KESANTUNAN BERBAHASA PADA PENUTUR BAHASA KAMBERA

DI SUMBA TIMUR

I Wayan Simpen (Mahasiswa)

Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Promotor)

Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. (Kopromotor I)

Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S. (Korpromotor II) Program Pendidikan Doktor (S3) Program Studi Linguistik

Universitas Udayana, Jalan Nias 13 Denpasar, Bali

Abstrak

Seperti halnya bahasa lain, bahasa Kambera memiliki fungsi sebagai alat untuk menyampaikan pikiran dan perasaan, sebagai alat untukmemahami pikiran dan perasaan, dan sebagai alat berpikir dan berasa. Kesantunan berbahasa adalah salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya. Kajian terhadap kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera bertujuan untuk menemukan, mendeskripsikan, dan menganalisis satuan verbal yang digunakan sebagai kesantunan, menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan, makna kesantunan, unsure suprasegmental yang mempengaruhi kesantunan, dan unsur paalainguistik yang menyertai kesantunan.

Penelitian kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera bertumpu pada teori Linguistik Kebudayaan dan teori Sosiopragmatik. Metode yang digunakan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik penganalisisan data, dan metode dan teknik penyajian hasil analisis. Data dikumpulkan dengan metode observasi terlibat aktif dan wawancara, dengan teknik pancingan, pencatatan, dan perekaman. Data yang terkumpul diklasifikasi berdasarkan jenis, bentuk, dan variabel penent. Analisis tidak menggunakan data secara kuantitatif, sehingga tidak ada analisis secara statistik. Hasil analisis disajikan dengan metode informal, dan dibatu dengan teknik penyajian secara deduktif dan induktif.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera menggambarkan ideologi yang dijadikan dasar kesantunan berbahasa. Satuan verbal yang digunakan untuk kesantunan berbentuk kata, gabungan kata, kalimat, dan peribahasa. Kesantunan berbahasa dipengaruhi oleh faktor status, jenis kelamin, usia, dan hubungan kekerabatan. Makna kesantunan merefleksikan latar budaya yang dianut penutur dengan berorientasi pada sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, hubungan kekerabatan, stratifikasi sosial, dan sistem pernikahan.

Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini penutur bahasa Kambera masih memegang teguh prinsip hidupnya. Prinsip hidup itu

tertuang dalam ideologi yang mereka sebut Hopu li li witi- Hopu li la kunda’ akhir dari segala pembicaraan –akhir dari segala pintalan’. Satuan verbal yang digunakan kesantunan berbentuk kata, gabungan kata, kalimat, dan peribahasa. Faktor seperti usia, jenis kelamin, status, dan hubungan kekerabatan sangat berpengaruh dalam kesantunan. Makna kesantunan menggambarkan latar budaya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, dan sistem pernikahan.Unsur suprasegmetal dan paralinguistik berpengaruh terhadap kesantunan verbal. Ada satu aspek kebahasaan yang perlu dikaji lebih dalam, yaitu luluku. Ini merupakan lahan baru yang cukup menantang untuk dikaji.

Kata-kata kunci: idiologi, kesantunan, kecerdasan emosional

Pendahuluan

Bahasa Kambera merupakan bahasa komunitas kerajaan Kambera, yaitu kerajaan terbesar di Sumba Timur yang wilayahnya terbentang dari Barat (Lewa), Tengah (Waingapu), dan Timur (Umalulu).Penutur asli bahasa Kambera adalah masyarakat yang mula-mula merupakan komunitas pendukung kebudayaan Sumba Timur yang berorientasi pada keyakinan marapu.

Seperti bahasa-bahasa lain, bahasa Kambera berfungsi sebagai alat berpikir dan berasa, alat untuk menyampaikan pikiran dan perasaan, dan alat untuk memahami pikiran dan perasaan.Sebagai alat berpikir, bahasa dapat meningkatkan kecerdasan intelektual dan sebagai alat berasa, bahasa dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya.

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena di dalam komunikasi penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing-masing peserta tutur senantiasa tidak saling mempermalukan. Dengan kata lain, baik penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah umum yang muncul dalam penelitian ini adalah” Bagaimanakah karakteristik kesantunan berbahasa masyarakat tutur bahasa Kambera di Sumba Timur?” Masalah umum ini dapat dijabarkan secara khusus berikut ini: (a) Bagaimanakah kesantunan berbahasa guyub tutur bahasa Kambera diwujudkan dalam satuan verbal? (b) Bentuk-bentuk lingual apakah yang digunakan oleh penutur bahasa Kambera untuk mewujudkan kesantunan berbahasa? (c) Apa sajakah fungsi dan makna kesantunan berbahasa penutur bahasa Kambera? (d) Faktor apa sajakah yang menentukan munculnya kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera? (e) Latar budaya apakah yang dapat direfleksikan melalui kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera? (f) Bagaimanakah peran unsur suprasegmental yang menyertai unsur segmental dalam memperjelas kesantunan verbal? (g) Bagaimanakah peran unsur nonverbal yang menyertai ekspresi verbal dalam menyatakan kesantunan?

