ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA


Essence of Scientific Medical Journal (2021), Volume 19, Number 1:1-5

P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

TINJAUAN PUSTAKA

KEEFEKTIVITASAN REMDESIVIR UNTUK TERAPI SARS-COV-2

Mohammad Ridho Devantoro,1 Wilson Saputra Wijaya,1 Hayu Ari Anggriani,1

ABSTRAK

Pendahuluan: SARS-CoV-2 termasuk dalam famili coronaviridae dan genus β-CoV yang memiliki rantai RNA tunggal positif dengan memiliki protein struktural utama. SARS-CoV-2 telah menjadi pandemi dengan total jumlah kasus diseluruh dunia mencapai 1.777.666 jiwa. Terapi yang digunakan saat ini adalah hydroxychloroquine dan makrolid. Keduanya bekerja sebagai imunomodulator, namun hydroxychloroquine memiliki resistensi. Oleh karena itu, diperlukan terapi yang mempunyai mekanisme target molekul virus RNA lainnya.

Metode: Penulisan dibuat berdasarkan tinjauan jurnal yang relevan dengan topik yang akan dibahas. Berdasarkan jurnal yang telah dikumpulkan dan dilakukan analisa serta komparasi antar jurnal, digunakan 22 jurnal dari total 30 jurnal.

Pembahasan: SARS-CoV 2 memiliki Spike (S) yang akan berikatan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor untuk memasuki sel, yang ditemukan pada saluran pernapasan bawah manusia. Virus memasuki sel, antigen akan dipresentasikan pada Antigen Presenting Cells (APC), menyebabkan terjadi badai sitokin, memicu ARDS dan kegagalan organ yang pada akhirnya menyebabkan kematian. Kombinasi hydroxychloroquine dan azitromisin menjadi pilihan utama. Kombinasi kedua obat ini dapat menurunkan replikasi dan viral load, Namun mekanisme kerja yang belum terbukti, maka penelitian masih dilakukan untuk menemukan anti-SARS-CoV-2 yang poten dan memiliki mekanisme kerja pada RNA virus. Dalam literatur ini, kami memfokuskan terapi SARS-CoV-2 yang menjanjikan seperti remdesivir sebagai alternatif hydroxychloroquine dan azitromisin.

Kesimpulan: Remdesivir memiliki aktivitas antivirus in vitro dan in vivo terhadap beragam virus RNA yang tidak dapat dilakukan oleh chloroquine.

Kata Kunci: SARS-CoV-2, badai sitokin, hydroxychloroquine, azitromisin, remdesivir

ABSTRACT

Background: SARS-CoV-2 belongs to the coronaviridae family and the genus β-CoV which has a single positive RNA chain with major structural proteins. SARS-CoV-2 has become a pandemic with a total number of cases worldwide reaching 1,777,666 people. Therapies used today are hydroxychloroquine and macrolides. Both work as immunomodulators, but hydroxychloroquine has resistance. Therefore, we need therapy that has a target mechanism for other RNA virus molecules.

Method: The writing is based on a journal review that is relevant to the topic to be discussed. Based on the journals that have been collected and analyzed and compared between journals, 22 journals from a total of 30 journals are used.

Discussion: SARS-CoV-2 has Spike (S) that will bind to Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE-2) receptor for its entry, found in the lower respiratory tract. The virus enters the cell, antigen presented to the Antigen Presenting Cells (APC), causing cytokine storm, ARDS, and multiple organ dysfunction ends with death. From earlier researches, a combination of hydroxychloroquine and azithromycin become the first choice. This combination can reduce replication also viral load. Unfortunately, the mechanism behind these medications are unknown, so research is needed to find potent anti-SARS-CoV-2 medicines and work on viral RNA. In this literature, we focus on SARS-CoV-2 promising treatments such as remdesivir, as an alternative for hydroxychloroquine and azithromycin.

Conclusion: Remdesivir has antiviral activity in vitro dan in vivo against viral RNA that cannot be done by Chloroquine.

Keywords: SARS-CoV-2, cytokine storm, hydroxychloroquine, azithromycin, remdesivir

1Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti, Jakarta


PENDAHULUAN

SARS-COV-2 merupakan masalah kesehatan masyarakat yang oleh WHO telah ditetapkan menjadi pandemik. Menurut data yang dikeluarkan oleh John Hopkins Universiy of Medicine Total jumlah kasus positif COVID19 di dunia adalah mencapai 1.777.666 jiwa, dengan fatality rate 6,1%

SARS-CoV-2 adalah β-coronavirus (CoV) yang merupakan partikel pleomorfik atau spheris berukuran 150-160 nm. Virus yang berasal dari famili coronaviridae, subfamili Orthocoronavirinae memiliki RNA rantai tunggal positif, tidak tersegmentasi, dan memiliki protein struktural utama. Morfologi dari virus menyerupai mahkota bila diamati pada mikroskop elektron, untuk itu disebut sebagai corona yang berasal dari kata crown. Selain dari SARS-CoV-2, dua spesies lain dari coronavirus, MERS dan SARS, diketahui menjadi penyebab epidemik selama 20 tahun terakhir.[1-3]

Rekomendasi terapi untuk pengobatan SARS-CoV-2 belum ditetapkan oleh WHO hingga saat ini. Terapi yang digunakan saat ini adalah Hydroxychloroquine (HCQ), dan makrolid yaitu obat yang digunakan untuk infeksi saluran napas. Keduanya diketahui mempunyai kemampuan inhibisi replikasi virus pada tahap awal. Namun HCQ mulai jarang digunakan karena banyaknya resistensi serta mekanisme yang masih dipertanyakan. Oleh karena itu, diperlukan terapi yang mempunyai mekanisme target molekul virus RNA, contohnya remdesivir. Remdesivir merupakan obat yang baru-baru ini dikembangkan dan mempunyai target kerja pada RNA.

Dalam artikel ini kami merumuskan masalah dan menyajikan metode untuk mengeksplorasi keefektifan HCQ dengan azitromisin dan kemungkinan terapi remdesivir. Tujuan kami adalah untuk mengembangkan potensi remdesivir menjadi

terapi. Diharapkan dengan menganalisis temuan literatur berkaitan dengan terapi ini, maka penggunaan metode ini untuk diagnosis dapat diperluas sehingga masyarakat bisa mendapatkan terapi yang optimal.

METODE

Penulisan dibuat berdasarkan tinjauan jurnal yang relevan dengan topik yang dibahas. Daam pengumpulan jurnal digunakan kata kunci SARS-CoV-2, Hydroxychloroquine, azitromisin, dan Remdesivir. Berdasarkan jurnal yang telah dikumpulkan dan lalu dianalisa hubungan dan validitasnya, serta melakukan komparasi antar satu jurnal dengan jurnal lainnya, digunakan 22 jurnal dari total 30 jurnal yang dikumpulkan.

PEMBAHASAN

SARS-CoV-2 adalah β-coronavirus yang merupakan partikel pleomorfik atau spheris berukuran 150-160 nm. virus yang berasal dari famili coronaviridae, subfamili Orthocoronavirinae memiliki RNA rantai tunggal positif, tidak tersegmentasi. Morfologi dari virus menyerupai mahkota bila diamati pada mikroskop elektron, untuk itu disebut sebagai corona yang berasal dari kata crown. [1,2]

CoVs diklasifiasikan menjadi empat genus berdasarkan filogeni, yaitu alpha-CoV 9 (grup 1), beta-CoV (grup 2), gamma-CoV (grup 3). Dan delta-CoV. α- dan β-CoV dapat menginfeksi mamalia, sedangkan γ- dan δ-CoV dapat menginfeksi unggas. Sebelumnya 6 CoV telah diidentifikasi sebagai virus yang rentan terhadap manusia, diantaranya α-CoVs HCoV-229E , HCoV-NL63, dan β-CoVs HCoV-HKU1 HCoV-OC43. [2]

Genom SARS-CoV-2 mirip dengan yang dimiliki CoVs, mengandung setidaknya 10 ORF (Open Reading Frames), sekitar 2 per tiga dari viral load yang diterjemahkan kedalam 2 poliprotein besar. Dalam SARS-CoV dan MERS-CoV, dua poliprotein, pp1a dan pp1ab, diproses menjadi 16 protein non-struktural, yang membentuk kompleks transcriptase replikasi virus. Sementara 1/3 dari genom SARS-CoV2 mengkodekan empat protein struktur utama, yaitu Spike (S), Envelelope (E), Nucleocapsid (N), dan protein Membrane (M) protein.[3]

Patogenesis

Beberapa kelompok ilmuwan di Cina telah menemukan bahwa SARS-CoV-2 seperti halnya SARS-CoV membutuhkan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor untuk memasuki sel. Ikatan virus dengan reseptor sel inang adalah penentu yang signifikan untuk patogenesis infeksi. Protein S pada Coronavirus telah dilaporkan berikatan dengan reseptor selulernya, yaitu ACE2, ACE-2 ditemukan pada saluran pernapasan bawah manusia.[3] Penelitian lain menunjukkan bahwa efisiensi ikatan Protein S dan ACE2 10 hingga 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ikatan terhadap SARS-CoV dibuktikan dengan struktur Cryo-EM dari spike SARS-CoV2.[4]

Glikoprotein S mencakup dua sub-unit S1 dan S2. S1 berfungsi sebagai domain fungsi utama, sedangkan S2 memediasi fusi membran sel-virus dengan 2 pintu utama, heptad repeats 1 (HR1) dan HR2. Setelah fusi membran, RNA genom virus dilepaskan ke dalam sitoplasma dan

menerjemahkan dua poliprotein, pp1a dan pp1b yang mengkode protein non-struktural, dan membentuk Replication-transciption-complex TC). Secara berulang RTC mereplikasi dan mensintesis kumpulan RNA sub genomic yang mengkode protein aksesori dan protein structural. Dengan dimediasi oleh Retikulum endoplasma dan badan golgi, RNA, protein nukleokapsid, serta glikoprtoein yang baru terbentuk berkumpul dna membentuk tunak partikel virus, yang kemudian vesikel yang mengandung virion berfusi dengan membran plasma untuk melepaskan virus.[2]

Ketika virus memasuki sel, antigen akan dipresentasikan pada Antigen Presenting Cells (APC). Peptida antigenik disajikan oleh major histocompatibility complex (MHC) atau Human Leukocyte Antigen (HLA), yang kemudian dikenali oleh Cytotoxic T Lymphocytes (CTLs). Hal ini kemudian menstimulasi imunitas seluler dan humoral yang dimediasi oleh sel B dan T spesifik virus. Antibodi IgM spesifik menghilang pada akhir minggu ke 12, sedangkan antibodi IgG dapat bertahan lama.[3]

Laporan pada Lancers menunjukkan ARDS adalah penyebab utama kematian COVID19. Dari 41 pasien yang terinfeksi SARS-COV-2 , 6 meninggal karena ARDS. ARDS adalah peristiwa imunopatologis, salah satu mekanisme utama dari ARDS adalah cytokine storm, yaitu inflamasi sistemik yang tidak terkendali dihasilkan dari pelepasan sejumlah besar sitokin proinflamasi (IFN-a, IFN-g, IL-1b, IL-6, IL-12, IL-18, IL-33, TNF-a, TGFb,) dan kemokin (CCLS2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, CXCL10) oleh sel –sel efektor imun dalam infeksi SARS-CoV2. Cytokine storm memicu serangan oleh system imun, menyebabkan ARDS dan kegagalan organ yang pada akhirnya menyebabkan kematian.[5]

Masa inkubasi sektar 3-14 hari yang dapat memberikan gejala mulai dari asimptomatik hingga gejala yang fatal. Pasien dengan tanpa komplikasi memiliki gejala tidak spesifik, seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, malaise, sakit kepala dan nyeri otot. [6]

  • 1.    Mild Pneumonia

pasien dengan pneumonia dan tidak terdapat gejala yang berat.

  • 2.    Severe Pneumonia

Pasien diawali dengan gejala demam, dan disertai dengan salah satu gejala berikut, yaitu RR > 30x/menit, Sp02 < 90%, atau severe respiratory distress

  • 3.    Acute Respiratory Distress

Onset baru atau gejala pernapasan yang memburuk dalam waktu 1 minggu, pencitraan dada (radiografi, CT-Scan) terdapat opasitas bilateral, tidak sepenuhnya dijelaskan sebagai efusi, kolaps paru, atau bias juga terdapat nodul.

  • 4.    Sepsis

  • 5.    Syok Septik

Hipotensi yang tetap meskipun telah diberikan resusitasi cairan, membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP >- 65mmHg dan kadar laktat serum > mmol/L.

Potensi Hydroxychloroquine dan Makrolid

HCQ ialah obat antiparasit yang berasal dari derivat kloroquin (CQ). CQ dan HCQ sejak dahulu dipakai untuk pengobatan malaria dan amubiasis, akan tetapi pemakaian obat ini mulai berkurang karena tingginya resistensi. Obat ini diketahui memiliki efek imunomodulator dan dapat mengobati penyakit autoimun, seperti Systemic Lupus Erythematosus dan rheumatoid arthritis, dengan mencegah pengasaman endosom untuk presentasi antigen pada MHC kelas I dan II pada sel dendritik, menginhibisi produksi sitokin (seperti IL-1, IL-6 dan TNF) makrofag dan sinyal kalsium serta Toll-like receptor pada sel B, T dan sel imun lainnya. HCQ menjadi pilihan karena risiko toksisitas rendah dan lebih efektif dibandingkan CQ.[7-10]

Makrolid merupakan antibiotik untuk mengobati penyakit saluran napas, kulit, dan urogenital. Mereka berasal dari spesies Streptomyces dan memiliki cincin lakton makrosiklik, seperti eritromisin, klaritromisin, roksitromisin, azitromisin (AZM), dan spiramisin. Makrolid bekerja dengan inhibisi sintesis protein bakteri melalui pengikatan pada pintu keluar ribosom. Sementara mulai tahun 1970s, obat ini dipakai sebagai imunomodulator seperti pada penyakit panbronkiolitis dan infeksi virus pada saluran napas, dengan menurunkan sitokin (IL-6, IL-8, IL-9, TNF-α, INF-γ, macrophage inflammatory protein, monocyte chemoattractant dan lainnya), inflamasi neutrofil dan fungsi neutrofilik, sehingga mengurangi kerusakan jaringan.[11,12]

Dalam situasi kurangnya penelitian mengenai SARS-CoV-2, satu kemungkinan yaitu mempelajari obat yang ada, yang dapat mengganggu siklus hidup Coronavirus. Unfolded Protein Response dan jalur autofagi menjadi jalur penting dalam infeksi virus. Kedua jalur ini meregulasi hemostasis protein, apoptosis, dan kontrol imun bawaan. Dan jalur sinyal NLRP3 inflammasome dan pro-apoptotik mitokondrial pada SARS-CoV-2, terhubung dengan kedua jalur sebelumnya, sehingga menjadi target obat. CQ dan HCQ dapat mengganggu jalur tersebut.[13]

Manfaat CQ dalam tatalaksana SARS-CoV-2 berbasis pada pengobatan coronavirus seperti SARS dan MERS. Berdasarkan suatu penelitian, didapatkan efek CQ pada sel Vero E6 sebelum terpapar SARS-CoV dapat mencegah infektivitas 28%, 53% dan 100% pada dosis 0.1, 1 dan 10 µM. Setelah dipaparkan SARS-CoV, CQ dapat menurunkan infeksi sebesar 50% pada konsentrasi 0.1-1 µM, dan sebesar 90-94% pada konsentrasi 33100 µM. Dalam penelitian ini dijelaskan pula efek penurunan infeksi memakai CQ efektif diberikan tepat setelah adsorpsi virus.[14] Pada sebuah penelitian aktivitas antiviral CQ pada bayi tikus dengan coronavirus manusia, tampak konsentrasi lebih dari 0.16 µM dapat menurunkan jumlah viral load sebesar 100 kali lipat. Pemberian dosis CQ 15mg/kg tikus prepartum menunjukkan laju kelangsungan hidup 100% pada bayi yang lahir dibandingkan grup kontrol dengan angka kelangsungan hidup 0% setelah 6 hari.[14]

Pemberian CQ dan HCQ menjadi alternatif pengobatan MERS. CQ menginhibisi replikasi MERS-CoV pada konsentrasi efektif paruh maksimal sebesar 3 µM, dan diprediksi dapat menginhibisi infeksi pada stadium awal. CQ diketahui menyerang faktor sel inang daripada protein virus, dan tatalaksana ini dapat mengkonfigurasi manifestasi

klinis menjadi lebih ringan dan prognosa lebih baik.[15]

Efek antiviral CQ dan HCQ terhadap SARS-CoV-2 menunjukkan peningkatan pH asam organel intraselular seperti endosom/lisosom, yang berperan penting dalam fusi membran. Obat ini mampu menginhibisi masuknya SARS-CoV dengan mengubah glikosilasi reseptor ACE2 dan spike protein. Berdasarkan eksperimen, HCQ efektif menginhibisi tahap masuk hingga setelah masuk. Virion dalam early endosomes (CQ 35.3% dan HCQ 29.2%) lebih banyak dibanding grup kontrol (16.2%), namun jumlah virion pada endolisosom LAMP1+ yang diobati CQ sebesar 2.4% dan HCQ sebesar 0.03%, sehingga dapat diperkirakan CQ dan HCQ memblokade transpor SARS-CoV-2 guna melepas genom virus.7 CQ juga dapat menginhibisi pertunasan virus yang menggunakan protein M pada trans-Golgi, dan modulasi pH mengganggu maturasi virus.[16] Dalam suatu penelitian membandingkan HCQ dengan CQ, efek antiviral HCQ lebih poten dimana dengan konsentrasi 6.14 µM (dalam 24 jam) dan 0.72 µM (dalam 48 jam) sudah menurunkan replikasi SARS-CoV-2, dibandingkan CQ dengan konsentrasi 23.90 µM (24 jam) dan 5.47 µM (48 jam). Hasil penelitian ini, dosis anjuran HCQ 2x400mg dilanjutkan 2x200mg selama 4 hari, sementara CQ 2x500mg selama 10 hari. Dan karena butuh waktu untuk akumulasi di paru, maka semakin panjang waktu inkubasi maka semakin baik efek antiviral.[17]

Menurut hasil penelitian di Rumah Sakit Institusi Infeksi Mediterranee, penggunaan HCQ 600mg perhari dapat menurunkan viral load hingga PCR negatif pada 70% penderita dibandingkan 12,5% grup kontrol setelah pengobatan hari ke-6. Sementara kombinasi HCQ dan AZM didapatkan 100% penderita PCR negatif pada hari ke-6, dibanding monoterapi HCQ sebesar 57,1%, dan grup control sebesar 12,5%. Satu pasien PCR positif pada pengobatan monoterapi HCQ selama 6 hari menjadi PCR negatif setelah ditambahkan AZM selama 3 hari. Kegagalan pengobatan HCQ ditemukan pada dua pasien (ibu dan anak), sehingga ada kemungkinan resistensi dari sel inang.[18] Penelitian ini diperkuat dengan penelitian in vitro, dimana pemberian HCQ pada multiplicities of infection yang rendah (0.25) sebesar 5 µM hanya menginhibisi replikasi secara moderat, total inhibisi hamper tercapai setelah penambahan AZM 5 µM dan 10 µM total, serta tidak tampak sel lisis pada 60 jam paska infeksi sebagai tanda produksi virus. Akan tetapi dalam kondisi multiplicities of infection yang tinggi (2.5), kedua obat tidak memberi efek. Maka kombinasi obat ini disarankan pada infeksi SARS-CoV-2 stadium awal sebelum terjadi badai sitokin dan sindrom gangguan pernafasan.[19]

Terapi alternatif lain pengganti Hidroxyloroquin / Cloroquin

Reposisi dan kombinasi obat adalah strategi universal dalam pengembangan obat baru karena biaya yang lebih rendah dan berkurangnya waktu untuk mencapai pasar karena beberapa langkah uji klinis mungkin tidak diperlukan, kemungkinan kombinasi terapi lebih efektif daripada monoterapi, dapat memfasilitasi penemuan mekanisme aksi baru untuk obat lama dan kelas obat baru.[20]

Tidak diragukan lagi perawatan antivirus dan suportif sangat penting dalam perawatan pasien Covid-19, beberapa contohnya adalah toclizumab.

Toclizumab adalah antibodi monoklonal IL-6 yang secara spesifik menghambat pelepasan sitokin, telah dilakukan penelitian yang menunjukan perbaikan gejala serta presentase limfosit perifer yang kembali normal.[21]

Selain itu terdapat obat pirfenidone yang telah digunakan dalam pengobatan fibrosis paru karena mempunyai efek anti-inflamasi dan antioksidan yaitu dengan menghambat IL-1b dan IL-4. Bevacizumab adalah antibodi monoklonal yang menargerkan pertumbuhan endotel vaskular (VGEF) dan dapat mengurangi kadar yang disebabkan oleh hipoksia, peradangan kronis dan peningkatan regulasi epitel yang terinfeksi dan juga menekan edema pada pasien.[20]

Bedasarkan pengalaman menangani SAR-COV dan MERS-COV, obat antivirus dan pengobatan kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan dalam praktik klinis sebelumnya tidak valid untuk COVID-19.21 Namun ada satu obat yaitu Analog nukleosida favipiravir (T-705) dapat secara efektif menghambat aktivitas RNA polimerase dari virus RNA seperti influenza 19. Sebuah studi in vitro baru-baru ini menemukan bahwa ia memiliki aktivitas anti-SARS-CoV-2 20, tetapi efek in vivo tetap ada sukar dipahami. Remdesivir mungkin merupakan obat antivirus yang paling menjanjikan untuk mengobati COVID-19. Ini memiliki aktivitas antivirus in vitro dan in vivo terhadap beragam virus RNA termasuk SARS dan MERS 21, dan dapat mengurangi viral load dan patologi paru-paru pada model hewan 22. Sebuah penelitian menunjukkan remdesivir secara nyata menghambat infeksi SARS-CoV-2.[22]

KESIMPULAN

HCQ dan CQ dapat disimpulkan memiliki mekanisme kerja mencegah pengasaman endosom untuk presentasi antigen pada MHC kelas I dan II pada sel dendritik dan Azitromisin dapat menginhibisi sintesis protein bakteri melalui pengikatan pada pintu keluar ribosom namun, virus SARS-COV-2 merupakan virus yang memiliki molekul RNA rantai tunggal.

Remdesivir merupakan analog nukleotida dari EBOV RNA-polymerase RNA dependent dan memiliki aktivitas antivirus in vitro dan in vivo terhadap beragam virus RNA yang tidak dapat dilakukan oleh CQ, meskipun golongan obat antivirus spektrum luas yang sangat potensial namun beberapa penelitian terbaru menunjukan keraguan apakah dapat bertindak secara sinergis terhadap SARS-CoV-2.

SARAN

Meskipun remdesivir memiliki aktivitas kerja pada molekul virus RNA yang merupakan struktur dari COVID-19. Remdesivir masih memerlukan tahapan ujicoba untuk mendapatkan persetujuan sebagai terapi dasar yang dapat digunakan dan ditetapkan oleh WHO.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Kannan S, Shaik Syed Ali P,  Sheeza A,

Hemalatha K. COVID-19 (Novel Coronavirus

2019) - recent trends. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2020;24(4):2006–11.

  • 2.    Guo YR, Cao QD, Hong ZS, Tan YY, Chen SD, Jin HJ, et al. The origin, transmission and clinical therapies on coronavirus disease 2019 (COVID-19) outbreak - an update on the status. Mil Med Res. 2020;7(1):11.

  • 3.    Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune pathogenesis and diagnosis of COVID-19. J Pharm Anal [Internet]. 2020;19(xxxx):1–7. Available                                 from:

https://doi.org/10.1016/j.jpha.2020.03.001.

  • 4.    Song W, Gui W, Wang X, Xiang Y. Cryo-EM structure  of  the SARS  coronavirus spike

glycoprotein in complex with its host cell receptor ACE2. PLoS Pathog. 2018;14(8):1–19.

  • 5.    Xu Z, Shi L, Wang Y, Zhang J, Huang L, Zhang C, et al. Pathological findings of COVID-19 associated with acute respiratory distress syndrome. Lancet Respir Med [Internet]. 2020;8(4):420–2.        Available        from:

http://dx.doi.org/10.1016/S2213-2600(20)30076-X.

  • 6.    Daga MK, Kumar N, Aarthi J, Mawari G, Garg S, Rohatgi I. From SARS-CoV to Coronavirus Disease 2019 ( COVID-19 ) - A Brief Review. 2020;6(4):1–9.

  • 7.    Liu J, Cao R, Xu M, Wang Xi, Zhang H, Hu H, et al. Hydroxychloroquine, a Less Toxic Derivative of Chloroquine, is Effective in Inhibiting SARS-CoV-2 Infection In Vitro. Cell Discovery. 2020; 6: 16.

  • 8.    Al-Bari AA. Chloroquine Analogues in Drug Discovery: New Directions of Uses, Mechanisms of Actions and Toxic Manifestations from Malaria to Multifarious Diseases. J Antimicrob Chemother. 2015; 70: 1608–1621.

  • 9.    Belizaire R, Unanue ER. Targeting Proteins to Distinct Subcellular  Compartments  Reveals

Unique Requirements for MHC Class I and II Presentation. PNAS. Oktober 2009; 106(41):

17463-17468.

  • 10.    Zimmermann P, Ziesenitz VC, Curtis N, Ritz N. The immunomodulatory Effects of Macrolides—a Systematic Review of the Underlying Mechanisms. Front Immunol. 2018; 9(302): 1-14.

  • 11.    Min JY, Jang YJ. Macrolide Therapy in Respiratory Viral Infections. Mediator of Inflammation. 2012; 649570: 1-9.

  • 12.    Nabirotchkin S, Peluffo AE, Bouaziz J, Cohen D. Focusing on the Unfolded Protein Response and Autophagy Related Pathways to Reposition Common Approved Drugs against COVID-19. Preprints. 20 Maret 2020. Available from: https://doi.org/10.20944/preprints202003.0302.v 1

  • 13.    Vincent MJ, Bergeron E, Benjannet S, Erickson BR, Rollin PE, Ksiazek TG, et al. Chloroquine is a Potent Inhibitor of SARS Coronavirus Infection and Spread. Virology Journal. 2005; 2(69): 1-10.

  • 14.    Keyaerys E, Li S, Vijgen L, Rysman E, Verbeeck J, Van Ranst M, et al. Antiviral Activity of Chloroquine against Human Coronavirus OC43 Infection in Newborn Mice. Antimicrob Agents Chemother. Agustus 2009; 53(8): 3416-3421.

  • 15.    Liang R, Wang L, Zhang N, Deng X, Su M, Su Y, et al. Development of Small-Molecule MERS-CoV Inhibitor. Viruses. Desember 2018; 10(12): 721.

  • 16.    Devaux CA, Rolain JM, Colson P, Raoult D. New insights on the antiviral effects of chloroquine against coronavirus: what to expect for COVID-19?. Int J Antimicrob Agents. Published 1 Maret 2020.              Available              from:

https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105938

  • 17.    Yao X, Ye F, Zhang M, Cui C, Huang B, Niu P, et al. In Vitro Antiviral Activity and Projection of Optimized Dosing Design of Hydroxychloroquine for the Treatment of Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Clin Infect Dis. Published 9 Maret 2020. Available from: https://doi.org/10.1093/cid/ciaa237

  • 18.    Gautret P, Lagier JC, Parola P, Hoang VT, Meddeb L, Mailhe M, et al. Hydroxychloroquine and Azithromycin as a Treatment of COVID-19: Results of an  Open-label  Non-randomized

Clinical Trial. Int J Antimicrobial Agents. Published 20 Maret 2020. Available from: https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105949

  • 19.    Andreani J, Le Bideau M, Duflot I, Jardot P, Rolland C, Boxberger M, et al. In Vitro Testing of Hydroxychloroquine and Azithromycin on SARS-CoV-2 Shows Synergistic Effect. Mediterranee Infection. Published 2 April 2020. Available from: https://www.mediterranee-infection.com/wp-content/uploads/2020/03/La-Scola-et-al-V1.pdf

  • 20.    Rosa SGV dan Santos WC. Clinical trials on drug repositioning for COVID-19 treatment. RevPanam Salud Publica. 2020;  44:e40.

Doi.org/10.26633/RPSP.2020.40.

  • 21.    Zhang W, Zhao Y, Zhang F, Wang Q, Li T, Liu Z, Wang J. The use of anti-inflamatory drugs in the treatment of people with severe coronavirus disease 2019 (COVID-19): The experience of clinical immunologist from china. 2020. doi: 10.1016/j.clim.2020.108393

  • 22.    Yang Y, Islam MS, Wang J, Li Y, Chen X. Traditional Chinese medicine in the treatment of patients infected with 2019-New Coronavirus (SARS-COV2): A review and perspective. 2020. 16(10): 1708–1717. doi: 10.7150/ijbs.45538.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/essential/index

5