STATUS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH DI KABUPATEN TABANAN
on
Status Keberlanjutan Lahan Sawah di Kab. Tabanan..,[A.A.A. Wulandira Sawitri D., dkk]
STATUS KEBERLANJUTAN LAHAN SAWAH DI KABUPATEN TABANAN
A.A.A. Wulandira Sawitri Djelantik1*), Made Sudiana Mahendra2), Wayan Windia1), Made Sudarma2)
1)Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Denpasar-Bali 2)Program Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana, Denpasar-Bali
*Email: wulandiradj@unud.ac.id
ABSTRACT
SUSTAINABILITY STATUS OF PADDY FIELDS IN TABANAN DISTRICT
The conversion of paddy fields that occurred in Tabanan district has caused concern because the number continues to increase every year. Of the various forms of agricultural land use, paddy fields are land that has undergone many changes in designation so that the conversion of paddy fields occurs rapidly and massively. The total area of paddy fields that decreased in the 5 years from 2016 to 2020 was 1,193.54 hectares. Seeing this phenomenon, it is important to know how the status of rice fields in Tabanan Regency is sustainable using five dimensions, namely economy, ecology, social, technology and institutional. The data were obtained through interviews with Pekaseh (kelihan subak) and farmers who carried out the conversion of paddy fields in nine subaks in nine sub-districts in Tabanan Regency, namely Pupuan, Penebel, Baturiti, Kediri, Tabanan, Kerambitan, Selemadeg, West Selemadeg, and East Selemadeg Districts. The analysis used is MDS (Multi Dimension Scaling) which is an adjustment of Rapfish using RSI TM Software (Rapid Sustainability Index) which was developed for the assessment of sustainability functions in general. The results showed that the multi-dimensional sustainability index obtained a value of 59.70 with a moderately sustainable sustainability status with the index value for each dimension being 74.56 for the ecological dimension with moderately sustainable status, 48.82 for the economic dimension with less sustainable status, 75.42 for the social dimension with sustainable status, 52.43 for the institutional dimension with moderately sustainable status and 47.25 for the technological dimension with less sustainable status. It is suggested that the local government of Tabanan Regency should to pay attention to the attributes that exist in the economic and technological dimensions so that it is expected to change its sustainability status to be quite sustainable, or sustainable and the attributes that exist in the ecological and institutional dimensions (sufficiently sustainable) can shift its status to continyu so that the value of the multi-dimensional index can increase.
Keywords: conversion; paddy fields; sustainability status
Lahan sawah merupakan lahan yang banyak mengalami perubahan peruntukan akibat pembangunan dan peningkatan
jumlah penduduk sehingga konversi lahan sawah terjadi secara cepat dan masif. Umumnya lahan sawah yang telah beralih fungsi tidak dapat kembali menjadi lahan sawah atau dengan kata
lain bersifat irreversible. Hal ini disebabkan lahan sawah telah mengalami perubahan menjadi perumahan dan daerah industri. Kecenderungan ini dapat membawa kemerosotan terhadap kualitas lingkungan (Agus dan Mulyani, 2006). Ketahanan dan kedaulatan pangan akan terancam jika keadaan ini dibiarkan terus menerus (Agus dan Irawan, 2006).
Lahan sawah tidak hanya berfungsi sebagai tempat budi daya berbagai tanaman yang menghasilkan bahan pangan maupun non pangan tetapi juga memiliki fungsi lain seperti lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyatakan sawah memiliki beberapa manfaat berdasarkan nilai penggunaannya yang terbagi menjadi dua nilai yaitu nilai penggunaan yang dihasilkan dari kegiatan usaha tani pada lahan pertanian dan manfaat bawaan lahan pertanian yaitu pengendali keseimbangan tata air, sebagai pencegah banjir dan erosi serta mengurangi pencemaran lingkungan. Lahan sawah memiliki banyak fungsi bagi kehidupan dan keberlanjutan makhluk hidup yang ada di bumi ini. Kelestarian sumber daya lahan sawah akan terancam apabila manusia tidak lagi memandang penting akan keberadaan sawah yang telah banyak memberikan manfaat.