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan, mendeskripsikan, dan menganalisis karakteristik kesantunan berbahasa masyarakat tutur bahasa Kambera. Karakteristik kesantunan berbahasa itu menyangkut cara penutur bahasa Kambera mengungkapkan kesantunan berbahasa, jenis satuan verbal yang dipakai dalam kesantunan berbahasa, sejumlah fungsi dan makna kesantunan, faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan, unsur segmental dan unsur paralinguistik yang mempengaruhi kesantunan. Tujuan umum di atas secara khusus dapat dirinci sebagai berikut: (a) faktor kepatuhan terhadap prinsip kesopanan, (b) sejumlah pemakaian satuan verbal yang digunakan untuk mengganti satuan verbal yang ditabukan (c) kata atau istilah dianggap terlalu kasar, sehingga diperlukan bentuk-bentuk yang diperhalus, (d) pemakaian bentuk-bentuk hormat, (e) jenis-jenis satuan verbal taklangsung, (f) variabel umur, status, dan jenis kelamin yang mempengaruhi kesantunan, (g) temuan yang menyangkut ideologi yang mendasari kesantunan, (h) temuan yang berkaitan dengan unsur suprasegmental dan unsur paralinguistik yang mempengaruhi kesantunan.

Temuan di atas sangat bermanfaat bagi pengembangan Teori Linguistik Kebudayaan karena kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera bersifat khas. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat penutur bahasa Kambera dalam menerapkan prinsip kesantunan. Hasil penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan untuk pembinaan dan pengembangan bahasa nasional, mengingat peran bahasa daerah dalam menyokong keberadaan bahasa nasional sangat penting.

Untuk menemukan ideologi masyarakat penutur bahasa Kambera yang berorientasi pada keyakinan marapu digunakan teori Linguistik Kebudayaan. Teori Linguistik Kebudayaan yang dimaksud adalah teori linguistik yang diajukan oleh Palmer (1996. Penemuan ideologi penutur bahasa Kambera sangatlah penting karena perilaku kesantunan berbahasa dilandasi oleh ideologi yang mereka anut. Kemudian, untuk menemukan jenis-jenis satuan verbal yang digunakan dalam kesantunan dan mengkaji untuk maksud apa satuan verbal itu dipilih, digunakanlah teori Sosiopragmatik. Jadi, di dalam teori Sosiopragmatik tercakup hal-hal yang berkaitan dengan tindak tutur dan kesantunan. Dengan kedua teori di atas tidak hanya mampu mendeskripsikan karakteristik kesantunan dalam bahasa Kambera, tetapi mampu menjelaskan mengapa bentuk-bentuk tertentu bisa atau tidak bisa digunakan.

Penelitian ini bersifat kualitatif. Data dikumpulkan dengan metode wawancara dan observasi partisipasi dan dibantu teknik penelitian kebahasaan yang dianggap gayut, seperti bebas libat cakap, libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Data primer diperoleh dari 15 narasumber yang dianggap memenuhi persyaratan, sedangkan data skunder didapat dari tulisan Kapita (l976a, 1976b, 1982,1985, dan 1987), dan Tunggul (2000).

Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan beberapa variabel penentu hanya dianggap sebagai faktor dan tidak diukur secara kuantitatif. Hasil analisis disajikan dengan metode informal dan dibantu dengan teknik penyajian secara induktif dan deduktif.

Hasil Penelitian

Segala aktivitas kehidupan masyarakat penutur bahasa Kambera senantiasa berorientasi pada nilai-nilai yang diyakini dan telah diwarisi dari nenek moyang orang Sumba. Nilai-nilai itu tidak dapat ditawar atau diubah lagi karena telah menjadi keputusan dan kesepakatan nenek moyang orang Sumba. Di dalam bahasa adat (luluku) disebut Hopu lila witi- Hopu li lakunda ’akhir dari segala pembicaraan’ – ‘akhir dari segala pintalan’. Peribahasa ini berarti bahwa ideologi yang diwariskan oleh nenek moyang merupakan keputusan final, yaitu kesimpulan dari segala pembicaraan atau merupakan simpulan akhir pada pintalan benang.

Ada enam pedoman hidup yang diyakini oleh orang Sumba Timur. Keenam pedoman hidup itu adalah sebagai berikut: (a) Li la le li manguama ’hal suami dan hal istri’ (b) Li head li meti ’hal sakit dan hal mati’ (c) Li konda ri ratu ’hal berkepemimpinan dan hal yang diormati’ (d) Li ndewa li pahomba ’hal bertani dan hal beternak’ (e) Li kiring li andong ’ hal tentang perkelahian’ (f) Li marapu ’hal tentang marapu’

Perilaku kehidupan masyarakat Sumba Timur bertumpu pada keenam ideologi yang disebutkan di atas, termasuk perilaku kesantunan berbahasa. Dari keenam ideologi yang disebutkan di atas hanya satu yang tidak melibatkan kesantunan berbahasa, yaitu hal yang berkaitan dengan perkelahian (Li kiring li andong), sedangkan yang lainnya sangat relevan dengan kesantunan berbahasa. Misalnya, kesantunan berbahasa berkaitan dengan suami istri, terutama dalam peminangan, posisi perempuan dalam kehidupan rumah tangga, dan hubungan suami istri. Kesantunan juga relevan dengan kematian, terutama prosesi penguburan mayat. Adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat mengakibatkan ada sekelompok masyarakat yang menjadi pemimpin sebagai kelas atas, dan ada sekelompok masyarakat yang terpimpin sebagai kelas di bawahnya. Kesantunan berbahasa sangat jelas membedakan bagaimana kelompok imperior berbahasa dengan kelompok superior.

Penutur bahasa Kambera mewujudkan kesantunan berbahasa dalam bentuk: kata, gabungan kata, kalimat, dan peribahasa. Kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi ekspresif, fungsi emotif, fungsi direktif, dan fungsi fatik. Fungsi ekspresif meliputi: menyapa tamu, menyebutkan kelemahan diri sendiri, menyebutkan kelemahan lawan bicara, dan menyebutkan kelemahan orang lain. Fungsi emotif mencakup: komentar tentang makanan yang disantap, komentar tentang makanan yang disajikan, komentar tentang milik diri sendiri dan milik orang lain.Fungsi direktif mencakup: memerintah atau menyuruh dari entitas yang memiliki kelas yang berbeda. Oleh karena itu, akan ditemukan cara maramba memerintah maramba, maramba memerintah kabiu, maramba memerintah ata. Fungsi ini juga menggambarkan cara kabihu memerintah maramba, kabihu memerintah kabihu, kabihu memerintah ata, dan ata memerintah maramba, ata memerintah kabihu, dan ata memerintah ata.

Fungsi direktif yang lain adalah memohon atau meminta. Fungsi ini seringkali menggunakan tuturan langsung atau tuturan taklangsung. Apabila yang meminta itu adalah masyarakat dari kelas bawah, maka kerap digunakan tuturan taklangsung atau berbentuk implikatur.

Kesantunan berbahasa juga berfungsi fatik, yaitu hanya berfungsi sebagai alat untuk mengadakan kontak dengan pihak lain. Hal ini sering ditemukan bila peserta tutur

berjumpa secara kebetulan di suatu tempat atau di jalan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera. Pertama, faktor status yaitu tuntutan bagi kelas bawah agar berbahasa yang sopan terhadap kelas di atasnya. Dalam hal ini kelas bawah wajib menggunakan bentuk hormat bila berbicara dengan kelas atas. Kedua, faktor usia, yaitu penutur yang usianya lebih muda wajib berbahasa yang santun kepada petutur yang usianya lebih tua. Ketiga, faktor hubungan kekerabatan, yaitu hubungan dalam keluarga mewajibkan seseorang harus menghormati orang lain. Keempat, faktor jenis kelamin, yaitu kaum perempuan senantiasa harus menghormati kaum laki-laki, atau sang istri harus berbicara santun terhadap suaminya.

Perilaku kesantunan berbahasa menyiratkan suatu makna yang diyakini oleh penuturnya. Demikian pula kesantunan berbahasa penutur bahasa Kambera menggambarkan nilai-nilai yang tercakup pada sistem kepercayaan marapu, menggambarkan system kekerabatan yang mengenal lima generasi, menggambarkan stratifkasi social dengan tiga kelas masyarakat, yaitu maramba, kabihu, dan ata. Kesantunan berbahasa juga menyiratkan bahwa penutur bahasa Kambera memiliki sistem mata pencaharian sebagai petani dan peternak.

Kesantunan nonverbal mencakup tindakan nonkebahasaan yang mencerminkan nilai-nilai yang dianggap relevan dengan ideologi yang dianut. Beberapa tindakan yang dianggap melanggar kesopanan adalah: cara berpakaian, carta makan, gerakan tubuh, perzinahan dan perbuatan sumbang, mempermalukan orang lain, menyinggung derajat atau keturunan, dan meminang secara langsung.

Salah satu cara untuk mewujudkan kesantunan adalah menggunakan tuturan taklangsung. Hal ini terjadi bila kelas bawah bermaksud memerintah atau memohon kepada kelas atas Tuturan taklangsung atau sering disebut implikatur lebih ampuh dan lebih menguntungkan peserta tutur.

Satuan verbal yang digunakan dalam kesantunan tidaklah berdiri sendiri, tetapi ada unsur nonverbal yang menyertai. Unsur-unsur itu lazim disebut unsur suprasegmental, misalnya, tekanan, tempo, dan nada. Tuturan akan lebih berdaya apabila disertai tekanan (keras, sedang, dan lemah), tempo (panjang dan pendek), dan nada (tinggi–rendah). Tuturan meminta misalnya, akan lebih berdaya guna bila disertai dengan nada rendah, tempo sedang, dan tekanan lemah.

Di samping unsur suprasegmental, unsur paralinguistik juga menyertai satuan verbal. Unsur ini dapat diamati langsung pada saat penutur dan petutur melakukan aktivitas berbahasa secara bersemuka. Masing-masing peserta tutur dapat mengamati unsur paralinguistik itu melalui ekspresi wajah dan sikap tubuh yang lain. Misalnya, rasa senang, bosan, benci, gelisah, setuju, tidak setuju, kecewa, atau ragu-ragu dapat dikenali dari perubahan air muka, sikap tangan, sikap badan, bentuk bibir,dan pandangan mata.

Pembahasan

Penelitian Kesantunan berbahasa pada penutur Bahasa Kambera telah menghasilkan suatu temuan. Misalnya, jenis satuan verbal yang digunakan untuk maksud kesantunan, fungsi dan faktor yang menentukan kesantunan, dan makna budaya yang

derefleksikan oleh kesantunan. Di samping itu, ditemukan pula unsur suprasegmental dan paralinguistik yang menentukan kesantunan.

Di samping temuan yang disebutkan di atas, penelitian ini juga menemukan tiga hal penting. Ketiga temuan baru itu mencakup hal-hal sebagai berikut.

  • 1.    Penelitian ini berhasil menemukan ideologi penutur berbahasa Kambera. Ideologi ini belum pernah diungkapkan oleh peneliti sebelumnya. Ideologi ini tercakup dalam Hopu li la witi - hopu li la kunda’ akhir dari segala pembicaraan - akhir dari segala pintalan’, yang mencakup hal-hal sebagai berikut: (a) Li la le li menguama ‘hal tentang suami istri’, (b) Li heda li ratu ‘hal tentang sakit dan mati’, (c) Li konda li ratu ‘ hal tentang yang dihormati/kemampuan’, (d) Li ndewa li pahomba ‘hal tentang pertanian dan peternakan’, (e) Li kiring li andong ‘hal tentang perkelahian’, (f) Li marapu ‘hal tentang marapu’

  • 2.    Pandangan teoretis Gunarwan (1993:7) yang menyatakan bahwa ada sembilan tuturan yang digunakan untuk maksud menyuruh. Tuturan nomor urut satu (a) memiliki derajat kesantunan yang paling rendah, sedangkan tuturan nomor urut berikutnya memiliki derajat kesantunan yang lebih tinggi. Rumusan saran yang menurut Gunarwan (1993) dianggap paling santun, ternyata tidak ditemukan pada penutur bahasa Kambera. Tuturan yang paling santun pada penutur bahasa Kambera adalah Ajakan umum dan ini tidak ditemukan pada parameter Gunarwan (1993). Oleh karena itu. Parameter dilengkapi satu tuturan lagi sehingga menjadi sepuluh para meter.

  • 3.    Pandangan teoretis yang menyatakan bahwa kesantunan lebih berpusat pada orang lain, ternyata tidak sepenuhnya benar. Dalam kasus tertentu kesantunan untuk diri sendiri juga penting. Artinya, dalam batas-batas tertentu terlalu merendahkan diri sendiri dianggap tidak tulus dan mejengkelkan lawan bicara.

Simpulan dan Rekomendasi

Secara keseluruhan temuan penelitian ini mengungkapkan simpulan sebagai berikut: (1) Masyarakat penutur bahasa Kambera memiliki dasar pandangan hidup yang tertuang dalam sebuah ideologi yang disebut Hopu li la witi- Hopu li la kunda’akhir segala pembicaraan-akhir segala pintalan’. Ideologi itu terdiri atas enam prinsip dasar, (2) Masyarakat penutur bahasa Kambera menyatakan kesantunan dalam bentuk kata, gabungan kata, kalimat, dan peribahasa, (3) Masyarakat penutur bahasa Kambera menggunakan kesantunan untuk fungsi ekspresif, emotif, direktif, dan fatik, (4) Ditemukan sejumlah faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa, seperti faktor usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan faktor status. Faktor status merupakan faktor yang paling dominan ditemukan pada penutur bahasa Kambera, (5) Perilaku kesantunan berbahasa menyiratkan latar budaya yang berorientasi pada sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, sistem mata pencaharian, dan sistem stratifikasi sosial, (6) Unsur suprasegmental dan unsur paralinguistik ditemukan sebagai unsur nonverbal yang menyertai unsur verbal, (7) Ditemukan bentuk kesantunan yang khas yang tidak dijumpai pada bahasa lain, yaitu ajakan umum sebagai tuturan yang paling santun, (8) Pandangan teoretis yang menyatakan bahwa kesantunan hanya untuk orang lain, ternyata tidak

selamanya benar. Untuk kasus tertentu ditemukan bahwa kesantunan untuk diri sendiri juga penting.

Hasil penelitian membuktikan bahwa generasi muda yang paham betul bahasa Kambera sangat terbatas jumlahnya. Semakin sulit mencari juru bahasa( wunangu), banyak aktivitas budaya yang ditinggalkan, dan cerita lisan hampir tidak dikenal. Aspek kebahasaan yang amat menarik seperti luluku belum dikaji secara mendalam. Oleh karena itu, penelitian aspek ini sangat penting dilakukan. Temuan penelitian ini secara teoretis-imperik masih perlu disempurnakan dengan teori baru yang lebih mutahir.

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, Sutan Takdir.1979. Arti Bahasa, Pikiran, dan Kebudayaan dalam Hubungan Sumpah Pemuda 1928. Pidato Sambutan Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa pada Universitas Indonesia. Jakarta : PT. Dian Rakyat.

Anderson, Benedict R. O'G. 1990. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. United States of Amerika: Cornell University Press.

Austin, J.L. 1962. How to Do Things With Words. Cambridge, Mass : Harvard University Press.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. "Pemakaian Bentuk Homat dalam Bahasa Bali : Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa". (Disertai).Jakarta: Universitas Indonesia.

Blum-Kulka, Shoshana. 1987.”Indirectness and Politeness in Requests: Same or Different? Journal of Pragmatics hlm. 131--146.

Brown, Penelope dan S.C. Levinson. 1978. "Universal in Language Usage : Politeness Phenomena." Dalam Esther N. Goody (Peny). Questions and Politeness. Cambridge : Cambridge University. Press.

Casson, Ronald W.1981.Language, Culture, and Cognition: Anthropological Perspective. New York: Macmillan Publishing Co.Inc.

Carrol, John. B. (ed). 1969. Language Thought, and Reality : Selected Writings of Benjamin Lee Whorf. Cambridge, Massachusetts : The MTT Press.

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge : Cambridge University Press.

________, 2001. "Linguistic Anthropology : History, Ideas, and Issues". Dalam Duranti:(Ed) hlm.l-38.

Eckert, Penelope dan   Sally   McConnell-Ginet.2003. Language and

Gender.Cambridge:University Press.

Effendi, S. 1989. "Prinsip-prinsip Pengukuran dan Penyusunan Skala" dalam Singarimbun dan S. Effendi, (Ed) 95-21.

Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London dan New York: Longman.

Fill, Alwin dan Peter Muhhausler(Ed.).2001..The Ecolinguistics Reader: Language,Ecology, and Environment.London and New York: Continuum

Fishman, J. (Ed). 1974. Readings in The Sociology and Language. Den Haag : Mouton.

SPEECH POLITENESS IN KAMBERA LANGUAGE EAST SUMBA

I Wayan Simpen (Mahasiswa)

Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Promotor)

Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. (Kopromotor I)

Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S. (Korpromotor II)

Program Pendidikan Doktor (S3) Program Studi Linguistik Universitas Udayana, Jalan Nias 13 Denpasar, Bali

ABSTRACT

Kambera language (henceforth KL), like other languages, functions as a means of expressing and understanding thought and feeling as well as a means of thinking and feeling. Politeness in using language is one of the lingustic aspects which can increase emotional intelligence of its speakers. This study in speech politeness aims at finding, describing, and analyzing types of verbal units used in expressing politeness, functions and meanings of politeness, factors which influence the politeness, suprasegmental and paralinguistic elements accompanying the politeness in KL.

The theories applied in this study are the theories of Cultural Linguistics and Socioparagmatics. The methods employed can be classified into three kinds: method and technique of collecting data, method and technique of analyzing data and method and technique of presenting the data analysis. The data were collected by actively-involved observation and interview, elicitation, note-taking and recording. The collected data were analyzed qualitatively by classifying them based on their types, forms and variables. The results of the analysis were informally, deductively and inductively presented.

The results show that the speech politeness of KL speakers describes their ideology as the basis. KL speakers still maintain their philosophy of life embodied in the ideology named Hopu lila witi- Hopu li lakunda “end of every talk; end of every ball of twine. The verbal units used in the speech politeness are shown in

words, phrases, sentences, and proverbs. The speech politeness is affected by some factors, namely age, status, sex, and kinship. The meanings of the speech politeness reflect cultural setting which refers to the systems of belief, kinship, livelihood, social stratification, and marriage. The suprasegmental and paralinguistic elements also greatly influence the speech politeness in KL.

Studying language as a social phenomenon is really wide. . Many remarkable aspects of language can be investigated. There is one new challenging language aspect in KL, that is, luluku which needs to be further investigated.

Keywords: idiology, politeness, emotional intelligence

Background

Kambera Language (henceforth KL) is a language which used to be spoken by the community of Kambera Kingdom; the biggest kingdom in East Sumba, which extended from West (Lewa), Middle (Waingapu), and East (Umalulu). The native speakers of KL are the community which formerly supported East Sumba culture which is oriented in marapu belief.

Like other languages, KL also functions as a means of expressing and understanding thought and feeling. As a means of thinking, language can increase the speakers’ intelligence and as a means of expressing feeling, it can increase emotional intelligence of its speakers.

Speech politeness is one of the language aspects, which can increase emotional intelligence of its speakers since in communication both speakers and addressees are not only required to express the truth, but also to be committed to maintaining harmonious relation. The harmony among the speech participants will keep being maintained if they do not embarrass one another. In other words, both the speakers and addressees are obliged to save face.

Based on the background above, the general problem raised in this study is “What are the characteristics of the speech politeness in KL speech community in East Sumba?”. This problem can be specifically described as follows: (a) How is the speech politeness in KL speech community realized in verbal units? (b) What linguistic forms are used by KL speakers in expressing the speech politeness? (c) What are the functions and meanings of the speech politeness in KL? (d) What factors can trigger the speech politeness in KL? (e) What cultural setting can be reflected through the speech politeness in KL? (f) What are the roles of suprasegmental elements which follow segmental elements in clarifying the verbal

politeness? (g) What are the roles of non verbal elements which follow verbal expressions in expressing politeness?

In general, this research aims at finding, describing, and analyzing the characteristics of the speech politeness in KL speech community. They cover the way how KL speakers express politeness, types of verbal units employed, some functions and meanings of the speech politeness, factors which influence the speech politeness, and the suprasegmental and paralinguistic elements which influence it. The above mentioned general aims can be specifically described as follows: (a) obedience factors towards the politeness principles, (b) a number of verbal units used to replace the taboos verbal units. (c) words or terms which are considered to be impolite, so more polite forms are required, (d) the use of honorific forms, (e) the types of indirect verbal units, (f) variables influencing the politeness such as age, status, and sex, (g) Findings related to the ideology on which politeness is based, and (h) Findings related to the suprasegmental and paralinguistic elements affecting the politeness.

The above mentioned findings are very essential for the development of Cultural Linguistics Theory since the politeness in KL speech community is unique. In addition, the research findings can be made used of by the KL speakers in applying the politeness principles. The findings are also useful for the the maintanance and development of the national language considering that the role of vernaculars such as KL in supporting the national language is very important.

The Cultural Linguistics Theory proposed by Palmer (1996), is applied to find out the ideology of KL speech community which believes in marapu. The findings on ideology are very essential since their politeness in speaking is based on the ideology they have adopted. In addition, the theory of Sociopragmatics is also applied to find out the types of verbal units employed by KL speakers in expressing politeness and the reasons why the speakers have adopted them.

By applying both theories, not only the characteristics of politeness in KL can be described but why particular forms used and not the others can also be explained.

This study is a qualitative research. The data were collected by interview and participative observation method, supported by some relevant techniques, such as techniques of interaction, recording and note-taking. The primary data were obtained from 15 informants and the secondary data were gained in Kapita’s writing (1976a, 1976b, 1982, 1985, and 1987) and Tunggul’s writing (2000). Then the collected data were qualitatively analyzed and some determining variables were simply assumed as factors and they were not quantitatively measured. The results of the analysis were informally, inductively and deductively presented.

The Results of the Study

All the activities in KL speech community refer to the values which are believed and inherited from the Sumbanesse ancestors. Such values cannot be modified because they have been the decision and convention of Sumbanesse ancestors. In traditional language (luluku), they are called Hopu lila witi- Hopu li

lakunda “end of every talk- end of every ball of twine,meaning that the ideology inherited from the ancestors is a final decision, that is, the final conclusion of every talk.

There are six principles which are believed by East Sumbanese as follows: (a) Li la le li manguama ‘ the matter concerning husband and the matter concerning wife” (b) Li head li meti “the matter concerning sickness and the matter concerning death” (c) Li konda ri ratu “the matter concerning leadership and the matter concerning the things to be respected” (d) Li ndewa li pahomba “the matter concerning farming and the matter concerning breeding” (e) Li kiring li andong’ the matter concerning fighting” (f) Li marapu ‘the matter concerning marapu”

The behaviour of East Sumbanese refer to those six principles including their speech behaviour. Among them, only one which does not involve the speech politeness that is Li kiring li andong’ the matter concerning fighting .The other five are relevant with the speech politeness. The speech politeness, for example, is related to husband and wife, especially in marriage proposal, the position of a woman in a family, and the relation between husband and wife. The speech politeness is also relevant with the matters concerning death, especially burial processions.

The speakers of KL express their speech politeness in some linguistic forms such as : words, phrases, sentences, and proverbs. The speech politeness has some functions, namely: expressive function, emotive function, directive function, and phatic function.The expressive function includes greeting the guests and expressing weakness in oneself, and in others.The emotive function includes comment on the meals served,and the possession of oneself and others. The directive function covers commanding from entities of different social classes. Therefore. we can find the way maramba requests maramba, maramba requests kabihu, maramba requests ata.This function also shows the way how kabihu requests maramba, kabihu requests kabihu, kabihu requests ata, and ata requests maramba, ata requests kabihu, ata requests ata. The other directive function is requesting. This function usually uses direct and indirect speech. If the requested person is from the lower class, indirect speech or implicature is usually used.The speech politeness also has phatic function. The phatic function is only used when getting in touch with other parties. It is usually found when the speech participants meet by accident in one place or on the street.

There are some factors which influence the speech politeness of KL speakers. First,the status ; it is a must for the lower class to speak politely to the higher class. It means that, the lower class must use honorific forms when speaking to the higher class. Second,the age; the younger speakers have to speak politely to the older speaker. Third,the kinship; the family relation which obliges them to respect the others. Fourth,the sex; women have to respect men, or a wife must speak politely to her husband.

Speech politeness behavior implies some meanings which are believed by the speakers. The speech politeness in KL speakers describes the values which are embodied in marapu system, the kinship system which recognizes five generations,

and social stratification with three classes; maramba, kabihu, and ata. The speech politeness of KL also implies that the community lives by farming and breeding.

Nonverbal politeness covers non-language actions which reflect relevant values with the ideology adopted. The actions which are considered to break politeness are the ways of getting dressed, the way of eating, being engaged in illicit sex and acts, body movements, making others embarassed, making others offended due to matters related to social classes and descent, and direct marriage proposal.

One way how to show politeness is by using indirect speech. This kind of speech happens when the lower class asks or requests the higher class to do something. This indirect speech or frequently called implicature is more effective and beneficial to the speech participants.

The verbal units used are also followed by nonverbal elements called suprasegmental. The suprasegmental covers stress, rhythm, and tone. The speech will be more effective if it is accompanied with accents (intense, moderate, weak), rhythm (long-short), and tone (high-low). Requesting, for example, will be more effective if it is uttered with a low tone, moderate rhythm, and weak accent.

Besides suprasegmental elements, paralinguistic elements also follow the verbal units. These elements can be seen when the participants converse face-to-face . Each participant can notice these elements through facial expressions and other body languages. Feeling happy, bored, nervous, agreeing, disagreeing, for example, can be performed by hand movements, gestures, lip shapes, and eye movements.

Findings

Some findings related to the ways in which KL speakers expess politeness have been obtained, types of verbal units to express politeness, functions and factors determining politeness, and cultural meaning reflected in politeness are examples of the findings. Besides, it is also found that suprasegmental and paralinguistic elements also determine politeness.

This study claims that there are three important findings. They are :

  • 1.    The ideology of KL speakers has been found and this was not identified by the previous researchers. This ideology covers Hopu lila witi- Hopu li lakunda “end of every talk- end of every ball of twine- consisting of: (a) li la le li manguama ‘the matter concerning husband and the matter concerning wife’, (b) li head li meti ‘the matter concerning sickness and the matter concerning death’, (c) li konda ri ratu ‘the matter concerning leadership and the matter concerning the things to be respected’, (d) li ndewa li pahomba “the matter concening farming and the matter concerning breeding’, (e) li kiring li andong’ the matter concerning fighting’; and (f) li marapu ‘the matter concerning marapu’.

2 Gunarwan’s theoretical views (1993:7)which stated that there are nine utterances used to ask or request. The first utterance (1) contains the lowest degree of politeness, and the next utterances contain higher degrees of politeness. In this study, the most polite “Rumusan saran” claimed by Gunarwan was not proven. It was found that the most polite utterance in KL is the common invitating

utterance. Therefore, the nine parameters proposed by Gunarwan can be completed with one more utterance, making ten parameters altogether.

3. The theoretical point of view stating that politeness is centered on other people is not totally right. This means that, to some extent, making oneself imperior is considered to be insincere and to make the addressee offended In certain cases, politeness which is centered in our own is also essential.

Conclusion and Recommendation

Based on the analysis, some conclusions can be drawn such as follows: (1) KL speech community has the philosophy of life embodied in an ideology named Hopu lila witi- Hopu li lakunda “end of every talk- end of every ball of twine. This ideology consists of six basic principles, (2) KL speech community expresses their politeness in the form of words, phrases, sentences, and proverbs, (3) KL speech community employs the speech politeness for some fuctions, namely expressive, emotive, directive, and phatic , (4) It has been found that the factors which influence politeness are age, sex, kinship and status. Status is the most dominant factors found in KL speakers, (5)Speech politeness behavior implies cultural setting, which is oriented in the belief system, kinship system, livelihood system, and social stratification system, (6) Suprasegmental and paralinguistic elements have been found as nonverbal elements accompanying the verbal elements, (7) It has been found that common inviting utterance is the most polite utterance in KL. This utterance is considered as the unique form of politeness in KL, which is not found in other languages, (8) The theoretical point of view stating that the speech politeness which is only shown for other people is not fully appropriate. To some extent, the speech polteness shown for ourselves is also crucial.

The results of the study indicate that the young generation who fully understands KL is very limited in number. Finding interpreters (wunangu) is getting more difficult , many cultural activities are neglected, and oral stories are hardly known. The interesting language aspects such as luluku has not been deeply analyzed yet. Therefore, further researces on this aspect importantly need to be conducted with newer and more sophisticated theories.

REFERENCES

Alisyahbana, Sutan Takdir.1979. Arti Bahasa, Pikiran, dan Kebudayaan dalam Hubungan Sumpah Pemuda 1928. Pidato Sambutan Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa pada Universitas Indonesia. Jakarta : PT. Dian Rakyat.

Anderson, Benedict R. O'G. 1990. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. United States of Amerika: Cornell University Press.

Austin, J.L. 1962. How to Do Things With Words. Cambridge, Mass : Harvard University Press.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. "Pemakaian Bentuk Homat dalam Bahasa Bali : Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa". (Disertai).Jakarta: Universitas Indonesia.

Blum-Kulka, Shoshana. 1987.”Indirectness and Politeness in Requests: Same or Different? Journal of Pragmatics hlm. 131--146.

Brown, Penelope dan S.C. Levinson. 1978. "Universal in Language Usage : Politeness Phenomena." Dalam Esther N. Goody (Peny). Questions and Politeness. Cambridge : Cambridge University. Press.

Casson, Ronald W.1981.Language, Culture, and Cognition: Anthropological Perspective. New York: Macmillan Publishing Co.Inc.

Carrol, John. B. (ed). 1969. Language Thought, and Reality : Selected Writings of Benjamin Lee Whorf. Cambridge, Massachusetts : The MTT Press.

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge : Cambridge University Press.

________, 2001. "Linguistic Anthropology : History, Ideas, and Issues". Dalam Duranti:(Ed) hlm.l-38.

Eckert, Penelope dan   Sally   McConnell-Ginet.2003. Language and

Gender.Cambridge:University Press.

Effendi, S. 1989. "Prinsip-prinsip Pengukuran dan Penyusunan Skala" dalam Singarimbun dan S. Effendi, (Ed) 95-21.

Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London dan New York: Longman.

Fill, Alwin dan Peter Muhhausler(Ed.).2001..The Ecolinguistics Reader: Language,Ecology, and Environment.London and New York: Continuum

Fishman, J. (Ed). 1974. Readings in The Sociology and Language. Den Haag : Mouton.

15