ISSN:2303-1395                     E-JURNAL MEDIKA, VOL 6 NO 5, MEI 2017, HAL 21-27

GAMBARAN POLA PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BULELENG

TAHUN 2013

I Wayan Adi Pranata1, I Gusti Ayu Artini2

1Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi wilayah tropis yang menyerang sebagian besar anak berumur di bawah 15 tahun di negara berkembang dan mempunyai penghasilan menengah ke bawah. Penerapan prinsip tatalaksana yang sesuai di penyedia layanan kesehatan tergolong sangat rendah meskipun berbagai panduan standar tatalaksana DBD telah ditetapkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penantalaksanaan DBD pada anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng pada tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan crosssectional. Sampel penelitian adalah semua pasien anak dengan DBD yang memiliki data rekam medis dari bulan Juli sampai September 2013 di Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Buleleng melalui metode total sampling. Jenis penatalaksanaan pasien dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu rehidrasi intravena, antipiretik-analgetik, antibiotik, dan terapi tambahan (antiemesis, antiinflamasi, imunomodulator, dan vitamin). Dari 51 sampel, jenis penatalaksanaan yang diberikan berupa rehidrasi intravena (100%), antipiretik-analgetik (98%), antibiotik (41,2%), antiemesis (47,1%), antiinflamasi (15,7%), imunomodulator (23,5%), dan vitamin (47,1%). Pola penatalaksanaan pasien anak dengan DBD Instalasi RSUD Kabupaten Buleleng meliputi pemberian rehidrasi intravena dan antipiretik..

Kata kunci: demam berdarah dengue, rehidrasi intravena, antipiretik, antibiotik, terapi tambahan

ABSTRACT

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an infectious disease that attacks the tropical areas with the majority affecting children under the age of 15 years in developing and low and middle income countries. The appropriate application of management principles in the health care providers is relatively very low although various standard DHF guidelines were published. This study was conducted to determine the pattern of management of dengue hemorrhagic fever in children in Inpatient Department of Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Buleleng in 2013. The study used a descriptive observational with cross-sectional approach. The samples were all pediatric patients with DHF who have medical records from July to September 2013 in the Inpatient Department of RSUD Kabupaten Buleleng through total sampling. The types of management of patients were classified into 4 groups, namely intravenous rehydration, antipyretic-analgesic, antibiotic, and additional therapy (antiemetic, anti-inflammatory, immuno-modulatory, and vitamin). According to the data of the 51 samples, the type of management given in the form of intravenous rehydration (100%), antipyretic-analgesic (98%), antibiotic (41.2%), antiemetic (47.1%), anti-inflammatory (15.7%), immuno-modulatory (23.5%), and vitamin (47.1%). The general pattern of the management of pediatric patients with DHF in Inpatient Department of Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Buleleng include administration of intravenous rehydration and antipyretic.

Keywords: dengue hemorrhagic fever, intravenous rehydration, antipyretic, antibiotic, additional therapy

Pendahuluan

Perkembangan golongan noncommunicable diseases (NCD) dan penyakit infeksi sebagai double burden diseases dinyatakan sebagai penyakit penyebab permasalahan dan kerugian multidimensi dunia, salah satu nya adalah infeksi virus dengue.1,2 Penyakit ini memiliki spektrum klinis beragam dari fase infeksi asimtomatik sampai syok (shock). Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever (DHF) merupakan penyakit demam akut (acute febrile illness) akibat infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus.1,3,4 Menurut data World Health Assembly, dewasa ini terdapat 17 jenis penyakit tropis terabaikan (neglected tropical diseases) yang telah disepakati bersama World Health Organization (WHO) dimana fokus tertuju pada DBD sebagai penyebab ancaman skala besar di seluruh dunia.5 Menurut WHO, diperkirakan terjadi 50-100 juta kasus infeksi dengue global setiap tahunnya, dengan 250.000500.000 kasus DBD dan angka kematian 24.000 jiwa setiap tahunnya. Sekitar 90% infeksi terjadi pada golongan anak di bawah 15 tahun.6,7

