Hubungan antara Pendidikan, Pengangguran, dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Kemiskinan
on
JEKTMO [1] : 59-71
plSSΝ : 2301 - 8968 elSSΝ : 2303 -0186
Hubungan Antara Pendidikan, Pengangguran, Dan Pertumbuhan Ekonomi Dengan Kemiskinan
Sirilius Seran*
Univesitas Timor(Unimor -Fakultas Ekonomi dan Bisnis
ABSTRAK
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan sebab akibat baik secara langsung maupun hubungan tidak langsung antar variabel penelitian. Pendidikan, dan pengangguran, masing-masing mempunyai hubungan langsung dengan kemiskinan penduduk. Disamping itu pendidikan, dan pengangguran juga mempunyai hubungan tidak langsung dengan kemiskinan penduduk, melalui pengangguran. Penelitian ini menggunakan data sekunder-time series (BPS) 16 tahun terakhir antara tahun 2000-2015. Hasil analisis jalur membuktikan bahwa antara pendidikan dengan kemiskinan memiliki hubungan langsung yang bersifat negatif, kecuali antara pengangguran dengan kemiskinan memiliki hubungan langsung yang bersifat positif. Pendidikan dan pengangguran melalui pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan negatif dengan kemiskinan penduduk. Semua bentuk hubungan tersebut bersifat significant.
Kata kunci : Pendidikan, Pengangguran, Pertumbuhan, dan Kemiskinan
Education, Unemployment, and Economic Growth to Poverty Population’s
ABSTRACT
This study aimed to determine either direct or indirect causal relationship between the research variables. Each of education and unemployment variables has a direct relationship with the poverty of the population. In addition, education and unemployment have an indirect relationship with the poverty of the population through unemployment variable. This study used secondary data-time series (Statistics Indonesia – BPS) of the last 16 years between the years of 2000 to 2015. The results proved that the path analysis between education and poverty has a direct and/or negative relationship, except between unemployment and poverty there has a direct and/or positive relationship. While the analysis of the relationship between education and unemployment through economic growth toward the poverty of the population has a negative one. All forms of the relationship are significant.
Keywords: education, unemployment, growth, and poverty
PENDAHULUAN
Pendidikan(formal) merupakan cara tepat untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Makin tinggi pendidikan makin tinggi kualitas tenaga kerja. Apabila semua tenaga kerja berkualitas terlibat aktif dalam perekonomian, akan meningkatkan output barang dan jasa, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, akan menciptakan investasi, membuka lapangan kerja, menyerap angkatan kerja, yang pada gilirannya akan mengurangi kemiskinan penduduk. Mutu modal manusia yang berkualitas tinggi dan
menguasai teknologi dapat menghasilkan nilai tambah (value added) dan mendorong pertumbuhan ekonomi (Kort, M.P 2002:539). Dalam studinya di Amerika Serikat, Denison (1967 : 326) menemukan gilirannya akan mengurangi kemiskinan penduduk. Mutu modal manusia yang berkualitas tinggi dan menguasai teknologi dapat menghasilkan nilai tambah (value added) dan mendorong pertumbuhan ekonomi (Kort, M.P 2002:539). Dalam studinya di Amerika Serikat, Denison (1967 : 326) menemukan bahwa 23% dari pertumbuhan ekonomi Amerika dalam periode tahun 1909-1929, disumbangkan oleh meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan tenaga kerja. Kontibusi tersebut kemudian meningkat
59
Tabel 1. Persentase Nilai Balik Pendidikan Berdasarkan Kelompok Negara
Negara |
Individu Sosial N Sek.Dasar Menengah PT Sek.Dasar Menengah PT |
Afrika Asia A.Latin Intermediate Advance |
(9) 29 22 32 29 17 12 (8) 32 17 19 16 12 11 (5) 24 20 23 44 17 18 (8) 20 17 17 16 14 10 (14) (ta) 14 12 (ta) 10 9 |
Sumber : Psacharopoulos, 1984
Keterangan : N : jumlah Negara sampel
Gambar 1. Variasi nilai balik pendidikan berdasarkan beberapa Negara(%)
menjadi 42% dalam periode tahun 1929-1957.
Studi serupa juga dilakukan oleh Schultz, (1960) dalam bukunya: Capital Formation by Education-1960), Ia membandingkan tingkat balik antara modal manusia (rate of return to human capital) dengan tingkat balik modal fisik (rate of return to physical capital) terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari perbandingan tersebut, ditemukan bahwa proporsi yang cukup tinggi dari pertumbuhan output di USA disebabkan oleh pendidikan sebagai salah satu bentuk investasi pengembangan sumber daya manusia.
Hasil balik pendidikan untuk kepentingan sosial/ masyarakat dan individu relatif berbeda untuk setiap level pendidikan. Psacharopoulos, (1984:349) menemukan bahwa hasil balik pendidikan untuk kepentingan masyarakat (kepentingan sosial) cenderung lebih rendah dari hasil balik untuk kepentingan individu, dialami oleh semua Negara yang diamati. Makin tinggi pendidikan makin rendah nilai kemanfaatan untuk kepentinggan masyarakat (sosial). Di Negara-negara maju(14 Negara yang diteliti) nilai balik sosial dari mereka yang berpendidikan tinggi hanya 9 persen, lebih rendah dari yang berpendidikan menengah 10 persen. Sedangkan nilai balik yang untuk kepentingan individu sebesar 12 persen, lebih rendah dari yang
berpendidikan menengah 14 persen. Di Amerika Latin(5 negara sampel) nilai balik sosial yang dihasilkan oleh yang berpendidikan rendah sangat tinggi 44 persen melebihi dari pendidikan menengah : 17 persen, dan pendidikan tinggi 18 persen.
Sedangkan nilai balik untuk individu juga relatif lebih tinggi di Amerika Latin untuk semua level pendidikan, dan relatif lebih tinggi dari negara-negara lain,kecuali di Afrika(Tabel 1, & Gambar 1).
Aliran Neoklasik berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi lebih disebabkan oleh peran/kontribusi dari faktor produksi tenaga kerja (labor=L) dan modal (capital=K). Yang termasuk dalam pengertian K adalah : keuangan dan barang modal(mesin). Penambahan(kombinasi) antara L dan K (dengan asumsi produktivitasnya tetap) akan menambah total product(TP). Pada tingkatan tertentu, setelah TP mencapai maksimum; TP akan menurun kembali seiring dengan makin bertambahnya input tenaga kerja(asumsi K konstan). Pada titik ini bila input L terus ditambah, pada akhirnya tidak akan bermanfaat. Output akan terus berkurang, pada akhirnya akan negatif seiring dengan makin bertambahnya input tenaga kerja(Gambar 2).
Gambar 2. Hubungan antara Input L, dan Total Produk
Gamba 3. Petumbuhan Ekonomi Nasional
Sumber : Maipita, 2014
Aliran Neoklasik tidak memperhitungkan perubahan pada teknologi(T) dan kualitas tenaga kerja. L dan K bersifat statis (eksogen), padahal sejak tahun 1950-an dan 1960, sudah banyak penelitian yang membutikan tentang pentingnya teknologi dan kualitas untuk pertumbuhan ekonomi. Nafziger (1997 : 421) dalam penelitiannya menemukan bahwa kontribusi L dan K terhadap pertumbuhan ekonomi bagi kelompok negara-negara industri baru (New Industry Countries) seperti Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura berkisar antara 50% hingga 90%, yang dicerminkan oleh nilai ‘sisa’ yakni nilai T dalam fungsi produksi Cobb Douglas sebagai berikut :
Keenn Yt = TtKt,V
Keterangan :
Yt = tingkat output pada tahun ke t;
α , ß = masing-masing produktivitas dari K dan L. Nilai sisa ini dianggap sebagai efek dari unsur teknologi (T).
Teori pertumbuhan modern atau juga disebut model pertumbuhan endogen, menyebutkan bahwa faktor produksi yang krusial tidak hanya L dan K, tetapi juga termasuk perubahan pada teknologi (T), Kewiraswastaan (Kw), bahan baku (BB), dan material (Mt). Disamping itu faktor ketersediaan dan kondisi infrastruktur, hukum serta peraturan, stabilitas politik, kebijakan pemerintah (misalnya soal pengeluaran pemerintah), birokrasi dan dasar tukar internasional (ToT). Dengan demikian maka ada perbedaan mendasar, bahwa teori modern menganggap K dan L tidak sebatas jumlah seperti yang berlaku di teori Neoklasik tetapi termasuk kualitasnya. Kualitas L tidak hanya dilihat dari tingkat pendidikan tetapi juga termasuk faktor kesehatan. Pendidikan dapat diukur dari tingkat pendidikan formal yang ditamatkan sedangkan kesehatan diukur dari umur harapan hidup penduduk saat lahir (eo). Model pertumbuhan yang memperhatikan semua unsur termaksud dikenal sebagai model pertumbuhan modern yang endogen.
Dalam 15 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi nasional tidak lebih dari 6.5 % kecuali dalam masa orde baru, rata-rata pertumbuhan mencapai 7 %. Bahkan pada tahun 1995 mencapai angka 8.22 %. Kondisi ini tidak berlangsung lama; empat tahun kemudian, yaitu tahun 1999 pertumbuhan ekonomi nasional terjun bebas mencapai minus 13,13 %(Gambar 3). Sebagai akibat dari krisis politik dan krisis ekonomi yang terjadi ketika itu.
Pack, H.dan J.Page,(1994:534) dalam studi empirisnya menyatakan bahwa terdapat dua sumber utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi adalah investasi dan produktivitas.
Gambar 5. Garis kemiskinan dan jumlah penduduk miskin(Nasional)
Sumber : Maipita, 2014
Keterangan : Balok warna biru : garis kemiskinan penduduk
Balok merah : jumlah penduduk miskin
Investasi berkaitan dengan pemakaian faktor produksi kapital (K). Sedangkan produktivitas merujuk pada peningkatan produktivitas melalui kemajuan teknologi. Peningkatan produktivitas dari masing-masing faktor produksi dapat dihitung secara parsial (PFP) atau dihitung secara total untuk semua input produksi (TFP). TFP dapat dihitung dengan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas yang ditransformasikan menjadi liner logaritma, dengan persamaan sebagai berikut :
Ln Yt = LnTt + α LnKt + ßLnLt
Pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan trickledown effect untuk sektor-sektor ekonomi produktif lainnya. Setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 400.000 angkatan kerja(Yustika, 2006 : 136) sehingga mengurangi pengangguran. Pengangguran adalah penduduk usia kerja(15-64 tahun) yang sedang berusaha mencari pekerjaan tetapi belum mendapat pekerjaan.
