ISSN:2303-1395

E-JURNAL MEDIKA, VOL 6 NO 5, MEI 2017, HAL 12-20

KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TEMBUKU IKABUPATEN BANGLI TAHUN 2016

Illham Setiawan1, Luh Seri Ani2

1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Ilmu Kedokteran Komunitas dan Pencegahan, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Diare masih merupakan masalah kesehatan pada anak di bawah lima tahun (balita). Di wilayah kerja Puskesmas Tembuku I, diare termasuk dalam 10 besar penyakit yang ditangani. Hasil survei awal didapatkan sebanyak 2 dari 10 balita pernah mengalami diare dalam 6 bulan terakhir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kejadian diare pada balita di wilayah kerja UPT (Unit Pelayanan Teknis) Puskesmas Tembuku I. Studi deskriptif cross-sectional dilakukan terhadap 65 balita yang dipilih dengan metode sampel multistage. Kejadian diare diukur berdasarkan pengalaman berak encer lebih dari 3 kali sehari selama 6 bulan terakhir. Penelitian dikumpulkan dengan metode wawancara. Selanjutnya data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif. Sebanyak 43,1% balita dinyatakan pernah mengalami diare selama 6 bulan terakhir. Diare pada balita sebagian besar ditemukan pada balita yang memiliki ibu dengan tingkat pengetahuan kurang (44,0%), kondisi jamban layak (45,8%) serta memiliki riwayat air susu ibu (ASI) non-ekslusif (44,0%). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa ASI ekslusif sangat dibutuhkan oleh bayi untuk mencegah kejadian penyakit infeksi khususnya diare.

Kata kunci: diare, balita, asi ekslusif, cross sectional

Abstract

Diarrhea is still a health problem in children under five years old (toddlers). In Tembuku I Public Health Center working area, diarrhea addressed in the top ten diseases. The results of the initial survey obtained as many as 2 out of 10 children under five had experienced diarrhea in the last 6 months. The purpose of this study was to determine the incidence of diarrhea in children under five in Tembuku I Public Health Center working area. A descriptive cross-sectional study was conducted on 65 infants selected by multistage sampling method. The incidence of diarrhea was measured based on experience loose stools more than three times a day in the last 6 months. Study was collected by interview. Furthermore, the data were analyzed descriptively. Result showed 43.1% children had diarrhea for the last 6 months. Diarrhea in infants are mostly found in infants whose mothers with less knowledge (44.0%), decent latrine condition (45.8%) and had a history of nonexclusive breastfeeding (44.0%). Based on this we can conclude that exclusive breastfeeding is needed by infants to prevent the incidence of infectious diseases, especially diarrhea.

Key words: diarrhea, children under 5, breastfeeding, cross sectional

Pendahuluan

12

Diare merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh berubahnya suatu bentuk dan konsistensi tinja, dari lembek hingga cair, meningkatnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya, yaitu tiga kali atau lebih dalam satu hari.1 Hingga saat ini diare masih dianggap sebagai masalah utama di dunia.2 Dimana diare menjadi penyebab nomor satu kematian pada anak di dunia dan nomer dua pada anak di bawah 5 tahun.3

Secara global lebih dari dua ribu anak meninggal karena diare setiap harinya. Angka ini lebih banyak dari gabungan angka kematian oleh AIDS, Malaria dan campak. Diare menjadi penyebab lebih dari delapan ratus ribu kematian anak setiap tahunnya.3 Menurut data yang disajikan oleh WHO tahun 20132 terdapat sekitar 1,7 miliar kasus diare pertahun. Di negara berkembang, anak-anak yang berada pada usia dibawah 3 tahun, umumnya mengalami episode diare sebanyak 3 kali per tahun. Pada setiap episodenya, nutrisi untuk tumbuh kembang anak-anak hilang akibat diare, oleh sebab itu diare merupakan penyebab utama malnutrisi pada anak.2

Dalam skala nasional, laporan Riskesdas pada tahun 2007 menunjukkan bahwa diare menyebabkan kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%).4 Meskipun terdapat penurunan kejadian luar biasa (KLB) diare pada tahun 2011 dibanding tahun 2012 dari 3003 kasus menjadi 1585 kasus, namun terjadi peningkatan case fatality rate diare pada tahun 2011 hingga 2012 dari 0,4% menjadi 1,45%. Angka tersebut melebihi target CFR Nasional yaitu <1%.5