Indonesia sebagai negara tropis dan berkembang masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat penyakit DBD dimana selama tahun 2011 terdapat 13 kabupaten/kota dari tujuh provinsi yang melaporkan timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB).8 Bali sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki data jumlah kasus DBD tahun 2012 di kabupaten Buleleng mencapai 125 kasus dari total 2.649 kasus sehingga kabupaten ini menduduki peringkat keempat di Bali, sedangkan pada Januari-Oktober 2013 terjadi lonjakan menjadi 900 kasus.9 Bali sebagai kawasan pariwisata menuntut pentingnya usaha dalam menjaga kesehatan masyarakat melalui pilar penatalaksanaan penyakit secara komprehensif, sebab DBD termasuk tropical and traveler disease yang juga menjadi perhatian dunia.10

Saat ini tidak ada vaksin untuk penyakit demam berdarah dengue.11 Penatalaksanaan DBD pada dasarnya ditentukan oleh derajat keparahan penyakitnya dimana prinsipnya merupakan pengobatan supportif-simtomatis dengan elemen utama berupa terapi cairan (volume replacement) dan antipiretik (penurun panas).12,13

Berbagai panduan standar terbaru telah dikeluarkan baik dari tingkat nasional maupun internasional, namun aspek penerapannya di berbagai penyedia layanan kesehatan masih tergolong sangat rendah.1,12 Hal ini memicu gagalnya target penurunan beban kesehatan akibat DBD sehingga merupakan urgensi diperlukannya suatu pengkajian dan evaluasi terhadap pola penatalaksanaan DBD yang mampu meningkatkan indikator kesehatan terkait DBD.

Berdasarkan atas fakta-fakta tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan studi epidemiologi mengenai pola penantalaksanaan DBD pada anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng pada tahun 2013.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian adalah anak dengan DBD berusia maksimal 15 tahun yang menjalani rawat inap dalam kurun 14 hari pada periode Juli sampai September 2013 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Buleleng dan tidak memiliki riwayat penyakit kronis. Sampel dipilih dengan menggunakan metode total sampling sehingga dalam penelitian ini rekam medis 51 orang dipilih secara keseluruhan. Jenis penatalaksanaan pasien dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu rehidrasi intravena, antipiretik-analgetik, antibiotik, dan terapi tambahan (antiemesis, anti-inflamasi, imunomodulator, dan vitamin).

Hasil

Karakteristik subyek

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar pasien lelaki, yaitu sebanyak 26 orang (51%) dan tergolong middle childhood (611 tahun) sejumlah 22 orang (43,1%). Dari segi derajat penyakitnya, subyek lebih dominan grade I sejumlah 37 orang (72,5%). Sebagian besar pasien yang datang memiliki durasi perawatan rumah sakit kurang dari 7 hari, yaitu sebesar 46 orang (90,2%).

Tabel 1. Karakteristik Subyek

Variabel

N (%)

Jenis Kelamin

a.  Laki-laki

26 (51)

b. Perempuan

25 (49)

Usia

a.  Golongan I (Infants)

0 (0)

b.  Golongan II (Toddlers)

3 (5,9)

c.  Golongan III (Preschoolers)

5 (9,8)

d.  Golongan IV (Middle

22 (43,1)

Childhood)

e.  Golongan V (Young teens)

16 (31,4)

f.  Golongan VI (Teenagers)

5 (9,8)

Grade Penyakit

a.  Grade I

37 (72,5)

b.  Grade II

12 (23,5)

c.  Grade III

2 (3,9)

d.  Grade IV

0 (0)

Lama Rawat

a.  < 7 hari

46 (90,2)

b. >= 7 hari

5 (9,8)

Tabel 2. Pola Penatalaksanaan DBD

Indikator

N (%)

Jenis Rehidrasi Intravena

D5 / 1/2 NS

6 (11,8)

Ringer Laktat

45 (88,2)

Antipiretik-analgetik

Antipiretik (Parasetamol)

41 (80,4)

Kombinasi

1 (2)

Analgetik (Antrain)

8 (15,7)

Tidak mendapat

1 (2)

Antibiotik

Diberikan

21 (41,2)

Tidak

30 (58,8)

Terapi Tambahan

Antiemesis

27 (47,1)

Antiinflamasi

8 (15,7)

Imunomodulator

12 (23,5)

Vitamin

24 (47,1)

Pola penatalaksanaan DBD pada anak

Berdasarkan Tabel 2, dapat dijelaskan bahwa semua pasien anak dengan diagnosis DBD pasca masuk ke rumah sakit telah diberikan penanganan awal berupa cairan intravena kristaloid isotonis, dimana rincian jenis cairannya sebagian besar berupa ringer

laktat 45 orang (88,2%) sedangkan sisanya adalah glukosa lima persen di dalam larutan NaCl 0,45% (D ½ NS) sebanyak 6 orang (11,8%).

