Karakteristik pasien dry eye syndrome di Desa Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem
on
ARTIKEL PENELITIAN
E-JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 7 NO. 3, MARET, 2018 : 113 - 116
ISSN: 2303-1395
DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS
Karakteristik pasien dry eye syndrome di Desa Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem
Rengga Septivianti1, Anak Agung Mas Putrawati Triningrat2
ABSTRAK
Dry eye syndrome merupakan gangguan multifaktorial air mata yang menyebabkan gangguan penglihatan dan berpotensi merusak permukaan okular. Dry eye syndrome dapat memberikan dampak terhadap fungsi visual, fungsi sosial dan fisik, aktivitas sehari-hari, produktivitas kerja, dan kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien dry eye syndrome di desa Tianyar Timur, Karangasem. Penelitian ini bersifat deskriptif cross-sectional, pemilihan sampel dilakukan dengan teknik total sampling, dilakukan di Desa Tianyar Karangasem pada 24 Maret 2015. Jumlah responden yang sesuai dengan kriteria inklusi pada penelitian ini adalah 42 orang. Distribusi dry eye syndrome berdasarkan karakteristiknya didapatkan jumlah pasien terbanyak berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki (59,5 %), rentang umur 50-59 tahun (28,6 %), tempat bekerja di luar ruangan (85,7 %). Pasien dengan riwayat diabetes mellitus (7,1 %), riwayat alergi konjunctivitis (83,3 %), riwayat merokok (28,6 %), tidak memiliki riwayat konsumsi kopi (38,1 %), riwayat medikasi oral (23,8 %), riwayat medikasi topikal (4,8 %), dan riwayat operasi mata (4,8 %). Dapat disimpulkan bahwa distribusi dry eye syndrome berdasarkan karakteristiknya dapat digunakan untuk membantu intervensi pencegahan terjadinya dry eye syndrome.
Kata Kunci: dry eye syndrome, karakteristik, distribusi, frekuensi
ABSTRACT
Dry eye syndrome is a multifactorial disease of tear film, which causes discomfort and visual disturbance which potentially damaged the ocular surface. Dry eye syndrome could reduce visual function, physical and social functions, which constantly and severely affect daily activities, work productivities, and quality of life. This study aims to determine the characteristics of dry eye syndrome patients in the Tianyar Village Karangasem. This is a descriptive study with cross-sectional, which applied total sampling technic, conducted in the Tianyar Village Karangasem on 24 March 2015. The number of respondents that suitable with the inclusion criteria was 42 responents. Distribution dry eye syndrome based on its characteristics, the highest number of patients was male (59.5%), in the age group 50-59 years (28.6%), and working outdoors (85.7%). Patients with history of diabetes mellitus (7.1%), history of conjunctivitis allergy (83.3%), history of smoking (28.6%), without history of coffee consumption (38.1%), with history of oral medications (23.8%), topical medication history (4.8%), and a history of eye surgery (4.8%). It can be concluded that the distribution dry eye syndrome based on its characteristic can be used to support the intervention to prevent this disease occured.