Alih fungsi lahan sawah terjadi di sebagian besar daerah di Indonesia termasuk Bali. Luas lahan sawah di Provinsi Bali juga mengalami penyusutan dari tahun 2013 – 2017 sebesar 2.539 ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2019). Salah satu kabupaten di Bali yaitu Tabanan mengalami konversi lahan sawah yang cukup besar. Total lahan sawah yang berkurang dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2016 hingga 2020 adalah 1.193,54 hektar atau sebesar 5,56%. Perkembangan laju alih fungsi lahan di Kabupaten Tabanan pada tahun 2019 sampai tahun 2025 diproyeksikan mengalami
peningkatan sebesar 1,15% setiap tahunnya, dimana pada akhir tahun 2025 luas lahan sawah yang tersisa diperkirakan sebesar 18.994 hektar (Yulandari, 2020).
Alih fungsi lahan sawah yang terus menerus terjadi di Kabupaten Tabanan perlu mendapat perhatian dikarenakan lahan sawah tidak sebatas sebagai penyedia kebutuhan pangan semata tetapi juga berfungsi dalam pelestarian sumber daya alam dan budaya serta berperan dalam menunjang pariwisata Bali. Alih fungsi lahan sawah yang terjadi memang sulit dihindari karena berbagai penyebab sehingga timbul kekhawatiran akan keberlanjutan keberadaan sawah khususnya sawah di Kabupaten Tabanan mengingat sawah yang memiliki arti penting bagi ekonomi dan lingkungan.
Untuk mengukur dan mengetahui keberlanjutan pembangunan ada lima dimensi yang digunakan sebagai kriteria, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi (UU No 41, 2009). Dalam penelitian ini kelima kriteria tersebut juga digunakan untuk mengetahui dan menemukan status keberlajutan lahan sawah di Kabupaten Tabanan akibat terjadinya alih fungsi yang semakin masif terjadi.
Pertimbangan melakukan penelitian di Kabupaten Tabanan adalah karena terjadi laju alih fungsi (perbedaan peruntukan) lahan sawah yang cukup tinggi menjadi non pertanian. Data primer yang digunakan meliputi atribut dari lima dimensi keberlajutan, sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum Kabupaten Tabanan, perubahan luas lahan sawah menjadi berbagai peruntukan non pertanian. Data didapatkan melalui wawancara dengan 45 orang informan yang dalam penelitian ini adalah pekaseh (kelihan subak) dan petani yang melakukan konversi sawah di sembilan
subak di sembilan kecamatan di Kabupaten Tabanan yaitu Kecamatan Pupuan, Penebel, Baturiti, Kediri, Tabanan, Kerambitan, Selemadeg,
Selemadeg Barat dan Selemadeg Timur (Gambar 1.)

Gambar 1.
Lokasi Penelitian
Analisis keberlanjutan keberadaan lahan sawah dilakukan dengan menggunakan analisis MDS (Multi Dimension Scaling) yang merupakan penyesuaian dari Rapfish. Tools ini digunakan untuk menilai fungsi-fungsi keberlanjutan secara umum dengan menggunakan RSI™ Software (Rapid Sustainability Index) yang oleh Fisheries Center, University of British Columbia, Kanada dimodifikasi dari RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries) (Kavanagh dan Pitcher 2004). Metode ini dapat mencakup secara luas faktor-faktor yang berhubungan terhadap dimensi keberadaan lahan sawah menggunakan dua titik sebagai dasar acuan yang terdiri dari nilai bad (tidak baik) hingga good (nilai baik). Metode ini adalah metode multivariate yang merupakan salah satu ordinasi dalam ruang/dimensi yang diperkecil (ordination in reduced space) serta dapat digunakan juga untuk data non-metrik. Kelebihan dari analisis ini yaitu dapat membandingkan peubah antar dimensi serta dapat memunculkan faktor
pengungkit/sensitif dari dimensinya sedangkan keterbatasannya adalah hasil analisis ini sangat ditentukan oleh atribut – atribut yang dimunculkan dalam pedoman wawancara untuk responden. Penelitian dengan menggunakan pendekatan ini telah banyak digunakan dalam berbagai bidang antara lain, keberlanjutan lahan sawah (Firmansyah, 2016), sumberdaya perikanan (Fauzi dan Anna 2005), serta penggunaan lahan (Widiatmaka et al. 2015).