Berdasarkan aspek antipiretik-analgetik, 98% subyek sudah mendapat terapi, dengan obat parasetamol sebesar 41 orang (80,4%), terapi kombinasi (parasetamol dengan ibuprofen) pada 1 orang (2%), dan terapi analgetik (Antrain) sebanyak 8 orang (15,7%). Subyek yang tidak mendapat terapi antipiretik maupun analgetik hanya 1 orang (2%).

Pemberian obat antibiotik dilakukan pada 21 orang (41,2%). Jenis antibiotik yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 4 dimana antibiotik yang dominan diberikan adalah cefotaxime (third generation cephalosporin) berjumlah 16 orang (76,2%). Pemberian terapi tambahan seperti antiemesis, antiinflamasi, imunomodulator, dan vitamin masing-masing sebesar 47,1 %, 15,7 %, 23,5 %, dan 47,1 %.

Tabel 3 Distribusi Pemberian Antibiotik Berdasarkan Derajat Penyakit

Variabel

Pemberian Antibiotik

Derajat Penyakit

Ya (%)

Tidak (%)

Grade I

14 (27,5)

23 (45,1)

Grade II

6 (11,8)

6 (11,8)

Grade III

1 (2)

1 (2)

Grade IV

0 (0)

0 (0)

Total

21 (41,2)

30 (58,8)

Tabel 4 Jenis Antibiotik yang Diberikan

No

Jenis Antibiotik

N (%)

1

Cefotaxime

16 (76,2)

2

Ceftriaxone

3 (14,3)

3

Thiamphenicol

2 (9,5)

Pembahasan

Data penelitian menggambarkan kondisi subyek tidak jauh berbeda pada kelompok lelaki maupun perempuan, meskipun lelaki memiliki jumlah sedikit lebih tinggi. Berdasarkan berbagai penelitian sebelumnya, sebagian besar menyatakan bahwa antara subyek lelaki dan perempuan memilik proporsi yang serupa. Hal ini dapat disebabkan jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor risiko ataupun determinan terjadinya infeksi. Hasil lain didapatkan pada penelitian oleh Karyanti dan Hadinegoro (2009) yang menemukan bahwa anak lelaki lebih banyak terkena DBD dibandingkan perempuan dengan perbandingan 1,4:1.14 Fenomena ini diasumsikan terjadi terkait dengan mobilitas lelaki yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang mengacu pada kemungkinan lelaki terinfeksi virus dengue lebih rentan daripada perempuan.14

Berdasarkan usia, infeksi dengue paling banyak pada kelompok umur middle childhood (6-11 tahun), namun tidak ditemukan kasus pada kelompok umur infants (0-1 tahun). Rentang usia subyek adalah 2-15 tahun, hal ini sesuai data epidemiologi dimana epidemi DBD terutama pada negara tropis 95% menyerang anak golongan di bawah 15 tahun.2,3,6 Dyah dkk (2012) mendapatkan bahwa di daerah endemis, anak dengan usia 5-9 tahun merupakan kelompok tertinggi terjangkit DBD15, sedangkan menurut Strickman (2000) kecenderungan usia muda untuk terjangkit DBD lebih besar daripada usia tua16. Nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari pada dua puncak aktivitas, yaitu pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00, dimana pada jam tersebut anak-anak biasanya lebih aktif beraktivitas di luar rumah menyebabkan anak lebih mudah terjangkit DBD.17 Faktor daya tahan tubuh anak yang belum sempurna juga berperan dalam predisposisi morbiditas keterjangkitan DBD.4,13

Berdasarkan derajat penyakit, subyek lebih dominan berada pada grade I, disusul grade II, sebagian kecil grade III, namun tidak ditemukan pasien pada grade IV (Tabel 1). Hal ini sesuai penelitian Rachmawati (2012) yang menemukan kondisi pasien anak dengan DBD grade I sebesar 19 orang (39,4%), grade II sebanyak 12 orang (37,5%), dan grade III ditemukan 1 orang (3,1%).18 Diagnosis DBD didapatkan sesuai kesan tenaga medis berdasarkan kondisi umum dan manifestasi klinis gejala pada subyek sehingga presentasi subyek pada saat awal masuk rumah sakit dan pertimbangan tenaga medis (dokter) sangat menentukan penggolongan derajat DBD.1,12 Umumnya orang tua juga dengan segera akan membawa anaknya ke rumah sakit segera setelah timbul gejala panas selama beberapa hari sehingga kondisi ini membantu diagnosis awal keparahan penyakit yang berada pada grade I.18 Beberapa faktor juga memengaruhi beratnya penyakit, seperti faktor host, serotipe virus atau genotype, sekuens infeksi virus, perbedaan antibodi cross-reactive dengue, dan respons sel T.19

Berdasarkan karakteristik lama rawat di rumah sakit, durasi perawatan pada kelompok < 7 hari lebih banyak dibandingkan dengan kelompok durasi ≥ 7 hari. Hasil ini sesuai dengan penelitian Soegianto di RSUD dr. Sutomo Surabaya (2002) yang menemukan lama rawat berkisar 3-7 hari dan rata-rata durasi 4 hari.20 Fenomena ini dapat dijelaskan melalui keterkaitan derajat keparahan dengan lama rawat di rumah sakit.12,21 Pada penelitian ini, gambaran perawatan di rumah sakit menunjukkan subyek terbanyak pada grade I sehingga lama rawat lebih banyak dalam kurun

waktu kurang dari 7 hari. Indikator lama rawat ini dipengaruhi kondisi pasien pada waktu datang dan riwayat kondisi febris.1,21

Dasar proses terjadinya kehilangan cairan plasma adalah akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan sehingga pemberian cairan mutlak diperlukan pada pasien DBD.13,22 Cairan yang diindikasikan untuk penderita DBD adalah cairan kristaloid isotonis dengan rekomendasi berupa ringer laktat/asetat.1,12,21 Pemberian cairan didasarkan pada derajat dehidrasi dan kondisi klinis pasien, namun secara umum untuk kasus DBD cairan yang diberikan mengikuti aturan pemberian cairan pada kondisi dehidrasi sedang (defisit 58% cairan) selain mempertimbangkan berat badan penderita.12 Berdasarkan ketentuan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), direkomendasikan pemberian jenis cairan berupa kristaloid berjenis ringer laktat/asetat.21 Kriteria Departemen Kesehatan (Depkes) pada tahun 2005 menyatakan keterangan yang sedikit berbeda, dimana jenis cairan yang dianjurkan adalah cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45% (D5/ ½ NS).12

Pemilihan jenis cairan ringer laktat sebagai pilihan bahan dalam resusitasi cairan di Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Buleleng juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya medis disamping pertimbangan dari aspek biaya. Pemberian cairan rehidrasi diobservasi berdasarkan kondisi awal masuk rumah sakit dan penatalaksanaan awal yang diberikan pada subyek tanpa melihat bagaimana proses pemantauan (monitoring) pasien sampai pada saat selesai masa perawatan sehingga tidak dapat memberikan gambaran bagaimana proses pemberian dan kombinasi cairan diatur sesuai kebutuhan dan perjalanan penyakit pasien. Berdasarkan protokol oleh IDAI, Kementerian Kesehatan (Departemen Kesehatan), dan WHO menyatakan bahwa kristaloid isotonis merupakan indikasi utama rehidrasi pada semua grade penyakit DBD.1,12,21

Kunci keberhasilan dalam proses penanganan terletak pada kemampuan mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase syok (time of fever defervescence) dengan baik.1 Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24–48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler spontan pasca pemberian cairan.12,21 Hal ini merupakan kriteria resusitasi cairan pada kondisi DBD grade I dan II.1,12,21