Keywords: dry eye syndrome, characteristics, distribution, frequency
-
1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
-
2 Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali
Email: [email protected]
Diterima : 5 Februari 2018
Disetujui : 23 Februari 2018
Diterbitkan : 1 Maret 2018
PENDAHULUAN
Mata adalah salah satu indera yang dimiliki oleh manusia untuk melihat lingkungan sekitar dan mengenali berbagai macam benda. Dewasa ini banyak manusia yang mengabaikan bahkan kurang peduli terhadap kesehatan mata sehingga dapat menimbulkan gangguan pada mata. Salah satu penyakit mata yang paling sering terjadi adalah gangguan pada air mata yang sering disebut dengan dry eye syndrome atau keratokonjungtivitis sica.1
Merujuk pada data yang didapat dari studi penelitian terbesar di dunia, yaitu Women’s Health Study (WHS) dan Physician’s Health Study (PHS) telah diperkirakan bahwa sekitar 3,23 juta wanita
dan 1,68 juta laki-laki di Amerika serikat berusia 50 tahun menderita dry eye.2 Di Indonesia, khususnya Kepulauan Riau menunjukkan prevalensi dry eye sebesar 27,5% pada penduduk berusia di atas 21 tahun dan di Rumah Sakit Adam Malik Medan ditemukan prevalensi dry eye sebesar 76,8% pada wanita menopause.3
Banyak faktor risiko yang kemudian bisa berkembang menjadi dry eye. American Academy of Ophthalmology menyatakan bahwa wanita dan usia tua adalah salah satu faktor risiko dry eye. Tempat bekerja pun memiliki pengaruh terhadap kejadian dry eye.2 Beaver Dam Study menyebutkan bahwa penggunaan medikasi secara oral juga berpotensi menimbulkan dry eye syndrome.4 Penggunaan
medikasi secara topikal seperti obat tetes mata dikatakan dapat menyebabkan dry eye syndrome sebagai akibat dari respon toxic pada permukaan okular terhadap zat pengawet yang terkandung di dalamnya.5 Penelitian lain juga telah menyebutkan mengenai beberapa riwayat penyakit seperti diabetes mellitus dan alergi konjunctivitis, riwayat operasi mata, serta faktor gaya hidup seperti riwayat konsumsi kopi dan merokok sebagai faktor risiko dari dry eye syndrome.2
BAHAN DAN METODE
Studi ini menggunakan desain studi deskriptif cross-sectional (studi prevalensi) yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien dry eye syndrome di desa Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Pengukuran variabel pada studi ini hanya dilakukan satu kali pada satu titik waktu. Kriteria inklusi yang digunakan adalah peserta datang untuk mengikuti pelayanan kesehatan mata pada waktu yang ditentukan, peserta yang terdiagnosis dry eye syndrome berdasarkan hasil Tes Schirmer I, dan bersedia untuk terlibat dalam penelitian. Kriteria eksklusinya adalah peserta yang memiliki riwayat trauma. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling dengan populasi terjangkaunya yaitu semua pasien dry eye syndrome yang datang ke pelayanan kesehatan mata di desa Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem pada tanggal 24 Maret 2015.
Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh dengan cara mengukur produksi air mata dengan melakukan Tes Schirmer I, kemudian akan dilakukan pengisian data pasien yang telah terdiagnosis dry eye, yaitu mencakup tentang jenis kelamin, usia, tempat bekerja, riwayat diabetes mellitus, riwayat alergi konjunctivitis, riwayat merokok, riwayat konsumsi kopi, riwayat medikasi, dan riwayat operasi mata.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data deskriptif. Data ini akan diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2007. Penyajian data akan ditampilkan dalam bentuk tabel sehingga mampu mendeskripsikan seluruh data dari sampel.
HASIL
Merujuk pada hasil Tes Schirmer I, dari 98 peserta yang diperiksa didapatkan 42 orang pasien dry eye syndrome yang sesuai dengan kriteria inklusi maupun criteria eksklusi dan menjadi sampel penelitian. Seluruh sampel penelitian tentunya disertai dengan berbagai karakteristik sesuai dengan variabel yang diteliti. Hal ini terlihat dari hasil penelitian pada Tabel 1.
PEMBAHASAN