Gambar 4. Penawaran dan permintaan tenaga kerja
Faktor penyebab timbulnya pengangguran diantaranya adalah: (1)rendahnya tingkat upah yang berlaku. Tenaga kerja rela untuk tidak bekerja(=menganggur) karena tingkat upah yang berlaku rendah, disebut pengangguran sukarela. Dari gambar 3 tersebut diketahui bahwa pada upah terendah W2 jumlah penawaran tenaga kerja(SN) sebesar 2 orang lebih kecil dari permintaan tenaga kerja(DN) sebesar 8 orang(Gambar 4). Artinya jumlah tenaga kerja yang rela menganggur 6 orang karena mereka tidak bersedia menerima tingkat upah yang berlaku. Keadaan ini hanya berlaku sementara karena permainan dari makanisme pasar (invisible hand) akan menyebabkan keseimbangan akan terjadi kembali secara otomatis, terjadi pada upah sebesar W5 menghasilkan SN=DN. (2) ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja yang diminta(DN) dengan keterampilan penawaran tenaga kerja (SN) yang tersedia, (3)faktor geografis(tempat tinggal), tenaga kerja yang tinggal menetap di Desa mempunyai akses yang terbatas terhadap informasi dibanding dengan tenaga kerja yang tinggal-menetap di Kota, (4)kekurangan permintaan efektif(effective demand). Keadaan ini cenderung mengurangi keuntungan perusahaan sehingga berpotensi menimbulkan pengangguran, dan kemiskinan.
Garis Kemiskinan(GK) perkapita penduduk merupkan tolok ukur (patokan) penilaian seseorang atau sekolompok masyarakat apakah tergolong miskin atau tidak miskin. Perhitungan batas GK mencakup pengeluaran untuk bahan makanan dan bahan non makanan. Jumlahnya berubah pada setiap tahun mengikuti perkembangan perekonomian,
termasuk perkembangan inflasi. Makin maju perekonomian, dan atau makin tinggi inflasi makin tinggi garis kemiskinan penduduk, mengakibatkan jumlah penduduk miskinpun terus bertambah, pada setiap tahunnya.
Gambar 5 memaparkan bahwa batas GK penduduk Indonesia pada tahun 2005 sebesar Rp.129,108/ kapita/bulan, meningkat menjadi Rp.152,847/ kapita/bulan pada tahun 2006. Jumlah penduduk miskinpun meningkat, mulanya sebanyak 35,10 juta orang(2005), kemudian meningkat menjadi 39,85 juta pada tahun 2006. Pada tahun 2007 hingga bulan Maret tahun 2013 jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, meskipun batas GK mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 37,17 juta orang. Kecenderungan serupa terus terjadi hingga bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 28,07 juta orang, meskipun pada saat yang bersamaan, batas GK penduduk terus mengalami peningkatan(Maipita, 2014 : 99). Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, rata-rata diatas 6,00 persen antara tahun 2007 hingga tahun 2013, kecuali pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi menurun menjadi 4.63 persen (Gambar 3).
Kemiskinan adalah sebuah keadaan yang serba kekurangan dialami oleh sekelompok orang, sehingga mereka tidak mampu untuk menikmati kesehatan yang layak, pendidikan yang tinggi, dan atau konsumsi makanan yang kurang layak dari segi kesehatan. Orang-orang miskin tidak mempunyai kualitas sehingga produktivitas rendah, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi juga menjadi rendah. Selanjutnya pendapatan juga rendah, sehingga mereka tidak mampu memenuhi sandang, pangan, dan papan yang layak. Memenuhi kebutuhan pokok sekedar untuk kenyang, tidak memperhatikan aspek gizi, mengakibatkan daya tahan tubuh tidak kuat, sehingga mereka gampang sekali terserang penyakit. Orang miskin terjebak dalam sebuah lingkaran yang tidak berujung pangkal disebut: lingkaran setan (vicious circle .
Berdasarkan uraian tersebut maka, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan sebab akibat baik bersifat hubungan langsung, maupun hubungan tidak langsung antara (1)pendidikan dengan pengangguran, (2)pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi, (3)pendidikan dengan kemiskinan, (4)pengangguran dengan kemiskinan
penduduk, (5) pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi , dan (6)pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan penduduk. Bentuk hubungan langsungnya adalah variabel pendidikan dan pengangguran terhadap kemiskinan. Sedangkan hubungan tidak langsungnya adalah pendidikan, dan pengangguran dapat berhubungan dengan kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi.
METODE DAN DATA
Penelitian ini menggunakan data panel (sekunder), time series 16 tahun terakhir(tahun 2000-2015), dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS). Perlakuan variabel dan pengukurannya termasuk satuan dan sumber data untuk masing-masing variabel nampak dalam Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2 Pelakuan Vaiabel dan Sumbe Data
Variabel |
Pengukuran Satuan |
Sumber Data | |
Pendidikan 1. ≤ SMP formal 2. SLTA Jumlah terakhir yang 3, PT ditamatkan(X1) |
BPS | ||
Pengangguran (X2) |
Tingkat pengangguran |
% |
BPS |
Pertumbuhan ekonomi(X3) |
Tingkat pertumbuhan ekonomi |
% |
BPS |
Kemiskinan penduduk(Y) |
Penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan |
% |
BPS |
Untuk mengetahui hubungan sebab akibat baik langsung maupun hubungan tidak langsung antara variabel penelitian, menggunakan teknik analisis jalur (path analysis).