Analisis MDS pada penelitian ini dikerjakan dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Menentukan atribut keberlanjutan untuk lima dimensi; (2) Memberi nilai atribut dalam skala ordinal dan (3) Menampilkan nilai indeks dan status keberlanjutan. Adapun kriteria indeks keberlanjutan bisa ditemukan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Indeks Keberlanjutan |
Status keberlanjutan lahan sawah di Kabupaten Tabanan dalam penelitian ini mempergunakan lima dimensi sebagai variabel dalam penelitian ini. Masing-masing dimensi terdiri dari beberapa | |
Nilai Indeks 0 – < 25 25 ≤ Nilai Indeks < 50 50 ≤ Nilai Indeks < 75 75 ≤ Nilai Indeks ≤100 |
Kategori Tidak berkelanjutan Kurang berkelanjutan Cukup berkelanjutan Berkelanjutan | |
Sumber: Firmansyah, 2016 |
indikator yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. |
Tabel 2. Variabel dan Indikator Keberlanjutan Keberadaan Lahan Sawah
Tujuan Penelitian |
Variabel |
Indikator |
Pengukuran |
Keberlanjutan keberadaan lahan sawah |
Dimensi ekologi |
|
Skor (kriteria bad – good) |
Dimensi ekonomi |
|
Skor (kriteria bad – good) | |
Dimensi sosial |
|
Skor(kriteria bad – good) | |
Dimensi kelembagaan |
1.keberadaan subak
5.lembaga pemasaran 6. koordinasi antar lembaga/instansi terkait |
Skor (kriteria bad – good) | |
Dimensi teknologi |
|
Skor (kriteria bad – good) |
Analisis MDS (Multi Dimension Scaling) mengenai status keberlanjutan keberadaan lahan sawah di Kabupaten Tabanan untuk Tahun 2016 – 2020
dengan lima dimensi yaitu ekonomi, ekologi, sosial, teknologi dan kelembagaan memperoleh nilai indeks untuk tiap-tiap dimensi dalam penelitian ini adalah 74,56 untuk dimensi ekologi dengan status cukup berlanjut, 48,82 untuk dimensi ekonomi dengan status kurang berlanjut, 75,42 untuk dimensi sosial dengan status berkelanjutan, 52,43 untuk dimensi kelembagaan dengan status cukup berlanjut dan 47,25 untuk dimensi teknologi dengan status kurang berlanjut. Hasil analisis secara lengkap adalah sebagai berikut:
Analisis Multi Dimention Scaling (MDS)
Hasil analisis untuk mengetahui status
Tabanan untuk lima dimensi sebagai berikut:
-
A. Dimensi Ekologi
Dalam dimensi ekologi ini peneliti menggunakan tujuh atribut untuk mengukur status keberlanjutan keberadaan lahan sawah di Kabupaten Tabanan yaitu (1) keberadaan hama dan penyakit; (2) penggunaan pupuk; (3) penggunaan bibit padi; (4) ketersediaan air; (5) keberadaan sampah di saluran irigasi; (6) kejadian kekeringan dan (7) kejadian banjir. Berdasarkan hasil analisis MDS yang dilakukan dengan menggunakan tujuh atribut tersebut memperoleh nilai keberlanjutan yaitu 74,56 yang terletak di antara rentang ≥50,00 sampai < 75,00 dengan status keberlanjutan yang dihasilkan yaitu cukup berlanjut (Gambar
keberlanjutan lahan sawah di Kabupaten 2.)

Gambar 2.
Posisi Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi
Keterangan:
-
□ = Kriteria keberlanjutan
= Batasan algoritma
o = Nilai indeks status keberlanjutan
Keberlanjutan lahan sawah di Kabupaten Tabanan dilihat dari dimensi ekologi adalah cukup berlanjut yang berarti keberlanjutan lahan sawah dari sisi ekologi sudah baik tetapi beberapa atribut
masih harus mendapat perhatian karena berpotensi mengganggu keberlanjutan lahan sawah di masa yang akan datang. Atribut tersebut adalah keberadaan hama dan penyakit yang cukup tinggi sehingga
menyebabkan terganggunya hasil panen hingga gagal panen sehingga meresahkan para petani. Serangan hama penyakit ini jika tidak segera diatasi akan menjadi kendala dalam meningkatkan produksi padi dan menjadi pertimbangan bagi petani dalam budidaya tanaman padi berikutnya (Balitbang Kementan, 2009). Atribut selanjutnya yaitu ketersediaan air irigasi dan keberadaan sampah yang ada
di saluran irigasi. Air mempunyai peranan penting bagi tanaman padi karena berdampak pada hasil produksi dan kualitas gabah yang dihasilkan disamping juga berpengaruh terhadap intensitas pertanaman dan luas areal tanam (Balitbangtan Kementan, 2015). Beberapa petani di Kecamatan Kediri dan Selemadeg Barat menyatakan bahwa ketersediaan air kurang mencukupi karena terdapat saluran irigasi yang mengalami kerusakan sehingga aliran air menjadi terhambat dan debit airnya menjadi menurun. Beberapa petani di Kecamatan Baturiti dan Selemadeg Barat menyatakan ketersediaan air tidak mencukupi untuk sawah mereka karena sawah mereka
terletak di bagian hilir sehingga terkadang air yang mereka peroleh sedikit terutama di saat musim kemarau sehingga tanaman
padi mengalami kekeringan yang cukup

Gambar 3.
Posisi Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
berat. Secara umum kondisi saluran irigasi di Kabupaten Tabanan adalah baik dalam artian jalannya air di saluran irigasi lancar, namun sebagian lagi tergolong kurang baik karena terhambat akibat adanya buangan sampah rumah tangga dan plastik yang mengganggu jalannya air. Ayam yang mati dan kotoran ayam yang berasal dari peternakan ayam yang berlokasi dekat dengan areal persawahan juga
sering mengotori saluran irigasi.
-
B. Dimensi Ekonomi
Dalam dimensi ekonomi, peneliti menggunakan tujuh atribut yang digunakan untuk mengukur status keberlanjutan keberadaan lahan sawah di Kabupaten Tabanan. Ketujuh atribut tersebut terdiri dari (1) pendapatan petani; (2) biaya usaha tani; (3) stabilitas harga; (4) bantuan pemerintah; (5) pajak lahan sawah; (6) ketersediaan sarana produsi dan (7) harga jual lahan sawah. Berdasarkan hasil analisis MDS yang dilakukan dengan menggunakan tujuh atribut tersebut menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 48,82. Nilai tersebut
berada di antara rentang ≥25,00 sampai < 50,00 dengan status yang dihasilkan yaitu kurang berkelaniutan (Gambar 3.)
Keterangan :
-
□ = Kriteria keberlanjutan
= Batasan algoritma
o = Nilai indeks status keberlanjutan
Keberlanjutan lahan sawah di Kabupaten Tabanan dilihat dari dimensi ekonomi kurang berlanjut, yang berarti bahwa keberlanjutan lahan sawah dari sisi ekonomi kurang mendukung keberlanjutan lahan sawah untuk masa yang akan datang. Atribut-atribut dari dimensi ekonomi secara keseluruhan perlu mendapat perhatian serius agar status keberlanjutan lahan sawah dapat berubah menjadi cukup berlanjut atau berlanjut. Atribut ketersediaan sarana produksi dan harga jual lahan sawah yang tinggi harus mendapat perhatian lebih karena sensitif terhadap alih fungsi disamping biaya usaha tani yang tinggi serta biaya pajak yang juga dirasakan cukup memberatkan para petani. Hampir sebagian besar petani membeli sepenuhnya sarana produksi seperti pupuk dan obat-obatan. Mereka sangat berharap agar mendapatkan bantuan/subsidi dari pemerintah untuk mengurangi biaya usaha tani yang dirasa masih cukup tinggi. Begitu juga dengan pajak yang harus dibayarkan oleh para petani setiap tahunnya yang dirasakan masih cukup tinggi yaitu rata-rata Rp 40.000,- per are tergantung dari lokasi
atau letak lahan sawah. Satu atribut lagi yang membuat dimensi ekonomi kurang berlanjut adalah harga jual lahan sawah. Harga jual yang terbilang cukup tinggi membuat para petani tertarik untuk mengalihfungsikan lahan sawah mereka.
-
C. Dimensi Sosial
Status keberlanjutan keberadaan lahan sawah di Kabupaten Tabanan dilihat dari dimensi sosial dianalisis menggunakan sembilan atribut yang terdiri dari (1) umur petani; (2) partisipasi kelurga dalam mengelola sawah; (3) konflik antar petani; (4) kesehatan petani; (5) pengetahuan petani tentang dampak alih fungsi lahan sawah; (6) tingkat pendidikan petani; (7) jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan; (8) pertumbuhan pariwisata dan (9) kebutuhan perumahan. Berdasarkan hasil analisis MDS yang dilakukan dengan menggunakan sembilan atribut tersebut menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 75,42. Nilai tersebut berada di antara rentang ≥75,00 sampai 100,00 dengan status yang dihasilkan yaitu berkelanjutan (Gambar 4.)

Gambar 4.
Posisi Status Keberlanjutan Dimensi Sosial
Keterangan:
-
□ = Kriteria keberlanjutan
= Batasan algoritma
<> = Nilai indeks status keberlanjutan
Keberlanjutan lahan sawah di pekerjaan.
Hal ini menyebabkan
Kabupaten Tabanan dilihat dari dimensi sosial adalah berlanjut, yang berarti sudah baik. Secara keseluruhan atribut-atribut dalam dimensi ini sudah
mendukung keberlanjutan lahan sawah
tetapi masih terdapat beberapa atribut yang sedikit sensitif terhadap alih fungsi yaitu kebutuhan perumahan, partisipasi kelurga dalam mengelola sawah serta pertumbuhan pariwisata. Kabupaten Tabanan selain dikenal sebagai lumbung pangan juga dikenal sebagai daerah pariwisata dengan banyak objek pariwisata yang telah tersohor di dunia. Objek-objek pariwisata yang semakin banyak jumlahnya tersebut mengakibatkan sarana pendukung pariwisata juga semakin meningkat. Kebutuhan akan lahan baru sangat diperlukan untuk menunjang hal tersebut. Dengan adanya pariwisata yang mulai bangkit di Kabupaten Tabanan membuat
meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal bagi warga pendatang maupun warga lokal. Hal inilah yang harus diwaspadai dan dicarikan solusi agar
tidak terus meningkat.
-
D. Dimensi Kelembagaan
Status keberlanjutan keberadaan lahan sawah di Kabupaten Tabanan dilihat dari dimensi kelembagaan dianalisis menggunakan enam atribut yang terdiri dari (1) keberadaan subak; (2) penegakan awig-awig subak; (3) penyuluhan pertanian; (4) lembaga permodalan; (5) lembaga pemasaran; dan (6) koordinasi antar lembaga/instansi yang terkait. Berdasarkan hasil analisis MDS yang dilakukan dengan menggunakan enam atribut tersebut menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 52,43. Nilai tersebut berada di antara rentang ≥50,00 sampai < 75,00 dengan status yang dihasilkan yaitu
cukup berkelaniutan (Gambar 5.).
banyak orang datang untuk mencari

Gambar 5.
Posisi Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Keterangan:
= Kriteria keberlanjutan
= Batasan algoritma
= Nilai indeks status keberlanjutan
Keberlanjutan lahan sawah di Kabupaten Tabanan dilihat dari dimensi kelembagaan adalah cukup berlanjut, yang berarti keberlanjutan lahan sawah dari sisi
kelembagaan sudah baik tetapi beberapa atribut masih harus mendapat perhatian karena berpotensi mengganggu keberlanjutan lahan sawah di masa yang
akan datang. Atribut tersebut adalah penegakan awig-awig subak (terkait sanksi alih fungsi lahan) dan kurangnya lembaga pemasaran. Keberadaan lahan sawah di Bali tidak bisa terlepas dari keberadaan subak yang merupakan organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis, yang secara historis terus tumbuh dan berkembang (Perda Provinsi Bali No.9, 2012). Awig-awig yang ada di dalam setiap subak dibuat oleh anggota subak serta disahkan juga oleh anggota subak. Kelestarian dan keberlanjutan subak ditentukan oleh awig-awig yang merupakan sebuah norma adat yang berfungsi mengatur jalannya organisasi subak. Perarem dan awig-awig subak berfungsi untuk mengatur ketertiban dan ketentraman, keharmonisan di dalam subak serta mengendalikan prilaku para anggota di dalam lingkungan subak (Arimbawa, 2017). Terkait mengenai alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Tababan, belum ada awig-awig subak yang dibuat untuk mengatur hal tersebut hampir di semua kecamatan di Kabupaten Tabanan sehingga para petani masih bisa sangat bebas untuk mengalihfungsikan lahan sawah mereka. Peranan lembaga-
lembaga pendukung seperti pemerintah, lembaga pembiayaan dan permodalan, lembaga pemasaran dan distribusi serta koperasi diperlukan untuk mendukung pengembangan agribisnis (Mirnawati, 2017). Mengembangkan dan membangun sektor pertanian tidak dapat dipungkiri membutuhkan peran dari lembaga-lembaga yang terkait khususnya lembaga pemasaran yang dapat menjamin kepastian harga bagi para petani.
-
E. Dimensi Teknologi
Status keberlanjutan keberadaan lahan sawah di Kabupaten Tabanan dilihat dari dimensi teknologi dianalisis menggunakan enam atribut yang terdiri dari (1) kondisi saluran irigasi; (2) penerimaan teknologi baru; (3) ketersediaan industri pengolahan hasil; (4) kondisi jalan ke tempat berusaha tani; (5) relevansi teknologi dengan kebiasaan petani; dan (6) jarak ke lokasi lahan sawah. Berdasarkan hasil analisis MDS yang dilakukan dengan menggunakan enam atribut tersebut menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 47,25. Nilai tersebut berada di antara rentang ≥25,00 sampai < 50,00 dengan status yang dihasilkan yaitu kurang berkelanjutan (Gambar 6.).

Gambar 6.
Posisi Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi
Keterangan:
= Kriteria keberlanjutan

= Batasan algoritma
= Nilai indeks status keberlanjutan
Keberlanjutan lahan sawah di Kabupaten Tabanan dilihat dari dimensi teknologi kurang berlanjut, yang berarti bahwa keberlanjutan lahan sawah dari sisi teknologi kurang mendukung keberlanjutan lahan sawah untuk masa yang akan datang. Atribut-atribut dari dimensi teknologi secara keseluruhan perlu mendapat perhatian serius agar status keberlanjutan lahan sawah dapat berubah menjadi cukup berlanjut atau berlanjut terutama atribut kondisi jalan ke tempat usaha tani dan kondisi saluran irigasi harus mendapat perhatian lebih karena sensitif terhadap alih fungsi. Kondisi saluran irigasi di Kabupaten Tabanan menurut para petani banyak yang dalam kondisi rusak ringan sampai rusak berat akibat terdapat saluran bocor hingga jebol dan tersumbat di beberapa titik.
Hambatan lain yang dirasakan para petani adalah kondisi/akses jalan ke tempat berusaha tani yang belum memadai. Kebanyakan akses jalan ke tempat berusaha tani hanya sebatas badan jalan atau jalan setapak saja.
Nilai indeks keberlanjutan multi dimensi diperoleh dari nilai rata – rata tiap dimensi. Nilai indeks keberlanjutan memperoleh nilai sebesar 59,70 dengan status keberlanjutan cukup berlanjut. Hal ini berarti dari kelima dimensi yang digunakan dalam penelitian ini sudah dinyatakan membuat keberlanjutan lahan sawah di Kabupaten Tabanan cukup berlanjut tetapi tetap memperhatikan atribut-atribut yang masih sensitif terhadap alih fungsi. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Indeks dan Status Keberlanjutan | ||
Dimensi |
Indeks |
Status Keberlanjutan |
Ekologi |
74,56 |
Cukup Berlanjut |
Ekonomi |
48,82 |
Kurang Berlanjut |
Sosial |
75,42 |
Berkelanjutan |
Kelembagaan |
52,43 |
Cukup Berlanjut |
Teknologi |
47,25 |
Kurang Berlanjut |
Multi Dimensi |
59,70 |
Cukup Berlanjut |
Analisis Monte Carlo |
perbedaan nilai yang mengakibatkan keragaman (2) kurang informasi sehingga | |
Analisis Monte |
Carlo bertujuan menimbulkan |
kesalahan dalam skoring; |
mengevaluasi pengaruh |
galat (error) (3) nilai R-Stress yang tinggi serta (4) | |
masing-masing dimensi dengan menduga kesalahan menginput data. Perbedaan nilai | ||
suatu nilai statistik |
tertentu untuk Monte Carlo |
dan indeks ordinasi bisa |
mengatasi ketidakpastian. Fauzi dan Anna dilihat pada Tabel 4. | ||
(2005) menyatakan ketidakpastian ini disebabkan oleh empat faktor yaitu (1) |
Tabel 4. Hasil Nilai Monte Carlo Keberlanjutan Lahan Sawah
Dimensi |
Nilai indeks Analisis Monte Perbedaan (MDS – (ordinasi) Carlo MC) |
Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi |
74,56 74,25 0,31 48,82 48,09 0,73 75,42 74,06 1,36 52,43 51,28 1,15 47,25 47,16 0,09 |
Nilai Monte Carlo untuk kelima dimensi berkisar antara 47,16 sampai 74,25 sedangkan nilai indeks (ordinasi) untuk kelima dimensi berkisar antara 47,25 sampai dengan 75,42. Perbedaan nilai indeks (ordinasi) dan nilai Monte Carlo relatif rendah yaitu berkisar antara 0,09 sampai dengan 1,36. Menurut Firmansyah (2016) apabila perbedaan hasil analisis MDS dan analisis Monte Carlo tidak lebih dari 5% maka dapat dikatakan tingkat kepercayaannya sudah tinggi untuk tiap dimensi.
Ketepatan analisis (Godness of fit)
Godness of fit (GOF) pada analisis MDS digambarkan oleh nilai S-stress dan koefisien determinasi (R2) dimana nilai tersebut menunjukkan bilamana diperlukan atribut tambahan atau sudah menggambarkan akurasi jika dikaitkan dengan situasi aktual masing-masing dimensi yang dianalisis. Suatu model dapat dikatakan baik atau mendekati baik jika hasil analisis S-stress kurang dari 0,25 (S-stress < 0,25) dan nilai R2mendekati 1 (Pitcher et al, 2013). Nilai selengkapnya disajikan di Tabel 5.
Tabel 5. Nilai S-Stress dan Kooefisien
Determinasi
Dimensi |
Nilai indeks (ordinasi) |
Nilai S-Stress |
R2 |
Ekologi |
74,56 |
0,1310 |
0,9546 |
Ekonomi |
48,82 |
0,1395 |
0,9525 |
Sosial |
75,42 |
0,1328 |
0,9562 |
Kelembagaan |
52,43 |
0,1335 |
0,9454 |
Teknologi |
47,25 |
0,1374 |
0,9517 |
Semua dimensi yang dapat dilihat dari Tabel 5 mempunyai nilai S-stress kurang dari 0,25 serta koefisen determinasi (R2) kurang dari 1 (satu). Hal ini menunjukkan tidak dibutuhkan atribut tambahan karena atribut yang digunakan dalam penelitian ini telah menunjukkan ketepatan dengan situasi aktual untuk masing-masing dimensinya
sehingga model ini dapat dikatakan sudah baik.
Status keberlanjutan keberadaan lahan sawah di Kabupaten Tabanan multi dimensi adalah Cukup Berlanjut dengan nilai indeks sebesar 59,70. Status keberlanjutan tiap-tiap dimensi adalah cukup berlanjut untuk dimensi ekologi (74,56), kurang berlanjut untuk dimensi ekonomi (48,82), berkelanjutan untuk dimensi sosial (75,42), cukup berlanjut untuk dimensi kelembagaan (52,43) dan kurang berlanjut untuk dimensi teknologi (47,25).
Saran yang dapat penulis berikan adalah Pemda Kabupaten Tabanan diharapkan memperhatikan atribut-atribut yang masih kurang berlanjut seperti memperhatikan kondisi jalan ke tempat usaha tani, kondisi saluran irigasi, ketersediaan sarana produksi, harga jual lahan sawah yang tinggi, sehingga status keberlanjutan lahan sawah dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., Mulyani, A. 2006. Judicious use of land resources for sustaining Indonesian rice self sufficiency. Proceedings International Rice Conference, 12-14 Sept. Denpasar, Bali: Indonesian Institute of Rice Research, Sukamandi.
----------., Irawan, H.2006. Environmental multifunctionality of Indonesian agriculture. Paddy Water
Environment (4):181-188.
Arimbawa., I. W. P. 2017. Peran Subak dalam Pengembangan Usaha
Ekonomi Produktif dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Petani.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Padi secara Terpadu.
https://www.litbang.pertanian.go.id/s pecial/padi/bbpadi_2009_itkp_17.pdf. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2015. Padi: Bukan Tanaman Air Tetapi Perlu Air.
https://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/i ndex.php/info-berita/berita/padi-bukan-tanaman-air-tetapi-perlu-air. Jakarta
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali. 2019. Luas Lahan Sawah di Provinsi Bali Tahun 2013-2017.
Fauzi, A dan Anna, S. 2005. Permodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Firmansyah, I. 2016. Model Pengendalian Konversi Lahan Sawah di Dalam DAS Citarum (Disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Kavanagh, P. dan Pitcher, T.J. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish: A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. Kanada: University of British Colombia. Fisheries Centre Research Reports.
Mirnawati. 2017. Peranan Lembaga Agribisnis pada Subsistem Produksi Tanaman Hortikultura di Desa Bonto Maranu Kecamatan Uluere
Kabupaten Bantaeng (Skripsi).
Makasar: Universitas
Muhammadiyah.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tentang Subak. 2012. Pemerintah Provinsi Bali.
Pitcher, T.J., Lam, M.E., Ainsworth, C., Martindale, A., Nakamura, K., Perry, R.I., dan Ward, T. 2013. Improvements to Rapfish: A Rapid Evaluation Technique for Fisheries Integrating Ecological and Human Dimensions. Journal of Fish Biology 83(4):865-889.
Sumaryanto dan Tahlim, S. 2005. Pemahaman Dampak Negatif
Konversi Lahan Sawah sebagai Landasan Perumusan Strategi
Pengendaliannya. Prosiding Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan. LPPM IPB.
Undang-Undang RI No 41. 2009.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Widiatmaka, Firmansyah, I.,
Ambarwulan, W., Munibah, K., dan Sitorus, S.R.P. 2015. Appraisal Keberlanjutan Multidimensi
Penggunaan Lahan Sawah Untuk Sawah Di Karawang, Jawa Barat. Jurnal Kawistara 5(2):99-220.
Yulandari, A.N. 2021. Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Tabanan (Studi Kasus di Subak Jadi Kecamatan Kediri). Journal of Agricultural Socioeconomics and Business 4(1):13-21.
185
ECOTROPHIC • 16(2): 174-185 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN: 2503-3395
Discussion and feedback