Penyakit saluran cerna seperti diare ditemukan cukup tinggi di Provinsi Bali. Kasus diare diperkirakan meningkat jumlahnya sekitar 86.493 pada tahun 2013 menjadi 87.845 kasus pada tahun 2014. Sementara itu, sebanyak 69.817 kasus

(79,5%) tertangani, dengan angka kesakitan diare sebanyak 214 per 1000 penduduk.6

Meskipun berbagai upaya sudah dilakukan oleh Puskesmas Tembuku I, terutama pemberantasan penyakit diare melalui penanaman pola hidup sehat kepada masyarakat serta penyuluhan kesehatan tentang diare sebagai pencegahan, namun penyakit diare masih merupakan salah satu dari 10 besar penyakit yang diobati di puskesmas. Survei awal yang dilakukan di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, ditemukan sebanyak 2 dari 10 anak balita pernah mengalami diare pada 6 bulan terakhir. Dari data survei juga didapatkan kesenjangan dimana hanya 2 dari 10 ibu yang mengetahui tentang diare dan hanya 1 orang ibu yang memperoleh informasi tentang diare melalui penyuluhan kesehatan. Hal ini bertolak belakang dengan program pencegahan penyakit menular (P2M) puskesmas yang mengatakan penyuluhan kesehatan tentang diare rutin dilakukan dan menjadi ujung tombak pencegahan diare. Selain pengetahuan ibu, beberapa hal lain yang mungkin menjadi faktor yang berperan dalam kejadian diare menurut survei adalah pemberian ASI eksklusif, sumber air minum dan kelayakan jamban. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tembuku I Kabupaten Bangli

Bahan dan metode

Studi cross-sectional deskriptif dilakukan terhadap 65 balita yang dipilih dengan metode sampel multistage. Pengumpulan data dilaksanakan di wilayah kerja UPT Puskesmas Tembuku I Kabupaten Bangli, pada 19-21 Januari

2016 dengan responden adalah ibu balita yang terpilih sebagai sampel.

Besar sampel didapatkan dengan penghitungan berdasarkan rumus:

n = 2PQ

d2

Pada penghitungan sampel ini dikehendaki tingkat kepercayaan sebesar 95% dan ketepatan absolut 10%. Proporsi yang dicari (P) berdasarkan data survei sebelumnya sebanyak 20%: P = 0,2; Zα = 1,960; d = 10; Q = (1-P). Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 61,5 orang. Dengan mempertimbangkan kejadian drop out maka besar sampel ditambahkan menjadi 65 balita.

Data dikumpulkan dengan metode wawancara. Data diare diukur berdasarkan pengalaman balita berak encer lebih dari 3 kali sehari dalam 6 bulan terakhir. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif.

Hasil

Tabel 1.Distribusi frekuensi karakteristik

Sebagian besar responden berusia 23-27 tahun (38,5%), berpendidikan rendah (56,9%), dan status tidak bekerja (64,6%) (Tabel 1).

Tabel 2 menggambarkan distribusi kelompok umur dan jenis kelamin balita di wilayah kerja Puskesmas Tembuku I, dimana sebagian besar balita berusia 17-26 bulan yaitu sebesar 29,2% dan jenis kelamin lelaki sebesar 52,3%.

Tabel 2.Distribusi frekuensi karakteristik

balita

Karakteristik

f

%

Usia (Bulan) (n=65)

7-16

18

27,7

17-26

19

29,2

27-36

15

23,1

37-46

2

3,1

47-56

11

16,9

Jenis Kelamin

Lelaki

34

52,3

Perempuan

31

47,7

Berdasarkan Gambar 1 didapatkan bahwa sebanyak 28 (43,1%) balita pernah mengalami diare selama 6 bulan terakhir.

responden

Karakteristik

F

%

Umur (n=65) 18-22

9

13,8

23-27

25

38,5

28-32

15

23,1

33-37

12

18,5

38-42

3

4,6

43-47

1

1,5

Pendidikan (n=65) Tinggi

3

4,6

Menengah

25

38,5

Rendah

37

56,9

Pekerjaan (n=65) Bekerja

42

64,6

Tidak bekerja

23

35,4

Gambar 1. Kejadian Diare Pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tembuku I

Tabel 3. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan ibu, pola pemberian ASI, kelayakan jamban, dan sumber air minum pada Balita

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Tingkat pengetahuan

Cukup

40

61,5

ibu

Kurang

25

38,5

Pemberian ASI

Eksklusif

40

61,5

Tidak eksklusif

25

38,5

Kelayakan Jamban

Layak

48

73,8

Tidak Layak

17

26,2

Sumber Air Minum

Air kemasan

12

18,5

PAM

7

10,8

Penampungan Air Hujan

1

1,5

Sungai

45

69,2

Tabel 4. Kejadian diare pada balita berdasarkan tingkat pengetahuan ibu, pola pemberian asi, kelayakan jamban dan sumber air minum

Variabel

Diare

Tidak Diare

Jumlah

N (%)

N (%)

N (%)

Tingkat pengetahuan ibu Cukup

17 (42,5%)

23 (57,5%)

40 (100,0%)

Kurang

11 (44,0%)

14 (56,0%)

25 (100,0%)

Pola pemberian asi Ekslusif

17 (42,5%)

23 (57,5%)

40 (100%)

Tidak ekslusif

11 (44,0%)

14 (56,0%)

25 (100%)

Kelayakan jamban Layak

22 (45,8%)

26 (54,2%)

48 (100%)

Tidak layak

6 (35,3%)

11 (64,7%)

17 (100%)

Sumber air minum Air kemasan

5 (41,7%)

7 (58,3%)

12 (100%)

PAM

4 (57,1%)

3 (42,9%)

7 (100%)

Penampungan air hujan

0 (0%)

1 (100%)

1 (100%)

Sungai

19 (42,2%)

26 (57,8%)

45 (100%)

Hasil penelitian ini juga mendapatkan bahwa sebanyak 40 orang (61,5%)ibu balita memiliki tingkat pengetahuan yang cukup mengenai diare. Sebanyak 61,5% balita mendapatkan asi ekslusif, 73,8% memiliki jamban yang

layak dan sebanyak 69,2 balita masih menggunakan sungai sebagai sumber air minum. (Tabel 3).

Tabel 4 menggambarkan bahwa kejadian diare pada balita ditemukan pada balita dengan ibu yang memiliki tingkat

pengetahuan kurang sebesar 44,0%. Sebagian besar balita dengan diare di dapatkan pada balita dengan pola pemberian asi tidak ekslusif sebesar 44,0%, kepemilikan jamban kategori layak sebesar 45,8% dan sumber air minum dari PAM sebesar 57,1%.

Pembahasan

Pada wawancara yang dilakukan terhadap 65 responden. Sebagian besar, responden dalam kelompok umur 23-27 tahun (38,5%). Lebih dari setengah responden berpendidikan rendah (56,9%), dan saat ini sedang tidak bekerja (64,6%) (Tabel 1). Dari hasil wawancara tersebut didapatkan bahwa sebanya 28 balita (43%) pernah mengalami diare selama 6 bulan terakhir (Gambar 1).Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas, sebanyak 0,02% balita menderita diare dalam 1 tahun terakhir. Data tersebut dapat berbeda dikarenakan data yang tersaji oleh Puskesmas merupakan data kunjungan pasien.Pada saat melakukan wawancara dengan responden, beberapa ibu mengatakan hanya membawa ke Puskesmas jika keadaan diare semakin memberat.Sebagian besar responden membawa balitanya ke Puskesmas Pembantu atau ke bidan sehingga penanganan dan pencatatan balita yang mengalami diare hanya terhenti sampai tingkat tersebut.Pada penelitian ini didapatkan data bahwa balita yang mengalami diare paling banyak terjadi pada kelompok umur 17-26 bulan (29,2%), sedangkan terendah pada balita dengan kelompok umur 37-46 bulan (3,1%) dengan mayoritas terjadi pada balita berjenis kelamin laki-laki (52,3%) (Tabel 2).Berdasarkan kepada data kepustakaan dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013 mengenai angka kejadian diare, angka insiden diare pada balita yakni sebesar 5,1%.7 Insiden diare paling banyak

pada balita terjadi pada kelompok umur 1223 bulan sebesar 7,6%, kemudian disusul oleh kelompok umur 24-35 bulan sebesar 5,8% dan terendah yakni pada balita dengan kelompok umur 48-59 bulan sebesar 3%.7

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 40 orang ibu (61,5%) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai diare (Tabel 3). Dari hasil tersebut didapatkan proporsi diare pada balita dengan ibu yang memiliki pengetahuan yang kurangmengenai diare lebih tinggi (44%) dibandingkan dengan ibu yang memiliki pengetahuan yang cukup (42,5%)(Tabel 4).Temuan hasil pada penelitian ini serupadengan penelitian yang dilaksanakan oleh Khikmah.8 Pada penelitiannya tersebut, ia menyatakan bahwa adanya hubungan antara kejadian penyakit diare dengan suatu pengetahuan ibu tentang diare dengan sebanyak 83% balita mengalami diare pada ibu dengan pengetahuan yang kurang, sedangkan 71% pada ibu dengan pengetahuan yang cukup dan 18% pada ibu dengan pengetahuan yang baik.8

Menurut Irawati dan Wahyuni pendidikan merupakan satu dari sekian usaha dalam pengorganisasian masyarakat untuk meningkatkan kesehatan karena perilaku sehat keluarga turut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.9Tingkat pendidikan yang kurang mendukung dapat menghasilkan rendahnya kesadaran akan suatu kesehatan lingkungan, berlaku hal sebaliknya. Semakin baik atau tinggi tingkat pendidikan formal yang ditempuh akan mematangkan sebuah pemahaman mengenai kesehatan lingkungan dan kesadaran dalam menjaga kesehatan lingkungan termasuk menerapkan prinsip berperilaku hidup bersih dan sehat. Mubarak dalam Irawati dan Wahyuni juga menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu rangkaian proses dalam mempengaruhi dan dengan demikian akan

menimbulkan suatu perubahan perilaku pada dirinya, karena tidak dapat kita pungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka mereka akan semakin mudah dalam menerima informasi kesehatan.9Lain hal sebaliknya, apabila seseorang dengan tingkat pendidikan yang rendah, hambatan perkembangan terhadap penerimaan, informasi kesehatan serta nilai baru yang diperkenalkan kepada mereka akan terjadi.9

Menurut Notoatmodjo pengetahuan adalah suatu domain yang teramat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang.10 Seiring meningkatnya pengetahuan tersebut maka akan terjadi juga peningkatan terhadap bersikap sehat dalam diri individu. Kenyataannya, meski dengan pengetahun yang cukup masih didapatkan angka kejadian diare yang cukup tinggi. Menurut Nasution jika pengetahuan ibu sudah baik namun masih didapatkan banyaknya angka kejadian diare pada balita dapat disebabkan oleh variabel pengetahuan yang diteliti saat ini masih belum menjadi satu kesatuan dalam terbentuknya perilaku.10,11

Pada penelitian ini sebanyak 61,5% balita mendapatkan ASI eksklusif (Tabel 3). Pada balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif mengalami diare (44%) proporsinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif (42,5%)(Tabel 4). Hal ini juga sesuai pada penelitian yang dilaksanakan oleh Nurdin, Rau dan Timuhun dimana balita yang tidak diberikan ASI eksklusif lebih banyak mengalami diare (60,5%) dibandingkan dengan balita yang diberikan ASI Eksklusif (19,4%) dengan sampel berjumlah 69 orang.12 Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmadani, Lubis, dan Edison (2014) juga menyatakan bahwa diare terjadi lebih sedikit pada bayi yang diberikan ASI Eksklusif (26,5%) dibandingkan dengan yang tidak (74,3%).12

Menurut Tumbelaka dan Karyanti, berbagai faktor perlindungan tubuh dapat ditemukan di dalam ASI, yakni salah satunya adalah antibodi IgA sekretori (sIgA).14Ketika menyusui, IgA sekretori akan dipengaruhi oleh paparan mikroorganisme di saluran cerna bayi dan antibody tersebut juga membatasi masuknya suatu bakteri ke aliran darah melalui mukosa saluran cerna. Aktivitas antitoksin Imunoglobulin A pada ASI berpengaruh terhadap enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri E. coli dan beberapa varian dari E. coli.Selain mengandung antibodi, ASI juga mengandung oligosakarida yang merupakan faktor bifidus (menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri Bifidobacteria) pada saluran cerna.Terciptanya lingkungan asam yang berasal dari ASI ideal untuk pertunbuhan bakteri seperti bifidobacteria dan lactobacillus namun tidak untuk bakteri patogen (E. coli, Clostridium, Staphylococcus). Laporan analisis data yang dipublikasikan dari MEDLINE, Pubmed, Cochrane Library, Dynamed dan CINAHL dalam Nur dan Marissa melaporkan bahwa bayi yang diberi ASI jarang mengaku sakit, dan terjadi penurunan insiden diare pada tersebut.15 Pengetahuan yang memadai tentang pemberian ASI eksklusif tanpa adanya perilaku tetaplah belum cukup. Berdasarkan hasil wawancara, beberapa dari responden tidak memberikan ASI Eksklusif dikarenakan oleh kesibukan pekerjaan dan juga ASI yang kurang. Rahmadani, Lubis, dan Edison (2014) menjabarkan beberapa alasan seorang ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, antara lain bayi terlihat belum puas atau kenyang dengan ASI saja (42,7%), ASI yang kurang (32,3%), hingga ibu yang bekerja (10,4%).13

Berdasarkan Depkes RI 2009 jamban merupakan suatu ruangan yang

memiliki fasilitas untuk membuang kotoran manusia.16 Tempat tersebut terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.Jamban dapat menjadi salah satu sumber penularan untuk terjadinya diare.Maka dari itu tidak dapat dipungkiri apabila jamban tersebut tidak sehat, kecenderungan untuk terjadi diare yakni pada jamban dengan keadaan tersebut. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 73,8% keluarga masih memiliki jamban yang tidak layak (Tabel 3). Didapatkan proporsi balita yang mengalami diare pada keluarga yang memiliki jamban yang layak (45,8%) lebih banyak dibandingkan dengan jamban yang tidak layak(35,3%)(Tabel 4). Hal ini berlainan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati pada yakni proporsi kejadian diare balita lebih tinggi (45,5%) pada keluarga yang memiliki jamban yang tidak layak dibandingkan dengan yang layak (16,7%).17 Penelitian yang dilakukan oleh Wardoyo menunjukkan bahwa kejadian diare dengan ketersediaan jamban yang memenuhi suatu syarat terdapat hubungan (75,9%).18 Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yakni kepatuhan dalam penggunaan jamban ataupun sikap dan perilaku dalam menggunakan jamban.

Pembuangan tinja tidak pada tempatnya (jamban) dapat menyebabkan penyebaran penyakit yang lebih kompleks. Tersebarnya penyakit yang berasal dari feses dapat melalui berbagai macam media misalnya melalui media air, tangan, dan tanah yang terkontaminasi oleh tinja, dapat menularkan makanan atau minuman secara langsung atau melalui vektor (lalat). Pengelolaan tinja dan juga jamban yang disertai dengan bertambahnya jumlah

penduduk akan meningkatkan risiko terjadinya diare.18

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 69,2% (Tabel 3) balita masih menggunakan air sungai sebagai sumber air minum. Proporsi balita yang mengalami diare lebih banyak pada keluarga yang menggunakan PAM sebagai sumber air minum (57,1%) dibandingkan dengan keluarga yang menggunakan air sungai (42,2%) dan air kemasan (41,7%)(Tabel 4). Penelitian yang dilakukan Umiati menunjukkan bahwa balita yang mengalami diare lebih banyak terjadi pada keluarga yang menggunakan air dari sumber air yang tidak terlindung (61,7%).19Salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah penting adalah sumber air minum yang erat kaitannya dengan terjadinya diare. Penularan kuman yang menyebabkan diare dapat melalui jalur fecal-oral.Kuman dapat ditularkan ke dalam mulut, cairan, atau benda yang tercemar oleh kotoran atau tinja, contohnya air minum, hari tangan, dan makanan yang dicuci dengan air yang tercemar. Wibowo dkk dalam Umiati menunjukkan adanya hubungan antara kejadian diare dengan jenis sumber air minum.19 Hal ini dapat dipengahuri oleh berbagai faktor yakni salah satunya adalah perilaku sebelum mengonsumsi air minum serta keadaan mikrobiologis pada sumber air minum yang digunakan.16Sumber air yang digunakan untuk air minum haruslah aman dan memenuhi syarat kesehatan. Secara fisik, standar air minum yang sehat ditentukan oleh beberapa hal antara lain tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau serta suhunya berada di bawah suhu lingkungan sekitarnya. Selain persyaratan fisik, syarat kimia dan bakteriologis haruslah dicapai.Secara baktreriologis, air yang diminum harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri-bakteri yang bersifat patogen.Perilaku sebelum

mengonsumsi air minum yakni memasak air hingga mendidih sebelum dikonsumsi juga berperan dalam membunuh bakteri     3.

patogen. Selain syarat bakteriologis, syarat kimia yang dimaksud adalah air yang diminum harus mengandung zat-zat tertentu dengan jumlah kandungan yang tertentu. Kadar keasamaan suatu air minum dikatakan bersih apabila air memiliki kadar     4.

keasaman (pH) 7. Dari hasil kuisioner yang didapatkan, beberapa ibu tidak memasak air minum. Hal ini dikarenakan sumber air yang paling banyak dipakai, yakni sungai dan PAM, diyakini oleh sebagain responden sebagai air yang layak minum     5.

karena karena sudah melalui suatu uji terlebih dahulu. Sumber air minum PAM merupakan suatu sumber air minum yang terlindungi, akan tetapi beberapa faktor seperti berperilaku hidup sehat yang kurang dapat menjadikan air tersebut sebagai sumber penularan untuk terjadinya diare.19     6.

Simpulan

Kejadian diare pada balita di wilayah kerja UPT Puskesmas Tembuku I masih cukup tinggi yaitu sebesar 43,1%. Sebagian besar  balita dengan diare

ditemukan pada balita dengan tingkat     7.

pengetahuan ibu cukup, pola pemberian asi tidak ekslusif, kepemilikan jamban yang layak serta sumber air minum dari PAM.

Daftar Pustaka

8.

  • 1.    Sukrama IDM. Inhibition of Bifidobacterium Cell Wall 51.74 kDa Adhesin Isolated from Infants Feces Towards Adhesion of Enteric Phatogen E. Coli on Enterocyte Balb/C Mice. Bali Med J. 2012;1(1):6-11

  • 2.    World     Health     Organization.

Diarrhoeal disease. WHO 2013.     9.

[Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari:                          URL:


http://www.who.int/mediacentre/facts heets/fs330/en

CDC. Diarrhea: common illnes, global killer. CDC 2012. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari:    URL:

http://www.cdc.gov/healthywater/pdf/ global/programs/globaldiarrhea_asia_ 508c.pdf

Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:       Badan      Penelitian

danPengembangan       Kesehatan

Kementrian Kesehatan, Republik Indonesia; 2007

Departemen Kesehatan RI. Profil kesehatan RI. 2013. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari: URL: http://www.depkes.go.id/resources/do wnload/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf

Dinas Kesehatan Provisnsi Bali. Profil Kesehatan Bali 2014. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari: URL: http://www.baliprov.go.id/files/subdo main/diskes/Info%20Jibang/Profil%2 0Kesehatan/Profil%20Kesehatan%20 2014.pdf

Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:       Badan      Penelitian

danPengembangan       Kesehatan

Kementrian Kesehatan, Republik Indonesia; 2013

Khikmah FA. Hubungan pengetahuan ibu tentang diare dengan kejadian diare pada balita usia 2-5 tahun di wilayah kerja     puskesmas     kecamatan

karanganyar kabupaten karanganyar. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari:                          URL:

http://eprints.ums.ac.id/22649/14/nask ah_publikasi.pdf

Irawati E, Wahyuni. Gambaran Karakteristik Keluarga Tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

(PHBS) Pada Tatanan Rumah Tangga di Desa Karangasem Wilayah Kerja Puskesmas Tanon II Sragen. Gaster. 2013;8(2):741-9

  • 10.    Notoatmodjo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: RinekaCipta. 2007

  • 11.    Ambarwati & Nasution.Buku Pintar Asuhan     Keperawatan     dan

Balita.Yogyakarta: Cakrawala Ilmu. 2012

  • 12.    Nurdin, Rau MJ, Timuhun NSCJP. Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif dan Status Gizi Dengan Kejadian Diare Pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kelurahan Tatura Utara Palu. 2015. Jurnal Untad. 2015;6(1)

  • 13.    Rahmadhani, EP, Lubis G, Edison. Hubugan Pemberian ASI Eksklusif dengan angka Kejadian Diare Akut pada Bayi Usia 0-1 Tahun di Puskesmas Kuranji Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012;2(2).

  • 14.    Tumbelaka, AR; Karyanti, MR. 2013. Air Susu Ibu dan Pengendalian Infeksi. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari:                          URL:

http://idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-pengendalian-infeksi.

  • 15.    Nur, A; Marissa N. Riwayat Pemberian Air Susu Ibu dengan Penyakit Infeksi pada Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2014;9(2):144-149.

  • 16.    Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2008. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari: URL: http://www.depkes.go.id

  • 17.    Rahmawati, FA. 2012. Hubungan Kepemilikan Jamban Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Jatisobo Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh        dari:        URL:

http://eprints.ums.ac.id/22301/12/10_ naskah_publikasi.pdf

  • 18.    Wardoyo FS. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Diare Dan Kondisi Jamban Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita Di Desa Blimbing Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2011. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari: URL: http://lib.unnes.ac.id/6789/1/8377.pdf Perpustakaan Universitas Airlangga.

  • 19.    Umiati. 2010. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009. [Diakses 27 Januari 2016]. Diunduh dari: URL: http://eprints.ums.ac.id/9813/10/J4100 50026.pdf

20

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum