ARTIKEL PENELITIAN

E-JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 7 NO. 3, MARET, 2018 : 99 - 106

ISSN: 2303-1395

DOAJ


DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS


Hubungan status sosial ekonomi keluarga dengan kegemukan pada remaja SMA di Denpasar

Anak Agung Gede Ari Nanda Bhaswara1, Made Ratna Saraswati2

ABSTRAK

Kegemukan (overweight dan obesitas) merupakan permasalahan global yang berkaitan dengan berbagai penyakit metabolik. Prevalensi kegemukan di seluruh dunia terus meningkat tiap tahunnya. Maka dari itu pencegahan terhadap faktor-faktor risiko terjadinya kegemukan perlu dilakukan, dan masa remaja merupakan masa yang tepat untuk dilakukannnya pencegahan obesitas di masa mendatang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara status sosial ekonomi keluarga dengan kegemukan pada remaja SMA di Denpasar. Penelitian ini menggunakan desain analisis cross sectional terhadap 233 siswa SMA di Denpasar. Responden mengisi kuesioner mengenai status sosial ekonomi dan kuesioner perancu serta melakukan pengukuran IMT melalui penghitungan tinggi badan dan berat badan. Status sosial ekonomi keluarga, variabel perancu dan IMT dianalisis dengan uji statistik Chi-square. Hasil univariat diperoleh 27,5% responden mengalami kegemukan, dengan frekuensi lelaki sebesar 35,06%; dan responden perempuan mencapai 23,72%. Hasil analisis bivariat diperoleh hubungan yang signifikan (p=0,025; OR=2,00; IK 95% = 1,084-3,695). Selain itu kebiasaan sarapan dan IMT memiliki hubungan yang signifikan (p=0,000; OR=3,097; IK 95% = 1,674-5,732). Selanjutnya dilakukan uji multivariat dengan metode regresi logistik biner diperoleh hanya kebiasaan sarapan yang memiliki hubungan signifikan terhadap kegemukan pada remaja (p=0,000) sedangkan status sosial ekonomi tidak (p=0,052). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara status sosial ekonomi dengan kegemukan pada remaja di Denpasar. Selain itu terdapat variabel kebiasaan sarapan yang lebih berpengaruh terhadap kegemukan dibandingkan dengan status sosial ekonomi.

Kata Kunci: Obesitas, Overweight, IMT, Sosial ekonomi, remaja.

ABSTRACT

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

[email protected]


Obesity (overweight and obesity) is a global problem that is associated with various metabolic diseases. The prevalence of obesity worldwide has increased annually. Thus the prevention of risk factors of obesity needs to be done, and adolescence is a time that is right for prevent the obesity in the future. The aim of this study was to determine the relationship between socioeconomic status of families with obesity in adolescents high school in Denpasar. The design of this research is the analysis of cross-sectional study of 233 high school students in Denpasar. Respondents filled out a questionnaire about the socio-economic status and confounding variable and measurement of BMI through a calculation of height and weight. Socioeconomic status families, confounding variable and BMI were analyzed with Chi-square test statistic. The Univariate results obtained 27.5 % of respondents are overweight , with a frequency of male by 35.06 % ; and female respondents reached 23.72 %. The bivariate analysis results obtained significant relationship (p = 0.025; OR = 2:00; 95% CI = 1.084 to 3.695). Besides breakfast habits and BMI had a significant relationship (p = 0.000; OR = 3.097; 95% CI = 1.674 to 5.732). The next test performed multivariate binary logistic regression method obtained only breakfast habits which have a significant relationship to obesity in adolescents (p = 0.000) whereas socioeconomic status did not (p=0.052). This study shows an association between socioeconomic status and obesity in adolescents in Denpasar. In addition there are breakfast habits variables that more influence to obesity compared with socioeconomic status.

Keywords: Obesity, Overweight, BMI, Social-Economic, Adolescents.

Diterima : 5 Februari 2018

Disetujui : 23 Februari 2018

Diterbitkan : 1 Maret 2018


PENDAHULUAN

Kegemukan (overweight dan obesitas) kini menjadi permasalahan global. Menurut World Health Organizaton (WHO) jumlah penduduk overweight pada tahun 2008 mencapai 1,5 milyar dan penduduk obesitas mencapai 200-300 juta penduduk. Jumlah ini meningkat dua kali lipat

dari tahun 1980.1 Pada tahun 2030 diestimasikan jumlah penduduk overweight mencapai 1,35-2,16 miliar dan penduduk obesitas mencapai 573 juta hingga 1,12 miliar penduduk dunia.2

