dr. Siti Aisah. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi Keenam. FKUI. 2010; pp392-394..

  • 11.    Natahusada EC, Djuanda A. Sifilis. Dalam: Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda, dr. Mochtar Hamzah, Prof. Dr. dr. Siti Aisah. Ilmu penyakit kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. FKUI. pp363-365.

  • 12.    Pathela Preethi, Braunstein SL, Blank S, Schillinger JA. HIV incidence among men with and those without sexually transmitted rectal infection: estimates from matching against an hiv case resgistry. burauu of sexually transmitted disease control, New York Departement of Health and Mental Hygiene, Gotham Centre. 2013; 57(8):1203-9.

  • 13.    Purwarini, Yulia. “Hubungan pencarian pengobatan infeksi menular seksual dengan penggunaan kondom pada pekerja seks komersial waria di beberapa kota di P. Jawa” (tesis). Depok: Universitas Indonesia. 2010.

  • 14.    Rumana NA. Infeksi menular seksual pada gay di Tanggerang, Jogjakarta, dan Makassar tahun 2009 (aspek rekam medis pada analisis data STBP). 2013; Forum Ilmiah Volume 10, Nomor 3.

  • 15.    Stier, Elizabeth. Anal cytology and high resolution anoscopy. [Konferensi]. Associate Professor Obstetrics and Gynecology Boston Medical Centre. 2011.

  • 16.    WHO. Guidelines: prevention and treatment of HIV and other sexually transmitted infection among men who have sex with men and transgender people. Recommendations for a public health approach. 2011.

112

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum