PEMAKAIAN BAHASA MANGGARAI DALAM MISA INKULTURATIF DIKABUPATEN MANGGARAI
on
PEMAKAIAN BAHASA MANGGARAI DALAM MISA INKULTURATIF DIKABUPATEN MANGGARAI
Pius Pampe
Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U.
E-Mail:[email protected]
Abstrak
Wacana BM yang digunakan dalam misa inkulturatif di Kabupaten Manggarai merupakan wacana ekspresif berwujud monolog. Wacana ini unik, karena hanya terdiri dari satu paragraf pendek, namun struktur pertuturannya utuh yang ditunjukkan oleh ada bagian pendahuluan, prainti, inti, prapenutup, dan penutup. Demikian juga pada aspek fonologis memiliki keunikan yang ditunjukkan oleh bunyi [o] pada kata io ‘ya’, kata kepok ‘puji syukur’, serta bunyi [i] pada kata Mori ‘Tuhan’ yang diucapkan relatif panjang serta intonasi agak tinggi. Keunikan lain terlihat pada aspek sintaksis yang ditunjukkan oleh penggunaan kalimat predikat verba serial serta penggunaan kalimat konstruksi pasif pada kalimat majemuk yang memiliki hubungan ketergantungan parataktik. Verba pada kalimat majemuk ini berupa kata kerja transitif dan oblig agent berupa frase preposisi l-ami ‘oleh kami’ dan l-ite ‘oleh engkau’, sedangkan subjek berupa nomina yang memiliki fungsi sintaktik sebagai patient. BM yang digunakan dalam misa inkulturatif memiliki tiga ragam, yakni ragam biasa, semibeku, dan ragam beku. Makna dan nilai religius yang terkandung di balik penggunaan kedua ragam tersebut kurang dipahami oleh UKEM, karena masing-masing hanya mencapai 43. 22% dan 44, 34%. Mereka hanya memahami makna dan nilai yang terkandung pada penggunaan ragam biasa yang mencapai 71,52%.
Kata kunci: Wacana ekspresif, variasi bunyi, predikat serial, konstruksi pasif, pemahaman.
Pendahuluan
Sekarang bahasa Manggarai (BM) di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), cenderung digunakan dalam kegiatan penyerahan sesajen pada misa inkulturatif. Misa ini umumnya dilaksanakan pada hari raya agama Katolik, seperti Natal dan Paskah. Misa inkulturatif dalam konteks ini adalah misa yang diselipi tari-tarian dan lagu daerah Manggarai dengan menggunakan gendang dan gong.
Menyimak BM yang digunakan, terlihat cukup menarik untuk diteliti, karena mengandung beberapa permasalahan kebahasaan, terutama bentuk wacana, struktur lingual, serta permasalahan terkait dengan tingkat pemahaman umat Katolik etnik Manggarai (UKEM) tentang makna dan nilai religius yang terkandung di balik penggunaan BM tersebut. Karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan bentuk wacana, struktur lingual, serta tingkat pemahaman UKEM tentang makna dan nilai religius. Dalam mendapatkan data digunakan teknik perekaman; kuesioner dan wawancara. Data dianalisis dengan mengacu teori analisis wacana dari Fairclough
(2000); teori klausa dari Halliday (1985), teori fonologi dari Verhaar (2002); statistik deskripstif dan skala pengukuran Linkert (1996). Teori-teori tersebut masing-masing diacu sesuai dengan permasalahan.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengkaji BM dari sudut sosiolinguistik. Penelitian sebelumnya, baik dilakukan oleh Bustan (2005) yang mengkaji wacana ritual Penti maupun Erom (2004) yang meneliti tentang “Ungkapan paralelisme BM, kurang ada hubungannya dengan penelitian ini, karena mereka mengkaji dari sudut linguistik kebudayaan.
Pembahasan
Wacana Ekspresif
Wacana BM yang digunakan dalam misa inkulturatif di Kabupaten Manggarai tergolong wacana ekspresif berwujud monolog. Wacana ini memiliki
keunikan, karena hanya terdiri atas satu paragraf relatif pendek yang mengandung tema serta secara superstruktur memiliki prainti dan prapenutup. Salah satu wacana ekspresif berwujud monolog tersebut disajikan di bawah ini.
Wc. 1) Io-o-o mori ema pastor ata letang temba baro jaong gesar agu tilir de anak do me. 2) Tara manga padir wai rentu sai no’o te naring agu hiang ite. 3) Mori-i-i tegi l - ami berkak koes keluarga d - ami l – ie one mai pu’un haeng wela – n peang agu pande 2
beka koe ami. 4) Mori---i ai ite ata pande dia mose d – ami.
5) Boto mu’ug kanang mori ho’os ba d – ami roti agu anggor nggere one ite. 6) Kepo-o-ok mori.
‘Sembah sujud tuan pastor penyambung lidah untuk menyampaikan keluh kesah umatMu. Kami berkumpul di sini untuk memuji dan menyembahmu. Yang kami mohon adalah berkatilah seluruh keluarga kami mulai dari leluhur hingga anak cucu. Agar tidak hanya ucapan saja ini kami persembahkan roti dan anggur untukmu. Puji syukur tuan’.
Tampak jelas bahwa Wc diatas hanya terdiri dari satu paragraf yang mengandung tema, yakni permohonan berkat keluarga yang terkandung pada kalimat (3). Unsur one mai pu’un haeng welan peang ‘dari pangkal hingga bunga’ merupakan metafora bagi leluhur dan anak cucu. Secara superstruktur, Wc terdiri dari lima bagian yakni: pendahuluan, prainti, inti, prapenutup, dan penutup. Kelima bagian tersebut masing-masing ditunjukkan oleh leksikal yang mempunyai fungsi retorika berupa peranan-peranannya (band. Safnil, 2002). Kata ata ‘yang’ dalam kelompok kata (1) mempunyai
fungsi retorika berupa definisi tentang pastor dan kata tara ‘sebab’ pada kalimat (2) memiliki fungsi retorika menyatakan alasan. Fungsi retorika diad one mai pu’un haeng welan peang ‘dari leluhur sampai cecet’ pada kalimat (3) adalah memberikan deskripsi, sedangkan penggunaan frase hoos bokong ‘ini bekal’ pada kalimat (5) memiliki fungsi retorika argumentasi yang mengedepankan bukti,. Fungsi retorika kata kepok ‘puji syukur’ dalam kalimat (6) adalah menyatakan tuturan selesai.
Fungsi-fungsi retorika tersebut bergayut langsung dengan Wc1 tergolong wacana ekspresif berwujud monolog yang diungkap secara torok ‘doa asli’ MEM. dengan penuh perasaan. Luxemburg, dkk. (1987) mengatakan bahwa wacana ekpresif adalah wacana yang memiliki tujuan untuk mengungkapkan perasaan tentang pengalaman nyata di dunia, seperti pengalaman padir wai rentu sai ‘berkumpul bersama’ pada kalimat (2).
Selain ekspresif, Wc1 berwujud monolog, yakni wacana yang tidak berupa percakapan antara dua pihak yang melakukan komunikasi vebal (Chaedar, 1985: Djajasudarma, 1994). Dalam hubungan dengan ini, Fairclough (2000) mengatakan bahwa wacana yang digunakan dalam suatu konteks situasi pada umumnya memiliki struktur monologis, sehingga dikategorikan ke dalam wacana berdimensi horisontal atau teks tunggal (single text). Artinya, dalam suatu ruang teks yang lebih luas tidak ada urutan teks, sehingga tidak ada teks mengikuti teks lain yang muncul lebih dahulu.
Variasi Bunyi [ 0:] dan [ i: ]
BM memiliki bunyi vokal [i], [e], [∂], [u],[o], dan [a]. Dua di antaranya, yakni bunyi [0] dan [i] memiliki variasi bunyi berupa diucapkan agak panjang serta intonasi agak tinggi. Pengucapan bunyi [o] pada kata io ‘ya (seruan kepada Tuhan’ adalah io^^^^^^^o ‘ya^^^^^^^a’ dan kata kepok ‘puji syukur’ adalah kepo^^^^^^^^ok
‘puji^^^^^^^i syukur’. Demikian juga bunyi [i] dalam kata Mori ‘Tuhan’ diucapkan dengan Mori^^^^^^^-i ‘Tuha^^^^^^^^an’. Ketiganya tergolong variasi bunyi karena terjadi pada kata yang sama, artinya ada bunyi [o] pada kata io ‘ya’, dan kata kepok ‘puji syukur’, serta bunyi [i] pada kata Mori ‘Tuhan’ diucapkan agak pendek serta intonasi datar. Terkait dengan hal ini, Kridalaksana (1993) dan Verhaar (2002) mengatakan bahwa variasi bunyi atau variasi fonologis hanya terjadi pada sebuah kata yang secara
leksis sama. Variasi bunyi pada sebuah kata dalam BM terjadi, karena pemakaiannya terjadi pada konteks religius Katolik.
Kalimat Predikat Verba Serial
Salah satu kalimat predikat verba serial disajikan di bawah ini.
1) Ami ata manga ranga no’o mai cahir nai one ema pastor.
Kami yang ada muka sini datang bagi hati ke bapak pastor.
‘Kami yang hadir di sini datang mencurahkan perasaan kepada Bapak Pastor’
. Verhaar (2002) mengatakan bahwa di antara predikat verba ada yang serial berupa predikat yang terdiri dari verba utama lebih dari satu yang strukturnya sedemikian rupa sehingga tidak ada verba yang tergantung pada verba lain. Kalimat (1) memiliki dua verba utama, yakni verba intransitif mai ’datang’ yang dirangkai secara serial dengan verba transitif cahir ‘bagi’. Namun kalimat (1) tidak termasuk kalimat majemuk, walaupun kedua verba tersebut masing - masing dapat berdiri
sendiri, misalnya, Ami ata manga no’o mai one ema pastor ‘kami yang ada di sini datang ke Bapak Pastor’ serta Ami ata manga no’o cahir nai one ema pastor ‘kami yang ada di sini mencurahkan perasaan kepada Bapak Pastor’. Tidak termasuk kalimat majemuk, karena mai cahir ‘datang mencurahkan’ merupakan struktur baku yang letaknya tidak dapat dipertukarkan.
Kalimat Konstruksi Pasif
Konstruksi pasif terlihat pada penggunaan kalimat majemuk hubungan ketergantungan parataktik yang disajikan di bawah ini.
(2)
Tegi l- ami mose dia agu berkak koes l- ite ise te kaeng kilo serani.
‘Kami mohon hidup baik dan Engkau memberkati mereka untuk menjadi keluarga Katolik’. α1 α2
Kalimat (2) di atas merupakan kalimat majemuk yang memiliki hubungan ketergantungan parataktik. Tampak jelas kalimat ini terdiri dari dari dua klausa yang masing-masing terlihat pada (α1) dan (α2). Kata penghubung agu ‘dan’ yang digunakan untuk menghubungkan kedua klausa tersebut menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan parataktis atau sejajar (band. Halliday, 1985). Tegi ‘mohon’ merupakan verba transitif yang berfungsi sebagai predikat; lami ‘oleh kami’ merupakan frase preposisi
yang berfungsi sebagai oblik agent; dan mose dia ‘hidup baik’ memiliki fungsi sebagai subjek yang secara semantis merupakan patient. Demikian juga berkak ‘berkat’ merupakan verba transitif yang berfungsi sebagai predikat; l –ite ‘oleh Tuhan’ merupakan frase preposisi yang berfungsi sebagai oblik agent; dan ise ‘mereka’ merupakan pronomina orang ketiga jamak yang berfungsi sebagai subjek yang secara semantis merupakan patient.
Tingkat Pemahaman UKEM
Wacana BM yang digunakan dalam misa inkulturatif, memiliki tiga ragam, yakni ragam biasa, ragam semibeku, dan ragam beku. Ketiga ragam BM tersebut masing-masing mengandung makna dan nilai religius. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pemahaman UKEM tentang makna dan nilai religius yang terkandung BM ragam biasa 71,15%; ragam semibeku mencapai 44,34%; dan ragam beku hanya mencapai 43,22%. Persentase tersebut masing-masing diletakkan dalam skala di bawah ini.
TM KM CM M SM
240 480 438,25 525 720 860,5 960 1200
20% 40% 43,225 44,32% 60% 71,52% 80% 100%
Mencermati skala di atas terlihat UKEM kurang memahami (KM) makna dan nilai religius yang terkandung di balik penggunaan BM ragam semibeku dan ragam
5
beku, karena pemahaman mereka cenderung lebih dekat ke KM. Mereka hanya memahami (M) makna dan nilai religius yang terkandung di balik penggunaan BM ragam biasa yang cenderung terletak lebih dekat ke M. Disimpulkan bahwa penggunaan wacana BM ragam semibeku dan ragam beku dalam misa inkulturatif mubasir bagi UKEM, kendatipun bukan lawan tutur. Mereka kurang memahami karena banyak unsur kebahasaan BM yang digunakan penutur jarang bahkan tidak pernah digunakan dalam komunikasi sehari-hari, seperti penggunaan idiom, paralelisme, dan metafora yang terkesan asing, karena dianggap baru bagi mereka.
Simpulan dan Rekomendasi
Keunikan wacana BM yang digunakan dalam misa inkulturatif ditunjukkan oleh bentuknya terdiri dari satu paragraph pendek yang mengandung tema; memiliki prainti dan prapenutup serta ada variasi pada bunyi [o] dan [i] yang ditunjukkan oleh pengucapannya agak panjang dengan intonasi agak tinggi. Keunikan lain terlihat pada penggunaan kalimat predikat verba serial dan kalimat konstruksi pasif yang terjadi pada kalimat yang memiliki hubungan ketergantungan parataktik. UKEM di Kabupaten Manggarai kurang memahami makna yang terkandung di balik penggunaan BM ragam semibeku dan ragam beku.
Berhubung BM merupakan salah satu sarana iman bagi MEM yang sebagian besar beragama Katolik, maka hasil penelitian ini direkomendasikan kepada PEMDA Kabupaten Manggarai, lembaga-lembaga gereja Katolik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh agama, perguruan tinggi, dan LSM agar bersama-sama merancang bangun pemberdayaan BM untuk digunakan dalam K3, sehingga dapat sebagai pembawa pengetahuan dan pembangun nilai religius bagi UKEM.
The used of manggarai languge is culturerative mess in manggarai regency.
Pius Pampe
Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U.
E-Mail:[email protected]
ABSTRACT
The discourse of BM spoken in culturative mass at the regency of Manggarai is an expressive discourse in the form of monologue. This discourse in unique as it is comprises of a short paragraph, in which its structure is complete, is shown by the presence of preface, precore, core, pre enclosure, and closure. Likewise, in the phonological aspect, is has a uniqueness shown by [o] on the word io ‘yes’ and on the word kepok ‘thank God’ as well as [i] on the word mori ‘God’ pronounced relatively long with a rather high intonation. Another uniqueness is seen in the syntactic aspect shown in the used of the sentence whish has a serial verb predicated and the use of passive sentence construction in compound sentences in whish each clauses are paratactically related. The verb of the compound sentence is transitive verb and the agent oblique in form of prepositional phrase l-ami ‘by us’ and l-ite ‘by you’ where as the subject is in the form of noun phase which is semantically a patient. The manggarai language in cultureartive mess at the Regency of Manggarai possesses three varieties; those are common, semi-frozen, and frozen variations. Both religious meaning and value containss beyond the use of semi-frozen and frozen styles is not fully understood by the Manggarai ethnics of Catholic congregation because each variety only reaches 43,22% and 44, 34%. They just understand both the religious meaning and value contained in common variety reaching 71,52%.
Key words: expressive discourse, phonological variation, serial predication, passive construction, understanding
Introduction
Nowadays the Manggarai language in Flores Island in the East Nusa Tenggara Province tends to be used in sacrifice activities during the inculture mass. This mass is usually carried out in the important days of the Catholics like in Christmas and Easter day. This kind of mass is accompanied by local dances and song using the drum and gong instruments.
Looking at the language used, it is interesting to do research on this language as it has a number of interesting aspects, particularly in terms of the form of the discourse, the structure, and the problem related to the level of understanding of the religious values of this variation of language used in the mass by the Manggarain Ethnic group. Thus the aims of the research are to find out the structure of the discourse, the structure of the
language, the level of understanding of the values and meaning behind the use of this language for the mass. In collecting the data for the study the techniques used are recording, questioner and interview. The theories adopted for the analysis are the discourse theory by Fairclough (2000), the clause theory by Halliday (1985), the phonology theory by Verhaar (2002), descriptive statistic and measurement scales by Linkert (1996). Each of this theory is used in relation to each of the research question.
This research is the first investigation based on sociolinguistics perspective. The previous studies by Bustam (2005) focusing on the ritual penti discourse and Eron (2004) on the pararellism in Manggarai expression used cultural linguistic approaches.
Discussion
Expressive Discourse
The discourse used in the inculturative mass can be classified as expressive discourse in the form of monologue. This discourse is unique because it has one short thematic paragraph which has schematic superstructure: precore and preclose. This can be shown in the following example.
1) Io-o-o mori ema pastor ata letang temba baro jaong gesar agu tilir de anak do me. 2) Tara manga padir wai rentu sai no’o te naring agu hiang ite. 3) Mori-i-i tegi l - ami berkak koes keluarga d - ami l – ie one mai pu’un haeng wela – n peang agu pande 2
beka koe ami. 4) Mori---i ai ite ata pande dia mose d – ami.
5) Boto mu’ug kanang mori ho’os ba d – ami roti agu anggor nggere
one ite. 6) Kepo-o-ok mori.
‘Sembah sujud tuan pastor penyambung lidah untuk menyampaikan keluh kesah umatMu. Kami berkumpul di sini untuk memuji dan menyembahmu. Yang kami mohon adalah berkatilah seluruh keluarga kami mulai dari leluhur hingga anak cucu. Agar tidak hanya ucapan saja ini kami persembahkan roti dan anggur untukmu. Puji syukur tuan’.
It is clear that the above discourse has one paragraph which has a particular theme. The theme is the request for the family blessings which is expressed by the sentence (3). The expression one mai pu’un haeng welan peang is metaphorically used to refer to the connection from the ancestors to the grand children. In terms of the superstructure, this discourse has five elements: preface, precore, core, preclosure, and closure. Each of the five elements is characterized by the use of a lexical item signaling its rhetorical function (cf Safnil 200). The word ata in the group of words (1) which has the function of
defining the priest, the word tara in sentence (2) has the function of giving reason. The rhetorical function of the died one mai pu’un haeng welan peang ‘from the ancestors to the grand children’ in sentence (3) is giving a description, while the phrase hoos bokong in the sentence (5) has the function of providing argumentation. Rhetorical function of the word kapok “thankfulness” in sentence 6 is used to indicate that the discourse is ended.
Those rhetorical functions directly relate to expressive discourse which is in the form of monolog which is express as torok “original pray” MEM with full of feeling. Luxemburg, atal (1987) stated that expressive discourse is a discourse that has a purpose to express the feeling about true experience in the world, as the experience of padir wai rentu sai ‘gethering together’ in sentence 2.
In addition to being expressive discourse, this discouse is in the form of monolog, that is a discourse that does not involved interactive verbal communication between two parties (Chaedar, 1985: Djajasudarma, 1994). In relation to this, Fairclough (2000) stated that the discourse which is used in a context situation in general has a monolog structure so can be categorize as a discourse having horizontal or single text dimension. This is mean that in the wader space of the text there is no sequence of text, so there is no one text that follows another text.
Sound variation [0:] and [ i: ]
Manggarai language has vocal sound [i], [e], [∂], [u],[o], and[a]. Two sound that is [0] and [i] have sound variation to be pronounce longer and with a high intonation. The pronounciation of the sound [o] in the word io ‘yes’ (is a called for the God io^^^^^^^o ‘ya^^^^^^^a’ and in the word kepok ‘puji syukur’ is kepo^^^^^^^^ok 1puji^^^^^^^i syukur’. It is also similar to the sound [i] dalam kata Mori ‘God’ which is pronounced as Mori^^^-^-i ‘Tuha^^^^^^^^an’. The three of them belong to the sound variation because they occur in the same word, it means that the sound [o] in the word io ‘yes’, and in the word kepok ‘thankfulness’, and the sound [i] in the word Mori ‘Tuhan’ are pronounced shorter with a flat intonation. Related to this point, Kridalaksana (1993) and Verhaar (2002) stated that the sound variation or fonological variation only occur in one
word which is of the same lexsime. Sound variation in one word in manggarai language occurs because it is used in the religious context of Catholic.
Sentence with serial verb predicate
one of the serial verb predicate is given bellow:
1) Ami ata manga ranga no’o mai cahir nai one ema pastor.
Kami yang ada muka sini datang bagi hati ke bapak pastor.
‘we who are here today came to express our feeling to the priest”
. Verhaar (2002) state that among the predicate there is the serial verb predicate which has two main verb and non of the verb depends on the other. Sentence one has two main verb, they are the intransitive mai ’come’ which is combined with the verb cahir ‘to devide’. But sentence 1 cannot be considered to be a complex sentence, even tough each verb can stand by itself as a predicate as in, Ami ata manga no’o mai one ema pastor ‘we who are here come for the priest’ and Ami ata manga no’o cahir nai one ema pastor ‘we who are here express or feeling to the priest’. So sentence one is not a complex sentence because the sequence mai cahir ‘come to express’ is a fozen structure in which the older can not be revised.
The passive construction
The passive construction can be seen in the following complex sentence in which has a paratactic dependency is given below:
(2)
Tegi l- ami mose dia agu berkak koes l- ite ise te kaeng kilo serani. ‘We ask for a better live and you bless them to be a Catholic family’.
α1 α2
Sentence two is a compound sentence which has a paratactic dependency. This sentence clearly has two clauses (α1) and (α2). The conjunctions are agu ‘and’ is used to combine those two clauses which shows a parallel or a paratactic relationship (cf. Halliday, 1985). The word Tegi ‘ask for’ is a transitive verb functioning as a predicate; lami ‘by as’ is a prepositional phrase as an oblique agent; and mose dia ‘live better’
functions as subject which is semantically a patient. The same is also true with the word berkak ‘to bless’ is a transitive verb functioning as a predicate, l –ite ‘by God’ is prepositional phrase functioning as an oblique agent; and ise ‘they’ is a functioning as a subject which is semantically a patient.
The level of understanding of the Catholic of ethnic manggarai
The manggarai discourse use in culturerative mess has three variations: common variation, semi frozen variation, frozen variation. Those three variations contain meaning and religious values. The result of analysis shows that understanding of the Catholic of ethnic manggarai about the meaning and the religious values which are contained in a common variation is 71,15%; in semi frozen reach up to 44,34%; and in the frozen variation is 43,22%. Each of those percentages is shown in scale below:
TM KM CM M SM
240 480 438,25 525 720 860,5 960 1200
20% 40% 43,225 44,32% 60% 71,52% 80% 100%
Based on the above scale it is clear that the Catholic of ethnic manggarai understand the meaning and the religious value that contains in the used of semi frozen and frozen variation less, because they tend to be close to KP. They only understand the meaning and the religious values that is contain in the use of common variation which is clos to (P). it can be concluded that the used of manggarai language discourse in terms of semi frozen and frozen variation during the inculturalative mess in useless for Catholic of ethnic manggarai. They do not quite understand the meaning and the values because there are many aspect of the manggarai language which is used in the mess, is hardly used in every day communication, like the use of idiom, parallelism, metaphor, which sounds strange for them because they it consider them new.
Conclusion and recommendation
The uniqueness of the discourse used in the inculturative mess is shown by the form which is made up by a single short paragraph which has a theme in it. It has a
precore and precloser and sound variation in terms of higher intonations and longer pronunciation. The other uniqueness is shown by the use of the sentence which has a serial verb predicate and the passive construction which has a paratactic dependency in a compound sentence. The Catholic of ethnic manggarai in manggarai regency does not quite understand he meaning behind the used of the semi frozen and the frozen variation of the manggarai language.
Because manggarai language is use as a mean for MEM which are mostly Catholic, the result of this study s to be recommended to local government of manggarai regency, the catholic churches, prominent figure in the society, prominent figure in the youth organization, prominent figure in religious organization, the traditional prominent figure, tertiary educations and NGO, they should work together toward the empowerment of manggarai language to be used in K3, so that it can serve as a means to bring knowledge and to form religious value for Catholic of ethnic manggarai.
References
Chaer, A. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma F. 1994. Wacana, Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung Ersco.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis the Critical Studies of Languages.London: Longman.
Halliday, M. K. (1985). Introduction to Functional Grammar. Melbourne. Edward Arnold.
Halliday, M. K.& Ruqaiya, H. 1985. Language, Context, And Tex: Aspects of Language in Social-Semiotics. Victoria: Deakin University.
6
Joos, M. 1972. “The Isolation of Styles”.Dalam: Fishman, J. (editor). Readings in the Sociology of Language. hlm. 185-190. Paris: Mouton.
Habermas. J. 2006. Tindakan Komunikatif. Terjemahan: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Kaelan, 2004. Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein. Yogyakarta: Paradigma.
Kridalaksana, H.1993. Kamus Linguistik. Jakarta:Gramedia.
Luxemburg, dkk. 1987. Tentang Sastra. Terjemahan: Ikram. Jakarta :Seri ILDEP.
Mukese, J.D. 1982. “Hati Sebuah Tanda Mata”. Ledalero, STFK
Palmer, R.E. 1999. Hermeneutika. Terjmahan: Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono,2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfa Beta.
Discussion and feedback