Pemodelan analisis jalur(path analysis) yang diajukan, berupa : (1)model formal, dan (2)model informal. Model formal ditampilkan dalam bentuk persamaan, dan blok-blok sebagai berikut : Model formal :
Blok 1 : X2 = P21.X1 + P2r.R
Blok 2 : X3 = P31.X1 + P32.X2 + P3s.S
Blok 3 : X4/Y = P41.X1 + P42.X2 + P43.X3 + P4t.T
Gamba 7. Model Infomal
Tabel 3. Matrik Korelasi (data sheet untuk analisis data)
Kemiskinan |
Pendidikan |
Pertumbuhan Ekonomi |
Pengangguran |
(Y/X5) |
(X1) |
(X2) |
(X3) |
Kemiskinan | |||
(Y/X5) Pendidikan |
1.000 | ||
(X1) Pertumbuhan |
-0.924 |
1.000 | |
Ekonomi(X2) Pengangguran |
-0.602 |
0.535 |
1.000 |
(X3) |
0.576 |
-0.595 |
- 0.191 |
1.000
sedangkan model informal, ditampilkan dalam bentuk gambar, menerangkan hubungan sebab akibat, baik langsung maupun hubungan tidak langsung antara variabel bebas(X) : pendidikan, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi terhadap variabel tak bebas(Y) : kemiskinan penduduk.
Model informal yang dimaksud adalah : (Gambar 7) Tahap selanjutnya adalah menemukan nilai koefisien korelasi diantara variabel penelitian sebagai syarat untuk menggunakan analisis jalur. Nilai koefisien korelasi(r) dimaksud diperoleh dengan menggunakan 3 (tiga) macam alat analisis, adalah : (1)analisis produk momen, (2)analisis tata jenjang, dan (3)alat analisis regresi. Hal ini karena sesuai dengan jenis data penelitian adalah: interval, ordinal dan rasio. Hasil koefisien korelasi(r) ditampilkan dalam bentuk matrik korelasi sebagai berikut : (Tabel 3).
Hipotesis dari penelitian ini adalah : (1)terdapat hubungan negatif dan signifikan antara pendidikan dengan pengangguran, (2)terdapat hubungan positif, dan signifikan antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi, (3)terdapat hubungan negatif, dan signifikan antara pendidikan dengan kemiskinan penduduk, (4)terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengangguran dengan kemiskinan penduduk, (5)terdapat hubungan negatif antara pengangguran dengan pertumbuhan
ekonomi, dan (6)terdapat hubungan negatif dan signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan penduduk,
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Rekapan koefisienjalur ke dalam model formal sebagai berikut
Blok I : X2 = -0.584X1 + 0.812r.R
Blok II : X3 = 0.631X1 – 0.270X2 +0.063s.S
Blok III : X4 = 0.238X1 + 0.559X2 – 0.590X3 +
0.355t.T
Hasil analisisnya dijabarkan ke dalam model informal sebagai berikut :
Gambar 8. Model informal : hubungan kausal antar variabel
Diskusi selanjutnya adalah interpretasi hasil analisis hubungan sebab akibat diantara variabel penelitian sesuai dengan model formal, model informal dan hipotesis. Pembasannya dikelompokkan menjadi 3(tiga) adalah :
Hubungan Kausal Antara Pendidikan Dengan Pengangguran.
Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya sadar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang(penduduk) untuk meningkatkan kemampuan. Peningkatan kemampuan tidak hanya dapat melalui
Tabel 4. Pengangguran terbuka berdasarkan pendidikan(formal) terakhir yang ditamatkan, tahun 2004-2014(Indonesia)
No Educ. 2004 Feb. |
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Agst. Agst. Agst. Agst. Agst. Agst. Agst. Agst. Agst. Agst. |
1 ≤ SMP 59.24
|
59.16 57.39 49.73 48.87 43.45 45.94 49.80 51.25 48.68 45.01 34.62 36.75 40.76 40.91 43.36 40.43 40.75 39.96 42.96 45.48 6.22 5.86 9.51 10.22 13.19 13.63 9.45 8.79 8.36 9.51 |
Sumber : Survey Angkatan Kerja Nasional(Sakernas)2004-2014
Gambar 9 . Pengangguran Berdasarkan Tingkat Pendidikan (%)
Sumber : Sakernas, 2004-2014
pendidikan formal, melainkan juga dapat melalui non formal, maupun pendidikan informal. Orang yang mempeoleh pendidikan (formal) hingga tamat perguruan tinggi memiliki kemampuan intelek yang relatif lebih tinggi dari orang yang hanya tamat sekolah menengah. Variasi fleksibilitas dalam hal penentuan pilihan jenis dan atau lapangan pekerjaan untuk mereka yang berkualitas tinggi karena berpendidikan tinggi lebih terbuka. Mereka ini relatif lebih rewel/selektif memilih pekerjaan. Besaran/tingkat upah, dan kenyamanan lingkungan tempat kerja, dapat menjadi faktor pemicu akan hal ini. Bahkan beberapa diantaranya akan lebih memilih untuk menganggur (sementara) daripada bekerja. Jenis penganggur yang semacam ini dikenal sebagai pengangguran sementara.
Lama waktu menganggur sementara(voluntary unemployment) ini sangat relatif, tergantung kepada beberapa hal adalah (1)dukungan(‰^^ce) keluarga, (2)harta warisan, dan (3)masih mempunyai cadangan pendapatan(tabungan). Jika ketiga faktor ini mengalami perubahan atau berkurang maka tenaga kerja yang bersangkutan akan segara memasuki lapangan pekerjaan. Pada titik ini kemampuan untuk
memilih jenis pekerjaan cenderung berkurang.
Apapun pekerjaannya, dan dengan tingkat upah yang berlaku akan terjadi penyesuaian secara alami, inilah yang dikenal sebagai hukum “trade off”, saling meniadakan antara kebutuhan dan keinginan. Berbeda dengan penduduk yang berpendidikan rendah, tidak mempunyai banyak pilihan. Jenis pekerjaan yang berlabel 3-Ber (berbau, bereziko, dan berbahaya) menjadi pilihannya. Jenis pekerja golongan ini jumlahnya melebihi dari yang berpendidikan tinggi.
Tabel 4, dan Gambar 9 memperlihatkan bahwa persentase tenaga kerja menganggur yang berpendidikan rendah (≤ SMP) cenderung menurun antara tahun 2004-2009, kemudian meningkat kembali hingga tahun 2014. Penganggur yang berpendidikan SMU/K, cenderung lebih stabil, terendah pada tahun 2013 sebsar 39.96 persen, dan meningkat kembali menjadi 45.48 persen di tahun 2014. Sedangkan penganggur yang berpendidikan tinggi jauh lebih rendah, dari yang berpendidikan dasar dan menengah. Terendah terjadi pada tahun 2004 sebesar 5.58 persen dan tertinggi sebesar 13.63 persen pada tahun 2010. Artinya lama waktu/masa
menunggu untuk mendapat pekerjaan relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi rendah(SD, SMP,SMU/K).
Psacharopoulos, (2006 : 121) dalam penelitiannya di beberapa Negara menemukan kecenderungan serupa bahwa tenaga kerja yang berpendidikan rendah relatif lebih banyak yang menganggur dibanding yang berpendidikan tinggi. Berdasarkan Gambar 9 tersebut diketahui bahwa penganggur terbanyak adalah mereka yang berpendidikan SMP kebawah, dialami oleh 7(tujuh)) Negara yang diamati, menyusul SMU/K, dan persentase penganggur terendah dialami oleh tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Dari 7(tujuh) Negara tersebut, Jerman memiliki penganggur yang berpendidikan SMP sebesar 18.0 persen lebih tinggi dari yang dialami oleh Perancis(12,1%), Kanada(10,9%), USA(9,9%),Ukraina(6.9%), dan Jepang6,7%). Untuk tingkat SMU/K, Jerman masih mendominasi, sedangkan penganggur yang berpendidikan tinggi lebih banyak dialami oleh Perancis sebesar 6,1 persen, dan paling rendah dialami oleh Ukraina sebesar 2,4 persen.
Hasil analisis statistik menggunakan data paneltime series 10 tahun terakhir menghasilkan hubungan negatif antara pendidikan (formal) dengan pengangguran, dengan nilai koefisien jalur (beta terstandart) sebesar -0,584 dan nilai Sign 0.001, lebih kecil dari alfa 0,005, sehingga hipotesis pertama terbukti signifikan. Artinya makin tinggi pendidikan yang ditamatkan makin besar kemungkinan seseorang untuk mendapat/ memperoleh pekerjaan. Keeratan hubungan antara kedua variabel tergolong kuat, ditandai dengan nilai koefeisen regreasi sebesar 0.584. Hasil analisis jalur untuk variabel pendidikan dan pengangguran dimaksud, ditampilkan dalam model berikut :
Gambar 10. Hubungan kausal antara pendidikan dengan pengangguran
-0.584
X2
0.659
Nilai residu 0.659 tersebut, menggambarkan bahwa 66 persen dari pengangguran dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model ini, atau dengan kata lain 34 persen(=(R²) orang menganggur disebabkan oleh karena faktor pendidikan.
Tabel 5. Hubungan antara kualitas tenaga kerja terhadap kontribusi pertumbuhan output
Negara |
Peningkatan kualitas tenaga kerja |
Kontribusi terhadap pertumbuhan |
Pertumbuhan output/kapita |
Kanada |
0.74 |
0.50 |
2.93 |
Prancis |
0.73 |
0.49 |
3.04 |
Jerman |
0.41 |
0.28 |
2.91 |
Italy |
0.19 |
0.12 |
3.74 |
Jepang |
0.16 |
0.79 |
5.39 |
United | |||
Kingdom |
0.38 |
0.26 |
2.15 |
United | |||
State |
0.59 |
0.40 |
2.07 |
Sumber : Psacharoupoulus George. Education and Growth/www.csus.
edu/indiv/1/langd/ psacharoupoulus2.pdf.
Gambar 11. Hubungan antara Kualitas Tenaga Kerja terhadap Kontribusi Pertumbuhan Output
Sumber : Psacharoupoulus George. Education and Growth/www.csus.
edu/indiv/1/langd/ psacharoupoulus2.pdf.
Hubungan Kausal Antara Pendidikan, dan Pengangguran dengan Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan akibat dari faktor pendidikan dan pengangguran. Pendidikan membuat orang (tenaga kerja) untuk menjadi yang berkualitas. Makin tinggi pendidikan, seseorang akan mempunyai kualitas yang lebih tinggi. Tenaga kerja yang berkualitas akan menghasilkan output barang dan jasa dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih berkualitas. Stevens Philip, (2003 : 235) dalam penelitian tentang Negara-negara G7 menemukan bahwa peningkatan kualitas tenaga kerja mempunyai hubungan positif dengan pertumbuhan output. Makin tinggi kualitas tenaga kerja makin besar kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kualitas tenaga kerja di Jepang misalnya sebesar 1.16 persen mampu menyumbang pertumbuhan output sebesar 0.79 persen, dan pertumbuhan output perkapita sebesar 5.39 persen.
Gambar 12 . Persentase Kontribusi Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Sumber : Psacharopoulos, (1973:337)
sedangkan di Negara Italy dengan peningkatan kualitas 0.19 persen mampu menyumbang terhadap pertumbuhan output hanya 0.12 persen(Tabel 5 dan Gambar 11)
Psacharopoulous(1985) menggunakan data tahun 1960-1977, menemukan bahwa besaran GNP/ kapita dipengaruhi juga oleh kemampuan tenaga kerja, diukur dari kemampuan membaca(literacy). Korea Selatan dengan angka literacy 43.6 persen mendapatkan pertumbuhan GNP/Kapita sebesar 7.6 persen, lebih besaer dari Portugal dan Spanyol memiliki GNP/Kapita masing-masing sebesar 5.7 persen dan 5.3 persen karena angka literacy-nya hanya 1.7 persen, dan 1.2 persen.
Dalam penelitian yang lain, Psacharopoulos, (1973:337) menemukan bahwa kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi bervariasi antara negara-negara di Amerika Utara,Eropa, dan Asia. Gambar 12 memaparkan bahwa kontribusi tertinggi dialami oleh negara-negara di Amerika Utara : Canada sebesar 25 persen, dan United States sebesar 16.0.
Di Eropa kecuali Belgia, pendidikan menyumbang 14,0 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi terendah dialami oleh Jerman, sebesar 2,0 presen. Sedangkan di Asia, kontribusi tertinggi dialami oleh Korea Selatan : 15,9 persen, menyusul Malaysia : 14,7 persen, Philipina : 10,5 persen.
Kontribusi terendah dari pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dialami oleh Jepang sebesar 3,3 persen(Gambar 12).
Penelitian ini juga konsisten hasilnya bahwa pendidikan mempunyai hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi meskipun variabel pendidikan digabung dengan variabel pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi.
Gambar 13. Hubungan Kausal antara pendidikan, dan pengangguran terhadap pertumbuhan ekonomi
Nilai koefisien beta terstandar sebesar 0.631 dengan alfa sebesar 0.031, sehingga hipotesis kedua juga diterima bahwa pendidikan mempunyai hubungan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi.
Nilai koefisien beta terstandar antara pengangguran dengan pertumbuhan ekonomi bersifat sebesar -0.270. Makin tinggi angka pengangguran cenderung berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi. Hubungan ini bersifat signifikan, nilai
Gambar 14. Pertumbuhan Ekonomi, dan Pengangguran Tahun 1996-2011
Sumber : Yustika, 2006
Sign 0.001 lebih kecil dari nilai probabilita 0.005 sehingga hipotesis ketiga juga terbukti, diterima.
Penduduk usia kerja yang belum bekerja (penganggur) termasuk penduduk lanjut usia, tidak menghasilkan bagi pembangunan, namun pada saat yang bersamaan mereka juga membutuhkan makanan, pakaian, dan perumahan. Kebutuhan kelompok ini dibiayai oleh penduduk usia produtif. Makin besar penduduk yang tidak produktif makin besar beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif. Pada tahun 2010(BPS-2010) Dependency Ratio(DR) untuk kasus Indonesia sebesar 51,31 lebih kecil dari yang dialami oleh Prov. NTT, dan Prov. NTB, masing-masing sebesar 73,21., dan 55,52. Artinya penduduk usia produktif, dan menghasilkan di Prov.NTT, memiliki beban ketergantungan yang lebih besar dari NTB, dan Indonesia.
Secara teoritis pengangguran cenderung mengurangi pertumbuhan ekonomi, dan atau pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi pengangguran tenaga kerja. Menganggur berarti tidak menghasilkan bagi pembangunan dan cenderung mengurangi output perkapita dan pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya dapat menghasilkan kemiskinan. Setiap tambahan 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap 400 000 tenaga kerja di sektor manufaktur(Yustika, 2006 : 136). Data yang dikeluarkan oleh BPS (2012) bahwa jumlah tambahan angkatan kerja selama periode 1996-2011 jauh melebihi dari kemampuan pertumbuhan ekonomi untuk menyerapnya. Bahkan selama periode tersebut persentase penduduk yang menganggur lebih besar dari pertumbuhan ekonomi(Gambar 14).
Hubungan Kausal Antara Pendidikan, Pengangguran, dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Kemiskinan Penduduk.
Pengeluaran untuk pembiayaan pendidikan merupakan sebuah investasi, kemanfaatannya diperoleh atau dinikmati pada masa-masa yang akan datang, setelah seseorang menamatkan pendidikan dan memasuki pasar kerja. Keputusan untuk melakukan investasi dalam bidang pendidikan tinggi apabila keuntungan yang diperoleh pada masa yang akan datang melebihi dari biaya yang akan dikeluarkan. Keuntungan diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan selama mengikuti pendidikan. Biaya yang dimaksud dalam konteks ini, tidak hanya berupa uang, melainkan termasuk hilangnya kesempatan untuk bekerja menggunakan ijazah SMU/K karena memutuskan untuk kuliah, disebut pendapatan yang hilang, terjadi pada usia antara 18-21 tahun.
Gambar 15. Keputusan Investasi dalam bidang
Gambar 15 memaparkan bahwa tingkat upah/ pendapatan yang diperolah tenaga kerja yang tamat PT lebih tinggi dari upah yang diperoleh tenaga kerja yang tamat SMU/K. Kondisi ini yang menjadi dasar seseorang memutuskan untuk kuliah. Artinya makin tinggi kualitas lulusan/tenaga kerja makin tinggi produktivitas, sehingga menghasilkan pendapatan yang lebih besar, yang dapat mengurangi kemiskinan.
Penelitian ini menemukan bahwa antara pendidikan(formal) dengan kemiskinan memiliki hubungan negatif. Nilai Coefficein Beta terstandar sebesar -0.238, dan bersifat Signifikan. Artinya makin tinggi pendidikan makin rendah kemiskinan penduduk. Hasil analisis jalur secara simultan ditampilkan dalam Gambar 16.
Gambar 16. Hubungan kauasal antara pendidikan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan penduduk.
Besaran output yang dihasilkan oleh tenaga kerja dalam perekonomian merupakan indikator untuk menilai tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomidinilaidaribesaran PDRB(ProdukDomestik Regional Bruto), dihasilkan oleh seluruh sektor produktif dalam sebuah perekonomian. Makin tinggi PDRB makin tinggi pula pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat menyerap angkatan kerja, mengurangi pengagguran, dan kemiskinan penduduk. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa nilai koefisen jalur beta terstandar sebesar ‒0.590 menggambarkan bahwa makin tinggi pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan penduduk. Hubungan ini bersifat Signifikan, dengan nilai Sign = 0.001 lebih kecil dari alfa 0.005, sehingga hipotesisnya diterima.
Studi yang dilakukan oleh (Townsend, dan Peter,1954 : 123) mengelompokkan keluarga yang hidup dalam kemiskinan, menjadi dua bagian adalah : (1)Keluarga yang pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, disebut kemiskinan primer, dan (2)keluarga yang pendapatannya secara
keseluruhan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik, disebut kemiskinan sekunder. Rio Group (2006: 578) menggolongkan kemiskinan menjadi tiga kelompok : (1)kemiskinan absolut, (2) kemiskinan relatif, dan (3)kemiskinan subyektif. Kemiskinan absolut sama artinya dengan kemiskinan primer atau juga disebut sebagai kemiskinan ekstrim. Beberapa Negara seperti Nigeria, Pakistan, termasuk Indonesia menggunakan konsep ini untuk menetapkan kemiskinan penduduk (Maipita, 2014: 108). Kemiskinan relatif, diukur dari perbandingan kelompok masyarakat berpendapatan rendah dengan kelompok masyarakat berpendapatan tertinggi. Perbedaan(nisba) jumlah pendapatan yang diperoleh antara kedua kelompok masyasrakat ini menjelaskan distribusi pendapatan yang tidak merata. Tentang nisbah ini, dikenal beberapa kriteria pengukuran distribusi pendapatan adalah : (1)kriteria Bank Dunia, (2)kurva Lorenz, dan (3)koefisien gini.
Bank Dunia mengelompokkan masyarakat menjadi tiga kelompok : (1)40 % penduduk yang berpendapatan terendah, (2)40 % penduduk yang berpendapatan menengah, dan (3)20% penduduk yang berpendapatan tertinggi. Penilaiannya adalah : (1)jika 40% penduduk yang berpendapatan terendah menerima pendapatan kurang dari 12 % dari total pendapatan maka dinyatakan sebagai ketimpangan yang tinggi/ketidakmerataan yang tinggi, (2) jika 40% penduduk yang berpendapatan terendah menerima pendapatan antara 12-17% dari total pendapatan, dikatakan sebagai ketimpangan sedang/ ketidakmerataan sedang, (3)tetapi apabila 40% penduduk yang berpendapatan terendah menerima pendapatan lebih 17% dari total pendapatan, dikategorikan sebagai ketidakmerataan rendah.
Maipita, (2014 : 164), mengolah data BPS tahun 1999-2013 menemukan bahwa antara tahun 1999 hingga tahun 2010 ketidakmerataan pendapatan di Indonesia tergolong rendah, namun pada tahun 2011 sampai tahun 2013 distribusi pendapatan termasuk sedang. Pada tahun 2013 hanya 16,87 % dari total pendapatan dinikmati oleh 40% penduduk yang berpendapatan rendah, sedangkan penduduk yang berpendapatan tertinggi menikmati 49,04% dari total pendapatan
Indeks koefisien Gini, paling tinggi sama dengan 1(satu), menggambarkan ketidakmerataan distribusi pendapatan nasional yang sangat parah. Makin kecil nilai koefisien gini, misalnya mendekati nol, artinya distribusi pendapatan makin merata. Sejak tahun 1999 sampai tahun 2010 Indonesia mengalami ketidakmerataan sedang.
Gambar 17. Koefisien indeks Gini-Nasional
Sumber : Maipita, 2014.
Gambar 18. Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, dan Kemiskinan Tahun 1998-2013
Sumber : Maipita, 2014.
Nilai Koefisien Gini rata-rata sebesar 0,3. Nilai ini meningkat menjadi 0,4 pada tahun 2011 sampai tahun 2013. Nilai Koefisien Gini rata-rata sebesar 0,3. Nilai ini meningkat menjadi 0,4 pada tahun 2011 sampai tahun 2013 (Gambar 17).
Kemiskinan penduduk dapat terjadi karena banyak penduduk usia kerja yang tidak bekerja (penganggur), sebagai akibat dari rendahnya pendidikan, efek selanjutnya adalah mengurangi pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kemiskinan penduduk. Hasil analisis jalur(path analysis) (Gambar 14) menunjukkan bahwa variabel penganggur mempunyai hubungan positif dengan kemiskinan, dengan nilai koefisien jalur (coeficien beta terstandar) sebesar 0.559, dan nilai Sign = 0.001 sehingga hubungan tersebut bersifat signifikan. Ketiga variabel : pendidikan, pengangguran , dan pertumbuhan ekonomi secara simultan mempunyai hubungan yang sangat kuat, dengan nuilai koefisien regresi sebesar 0.935. Sedangkan nilai koefisien determinan sebesar 0.874, artinya 87 persen dari kemiskinan penduduk dipengaruhi oleh model, yang dibentuk, dengan residunya sebesar 35 persen.
Gambar 18 memperkuat temuan dari penelitian ini bahwa pertumbuhan, pengangguran, dan kemiskinan saling berpengaruh. Pertumbuhan ekonomi,
dapat menyerap angkatan kerja,mengurangi pengangguran, dan kemiskinan. Tahun 1998 Indonesia mengalami masa sulit. Krisis Moneter (Krismon), dan kemudian berkembang menjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat terjun bebas, 1 AS $ menjadi -+Rp.18.000. Pertumbuhan ekonomi merosot tajam, menjadi -13.13 persen, diikuti oleh angka pengangguran menjadi 5,5 persen, dan kemiskinan penduduk menjadi 24.23 persen tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Pasca Krismon, keadaan perekonomian Indonesia mulai pulih kembali, pertumbuhan mulai merangkak naik, seiring dengan itu persentase kemiskinan penduduk juga mengalami penurunan. Tidak demikian halnya dengan pengangguran, tidak mengalami penurunan melainkan terus merangkak naik. Diduga sebagai akibat dari pertambahan angkatan kerja yang sangat banyak sehingga perekonomian tidak mampu untuk menyerap semuanya, sehingga menimbulkan pengangguran(Gambar 18).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa pendidikan, mempunyai hubungan negatif, dan signifikan dengan pengangguran, dan kemiskinan penduduk. Pendidikan juga mempunyai hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi.
Pengangguran disamping mempunyai hubungan positif dan siginifikan dengan kemiskinan penduduk, tetapi juga berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan negatif, dan signifikan dengan kemiskinan penduduk.
REFERENSI
Becker, Gary.S. 1975. Human Capital, A Theoritical And Empirical Analysis, With Special Reference To Education, Second Edition. Columbia University : Press New York.
BPS.2010.Pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, tahun 2004-2014,http:// www.bps.go.id/subjek/view/id/6#subjekviewTab3/ accordion.daftar-subjek1/, diakses 21 Februari 2016.
BPS.2010.Susenas,2012.Pendudukan Miskin Tahun 1970-2013,http://www..bps.go.id/subjek/view/ id/6#subjekviewTab3/accordion.daftar subjek1/,diakses 21 Februari 2016.
BPS. Sakernas 2004-2014. Pengangguran terbuka berdasarkan pendidikan (formal terakhir yang ditamatkan/,http://www.google.com/search/ diakses 21 Februari 2016.
BPS.Statistik Indonesia-Statistical Yearbook of Indonesia.2012,http://www.Istamat.info/ files/upload/47407/Statistical_yearbook_of_ indonesia_2012.pdf/,diakses 22 Februari 2016.
Denison, E.F.1967. Why Growth Rates Differ : Postwar Experience In Nine Countries. Washington DC : The Brooking Institution.
Ehrenberg Ronald G., and Robert S.Smith. 2003. Modern Labor Economics.Theory and Public Policy Eighth Edition. San Francisco New York.Addison Wesley.
Elfindri, & Nasri Bachtiar. 2004. Ekonomi Ketenagakerjaan Padang : Universitas Andalas.
George Psacharopoulous-1985.The Contribution of Education to Economic Growth : International Comparisons,http://www.sus.edu/indiv/I/ langd / Psacharopoulous2.pdf./, diakses 22 Februari 2016.
Kort M.P. 2002. The Theory of The New Economy Firm: A Dynaimc Analysis of Human Capital Investment/,http://www.arno.uvt.nd/ diakses. 20Februari 2016.
Maipita Indra. 2014. Mengukur Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan.Yogyakarta : UPP STIM YKPN.
Nafziger, Wayne E.1997. The Economics of Developing Countries, International Edition, Third Edition, Prentice-Hall International, Inc.,New Jersey.
Nicholson, Walter. 2000. Mikroekonomi Intermediate, dan Aplikasinya- Terjemahan. Jakarta. PT.Gelora Aksara Pratama.
Pack,H.dan J.Page,Jr.1994. Accumulation, Exports and Growth in the High Performing Asian Economies, Carnegia-Rochester Conference on Public Policy 40,June.
Psacharopoulos, George. 2006.The Value of Investment in Education:Theory, Evidance,and Policy, http://www.heart-resources.org/wp- content/ upload/2015/10/0- Psacharopoulos-value-of-Investing-in-education.pdf. diakses 15 Juni 2016
Rio Group.2006. Compendium of Best Practices in Poverty Measurment. Expert Group on Poverty Statistics. Rio Jeneiro.
Sumarsono, Sonny. 2003. Ekonomi Manajemen Sumberdaya Manusia & Ketenagakerjaan. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Schultz, T.W.1964. Capital Formation by Education. Journal of Political Economy, http://www.uvm. edu/diakses,tanggal 20 Februari 2016.
Stevens Philip dan Martin Weale.2003. Education and Economic Growth. National Institue of Economic and Social Research/, http//www.2 Dean Trench Street, London Swip3He/cee./se.acukconference_ paper/28_11_2003/martin_weale.pdf/, diakses 22 Februari 2016.
Tambunan Tulus T.H.2003. Perekonomian Indonesia-Beberapa Masalah Penting.Jakarta.Ghalia Indonesia.
Yustika Ahmad Erani. 2006. Perekonomian Indonesia, Deskprisi, Prediksi, dan Kebijakan. Jawa Timur : Bayu Media Publishing.
Townsend, dan Peter.1954. Measuring Poverty. The British Journal of Sociology.Vol.5 No.2 June 1954, pp.130-137. Published by :Blackwell Publishingon behalf of the London School of Economics and Political ScienceStable URL. http://www.jstor.org/ stable/587651/diakses 23 Februari 2016.
Psacharopoulos, George.1984.The Contribution of Education to Economic Growth : International Comparisons/,http://www.csus.edu/ indiv/I langdpsacharopoulous2.pdf. diakses 15 Juni 2016.
71
Discussion and feedback