Permasalahan kegemukan juga terjadi di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) pada tahun 2007 prevalensi penduduk dewasa yang mengalami kegemukan

mencapai 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obesitas).3 Pada tahun 2013 prevalensi penduduk yang mengalami kegemukan menungkat mencapai 28,9% (13,5% overweight dan 15,4% obesitas) dan akan terus meningkat tiap tahunnya.4 Provinsi Bali memiliki jumlah penduduk kegemukan yang cukup tinggi. Prevalensi obesitas di Bali mencapai 26,2%. Prevalensi ini juga diikuti oleh sindroma metabolik.5

Kegemukan merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya noncommunicable disease, antara lain: penyakit kardiovaskular, diabetes melitus dan kanker. Tiap tahunnya 2,8 juta jiwa meninggal akibat dari penyakit yang ditimbulkan oleh kegemukan.1 Maka dari itu perlu pencegahan terhadap faktor-faktor penyebab kegemukan.

Ketidakseimbangan asupan dan penggunaan kalori dalam tubuh mengakibatkan terjadinya kegemukan. Ketidakseimbangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: faktor sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan pengetahuan, aktivitas fisik, genetik, daerah tempat tinggal, serta pola diet dan tingkah laku dari masyarakat, serta riwayat pola asuh dan faktor awal kehidupan.6 Salah satu faktor yang berpengaruh adalah faktor sosial ekonomi keluarga.

Awalnya kegemukan hanya terjadi pada kalangan dengan status sosial ekonomi tinggi, namun beriringan dengan waktu hal tersebut berubah. Selain itu permasalahan ini terjadi secara global terhadap seluruh tingkat sosial ekonomi negara di dunia.1

Kegemukan yang terjadi tidak tebatas pada kalangan dewasa, anak-anak juga rentan mengalami permasalahan kegemukan. Terjadinya kegemukan pada anak erat kaitannya dengan status sosial ekonomi keluarganya yang berdampak pada pola konsumsi dan aktivitas fisik.7 Semakin dini seseorang mengalami kegemukan maka risiko untuk terjadinya noncommunicable disease di masa depan semakin tinggi.1

Prevalensi kegemukan di Indonesia tahun 2013 pada anak usia 1-12 tahun mencapai 19,8% (10,8% obesitas dan 8,8% overweight).4 Pada remaja berusia 13-15 tahun prevalensi kegemukan mencapai 10,8% (2,5% obesitas dan 8,3% overweight) sedangkan pada remaja 16-18 tahun mencapai 7,3% (1,6% obesitas dan 5,7% overweight).4 Dapat terlihat sebuah fenomena dimana pada remaja prevalensi menurun drastis dan meningkat kembali pada dewasa. Maka dari itu remaja merupakan titik yang cocok untuk menjadi titik intervensi dalam mencegah terjadinya kegemukan dimasa depan.

Maka dari itu peneliti ingin mengetahui hubungan tingkat sosial ekonomi keluarga dengan terjadinya kegemukan pada remaja SMA di

Denpasar, dan gambaran kegemukan pada remaja SMA di Denpasar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian cross-sectional analitik ini dilakukan pada siswa SMA di Denpasar-Bali, dengan populasi terjangkau merupakan siswa-siswi SMAN 2 Denpasar, SMAN 3 Denpasar, SMAN 8 Denpasar dan SMAK Santo Yoseph yang dimulai dari Bulan Agustus hingga Bulan Desember tahun 2015. Sekolah Menengah Atas tersebut terpilih berdasarkan purposive sampling oleh peneliti.

Siswa yang mengikuti penelitian ini haruslah terdaftar pada kelas yang terpilih dari seluruh kelas dari SMA tersebut. Setelah terpilih, siswa akan diminta untuk mengisi kuesioner dan mengikuti pengukuran tinggi badan dan berat badan. Siswa yang berusia dibawah 15 tahun dan atau tidak mengisi kuesioner dengan baik, maka siswa tersebut dikeluarkan dari sampel penelitian.

Data yang diperoleh dari responden merupakan data primer yang diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh responden dan pengukuran secara langsung oleh peneliti. Variabel bebas dari penelitian ini merupakan status sosial ekonomi keluarga. Variabel tergantung berupa Indeks Massa Tubuh (IMT).

Variabel bebas diperoleh melalui pengisian kuesioner status sosial ekonomi keluarga. Kuesioner ini terdiri dari 32 pertanyaan berdasarkan Badan Pusat Statistika (BPS) Republik Indonesia yang telah dimodifikasi. pertanyaan dalam penelitian ini terbagi menjadi 8 bagian, yaitu: anggota keluarga, tempat tinggal, jasa dalam rumah tangga, pendidikan keluarga, pendapatan, kepemilikan barang elektronik dan alat komunikasi, serta kepemilikan kendaraan bermotor. Penghitungan poin pada kuesioner ini akan menentukan responden menjadi golongan status sosial ekonomi menengah ke atas dan status sosial ekonomi ke bawah.

Variabel tergantung diperoleh dengan cara pengukuran tinggi badan dengan microtoise dan berat badan responden ditimbang dengan timbangan. Selanjutnya data tinggi badan dan berat badan dikalkulasi dengan rumus: berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan kuadrat (m2) untuk memperoleh IMT. Setelah itu hasil penghitungan diklasifikasi dalam dua golongan, yaitu normal dengan IMT ≤22,99 kg/m2 dan kegemukan dengan IMT ≥23,00 kg/m2.

Variabel perancu diperoleh melalui pengisian kuesioner perancu yang terdiri dari jenis kelamin pasangan kekasih, lamanya menonton TV, kebiasaan membawa bekal, adanya fasilitas olahraga, uang saku, ekstra kurikuler yang diikuti,

kebiasaan sarapan, porsi makan, kebiasaan konsumsi camilan, daerah tempat tinggal dan jarak rumah dengan sekolah

Data yang diperoleh akan dimasukkan ke dalam program Excel 2010 untuk dilakukan editing dan koding. Selanjutnya menggunakan program SPSS 21.0 untuk data entry, tabulasi dan analisis data. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran responden terhadap asal sekolah, umur dan jenis kelamin status sosial ekonomi keluarga dan IMT. Analisis bivariat dengan uji statistik chi-square dilakukan untuk mengetahui hubungan antara IMT dengan status sosial ekonomi dan hubungan antara IMT dengan perancu, lalu dilakukan uji multivariat dengan analisis regresi.

Penelitian ini telah mendapatkan kelaikan etik dari Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Tabel 1. Distribusi asal sekolah, usia, dan jenis kelamin responden (n=233)

Variabel

Frekuensi (responden)

Persentase (%)

Asal sekolah

SMAN 2 Denpasar

61

26,2

SMAN 3 Denpasar

60

25,8

SMAN 8 Denpasar

60

25,8

SMAK Santo Yoseph

52

22,3

Umur Siswa

15 tahun

129

55,4

16 tahun

101

43,3

17 tahun

3

1,3

Jenis Kelamin

Lelaki

77

33,0

Perempuan

156

67,0


Tabel 2. Analisis univariat tinggi badan, berat badan, IMT dan status sosial ekonomi keluarga responden dengan metode Kolmorgorov-Smirnov dengan p=0,05 (n=233)


Variabel

Rerata ± SD

Median

Mini mum

Maksi mum

K-S test

Tinggi Badan (cm)

161,80 ± 7,42

161,25

143,0

182,0

0,045

Berat Badan (kg)

56,85 ± 11,74

54,00

39,0

111,0

0,000

IMT (kg/m2)

21,65 ± 3,75

21,10

15,85

36,04

0,000

Status Sosial Ekonomi

103,44 ±17,06

101

71

196

0,000


HASIL

Total responden dalam populasi terjangkau berjumlah 374 responden dengan 263 responden mengumpulkan dan mengisi kuesioner. Sebanyak 29 responden dikeluarkan karena berusia dibawah 15 tahun, sehingga diperoleh jumlah responden akhir berjumlah 233 responden.

Karakteristik Subjek

Dari 233 responden lelaki berjumlah 77 siswa (33,0%) dan responden perempuan berjumlah 156 siswa (67,0%), dengan perbandingan 1:2,03. Responden yang berusia 15 tahun berjumlah 129 responden (55,4%), berusia 16 tahun berjumlah 101 responden (43,3%) dan 3 responden (1,3%) berusia 17 tahun (Tabel 1).

Analisis Univariat Tinggi Badan, Berat Badan, IMT dan Status Sosial Ekonomi Keluarga Responden

Uji distribusi pada variabel tinggi badan, berat badan, IMT dan status sosial ekonomi keluarga responden (Tabel 2) dengan menggunakan metode Kolmogorov –Smirnov menunjukkan bahwa data berat badan, tinggi badan, IMT dan status sosial ekonomi keluarga responden tidak terdistribusi secara normal.

Hasil analisis deskriptif pengukuran tinggi badan dan berat badan responden (Tabel 2) diperoleh median tinggi badan responden mencapai 161,25 cm dengan tinggi maksimum 182,0 cm dan tinggi minimum 143,0 cm. Median berat badan responden 54,00 kg dengan nilai berat maksimum 111,0 kg dan berat minimum 39,0kg. Setelah pengambilan data tinggi badan dan berat badan responden dilakukan penghitungan IMT, dan hasil analisis data IMT responden diperoleh median 21,10 kg/m2 dengan IMT maksimum 36,04 kg/m2 dan IMT minimum mencapai 15,85 kg/m2. Hasil pengisian kuesioner status sosial ekonomi responden diperoleh median 101 poin dengan nilai terkecil sebesar 71 poin dan nilai tertinggi mencapai 196 poin.

Frekuensi IMT dan Status Sosial Ekonomi Keluarga Remaja

Responden yang mengalami kegemukan mencapai 64 responden (27,5%). Jumlah responden yang mengalami kegemukan pada responden lelaki mencapai 27 responden (35,06%) sedangkan pada perempuan mencapai 37 responden (23,72%) (Tabel 3).

Klasifikasi hasil penilaian status sosial ekonomi keluarga dibagi menjadi dua berdasarkan penalaran peneliti, yaitu status sosial ekonomi menengah ke bawah dengan nilai <110 poin dan

Tabel 3. Frekuensi IMT dan status sosial ekonomi keluarga responden (n=233)


Variabel

Laki-

Total N (%)

laki

Perempuan

Status Sosial Ekonomi Keluarga

Menengah ke bawah

55

112

167 (71,7)

Menengah ke atas

22

44

66 (28,3)

IMT

Normal

50

119

169 (72,5)

Kegemukan

27

37

64 (27,5)

Tabel 4. Uji bivariat antara IMT dengan status sosial ekonomi keluarga dengan Chi-square (p=0,05; n=233)

Status IMT

Jumlah Nilai P

OR

Status Sosial Ekonomi

Kegemukan

Normal

(IK 95%)

Keluarga

N (%)

N (%)

N (%)

Menengah ke atas

25 (37,88)

41 (62,12)

66 (100)

Menengah ke bawah

39 (23,35)

128 (76,65)

167 (100)   0,025*

2,00

(1,084 -3,695)

Jumlah

64 (100)

169 (100)

233

Keterangan: (*) memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai p=0,05.


status sosial ekonomi keluarga menengah ke atas dengan nilai ≥110 poin.

Hasil analisis menunjukkan responden dengan status sosial ekonomi keluarga menengah ke atas berjumlah 66 siswa (28,3%) dan responden dengan status sosial ekonomi keluarga menengah ke bawah berjumlah 167 siswa (71,7%) (Tabel 3).

Frekuensi IMT dan Status Sosial Ekonomi Keluarga Remaja

Responden yang mengalami kegemukan mencapai 64 responden (27,5%). Jumlah responden yang mengalami kegemukan pada responden lelaki mencapai 27 responden (35,06%) sedangkan pada perempuan mencapai 37 responden (23,72%) (Tabel 3).

Klasifikasi hasil penilaian status sosial ekonomi keluarga dibagi menjadi dua berdasarkan penalaran peneliti, yaitu status sosial ekonomi menengah ke bawah dengan nilai <110 poin dan status sosial ekonomi keluarga menengah ke atas dengan nilai ≥110 poin. Hasil analisis menunjukkan responden dengan status sosial ekonomi keluarga menengah ke atas berjumlah 66 siswa (28,3%) dan

responden dengan status sosial ekonomi keluarga menengah ke bawah berjumlah 167 siswa (71,7%) (Tabel 3).

Analisis Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Kegemukan pada Remaja

Hasil analisis bivariat antara IMT dengan status sosial ekonomi keluarga dari 233 responden (Tabel 4) diperoleh 39 (23,35%) siswa dari 167 siswa dari keluarga dengan status sosial ekonomi keluarga menengah ke atas mengalami obes. Pada responden dengan status sosial ekonomi menengah ke atas didapatkan 25 (37,88%) siswa dari 66 responden mengalami kegemukan. Berdasarkan analisis dengan uji statistik Chi-square menunjukkan adanya hubungan antara status sosial ekonomi keluarga responden dengan IMT pada responden dengan nilai p sebesar 0,025 (p<0,05). Selain itu hasil analisis bivariat juga menunjukkan hubungan antara status sosial ekonomi keluarga dengan kegemukan pada remaja menunjukkan odd ratio (OR) sebesar 2,00.

Analisis Hubungan antara Faktor Perancu terhadap Kegemukan pada Remaja

Selain hubungan antara status sosial ekomomi dengan kegemukan pada remaja, peneliti juga menganalisis hubungan antara kegemukan dengan faktor-faktor perancu (Tabel 5). Hubungan antara faktor perancu dan kegemukan pada remaja diuji dengan metode Chi-square. Hasil analisis bivariat tersebut menunjukkan bahwa hanya kebiasaan sarapan pagi yang memiliki hubungan dengan yang signifikan pada 233 responden dengan nilai p sebesar 0,000 (p <0,05) dan OR sebesar 3,097 (IK 95% = 1,674-5,732).

Pada hasil analisis bivariat pada faktor perancu terhadap kegemukan pada remaja menunjukkan adanya pengaruh yang cukup besar (p<0,25). Faktor- faktor tersebut antara lain: jenis kelamin, kebiasaan menonton tv, kebiasaan sarapan, kebiasaan konsumsi camilan, dan kebiasaan konsumsi fast food, namun hanya kebiasaan sarapan menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan nilai p=0,000. Maka dari itu dilanjutkan analisis multivariat untuk melihat hubungan yang lebih kuat untuk mempengaruhi IMT pada remaja.

Analisis Multivariat terhadap Kegemukan pada Remaja

Hasil analisis bivariat antara status sosial ekonomi terhadap kegemukan pada remaja dan faktor-faktor perancu terhadap kegemukan pada remaja menunjukkan nilai yang signifikan (nilai

Tabel 5. Uji bivariat antara status IMT dan faktor perancu responden dengan Chi-square (p=0,05; n=233)

Variabel (N)

Status MBI

Jumlah

Nilai P

OR

Kegemukan

Normal

Jenis Kelamin

(233)

Lelaki

27

50

77

0,068_

Perempuan

Pasangan kekasih (233)

37

119

156

Memiliki

14

34

48

0,856

Tidak

50

135

185

Menonton TV

(222)

<3jam

39

88

127

0,153_

>3jam

Membawa bekal

21

74

95

(222)

Ya

25

70

95

0,836

Tidak

Fasilitas olahraga (222)

35

92

127

≤ 1Km

35

97

127

0,796

> 1Km

Uang saku (226)

25

64

89

≤ Rp 500.000

42

113

156

0,958

> Rp 500.000

Ekstrakurikuler

19

52

71

(222)

Olahraga

22

55

77

0,706

Non-olahraga

Daerah tempat tinggal (221)

38

107

145

Perkotaan

42

118

160

0,626

Non-perkotaan

Jarak rumah-sekolah (221)

18

43

61

< 5Km

29

74

103

0,753

> 5Km

Kebiasaan sarapan (222)

31

87

118

ya tidak

22

38

104

58

126

96

<0,000*

3,097

Porsi makan

(222)

≤ 3 x sehari

58

150

208

0,267

> 3 x sehari

2

12

14

Konsumsi camilan (221) ≤ 2 x sehari

43

93

136

0,059 _

> 2 x sehari

17

68

85

Konsumsi fast food (222) ≤ 4 x seminggu

53

124

177

0,052 _

> 4 x seminggu Sekolah (n=223)

7

38

45

Sekolah swasta

17

35

52

0,338

Sekolah negeri

Olah raga diluar jam sekolah (222)

47

134

181

< 1 x seminggu

30

77

107

0,744

≥ 1 x seminggu

30

85

115

Keterangan: (*) memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai p=0,05. (_) memiliki nilai p< 0,25sehingga diuji dalam analisis multivariat


p<0,05) dan cukup berpengaruh (nilai p<0,25), maka variabel tersebut diuji secara multivariat. Variabel yang lolos dalam uji regresi ini antara lain: status sosial ekonomi keluarga, jenis kelamin, kebiasaan sarapan, kebiasaan menonton tv, kebiasaan mengkonsumsi fast food dan kebiasaan mengkonsumsi camilan (Tabel 6).

Uji regresi tahap pertama variabel kebiasaan menonton tv dikeluarkan. Selanjutnya pada tahap kedua variabel jenis kelamin yang dikeluarkan. Tahap ketiga mengeluarkan variabel konsumsi fast food. Sehingga pada tahap akhir tersisa tiga variabel yaitu status sosial ekonomi, kebiasaan konsumsi camilan dan kebiasaan sarapan. Hasil akhir dari uji regresi yang dilakukan didapatkan bahwa hanya kebiasaan sarapan yang berpengaruh terhadap terjadinya kegemukan pada remaja dengan nilai p<0,001.

PEMBAHASAN

Hasil analisis univariat (Tabel 1) diperoleh proporsi antara siswa perempuan dan lelaki (2:1) lebih tinggi dibandingkan dengan data nasional (1:1).8 Hal ini dikarenakan siswa lelaki cenderung tidak memiliki ketertarikan dalam mengisi kuesioner.

Pada tabel 2 sebaran data tinggi badan, berat badan, IMT tidak terdistribusi secara normal, hal ini dikarenakan beberapa responden memiliki data yang ekstrim, namun dalam batas normal menurut WHO.9

Responden cenderung memiliki tubuh ideal berdasarkan standar Asia.10 Selain itu menurut tabel Standar Indeks Masa Tubuh menurut Umur Nasional, data responden dalam batas normal.3

Prevalensi kegemukan pada penelitian ini mencapai 27,5% (Tabel 3), jauh lebih tinggi dengan data nasional yaitu sebesar 19,1% dan Provinsi Bali sebesar 19,4%.4 Hal ini dikarenakan oleh peneliti menggunakan standar Asia sedangkan RIKESDAS menggunakan standar WHO.

Persentasi keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke atas pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan data Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) tahun 2012.11 Peneliti beranggapan bahwa perbedaan ini diakibatkan oleh cara penilaian antara kedua variabel yang

berbeda. Peneliti menggunakan kuesioner berdasarkan BPS, sedangkan BPPK menggunakan pendapatan domestik bruto (pengeluaran perbulan) sebagai acuannya.

Selain itu peneliti juga berpendapat bahwa perbedaan ini juga disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi Kota Denpasar pada tahun 2011 lebih tinggi yaitu 6,77% dibandingkan dengan Provinsi

Tabel 6. Uji multivariat pada variabel dengan nilai p<0,25 pada uji bivariat dengan uji regresi metode backward LR

Variabel

TAHAP 1

TAHAP 2

TAHAP 3

TAHAP 4

Nilai P

Exp(B)

Nilai P

Exp(B)

Nilai P

Exp(B)

Nilai P

Exp(B)

Menonton tv

0,357

1,363

-

-

-

-

-

-

Jenis kelamin

0,270

1,451

0,297

1,420

-

-

-

-

Konsumsi fast food

0,142

1,983

0,165

1,904

0,155

1,934

-

-

Konsumsi camilan

0,200

1,573

0,155

1,646

0,117

1,721

0,064

1,881

Status Sosial Ekonomi

0,079

0,549

0,070

0,539

0,071

0,541

0,052

0,519

Sarapan

0,001*

0,352

0,001*

0,339

0,001*

0,331

0,001*

0,331

Konstanta

0,041

0,294

0,066

0,369

0,087

0,402

0,299

0,676

Keterangan: (*) memiliki hubungan yang signifikan

Bali sebesar 6,65% maupun nasional yaitu 6,23%.12

Hasil analisis bivariat antara IMT dengan status sosial ekonomi keluarga responden (Tabel 4) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan nilai OR sebesar 2,00. Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke atas memiliki kecenderungan untuk mengalami kegemukan sebesar 2,00 kali dibandingan dengan remaja dengan status sosial ekonomi keluarga menengah ke bawah.

Menurut peneliti hal ini terjadi akibat dari meningkatnya daya konsumsi, berkurangnya aktivitas fisik, serta meningkatnya budaya sedentaris pada remaja dengan status sosial menengah ke atas. Hal ini tercermin dari poin-poin pada kuesioner status sosial ekonomi, seperti: gaji orang tua, adanya jasa dalam rumah tangga, meningkatnya kemampuan membeli barang elektronik, dan poin lainnya.

Hasil ini didukung oleh Hadi, dimana status IMT berbanding lurus dengan status sosial ekonomi atau gaji orang tua.13 Status ekonomi yang tinggi mengakibatkan tingginya kemampuan membeli makanan mahal dan cenderung mengonsumsi makanan cepat saji yang lebih populer yang mengakibatkan ketidakseimbangan gizi pada anak.14 Selain itu status sosial ekonomi yang tinggi mengakibatkan terjadinya pergeseran pola makan dari pola makan tradisional menjadi pola makan modern, yang cenderung lebih mahal dan tinggi kalori.15 Kemajuan teknologi juga menciptakan budaya sedentaris yang juga memicu obesitas, dimana teknologi yang tinggi cenderung terjangkau pada kalangan sosial ekonomi tinggi.16

Hasil yang bertolak belakang diperoleh oleh penelitian sebelumnya.14, 16, 18 Pada ketiga penelitian tersebut tidak memperoleh adanya hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dan obesitas

pada remaja SMA. Menurut peneliti hal ini dapat terjadi akibat perbedaan cara penentuan status sosial ekonomi dan jumlah yang lebih kecil dari penelitian ini.

Hasil uji bivariat pada variabel perancu menunjukkan hanya beberapa variabel yang memiliki hubungan terhadap kegemukan pada remaja (Tabel 5), namun hanya kebiasaan sarapan yang memiliki hubungan yang signifikan diantara variabel-variabel lainnya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan sarapan berbanding terbalik dengan kejadian kegemukan pada remaja, sehingga pada remaja yang sarapan di pagi hari memiliki faktor proteksi sebesar 3,097 dibandingkan dengan remaja yang tidak sarapan pagi.

Hasil serupa diperoleh pada penelitian di Italia Utara dan di Kota Rhast, Iran.19,20 Hal ini diakibatkan oleh kecenderungan sikap impulsif pada anak yang tidak sarapan, sehingga untuk memenuhi energi yang tinggi pada pagi hari siswa cenderung mengkonsumsi kudapan yang mengandung gula dan lemak.19

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia.21,22,23,24 Pada penelitian tersebut tidak ditemukan adanya hubungan antara kebiasaan sarapan dengan obesitas pada anak. Menurut Ethasari hal ini tidak dikarenakan frekuensi makan ataupun sarapan melainkan asupan gizi yang dikonsumsi tiap harinya.24 Walaupun demikian Niswah menemukan adanya korelasi negatif antara kebiasaan sarapan terhadap IMT.22

Hubungan antara konsumsi fast food, frekuensi makan dan frekuensi camilan tidak memiliki hubungan dengan kegemukan pada remaja. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya.25

Penelitian ini menunjukkan remaja lelaki

memiliki kecenderungan untuk kegemukan lebih tinggi daripada remaja perempuan, namun tidak bermakna berdasarkan uji statistik. Hal serupa juga diperoleh oleh Oktaviani.14

Hasil bermakna diperoleh oleh Sartika. Sartika menemukan siswa lelaki memiliki kecenderungan untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan siswa perempuan akibat dari tingkat konsumsi rerata karbohidrat pada siswa lelaki lebih tinggi dibandingkan dengan siswa perempuan.26

Peneliti beranggapan bahwa perbedaan ini terjadi akibat oleh perbedaan usia sampel, pada penelitian ini berbeda dengan Sartika, yaitu usia 1517 tahun dengan 5-15 tahun, sehingga responden penelitian ini cenderung telah mengalami kematangan seksual sehingga terjadi penumpukan lemak tubuh di beberapa bagian tubuh pada responden perempuan.

Hubungan antara kebiasaan menonton tv dengan kegemukan pada remaja tidak berhubungan secara signifikan. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.14 Oktaviani berpendapat kebiasaan sedentaris juga dibarengi dengan mengonsumsi camilan yang justru menambah risiko terjadinya obesitas.14

Hasil analisis multivariat menunjukkan dari seluruh variabel hanya kebiasaan sarapan yang berhubungan secara terhadap terjadinya kegemukan pada remaja (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kebiasaan sarapan dan terjadinya obesitas memiliki hubungan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan status sosial ekonomi keluarga dan variabel lainnya.

Peneliti berasumsi sarapan sangat dipengaruhi oleh pola asuh dan pengetahuan keluarga terhadap kesehatan yang berkaitan dengan status sosial ekonomi. Pada keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke atas kesejahteraan lebih terjamin, pengetahuan ibu terhadap gizi lebih baik dan perhatian ibu kepada anaknya lebih baik, sehingga sarapan lebih rutin terjadi pada keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke atas.

Peneliti juga beranggapan adanya prilaku pergaulan remaja yang mengikuti lingkungannya sehingga beradaptasi dengan lingkungan pergaulannya, sehingga pengaruh status sosial ekonomi keluarganya tidak begitu berpengaruh.

SIMPULAN

Didapatkan bahwa 27,5% remaja SMA di Denpasar pada tahun 2015 mengalami kegemukan. Frekuensi kegemukan pada remaja lelaki mencapai 35,06% sedangkan pada perempuan mencapai 23,72%.

Penelitian ini menunjukkan adanya

hubungan antara status sosial ekonomi keluarga terhadap kegemukan pada remaja SMA di Denpasar.

Selain status sosial ekonomi keluarga terdapat variabel yang lebih berpengaruh terhadap kegemukan pada remaja SMA di Denpasar, yaitu kebiasaan sarapan.

Kelemahan Penelitian

Kelemahan penelitian ini antara lain: belum dilakukannya uji validitas pada kuesioner status sosial ekonomi keluarga, keterbatasan waktu penelitian, dan kurangnya minat responden terhadap penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    WHO. 2011. Overweight and Obesity Fact Sheet. Department of Sustainable Development and Healthy Environments. September 2011.

  • 2.    Kelly T, Yang W, Chen CS, dkk. 2008. Global Burden of Obesity in 2005 and Projections to 2030. International Journal of Obesity ,2008;32:1431–7.

  • 3.    RIKESDAS. 2008. Riset Kesehatan Dasar, Laporan Nasional 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Desember 2008.

  • 4.    RIKESDAS. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Laporan Nasional 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Desember 2013.

  • 5.    Dwipayana MP, Suastika K, Saraswati, I.M.R, dkk. 2011. Prevalensi Sindroma Metabolik Pada Populasi Penduduk Bali, Indonesia. J Peny Dalam, Volume 12 Nomor 1 Januari 2011.

  • 6.    Micklesfield LK, Lambert EV, Hume DJ, dkk. 2013. Socio-Cultural, Environmental and Behavioural Determinants of Obesity in Black South African Women. CVJ Africa, 2013, 24(9/10).

  • 7.    CrowleJ&TurnerE.2010, Childhood Obesity: An Economic Perspective, Productivity Commission Staff Working Paper, Melbourne.2010:47-48.

  • 8.    BPS. 2013. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Usia 7-18 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, 2009-2013. Diakses pada tanggal 10 September 2015. Diakses pada: http://www.bps.go.id/ linkTabelStatis/view/id/1613.

  • 9.    WHO. 2007. Growth Refrence 5-19 Years. Diakses pada tanggal 10 September 2015. Diakses pada: http://www.who.int/growthref/ who2007_height _for_age/en/. Diakses pada tanggal 10 September 2015.

  • 10.    Sugondo S. 2009. Obesitas, dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., dkk. (Ed), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi 3). Jakarta, Interna Publishing. Hal: 1973-83.

  • 11.    Widiatmanti H. 2015. Penghasilan Kelas Menengah Naik = Potensi Pajak?. Bdan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementrian Keuangan. Diakses tanggal 2 September 2015. Diakses pada: http://www .bppk. kemenkeu.go.id/ publikasi/artikel/167-artikel-pajak/21014-penghasilan-kelas-menengah-naik-potensi-pajak.

  • 12.    Kementrian PPN/Bappenas. 2013. Profil Pembangunan Provinsi 5100 Bali 2013. Diakses 10 September 2015. Diakses pada: http://www. simreg.bappenas.go.id /view/profil /clickD. php?id=10.

  • 13.    Hadi H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta : Fakultas Kedokteran UGM. 2005.

  • 14.    Oktaviani WD, Saraswati LD, Rahfiludin MZ, dkk. 2012. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Fast Food, Aktivitas Fisik, Pola Konsumsi, Karakteristik Remaja dan Orang Tua Dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Studi Kasus pada Siswa SMA Negeri 9 Semarang Tahun 2012). Jurnal Kesehatan Masyarakat, FKM UNDIP, 2012; 1(2): 542-553.

  • 15.    Hidayanti NS, Irawan R, & Hidayat B. 2006. Obesitas pada anak. Divisi nutrisi dan penyakit metabolik Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK Unair. Diakses tanggal 15 desember 2014. Diapkses pada: http://www.pediatrik.com/.

  • 16.    Mulyanto J & Darmawan AB. 2014. Status Sosial Ekonomi Sebagai Faktor Risiko Kejadian Obesitas di Kabupaten Banyumas. Mandala of Health, 2014; 7(1).

  • 17.    Octari C, Liputo NI, Edison. 2014. Hubungan Status Sosial Ekonomi dan Gaya Hidup dengan Kejadian Obesitas pada Siswa SD 8 Alang Lawas. Jurnal Kesehatan Andalas, 2014;3(2).

  • 18.    Manurung NK. 2009. “Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga, Pendidikan dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas di SMU RK Tri Sakti Medan 2008, 2009” .[Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

  • 19.    Vanelli M, Iovane B, Bernardini A, dkk. 2005. Breakfast habits of 1,202 Northern italian children admitted to a summer sport school. Breakfast skipping is associated with overweight and obesity. ACTA BIOMED 2005; 76; 79-85.

  • 20.    Maddah M Dan Nikooyeh B. 2009. Factor Associated with Overweight in Children in Rasht, Iran: Gender, Maternal Education, Skipping Breakfast and Parental Obesity. Public Health Nutrition: 13(2), 196–200.

  • 21.    Regar E. 2012. “Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur.” [Skirpsi]. Jakarta: Universitas Indonesia, 2012.

  • 22.    Niswah I, Damanik MRM dan Ekawidyani KR. 2014. Kebiasaan Sarapan, Status Gizi, dan Kualitas Hidup Remaja SMP Bosowana Bina Insani Bogor, Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2014, 9(2): 97—102.

  • 23.    Anzarkusuma IS, Mulyani EY, Jus’at I, dkk. 2014. Status Gizi Berdasarkan Pola Makan Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Rajeg Tangerang. Indonesian Journal of Human Nutrition, Desember 2014, 1(2): 135 – 148.

  • 24.    Ethasari EK. 2014. Hubungan Antara kebiasaan sarapan dengan kesegaran jasmani dan status gizi pada anak sekolah dasar di SD Negeri Padangsari 02 banyumanik. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang 2014.

  • 25.    Suryaputra K dan Nadhiroh SR. 2012. Perbedaan Pola Makan dan Aktivitas fisik antara Remaja Obesitas dengan Non Obesitas. Makara Kesehatan, 2012, 16(1): 45-50.

  • 26.    Sartika RAD. 2011. Faktor Risiko Obesitas pada Anak 5-15 Tahun Di Indonesia. Makara Kesehatan, 2011, 15(1):37-43.

106

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum