PERILAKU PENJANGKA KAMBANG

DALAM BAHASA RONGGA

Oleh Jeladu Kosmas e-mail: [email protected].

Prof.Drs.Ketut Artawa, M.A., Ph.D (Kopromotor) Prof. Dr. I Wayan Pastika., M.S. (Kopromotor)

ABSTRAK

Penjangka kambang merupakan salah satu alat tes kesubjekan lintas bahasa, selain pengetesan melalui perelatifan, penaikan, dan penyisipan adverbial. Akan tetapi, BR memperlihatkan perilaku penjangka kambang yang unik. Penjangka kambang pada bahasa ini tidak bisa dijadikan sebagai alat pembuktian SUBJ. Meskipun terjadi pengambangan, acuannya tidak hanya kepada SUBJ, tetapi juga kepada OBJ dan fungsi gramatikal lainnya. Selain itu, setiap terjadi pengambangan, selalu direalisasikan berbeda karena penjangka pada BR selalu terikat posisi.

Kata Kunci: properti subjek, penjangka kambang, posisi kanonis, perelativan, kontrol, penaikan, penyisipan adverbial

Pengantar

Bahasa Rongga (BR) merupakan bahasa minoritas yang terdapat di bagian barat Pulau Flores. Secara morfologis, BR tergolong bahasa isolasi karena tidak memiliki pemarkah morfologis, terutama afiksasi. Karena tidak memiliki pemarkah morfologis, maka sulit dibedakan konstruksi aktif dan pasif apabila pemarkahan morfologis dipakai sebagai parameter pembeda. Efek lebih lanjut terhadap pemetaan adalah sulit menentukan arah pemetaan konstruksi aktif dan pemetaan konstruksi pasif karena tidak ada perbedaan morfologis antara verba aktif dan verba pasif. Contohnya seperti pada (1) dan (2) berikut ini.

  • (1)    a. Kazhi pongga ana ndau (aktif)

3TG pukul orang itu

‘Dia memukul orang itu’

  • b. Ana ndau ongga ne   kazhi (konstruksi pasif).

orang itu pukul oleh 3TG

‘Orang itu dipukulnya/dipukul oleh dia’

(2)a. Bhate ata ndai ko muzhi rebha. PJ orang ingin/rindu POB hidup baik

‘Semua orang menginginkan hidup layak/baik’

  • b. Muzhi rebha ndai        ne bhate ata.

hidup baik ingin/rindu oleh PJ    orang

‘Hidup layak diinginkan/dirindukan semua orang’

Verba pongga ‘pukul’ pada konstruksi aktif (1a) dengan pongga pada konstruksi pasif (1b) tidak ada perbedaan morfologis. Demikian juga verba ngai ‘ingin, rindu’ pada konstruksi aktif (2a) dengan verba ndai pada konstruksi pasif (2b), tidak ada perbedaan morfologis.

Konsep

Fungsi gramatikal subjek (FG-SUBJ), yang berdasarkan konsepsi Tata Bahasa Leksikal-Fungsional (TLF) merupakan fungsi gramatikal tertinggi di dalam hierarki fungsi gramatikal (lihat Bresnan, 1998:122; 2001:96; Dalrymple, 2001:13; Falk, 2001:58; Arka, 2003:42-43), memiliki sejumlah alat tes. Satu di antaranya adalah pengetesan berupa penjangka kambang (quantifier float) (lihat Siewierska, 1991:33-35; Kroeger, 1993:22-23; Dalrymple, 2001:17; Arka, 2003a:43, 69). Disebut “penjangka kambang” karena dapat menduduki lebih dari satu posisi di dalam kalimat, tanpa mengubah makna (Purwo, 1989:469 -470).

Dalam hubungannya dengan pengetesan SUBJ, penjangka kambang dapat menentukan apakah sebuah FN dapat dikategorikan sebagai SUBJ atau tidak, dengan strategi pengambangan penjangka. Apabila pengambangan penjangka tersebut tetap mengacu pada FN yang sama, terutama yang diasumsikan sebagai SUBJ, maka FN tersebut adalah SUBJ. Sebaliknya, kalau pengambangan penjangka tersebut tidak mengacu kepada FN SUBJ, maka FN tersebut bukan SUBJ.

Temuan

Temuan baru berkaitan dengan keunikan perilaku penjangka kambang dalam BR, diuraikan seperti berikut ini.

  • Penjangka Kambang dalam Kluasa Intransitif

Penjangka dalam BR direalisasikan dalam beberapa bentuk yang berbeda, yakni bhate, mara, mbeja, lepa, kana ‘semua’. Penjangka bhate kemunculannya lebih bebas, tanpa kecuali jenis kategori pengisi fungsi predikat klausa. Artinya, bhate bisa muncul pada posisi kiri atau di depan predikat verbal maupun nonverbal. Akan tetapi, bhate tidak bisa muncul pada posisi kanan predikat, baik verbal maupun nonverbal. Sementara itu, penjangka mara hanya bisa muncul pada posisi kiri predikat verbal. Penjaangka lainnya, yakni mbeja dan kana hanya bisa muncul pada posisi kanan predikat verbal atau pada posisi akhir klausa. Perhatikan contoh (3) dan (4) berikut ini.

(3)a. Bhate   ana ito rita

PJ     anak kecil menangis

‘Semua anak kecil menangis’

  • b.    Ana ito mara rita anak kecil PJ menangis ‘Anak kecil semua menagis’

  • c.    Ana ito rita mbeja anak kecil menangis PJ ‘Anak kecil menangis semua’

(4)a. Bhate     ko      ata    tani were

PJ       PART  orang tani keluh

‘Semua petani mengeluh’

  • b.    Ata tani   mara were

orang tani   PJ   keluh

‘Petani semua mengeluh’

  • c.    Ata tani   were mbejakana

orang tani   keluh PJ PJ

‘Petani mengeluh semua’

Pada klausa (3) dan (4) di atas terlihat bahwa ada tiga penjangka yang muncul pada posisi yang berbeda. Penjangka bhate selalu muncul pada awal klausa, seperti pada (3a) dan (4a). Penjangka mara muncul di tengah klausa, pada posisi kiri verba rita ‘menangis’ (3b) dan verba were ‘mengeluh’ (4b). Sementara penjangka mbeja dan kana, muncul pada akhir klausa atau pada posisi kanan verba rita (3c) dan verba were (4c).

Semua penjangka pada (3) dan (4) di atas sesungguhnya mengalami pengambangan, tetapi pengambangan tersebut selalu terikat dengan posisi konstituen lain di sekitarnnya. Penjangka mana yang harus muncul, sangat tergantung pada posisi yang hendak diisi. Penjangka apa pun yang muncul dalam pengambagan tersebut, semuanya tetap mengacu kepada FN SUBJ, yakni ana ito ‘anak kecil’ pada (3a, b, c) dan ata tani ‘orang tani/petani’ pada (4a, b, c).

  • Penjangka Kambang dalam Klausa Transitif

Perilaku penjangka kambang pada klausa transitif, dapat diperlihatkan pada contoh (5) dan (6) berikut ini.

(5)a. Bhate ata ndau weli lambu

PJ orang itu beli baju

‘Semua orang itu membeli baju’

  • b.    Weli lambu mbeja ata ndau

beli baju PJ orang itu

‘Membeli baju semua orang itu’

  • c.    Ata ndau weli lambu mbeja orang itu beli baju PJ ‘Orang-orang itu membeli baju semua’

  • d.    Ata ndau mara weli lambu orang itu PJ beli baju ‘Orang itu semua membeli baju’

(6)a. Bhate ata tani mula kopi

PJ orang tani tanam kopi ‘Semua petani menanam kopi’

  • b.    Ata tani   mula mbeja kopi

orang tani   tanam PJ     kopo

‘Petani menanam semua kopi’

  • c.    Ata tani   mula kopi mbeja/lepa

orang tani   tanamkopi PJ

‘Petani menanam kopi semua’

  • d.    Ata tani   mara mula kopi

orang tani   PJ tanamkopi

‘Petani semua menanam kopi’

Perilaku penjangka pada klausa transitif (5) dan (6), tidak berbeda dengan perilaku penjangka pada klausa intransitif pada (3) dan (4) dalam hal posisi yang diisi. Akan tetapi, dalam hal argumen yang diacu atau dijelaskan oleh penjangka kambang, klausa (5) dan (6) memperlihatkan fakta yang berbeda dengan perilaku penjangka pada klausa intransitif. Pada klausa intransif, penjangka yang mengalami pengambangan selalu mengacu atau memberi penjelasan terhadap SUBJ. Hal ini bisa dipahami karena satu-satunya argumen predikat intransitif adalah SUBJ. Pada klausa transitif, seperti pada (5) dan (6), penjangka tidak hanya memberi penjelasan terhadap Ag, tetapi juga terhadap argumen Ps, seperti (5b, c). Penjangka mbeja pada (5b,c), tidak hanya mengacu kepada FN SUBJ ata ndau ‘orang itu’ tetapi juga mengacu kepada OBJ lambu ‘baju’. Demikian juga penjangka mbeja pada (6b, c), tidak hanya mengacu kepada FN SUBJ ata tani ‘petani’, tetapi juga bisa mengacu kepada OBJ kopi.

Simpulan

Peristiwa pengambangan penjangka BR yang direalisasikan dalam bentuk yang bervariasi, selalu terikat posisi. Meskipun terjadi pengambangan penjangka, pengambagan penjangka tersebut tidak selalu mengacu kepada FG-SUBJ, tetapi bisa juga mengacu kepada fungsi OBJ. Kerena itu, perilaku penjangka kambang yang demian tidak bisa dijadikan sebagai parameter penentu SUBJ dalam BR.

Daftar Pustaka

Alsina, Alex. 1996. The Role of Argument Structure in Grammar: Evidence from Romance. Stanford, California: CSLI Publications.

Arka, I Wayan. 2003. Balinese Morphosyntax: A Lexical-Functional Approach. Canberra, Australia: Pasific Linguistics Research School of Pasific and Asian Studies The Australian National University.

Bresnan, Joan. 1998. Lexical-Functional Syntax Part III: Inflectional Morphology and Phrase Structure Variation. Stanford: Stanford University.

Bresnan, Joan. 2001. Lexical-Functional Syntax. Oxford: Blackwell Publishers.

Comrie, Bernard. 1989. Language Universals and Linguistic Typology. Second Edition. Chicago: The University of Chicago Press.

Culicover, Peter W. 1997. Principles and Parameters: An Intrroduction to Syntactic Theory. Oxford: Oxford University Press.

Dalrymple, Mary; Ronald M.Kaplan; John T.Maxwell III; Annie, Zaenen (Ed.). 1995. Formal Issues in Lexical Functional Grammar. Stanfor, California: CSLI.

Dalrymple, Mary. 2001. Lexical-Functional Grammar: Syntax and Semantics. San Diego: Academic Press.

Falk, Yehuda N. 2001. Lexical Functional Grammar. Stanford, California: CSLI.

Himmelmann, Nikolaus P. dan Eva F.Schultze-Berndt. (Ed.). 2005. Secondary Predication and Adverbial Modification. Oxford: Oxford Universiti Press.

Kaplan, Ronald M. dan Joan Bresnan.1982. Lexical-Functional Grammar: A Formal System for Grammatical Representation. Dalam Joan Bresnan (Ed.). The Mental Representation of Grammatical Relations: 173 – 281. Cambridge: MIT Press.

Keenan, Edward L. 1976.Towards a Universal Definition of Subject. Dalam Charles N.Li (Ed.). Subject and Topic: 303 – 334. New York: Academic Press.

Kroeger, Paul 1993. Phrase Structure and Grammatical Relation in Tagalog. Stanford, California: CSLI

Kroeger, Paul R. 2004. Analyzing Syntax: A Lexical – Functional Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

  • Li, Charles N dan Sandra A.Thompson. 1976. Subject and Topic: A New Typology of Language. Dalam Charles N.Li (Ed.) Subject and Topic. New York: Academic Press.

Napoli, Dona Jo. 1993. Syntax: Theory and Problems. Oxford: Oxford University Press.

Palmer, F.R. 1994. Grammatical Roles and Relations. Cambridge: Cambridge University Press.

Siewierska, Anna. 1991. Functional Grammar. London: Routledge.

Sneddon, James Neil. 1996. Indonesian Reference Grammar. Brisbane, Australia: Allen & Unwin.

THE SYNTAX OF THE FLOATING QUANTIFIER IN RONGGA

ByJeladu Kosmas

e-mail: [email protected].

Prof.Drs.Ketut Artawa, M.A., Ph.D (copromotor) Prof. Dr. I Wayan Pastika., M.S. (copromotor)

ABSTRACT

Floating quantifier is one test for subjechood cross-lingustically, in addition to other tests, such as relativization, raising, and advervial insertion. However, Rongga shows that the so-called quantifier float cannot be always used for characterizing grammatical subject as in other languages. This quantifier can be used to characterize other grammatical functions as well. This is a unique behaviour of the quantifier in this language in that it can be bound to the closet grammatical function.

Keywords: subject, object, floating quantifier

Introduction

Ronggal language (RL) is one of minorities languages in Flores island. Typologically this language can be referred to as an isolating language in that this language has no morphological marking, particularly affixation. Since therei no marking it is difficult to differenciate between the active and passive construction. It is also difficult to determine the mapping directions between the active and passive construction. Please consider the examples (1) and (2) below.

  • (2)    a. Kazhi pongga ana

    ndau (active) that


3SG hit man ‘S/he hit that man’

  • b. Ana ndau pongga   ne

    kazhi (passive). 3SG


Man that hit       by

‘That man was hit by him’

(2)a. Bhate ata ndai ko muzhi rebha. FQ man want POB alive good ‘all people want to have a good life’

  • b. Muzhi rebha ndai        ne bhate ata.

life good want      by FQ   man

‘A good life is wanted by all people’

The verb pongga ‘hit’ in the active construction (1a) and pongga in the passive construction (1b) do not show any differences in term of the morphology. The same is also true with the verb ndai ‘want, mis’ in the active sentence in (2a) in its passive counterpart in (2b), there is no morphologial marking that differentiate the two forms.

CONCEPT

In lexical-funtional Grammar, the grammatical function subject (GF-SUBJ) is the gighest grammatical function in the grammatical hierarchy of the theory (seeBresnan, 1998:122; 2001:96; Dalrymple, 2001:13; Falk, 2001:58; Arka, 2003:42-43). There are a numbe of tests for subjecthood, one of them is the use of floating quantifier (FQ) (see Siewierska, 1991:33-35; Kroeger, 1993:22-23; Dalrymple, 2001:17; Arka, 2003a:43, 69). It is called foating quantifier because it can be placed in different positions without changing the meaning (Purwo, 1989:469 -470).

In relation to which grammatical function is the grammatical subject of the sentence, the floating quantifier test can be applied to a given NP in order to determine whether that NP is a subjet or not by placing floating quantifier in different position in the sentene and then if this floating quantifier always quantify the NP being tested, then this NP can be determided as a grammatical subject. If the opposite characteristica are shown by the test, this NP is not a grammatical subject.

Findings

The new finding in relation to the uniqueness of the syntax of the floating quantifier in Rongga can be described as follows.

  • Floating Qantifier in Intransitive Clause

The linguistic forms that can be considered as floating quantifier are bhate mara mbeja lepa, kana ‘all’. The floating quantifier bhate can occur more freely, not depending on the category of the phase functioning as the predicate. But it can only precede the verbal and non verbal predicate. Whereas the floating quantifier, mara can can only precede vebal predicates. And the other forms like mbeja and kana can only follow the verbal predicate or in the final postion in the clause. This is shown in (3) and (4) below.

(3)a. Bhate   ana ito   rita

FQ     child small cry

‘All children cried’

  • b.    Ana ito mara rita child small FQ cry ‘The children all cried’

  • c.    Ana ito    rita      mbeja

child small cry      FQ

‘Children cied all’

(4)a. Bhate     ko      ata    tani were

FQ     PART person farmer complain

‘All famers are complaining’

  • b.    Ata tani mara were person farmer FQ complain ‘Famers all are complaining’

  • c.    Ata tani were mbejakana person famer compalin FQ ‘Famers are complaining all’

The examples (3) and (4) above show that there three floating quantiers occuring in different positions. The floating quantifier bhate always occur in initial positions as in (3a) and (4a). The quantifier mara ocurs in the middle of the clause, preceding the verb, rita ‘cry’ in (3b) and were ‘complain’ in (4b). While the quantifiers mbeja and kana, are in the final position or follow the verb rita (3c) and verb were (4c).

All the floating quantifers in (3) dan (4) above shows th foating position, but they are always bound to the nearest constituents. Which quantifier is used depends on the position that is going to be filled. Each quantifier being used alaways quantify the grammatical subject as in (3a, b, c) and in (4a, b, c).

  •    Floating Quantifier in Transitive clauses

The bhaviou of floaning quantifier in transitive clause can be shown in the following examples.

  • (5 )a. Bhate  ata   ndau weli lambu

FQ   person that  buy  shirt

‘All the people bought shirts

  • b.    Weli lambu mbeja ata   ndau

buy  shirt  FQ    person that

‘All the people bought shirts’

  • c.    Ata ndau weli lambu mbeja person that buy shirt FQ ‘All the people bought shirts’

  • d.    Ata ndau mara weli lambu person that FQ buy shirt ‘All the people bought shirts’

(6)a. Bhate ata tani mula kopi

FQ person farmer plant coffee

‘All farmers are planting coffee’

  • b.    Ata tani mula mbeja kopi person farmer plant FQ coffee ‘All farmers are planting coffee’

  • c.    Ata tani mula kopi mbeja/lepa person farmer plant coffee FQ ‘All farmers are planting coffee’

  • d.    Ata tani mara mula kopi person farmer FQ plant coffee ‘All farmers are planting coffee’

In terms of the position that can be filled by floating quantifiers, there is not difference between the intransitve clauses and transitive ones as shown in the examples above. However in terms of the grammatical function being quantified, the examples in (5) and (6) shows that they are different from behavior of the ones in intransitive clauses. In the intransitive clauses, the floating quantifier is always quantified the grammatical subject. This is easy to find the reason for this behaviour because there is no other NPs. In the transitive clauses as in (5) and (6), the floating quantifier does not only quantifier the agent argument of the clause, but also to the patient argument of the clauseas in (5b, c). The form mbeja in (5b,c), does not only relate to the grammatical subjet ata ndau ‘that man’ but also to the grammatical object lambu ‘shirt’. The same phenomenon is also shown by the quantifier mbeja in (6b, c) which refers not only to the grammatical subject ata tani ‘farmer’, but also to the grammatical object kopi ‘coffee’.

Conclusion

The floating quantifiers in Rongga are realized by different form and are bound to different position, In intransitive caluses these floating quantifiers always refer to the grammatical subject. How ever in transitive clauses, these floating quantifiers can quantity the grammatical subject or objects depending on their position in the clause. Thus floating quantifier can not be used at all times to determine the subjecthoo of the argument of the clause..

Bibliography

Alsina, Alex. 1996. The Role of Argument Structure in Grammar: Evidence from Romance. Stanford, California: CSLI Publications.

Arka, I Wayan. 2003. Balinese Morphosyntax: A Lexical-Functional Approach. Canberra, Australia: Pasific Linguistics Research School of Pasific and Asian Studies The Australian National University.

Bresnan, Joan. 1998. Lexical-Functional Syntax Part III: Inflectional Morphology and Phrase Structure Variation. Stanford: Stanford University.

Bresnan, Joan. 2001. Lexical-Functional Syntax. Oxford: Blackwell Publishers.

Comrie, Bernard. 1989. Language Universals and Linguistic Typology. Second Edition. Chicago: The University of Chicago Press.

Culicover, Peter W. 1997. Principles and Parameters: An Intrroduction to Syntactic Theory. Oxford: Oxford University Press.

Dalrymple, Mary; Ronald M.Kaplan; John T.Maxwell III; Annie, Zaenen (Ed.). 1995. Formal Issues in Lexical Functional Grammar. Stanfor, California: CSLI.

Dalrymple, Mary. 2001. Lexical-Functional Grammar: Syntax and Semantics. San Diego: Academic Press.

Falk, Yehuda N. 2001. Lexical Functional Grammar. Stanford, California: CSLI.

Himmelmann, Nikolaus P. dan Eva F.Schultze-Berndt. (Ed.). 2005. Secondary Predication and Adverbial Modification. Oxford: Oxford Universiti Press.

Kaplan, Ronald M. dan Joan Bresnan.1982. Lexical-Functional Grammar: A Formal System for Grammatical Representation. Dalam Joan Bresnan (Ed.). The Mental Representation of Grammatical Relations: 173 – 281. Cambridge: MIT Press.

Keenan, Edward L. 1976.Towards a Universal Definition of Subject. Dalam Charles N.Li (Ed.). Subject and Topic: 303 – 334. New York: Academic Press.

Kroeger, Paul 1993. Phrase Structure and Grammatical Relation in Tagalog. Stanford, California: CSLI

Kroeger, Paul R. 2004. Analyzing Syntax: A Lexical – Functional Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

  • Li, Charles N dan Sandra A.Thompson. 1976. Subject and Topic: A New Typology of Language. Dalam Charles N.Li (Ed.) Subject and Topic. New York: Academic Press.

Napoli, Dona Jo. 1993. Syntax: Theory and Problems. Oxford: Oxford University Press.

Palmer, F.R. 1994. Grammatical Roles and Relations. Cambridge: Cambridge University Press.

Siewierska, Anna. 1991. Functional Grammar. London: Routledge.

Sneddon, James Neil. 1996. Indonesian Reference Grammar. Brisbane, Australia: Allen & Unwin.

12