Prevalensi dry eye syndrome berdasarkan jenis kelamin dapat terjadi pada siapa saja, baik pada laki-laki maupun perempuan.2 Akan tetapi pada beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan adanya prevalensi yang lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki.3 Hasil sebuah studi didapatkan lebih banyak pasien dry eye syndrome yang berjenis kelamin perempuan (25%) daripada laki-laki (17,2%).6 Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan hipotesis penurunan sekresi air mata akibat rendahnya estrogen pada wanita menopause, meskipun pada beberapa studi menyatakan bahwa wanita yang menjalani terapi pengganti hormone memiliki faktor risiko lebih tinggi untuk terkena dry eye.4 Pada penelitian ini didapatkan jumlah yang lebih banyak pada pasien berjenis kelamin laki-laki, yaitu 25 orang (59,5%) sedangkan pada perempuan berjumlah 17 orang (40,5%). Hal ini diperkirakan karena kejadian dry eye syndrome sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor (multifaktorial), termasuk pekerjaan.2 Setelah ditelusuri, ternyata hampir semua pasien dry eye syndrome yang berjenis kelamin laki-laki pada penelitian ini memiliki pekerjaan yang dilakukan di luar ruangan, inilah yang diperkirakan akan meningkatkan risiko munculnya gejala dry eye. Penelitian lain menyatakan bahwa tidak ditemukan perbedaan prevalensi dry eye syndrome baik pada laki-laki maupun perempuan.7
Terkait usia, kejadian dry eye syndrome menurut penelitian yang dilakukan di United States oleh Women’s Health Study (WHS) dan Physician’s Health Study (PHS) didapatkan bahwa 4,8 juta penduduk Amerika berusia di atas 50 tahun menderita dry eye syndrome.2 Hasil yang tidak jauh berbeda juga ditemukan bahwa pevalensi dry eye syndrome tertinggi berada pada rentang usia 60-69 tahun sebesar 51,4%.8 Penelitian lain juga menyatakan jumlah pasien dry eye syndrome tertinggi berada pada rentang umur 31-40 tahun sebesar 20%,9 sedangkan pada penelitian ini didapatkan pasien dry eye syndrome dengan jumlah terbanyak berada pada rentang usia 50-59 tahun, sebanyak 12 orang (28,6%). Hasil distribusi pasien dry eye syndrome pada rentang umur bisa saja bervariasi, hal ini disebabkan oleh faktor lain seperti faktor demografis, jenis pekerjaan, ataupun paparan terhadap lingkungan seperti paparan terhadap matahari, angin, ataupun temperatur yang tinggi.9
Beberapa kondisi lingkungan dengan tingkat kelembaban yang kurang dan tingginya aliran udara akan meningkatkan evaporasi tear film sehingga air mata berada pada keadaan hiperosmolaris dan berakhir pada kondisi ketidakstabilan
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik |
n |
% | |
Jenis Kelamin |
Laki-laki |
25 |
59,5 |
Perempuan |
17 |
40,5 | |
20-29 |
2 |
4,8 | |
30-39 |
7 |
16,7 | |
Usia (Tahun) |
40-49 |
10 |
23,8 |
50-59 |
12 |
28,6 | |
60-69 |
10 |
23,8 | |
70-79 |
1 |
2,4 | |
Tempat Bekerja |
Dalam ruangan |
6 |
14,3 |
Luar ruangan |
36 |
85,7 | |
Riwayat DM |
Ada riwayat |
3 |
7,1 |
Tidak ada riwayat |
39 |
92,9 | |
Riwayat Alergi Konjunctivitis |
Ada riwayat |
35 |
83,3 |
Tidak ada riwayat |
7 |
16,67 | |
Riwayat Merokok |
Perokok |
12 |
28,6 |
Bukan perokok |
30 |
71,4 | |
Riwayat Konsumsi Kopi |
Ada riwayat |
26 |
61,9 |
Tidak ada riwayat |
16 |
38,1 | |
Riwayat Medikasi |
Sistemik (oral) |
10 |
23,8 |
Topical |
2 |
4,8 | |
Tidak ada riwayat |
30 |
71,4 | |
Riwayat Operasi Mata |
Ada riwayat |
2 |
4,8 |
Tidak ada riwayat |
40 |
95,2 |
lapisan lipid dari tear film.2 Penelitian lain juga menyatakan bahwa paparan tinggi terhadap angin, sinar matahari, ataupun berada di tempat dengan temperature tinggi secara signifikan (OR=2,15) memengaruhi terjadinya dry eye syndrome.9 Inilah yang menjadi alasan prevalensi dry eye syndrome lebih tinggi pada pasien yang bekerja di luar ruangan dibandingkan dengan di dalam ruangan, sesuai dengan hasil penelitian ini sebanyak 36 orang (85,7%) pasien dry eye yang bekerja di luar ruangan dan hanya 6 orang (14,3%) yang bekerja di dalam ruangan. Suatu studi mendapatkan bahwa prevalensi dry eye syndrome ditemukan lebih banyak pada pasien yang bekerja di luar ruangan yaitu sebagai petani sebesar 25,3% dibandingkan dengan pasien yang bekerja di dalam ruangan yaitu sebagai pegawai kantor sebesar 14,3%.9
Suatu studi yang melibatkan populasi dalam jumlah besar juga menyatakan bahwa diabetes mellitus adalah salah satu faktor risiko dry eye syndrome. Studi lain menemukan hubungan antara diabetes mellitus dengan timbulnya dry eye yaitu karena berkurangnya refleks air mata pada pasien diabetes mellitus yang harus mendapatkan terapi insulin.2 Penelitian lain menyebutkan bahwa
timbulnya dry eye syndrome pada pasien diabetes mellitus disebabkan karena adanya perubahan pada microvascular dari kelenjar lakrimal, diabetic sensory, ataupun akibat dari autonomic neuropathy.10 Prevalensi dry eye syndrome pada sebuah studi tentang pasien dengan riwayat diabetes mellitus didapatkan sebesar 18,1% dan tanpa riwayat diabetes mellitus sebesar 14,1%,2 sedangkan pada penelitian ini pasien dry eye dengan riwayat diabetes mellitus didapatkan sebanyak 3 orang (7,14%) dan tanpa riwayat diabetes mellitus sebanyak 39 orang (92,9%).
Terkait dengan riwayat alergi, pada sebuah penelitian didapatkan bahwa riwayat alergi memiliki hubungan yang signifikan terhadap timbulnya dry eye syndrome (p=0,013).8 Orang dengan alergi konjunctivitis, diduga paparan terhadap antigen akan memicu terdegranulasinya Ig-E primed mast cells, dan beberapa sitokin inflamasi serta aktivasi Th2 yang menyebabkan terjadinya perubahan pada submukosa dari permukaan okular. Permukaan yang irregular pada kornea dan konjunctiva dapat memicu terjadinya tear film instability dan akhirnya menimbulkan gejala dry eye.2 Sebuah studi mendapatkan dari 689 orang dengan riwayat alergi konjunctivitis sebanyak 247 orang (35,8%) yang mengalami dry eye syndrome,11 dan pada penelitian ini dari 42 orang pasien dry eye syndrome sebanyak 35 orang (83,3%) memiliki riwayat alergi konjunctivitis.
Riwayat merokok menurut beberapa penelitian dikatakan memiliki hubungan terhadap terjadinya dry eye syndrome.9 Penelitian yang dilakukan di Sumatera, menyatakan bahwa orang dengan riwayat merokok memiliki faktor risiko 1,5 kali lebih tinggi daripada orang yang tidak merokok.7 Penelitian lain juga menyatakan bahwa riwayat merokok memiliki faktor risiko 1,4 kali lebih tinggi pada orang dengan riwayat merokok karena asap rokok merupakan salah satu iritan yang langsung mengenai mata.8 Pada hasil penelitian ini berdasarkan riwayat merokok yang dibagi ke dalam dua kelompok menunjukkan sebanyak 12 orang (28,6%) dari 42 orang pasien dry eye syndrome memiliki riwayat merokok. Penelitian cross sectional ini tidak bisa menentukan bahwa riwayat merokok adalah faktor risiko dry eye syndrome, karena pengambilan data hanya dilakukan dalam satu waktu dan tidak dibedakan pengelompokannya antara riwayat merokok aktif ataupun pasif.
Terkait riwayat konsumsi kopi, sebuah penelitian menyebutkan bahwa kopi memiliki efek protektif terhadap terjadinya dry eye syndrome.12 Hal ini diperkirakan karena kopi mengandung xanthine yang akan menstimulasi produksi air mata dan menurunkan osmolaritas tear film sehingga
mampu mengurangi gejala dry eye. Penelitian lain mendapatkan prevalensi dry eye syndrome pada pasien dengan riwayat mengonsumsi kopi sebesar 13% dan pada pasien tanpa riwayat mengonsumsi kopi sebesar 16,6%,12 sedangkan pada penelitian ini didapatkan 26 orang (61,9%) memiliki riwayat mengonsumsi kopi dan 16 orang (38,1%) tanpa riwayat mengonsumsi kopi. Walaupun kandungan xanthine dalam kopi diperkirakan sebagai pemberi efek protektif, namun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai jenis kopi apa saja yang memiliki kandungan xanthine tersebut dan berapa banyak jumlah kopi serta frekuensi mengonsumsi kopi yang dapat memberikan efek protektif terhadap timbulnya dry eye syndrome.
Merujuk pada sebuah penelitian, dinyatakan bahwa penggunaan medikasi sistemik akan memperparah keadaan dry eye syndrome. Medikasi sistemik akan menimbulkan keadaan air mata yang hiperosmol sehingga aliran air mata lapisan aqueous berkurang.2 Medikasi sistemik yang dimaksud adalah analgesic, antihistamin, antihipertensi, NSAID, dan antidiabetis.13 Pada penggunaan medikasi topikal seperti obat tetes mata, dry eye syndrome terjadi karena dipicu oleh respon toxic dari permukaan ocular. Respon ini disebabkan oleh pengawet yang terkandung dalam obat tetes mata yaitu Benzalkonium chloride (BAC) yang menyebabkan terganggunya densitas sel goblet dan ketidakstabilan tear film.5 Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 10 orang (23,8%) dengan riwayat medikasi oral dan sebanyak 2 orang (4,8%) dengan riwayat medikasi topikal.
Terkait riwayat operasi mata sebelumnya menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap terjadinya dry eye syndrome (p<0,001). Hal ini disebabkan oleh inflamasi dan obat-obatan yang harus digunakan pasca operasi mata dapat mengganggu neural feed-back loop dan produksi air mata yang berkurang sehingga menimbulkan dry eye syndrome.8 Penelitian lain mendapatkan sebesar 20,1% pasien dry eye syndrome pernah menjalani operasi lensa,12 sedangkan pada penelitian ini hanya terdapat 2 orang (4,8%) pasien dry eye syndrome dengan riwayat operasi mata, yaitu operasi katarak.
SIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tianyar Karangasem pada 24 Maret 2015 yaitu distribusi pasien dry eye syndrome berdasarkan karakteristiknya adalah pasien dry eye syndrome dominan ditemukan pada jenis kelamin laki-laki. kelompok dengan rentang usia 50-59 tahun, pasien yang bekerja di luar ruangan, pasien tanpa riwayat
diabetes mellitus, pasien dengan riwayat alergi konjunctivitis, pasien tanpa riwayat merokok, pasien dengan riwayat mengonsumsi kopi, tanpa riwayat medikasi oral (sistemik) ataupun topical, dan pasien tanpa riwayat operasi mata.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Kaštelan, Snježana. dkk. ‘Diagnostic Procedures And Management Of Dry eye’. BioMed Research International. 2013;2013:1-6.
-
2. Foulks, Gary N. dkk. ‘Report Of The 2007 International Dry Eye Workshop (DEWS) Glossary’. The Ocular Surface. 2007;5(2):73-74.
-
3. Chaironika, Nur. Insidensi dan Derajat Dry Eye pada Menopause di RSU. H. Adam Malik Medan. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2011. Web. 6 Feb. 2015
-
4. Fader, Robert S. dkk. Preferred Practice Pattern Dry Eye Syndrome. 1st ed. San Francisco: American academy of Ophthalmology, 2013. Web. 20 Dec. 2014.
-
5. Achtsidis, V. dkk. Dry Eye and Clinical Disease of Tear Film, Diagnosis and Management. US Ophthalmic Review. 2014;07(02):109.
-
6. Moss, S. dkk. Long-term Incidence of Dry Eye in an Older Population. Optometry and Vision Science. 2008;85(8):668-674.
-
7. Lee, A. 2002. Prevalence and Risk Factors Associated with Dry Eye Symptomps: a Population Based Study in Indonesia. British Journal of Ophtalmology. 2002;86(12):1347-1351.
-
8. Kasetsuwan, N. dkk. Prevalence of Dry Eyes in Elderly Thai Population (The Romklao Eye Study). Asian Biomedicine. 2012;6(6):875-882.
-
9. Sahai, A. dan Malik P. Dry Eye: Prevalence and Attributable Risk Factors in a Hospital-Based Population. Indian J Ophthalmol. 2005;53(2):87
-
10. Kaiserman, I. dkk. Dry Eye in Diabetic Patients. American Journal of Ophthalmology. 2005;139(3):498-503.
-
11. Hom, M. dkk. Allergic Conjunctivitis and Dry Eye Syndrome. Annals of Allergy, Asthma & Immunology. 2012;108(3):163-166.
-
12. Moss, S. Prevalence of and Risk Factors for Dry Eye Syndrome. Archives of Opthalmology. 2000;118(9):1264.
-
13. Oviani, R. dan Shani Meida, N. The effect of longterm Systemic Drug Usage on dry eye syndrome. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2013. Web. 6 Feb. 2015
116
Discussion and feedback