Kondisi syok pada pasien DBD dikategorikan pada grade III dan IV.1 Pada penelitian ini ditemukan 2 subyek mengalami DBD pada grade III namun tidak ditemukan subyek pada grade IV. Subyek penelitian pada grade III diberikan cairan tambahan koloid dalam bentuk gelatin (Gelafusal®) dengan

pertimbangan terkait pengobatan dan pencegahan hipovolemia atau syok karena perdarahan yang dapat timbul pada grade ini akibat kebocoran plasma secara berlebihan. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanisme pembekuan darah sehingga keunggulan ini menjadi dasar pemilihan cairan.12,21 Tranfusi darah pada kasus syok ini tidak diberikan karena belum terdapat indikasi, yaitu apabila terdapat manifestasi perdarahan yang nyata.1,13

Penurunan suhu tubuh anak dapat dicapai dengan penggunaan obat penurun panas (antipiretik), terapi fisik (nonfarmakologi) seperti istirahat baring, kompres hangat, dan banyak minum.1,12,21 Menurut Drwal-Klein dan Phelps dalam Karyanti (2014) dengan menurunkan suhu tubuh, aktivitas dan kesiagaan anak membaik, dan perbaikan suasana hati (mood) dan nafsu makan juga semakin membaik.18 Penelitian ini mendapatkan cakupan pemberian terapi antipiretik hanya 98%, seharusnya semua pasien DBD mendapat antipiretik selama masa febris. Suatu systematic review oleh Champangoen dkk. (2009) menunjukkan efektivitas antipiretik asetaminofen dibandingkan ibuprofen tidak berbeda, meskipun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.23 Pertimbangan pemilihan asetaminofen adalah keamanannya (safety), dimana pada golongan ibuprofen terdapat efek samping, seperti hepatotoksisitas dan gangguan proses pembekuan darah yang memicu perdarahan saluran cerna.24

Terapi analgetik pada dasarnya tidak direkomendasikan baik sebagai terapi tersendiri atau sebagai pengganti antipiretik.1,12,21 Analgetik (penghilang rasa sakit) yang diberikan pada subyek penelitian ini sebagian besar adalah natrium metamizole (dipyrone) (derivat methanesulfonate dari aminopyrine). Menurut panduan, pilihan terapi lebih direkomendasikan menggunakan asetaminofen (parasetamol) karena tergolong aman untuk anak-anak dan memiliki aktivitas antipiretik dan analgetik.1,12,21

Permasalahan pada pemberian antipiretik adalah kategori duplikasi obat yang berupa kombinasi parasetamol dan ibuprofen, meskipun dalam penelitian hanya diberikan pada 1 orang. Menurut penelitian oleh Richardson dan Lakhanpaul (2007), kombinasi dua antipiretik parasetamol dan ibuprofen secara bergantian setiap 4 jam tidak terbukti secara ilmiah memiliki efek antipiretik atau analgetik yang lebih kuat dibanding pengguaan satu macam antipiretik.25 Akibat yang dapat ditimbulkan dari terapi duplikasi ini dapat meningkatkan risiko toksisitas pada penderita anak terutama yang menderita hepatotoksik.26

Pada penelitian ini ditemukan 1 kasus subyek yang tidak diberikan antipiretik maupun analgetik. Hal ini dapat disebabkan kondisi klinis pasien pada waktu masuk rumah sakit sudah melewati fase kritis atau sedang tidak dalam kondisi demam sehingga memengaruhi pertimbangan pemberian obat. Penelitian ini tidak membahas data secara keseluruhan dan tidak mengamati riwayat febris sebelum dibawa ke rumah sakit maka penelitian ini hanya dapat menjelaskan kondisi pengobatan pada suatu waktu saja.

Pemberian tatalaksana berupa antibiotik juga cukup tinggi dilakukan di RSUD Kabupaten Buleleng untuk kasus DBD anak (41,2%). Antibiotik untuk DBD bukan merupakan suatu indikasi mengingat dasar penyakit ialah virus sehingga tidak diperlukan kecuali jika terdapat infeksi sekunder akibat bakteri dan apabila terjadi sindroma syok dengue (SSD), mengingat infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna.1,12,21 Pada data sekunder tidak ditemukan data terkait kondisi komorbid yang diderita subyek pada awal masuk rumah sakit sehingga tidak dapat disimpulkan apakah pemberian antibiotik pada kasus ini sudah termasuk rasional atau belum.

Antibiotik yang berlebihan dan tidak sesuai akan menimbulkan masalah serius dan sulit diatasi, seperti pesatnya pertumbuhan bakteri resisten, timbulnya drug related problem (DRP) maupun efek samping yang berpotensi menimbulkan bahaya pada pasien, disamping peningkatan beban biaya.1,12,27 Menurut penelitian Yasin dkk. (2009) menunjukkan bahwa jenis DRP (Drug Related Problems) yang paling banyak terjadi adalah terapi tanpa adanya indikasi terjadi pada 22 pasien (33,8%) dari total 65 pasien pediatri yang didiagnosis DBD.27 Antibiotik merupakan golongan obat yang paling besar menjadi penyebab terjadinya DRP.28 Hanya pasien DBD dengan komplikasi atau kondisi komorbid infeksi berupa infeksi saluran napas akut (ISPA), tifoid, ensefalitis, atau infeksi lain yang perlu mendapat antibiotik.12,21

Pemberian terapi tambahan dapat dipertimbangkan pada kasus DBD sesuai gejalanya, namun tidak merupakan suatu elemen dasar penatalaksanaan DBD.1,12,21 Beberapa penatalaksanaan tambahan yang diberikan sebagai penanganan awal di Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Buleleng berupa antiemesis, antiinflamasi, imunomodulator, dan vitamin. Menurut IDAI (2009) pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan diusahakan tidak dilakukan, seperti antasid dan antiemetik, dalam rangka mengurangi beban detoksifikasi obat oleh hati.21 Antiinflamasi seperti kortikosteroid

hanya diberikan pada kondisi DBD dengan ensefalopati, namun apabila terdapat perdarahan saluran cerna maka obat ini tidak diberikan.12,21 Pemberian imunomodulator tidak rutin dilakukan namun bertujuan meningkatkan daya tahan tubuh.21 Panduan atau protokol khusus DBD yang membahas mengenai pemberian terapi tambahan tidak ada. Terapi tambahan sangat dipengaruhi oleh clinical consideration dokter sehingga pertimbangan terapi ini ditentukan atas urgensi dan kondisi klinis pasien. Data terkait kondisi komorbid yang mengacu pada perlunya administrasi obat atau terapi tambahan tidak tersedia secara lengkap sehingga belum semua subyek mendapat penanganan yang rasional berdasarkan gejala tambahan yang muncul.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, secara umum pola penatalaksanaan pasien anak dengan DBD Instalasi RSUD Kabupaten Buleleng meliputi pemberian rehidrasi intravena dan antipiretik. Pemberian antibiotik dan terapi tambahan belum rutin diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. Geneva: WHO Press. 2009.

  • 2.    Wilder-Smith A. dan Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of International Travel. Med Clin NAm. 2008; 92: 1377-90.

  • 3.    Calisher CH. Persistent Emergence of Dengue. Emerging Infectious Diseases. 2005;1(5): 738-739.

  • 4.    Martina BEE, Koraka P, Osterhaus A. Dengue virus pathogenesis: An integrated view. Clinical Microbiology Reviews. 2009; 22:564-81.

  • 5.    World Health Organization. World Health Assembly adopts resolution on all 17 neglected tropical diseases Geneva, Switzerland: World Health Organization. 2013.

  • 6.    Gibbons RV dan Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ. 2002; 324:1563– 1566.

  • 7.    Malavige GN, Fernando S, Fernando DJ, Seneviratne SL. Dengue viral infections. Postgrad Med J. 2004; 80:588–601.

  • 8.    Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta :  Kementerian

Kesehatan RI 2012.

  • 9.    Tirthayasa IM. Wabah Demam Berdarah di Buleleng "Menggila". 2013. Diakses melalui

http://www.antarabali.com/berita/46522/w abah-demam-berdarah-di-buleleng-menggila (diakses pada 13 Desember 2013).

  • 10.    Purnama SG, dan Baskoro T. Maya Index dan Kepadatan Larva Aedes aegypti Terhadap Infeksi Dengue. Makara, Kesehatan. 2012; 16(2): 57-64.

  • 11.    Ganesan A. Prevalensi Kasus Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode Juni-November 2014. Intisari Sains Medis. 2015;2(1):39-48

  • 12.    Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2005.

  • 13.    Chuansumrit A. dan Tangnararat-chakit K. Pathophysiology and management of dengue hemorrhagic fever. Transfusion alternatives in transfusion medicine. Journal Compilation. 2006; 8(suppl 1):3-11.

  • 14.    Karyanti MR dan Hadinegoro SR. Perubahan epidemiologi demam berdarah dengue di Indonesia. Sari pediatric. 2009; 10(6): 424-432.

  • 15.    Dyah OT, Martini, Dharmawan Y. Gambaran Epidemiologi Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Tembalang pada Tahun 2009-2011 Melalui Pendekatan Analisis Spasial. 2012. Diakses melalui: http://download.portalgaruda.org/article.p hp?article=73949&val=4700&title= (diakses pada 11 November 2014).

  • 16.    Strickman D, Sithiprasana R, Kittayapong P, Innis BL. Disribution of Dengue and Japanese Encephalitis amog Children in Rural and Suburban Thai Villages. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2000; 63(1, 2):27–35

  • 17.    Rachmawati E. Hubungan Antara Jenis Antipiretika Yang Digunakan  Dengan

Manifestasi Perdarahan Pada Anak Yang Menderita Demam Berdarah  Dengue

(Laporan Hail Karya Tulis  Ilmiah).

Semarang: Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012.

  • 18.    Karyanti MR. 2014. Penanganan Demam pada Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).         Diakses         melalui

http://idai.or.id/public-articles/klinik/keluhan-anak/penanganan-demam-pada-anak.html (diakses pada 7 November 2014).

  • 19.    Simatupang J. Gambaran Klinis Penderita Demam Berdarah Dengue pada Anak di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011 – 2012 (Karya  Tulis Ilmiah). Medan:

Universitas Sumatera Utara. 2013.

  • 20.    Soegianto S. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak. Lab Ilmu Kesehatan Anak-FK UNAIR/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya:  Tropical Disease

Center. 2002.

  • 21.    Pudjiaji AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra ED. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta:  Ikatan Dokter Anak

Indonesia. 2009.

  • 22.    Candra A. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. Aspirator. 2010; 2(2) : 110 –119.

  • 23.    Champangoen W, Chaiyasat P, Chinpiriya P, Homcharoen W, Jumpapan M, Kittipiboon T, dkk. A Systematic Review of Effectiveness of Ibuprofen versus Acetaminophen in Reducing Pediatric Fever. J Prapokklao Hosp Clin Med Educat Center. 2009; 26 (1): 35-44.

  • 24.    Grimaldi L, Abenhaim L, Michaud L, Mouterde O, Jonville AP, Giraudeau B, dkk. 2010. Pharmacoepidemiology and prescription. Eur J Clin  Pharmacol;

66:831-837.

  • 25.    Richardson M dan Lakhanpaul M. Guideline development group. Assessment and initial management o feverish illness in children younger than 5 years: summary of NICE guidance. BMJ. 2007; 334:11631164.

  • 26.    Andriani NWE, Tjitrosantoso H, Yamlean PVY. Kajian Penatalaksanaan Terapi Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Penderita Anak yang Menjalani Perawatan di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Tahun 2013. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT. 2014; 3(2): 57-61.

  • 27.    Yasin NM, Suwono J, Supriyanti E. Drug related problems (DRP) dalam pengobatan dengue hemorhagic fever (DHF) pada pasien pediatri. Majalah Farmasi Indonesia 2009; XX (1): 27-34.

  • 28.    Rizky, M. Z., Mukaddas, A., Faustine, I. Identifikasi Drug Related Problems (DRPS) Pada Pasien Anak Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Instalasi Rawat Inap RSUD Undata Palu Tahun 2011. Online Jurnal of Natural Science. 2014; 3(1): 99107.

27

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum