EFEKTIVITAS PEMANFAATAN KULTUR LOKAL DALAM BIOREAKTOR PENGOLAHAN AIR LIMBAH KERAJINAN ENDEK
on
Efektivitas Pemanfaatan Kultur Lokal Dalam Bioreaktor…
[Ni Made Tia Juliasari, dkk]
EFEKTIVITAS PEMANFAATAN KULTUR LOKAL DALAM BIOREAKTOR PENGOLAHAN AIR LIMBAH KERAJINAN ENDEK
Ni Made Tia Juliasari*, I Wayan Budiarsa Suyasa, I Nyoman Rai
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Pascasarjana, Universitas Udayana *email: [email protected]
ABSTRACT
EFFECTIVENESS OF UTILIZATION OF LOCAL CULTURE IN ENDEK HANDICRAFT WASTEWATER TREATMENT BIOREACTOR
Endek is one of the fabrics that are in demand by local and foreign people. The distinctive pattern of this endek cloth continues to develop while still paying attention to the authenticity of the endek motives from Bali so that it is easily recognized by the public, however, in its production, it produces waste that causes environmental pollution therefore it needs to be managed. One of the easy and efficient textile waste management is a bioreactor by utilizing local culture. Local cultures are indicated as indigenous microorganisms originating from the waste itself. The purpose of this study is to analyze the effectiveness of local cultures in bioreactors in improving wastewater quality and analyze the effectiveness of using local microbial cultures in bioreactors for treating endek wastewater. This study applied a quantitative approach with experimental methods. The processing begins with the growth of biofilms to determine the biomass profile using the Mixed Liquor Suspended Solid (MLSS) method, then the color waste water is stored in an anaerobic reservoir for 24 hours then tested and then processing, later it is inundated for 1 hour before parameter measurement. The parameters tested were COD levels, color content and pH. Based on the results of the study, the optimum MLSS value obtained in the seeding process was 4490 mg/L on the 7th day and the biofilm growth biomass profile of 3240 mg/L on the 22nd day. The utilization of local microbial culture in the bioreactor in this study was effective in reducing the color content parameter by 77% at processing times of 384 and 408 hours, and decreasing pH was only effective at processing time of 6 hours and reducing COD was not effective.
Keywords : endek wastewater, local culture, bioreactor, effectiveness
Keaslian motif endek Bali membuat kain endek mudah dikenal oleh masyarakat. Minat terhadap kain tenun endek ini masih didominasi oleh wisatawan lokal dan asing, walaupun saat ini sektor pariwisata sedang mengalami keterpurukan akibat terjadinya pandemi Coronavirus-2019 (Covid-19), namun produksi kain endek masih berjalan dan
dapat dipertahankan, bahkan kain endek juga dapat dijadikan bahan pendukung pembuatan masker kain. Produksi kain endek tentunya menghasilkan limbah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan apabila limbah tersebut tidak dikelola. Pengolahan air limbah merupakan salah satu prioritas dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Pengolahan air limbah dapat dilakukan baik secara kimia, fisika maupun secara
biologis. Pengolahan secara biologis dapat dilakukan secara aerob dan anaerob, salah satunya dengan menggunakan bioreaktor (Jannah dan Muhimmatin, 2019).
Bioreaktor adalah salah satu pengolahan limbah yang dirancang untuk pertumbuhan optimal dan aktivitas metabolisme organisme melalui aksi biokatalis, enzim mikroorganisme, sel hewan maupun tumbuhan. Desain bioreaktor telah dikembangkan untuk menangani beragam produk substrat dan biokatalis. Mikroorganisme bersifat lebih sensitif dan kurang stabil dibandingkan bahan kimia, sehingga sistem bioreaktor harus memberikan tingkat kontrol yang lebih tinggi agar terhindar dari gangguan dan kontaminasi. (Gaikwad et al., 2018)
Menurut Askuroini (2019), pemanfaatan bakteri indigenous bertujuan untuk bioremediasi limbah atau mendegradasi limbah yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Martiningsih dan Rahmi (2019) menyebutkan bahwa dalam empat isolat bakteri indigenous dari limbah cair batik yang efektif untuk dekolorisasi zat warna remazol blue pada limbah cair tekstil, jenis bakteri Bacillus spp. yang paling efektif dengan efektivitas dekolorisasi sebesar 90,88%. Konsentrasi zat warna 100 mg/L dengan waktu pengolahan selama 3 hari adalah kondisi optimum dalam dekolorisasi remazol blue menggunakan mikroorganisme indigenous.
Kultur lokal adalah hasil reaksi dari sampel lumpur pembuangan limbah kerajinan endek yang diindikasikan sebagai sumber bibit endogenous (mikroorganisme indigenous) yang ditumbuhkan pada bak pembibitan (seeding) kemudian diamati pertumbuhan biomasanya dengan metode Mixed Liquor Suspended Solid (MLSS). Jumlah biomasa yang maksimal pada waktu tertentu digunakan untuk menumbuhkan biofilm yang ada dalam bioreaktor pengolahan
limbah, dengan aktivitas tinggi mikroorganisme dapat mendegradasi zat pencemar dari limbah kerajianan endek. Keuntungan dengan menggunakan kultur lokal ini yaitu karena habitat mikroorganismenya berada di lumpur tempat penampungan limbah kerajinan endek, sehingga penggunaannya lebih efektif dan ekonomis, selain itu lebih mudah beradaptasi karena berasal dari limbah itu sendiri.
Pengrajin endek khususnya daerah Gianyar dan Klungkung pada proses pewarnaan benangnya mengikuti arahan dari pemerintah kini terpusat pada daerah Sampalan Klod, Kecamatan Dawan, Klungkung tepatnya di Banjar Gerombong, Banjar Dinas Sulang. Pewarnaan kain endek menggunakan perwarna tekstil sulfur (sulphur dyes) kiloan yang di jual di pasar Klungkung dan Denpasar (Komunikasi pribadi dengan pengerajin endek Bapak Wayan Santiasa, di Sampalan Kelod, Klungkung, pada 13 Februari 2021). Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah secara biologi dengan memanfaatkan kultur lokal dalam bioreaktor pengolahan air limbah pewarnaan kain endek secara anaerob dan secara aerob, serta parameter yang diuji yaitu Chemical Oxygen Demand (COD), pH dan warna. Penggunaan ketiga parameter kunci tersebut karena air limbah tekstil dari produksi pencelupan benang yang mengandung zat pewarna kimia contohnya sulfur, senyawa organik maupun anorganik lainnya, dimana senyawa-senyawa yang bersifat stabil akan sulit terdegradasi secara alami serta berbahaya bagi lingkungan karena dapat meningkatkan kadar warna yang dapat menghalangi masuknya sinar matahari sehingga mengganggu metabolisme kehidupan biotik perairan dan tentu akan menambah beban COD. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas kultur lokal dalam bioreaktor dalam meningkatkan kualitas air limbah
kerajinan endek khususnya pada parameter kadar warna, Chemical Oxygen Demand (COD), dan pH.
2.METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Lingkungan Universitas Udayana, UPT. Laboratorium Analitik Universitas Udayana, dan UPTD. Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali untuk pengujian mikroskopis. Pengambilan limbah kerajinan endek di Pencelupan Benang Banjar Gerombong, Banjar Dinas Sulang, Sampalan Klod, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Waktu penelitian dilaksanakan dalam waktu tiga bulan dari awal bulan September 2021 hingga akhir bulan November 2021.
Bak pembibitan (seeding), bak penumbuhan biofilm dan bak reaktor, aerator, pH meter, cawan porselen, oven, desikator, jerigen, ember, pipet volume, pipet tetes, labu ukur, buret, erlenmeyer, pemanas, kit reagen, BD BBL Crystal TM Auotoreder, jarum ose steril, incubator, colony counter, mikroskop, Spektofotometer UV-Vis Shimadzu UV-2600. air limbah warna kerajinan endek, lumpur limbah endek, glukosa (gula pasir) K2HPO4, (NH4)2SO4, MgSO4.7H2O, aquades, asam sulfat, larutan ferro ammonium sulfat (FAS), indikator ferroin, digestion solution, kertas saring, medium
agar, larutan standard Mac Farland, fiberglass, botol plastik, plastik lembaran untuk media biofilm.
Pembuatan penopang media biofilm dengan menggunakan botol plastik. Botol plastik yang digunakan adalah botol plastik transparan air mineral yang dipotong dengan ukuran tinggi 23 cm dan diameter 5 cm. Botol plastik ini merupakan jenis PETE atau PET (Polyethylene Terephthalate), setiap botol dilubangi secara acak (random) pada seluruh permukaannya. Selanjutnya ditambahkan lembaran plastik jenis LDPE yang dilipat dan dimasukan secara acak. Bak yang disiapkan 3 buah untuk perlakuan yang bersifat anaerobik dan aerobik. Pada bioreaktor yang bersifat aerobik disusun mulai dari bawah yaitu aerator, pipa pvc, fiberglass, penopang media biofilm, fiberglass dan ditutup plastik.
Pengambilan lumpur tempat penampungan air limbah pewarnaan endek sebanyak 10 gram disimpan dalam kantong plastik bening yang luarnya dibungkus dengan plastik hitam yang telah berisi es agar terhindar dari cahaya dan suhu panas. Pengambilan air limbah total sebanyak 100 L dengan jerigen besar dengan cara grab (pengambilan dilakukan secara bertahap setelah seeding). Pengambilan sampel dilakukan pada titik koordinat 8032’21.3’’S 115024’43.6’’E pada -8.539260, 115.412106 (Gambar 1).

Lokasi Penelitian : Pencelupan Benang Banjar Gerombong, Banjar Dinas Sulang, Sampalan Klod,
Sampalan Kabupaten Klungkung
Titik Koordinat
Pengambilan
Sampel:
8°32'21.3"S 115°24'43.6"E -8.539260, 115412106
Gambar 1.
Titik Pengambilan Sampel (Sumber: https://maps.google.com/)
Pembibitan biomassa (seeding) dilakukan pada bak/wadah volume 5 L, kemudian ditambah lumpur dari tempat penampungan air limbah pewarnaan kain endek sebanyak 4 gram dan media cair sebanyak 4 L yang terdiri dari K2HPO4 2 gram, (NH4)2SO4 2 gram, MgSO4.7H2O 0,8 gram dan gula pasir 40 gram, air selokan sebanyak 1 liter. Larutan tersebut diaduk dan dilakukan uji MLSS awal. Larutan diaerasi dan dilakukan pengamatan MLSS selama 10 hari, kemudian diamati kurva pertumbuhannya yang maksimal. Pada hari ke-7 dilakukan uji mikroskopis dan uji angka lempeng total larutan hasil seeding. Berikut cara perhitungan MLSS:
MLSS (mg/L) = -1000-× (B2-B1) × 1000 ( 1)
mL sampel
Keterangan:
B1 = berat kertas dan sampel awal B2 = berat kertas dan sampel akhir
Pertumbuhan biofilm dilakukan pada bak/wadah volume 130 L, ditambah
larutan Suspensi Aktif atau SA (hasil seeding) 10% dengan nilai MLSS maksimum, media cair NPK 70%, dan 20% air limbah yang telah digenangkan sehari. Suspensi aktif yang dituangkan ke dalam bak reaktor hingga ketinggian air diatas media lekat sekitar 1 cm, kemudian diaerasi agar suplai oksigen cukup sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Pengamatan MLSS dilakukan selama 22 hari. Setelah 22 hari dilakukan uji mikroskopis dan uji angka lempeng total biofilm.
Bak penampungan dengan volume 80L disiapkan, dimasukkan air limbah warna hingga bak penampungan terisi penuh tanpa ruang yang tersisa dalam bak. Bak reaktor (A) yang telah berisi limbah tersebut diperlakukan anaerob dengan bak ditutup rapat sehingga tidak memungkinkan oksigen keluar masuk, selanjutnya didiamkan selama 24 jam. Pemeriksaan parameter COD, warna dan pH air limbah warna dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan anaerob.
Bak reaktor pengolahan dengan volume 125 L dirancang lengkap dengan biofilm yang sebelumnya telah siap. Selanjutnya ditambahkan media cair 29%, larutan SA 1% dan air limbah pewarnaan yang telah digenangkan selama 24 jam sebanyak 70%. Reaktor (B) diperlakuan aerob dengan diberi aerasi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan COD, warna dan pH dalam waktu 408 jam.
Efektivitas dalam waktu pengolahan tertentu dapat dihitung:
% efektivitas = Qa-Qbm ×100% (2)
Qa
% efektivitas = Qa-Qc ×100% (3)
Qa
Keterangan:
Qa =hasil nilai parameter awal (jam ke-0) Qbm =baku mutu parameter
Qc=hasil nilai parameter tiap waktu pengolahan limbah
Pengumpulan data yang diperoleh dari seluruh
selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan grafik, persamaan regresi linier, tabel dan gambar sehingga dapat mendukung dalam pembahasan pada penelitian ini.
Pada data MLSS Gambar 2. diatas menunjukkan bahwa nilai MLSS pada hari ke-0 hingga hari ke-6 terus mengalami kenaikan. Pada hari ke-7 terjadi fase eksponensial peningkatan jumlah biomassa menjadi sebesar 4490 mg/L. Fase inilah yang digunakan dalam proses penumbuhan biofilm selanjutnya. Pada fase eksponensial ini jumlah mikroorganisme mencapai maksimal sehinga limbah yang didegradasi atau diuraikan juga maksimal sehingga menyebabkan kandungan senyawa organik dapat mengalami penurunan (Sari, 2019). Hari ke-8 sudah memasuki fase stationer dengan nilai MLSS yaitu sebesar 5090 mg/L. Selanjutnya mulai mengalami fase stagnan atau kematian nilai MLSS dari hari ke-9 hingga hari ke-10 masing-masing menjadi sebesar 3680 mg/L dan 3570 mg/L.
tahapan penelitian diatas,

Gambar 2.
Grafik Hubungan Antara Nilai MLSS dengan Waktu Pembibitan (Seeding)
Larutan suspensi aktif ini mengandung jumlah angka lempeng total sebesar 5,3506 × 104 CFU/mL, dimana pada 1 mL larutan suspensi aktif ini mengandung beberapa mikroorganisme yang terdeteksi antara lain, Bacillus sp., Corynebacterium propinquum dan yeast (jamur/fungi), dengan bakteri Bacillus sp. keberadaannya paling dominan diantara mikroorganisme lainnya. Isolat bakteri larutan suspensi aktif secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan dari hasil isolat suspensi aktif secara mikroskopis maka teridentifikasi beberapa ciri-ciri mikroorganisme adalah sebagai berikut: 1. Ciri-ciri Bacillus sp.: bakteri gram positif yang dapat membentuk spora dan tumbuh dengan baik pada kondisi aerobik, koloni yang berbentuk basil (batang), memiliki lebar 0,3-2,2 mikron dan panjang 1,2-7,0 mikron, motilitas kuat, sebagian besar motil dengan flagella lateral dan tahan terhadap panas dengan membentuk spora, kemoorganotop, fermentasi atau keduanya, motabolisme memanfaatkan substrat yang bervariasi (Puspita et al., 2017)
-
2. Ciri-ciri Corynebacterium propinquum: koloni yang berbentuk seperti peniti atau pentol korek, motilitas bergerak aktif, tidak memiliki spora, gram positif, memiliki granula metakromatik dengan bentuk organel sel sebagai penyimpanan cadangan makanan. Pada proses fermentasi dengan konsentrasi garam yang tinggi bakteri ini dapat tumbuh meskipun dalam jumlah yang kecil, dominan dari bakteri ini dapat memfermentasi karbohidrat dengan menghasilkan asam laktat (Zasada dan Mosiej, 2018)
-
3. Ciri-ciri yeast (jamur/fungi): koloni berbentuk oval atau kokus, tahan pada pH asam, yeast dapat tumbuh dalam larutan pekat, misalnya dalam larutan gula, garam, dan asam yang berlebih. Yeast mempunyai sifat antimikroba sehingga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dan kapang. Adanya sifat-sifat tahan terhadap stress lingkungan (gula, garam, dan asam berlebih) menjadikan yeast dapat bertahan atau bersaing dengan mikroorganisme lain (Simbolon et al., 2018)

Gambar 3.
Isolat Larutan Suspensi Aktif secara Mikroskopis
Pada profil biomasa pertumbuhan biofilm yang ditunjukkan pada Gambar 4, nilai MLSS pada hari ke-0 hingga hari ke-4 tidak menunjukkan pertumbuhan yang
signifikan yaitu dari rentang sebesar 1098 mg/L - 1170 mg/L, dimana dalam grafik hampir membentuk garis linier. Pada hari ke-10 terjadi penurunan nilai MLSS menjadi sebesar 1280 mg/L, fase ini dapat disebut sebagai fase penyesuaian biofilm
terhadap lingkungannya dimana adanya pelepasan biofilm karena belum kuat menempel dengan media plastik yang digunakan. Biofilm yang terlepas akan turun ke dasar bak penumbuhan, sehingga dalam pengambilan sampel tidak maksimal dan menyebabkan nilai MLSS turun. Pada hari ke-12 mulai terjadi peningkatan nilai MLSS kembali yaitu
menjadi sebesar 1500 mg/L. Selanjutnya profil biomasa terus mengalami peningkatan hingga hari ke-22 yaitu sebesar 3240 mg/L. Pada hari ke-22 tersebut biofilm sudah tampak melekat banyak pada media dibandingkan pada hari ke-10 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 4.
Grafik Hubungan Antara Nilai MLSS dengan Waktu pada Pertumbuhan Biofilm

Gambar 5.
Biofilm Melekat pada Media Plastik (kiri) Hari Ke-10 dan (kanan) Hari Ke-22
Biofilm ini mengandung jumlah angka lempeng total sebesar 2,6360 × 104 CFU/mL, dimana pada 1 mL larutan suspensi aktif ini mengandung mikroorganisme seperti Bacillus sp.dan yeast (jamur/fungi), dimana yeast
keberadaannya paling dominan diantara mikroorganisme lainnya. Berdasarkan dari pengujian mikroskopis pada pertumbuhan biofilm ini maka diperoleh hasil seperti pada Gambar 6.

Gambar 6.
Isolat Biofilm Secara Mikroskopis
-
3.3 . Pengolahan Limbah Endek dengan Bak Penampungan Anaerob dan Bak Biofilter Aerob
Berdasarkan dari data pada Tabel 1. apabila dilihat dari nilai pH sudah memenuhi ambang batas baku mutu yang
telah ditetapkan oleh pemerintah, namun kadar COD dan kadar warna masih tinggi sehingga perlu dilakukan pengolahan limbah dengan bak penampungan anaerob serta pengolahan dengan bioreaktor yang memanfaatkan kultur lokal secara aerob.
Tabel1. Hasil Perbandingan Pengujian Awal Air Limbah Kerajinan Endek dengan Baku Mutu
Parameter |
Uji awal |
Baku Mutu |
Nilai pH |
8,50 |
6-9*1 |
Nilai COD (mg/L) |
390 |
150*1 |
Warna (PtCo) |
499,724 |
200*2 |
Keterangan:
*1Peraturan Gubernur Bali No.16 Tahun 2016;
*2Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan No.5 Tahun 2014
Pada pengolahan limbah endek warna yang bersifat anaerob, berdasarkan data Tabel 2, pada parameter pH sebelumnya (Q1) 8,50 setelah dilakukan pengolahan menjadi (Q2) sebesar 7,56 dimana nilai tersebut telah memenuhi ambang batas baku mutu. Setelah dilakukan pengolahan limbah dengan cara penggenangan selama 24 jam pada bak penampungan anaerob terjadi peningkatan jumlah parameter COD (Q2) menjadi sebesar 420 mg/L, bahkan lebih tinggi dari sebelum pengolahan anaerobik (Q1) kadar COD yaitu sebesar 390 mg/L. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Widiantara et al. (2018), dimana setelah dilakukan penggenangan air
limbah pada bak penampungan anaerob selama 24 jam kadar COD yang sebelumnya 232,76 mg/L menurun menjadi 70,8 mg/L. Kadar COD pada penelitian ini belum memenuhi standar baku mutu yaitu maksimal sebesar 150 mg/L. Hal ini dapat disebabkan karena pada proses pengolahan limbah terdapat penguraian senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, namun ada beberapa dari senyawa tersebut tidak mampu lagi didegradasi oleh mikroorganisme sehingga senyawa tersebut tetap menjadi beban COD dan pada saat pengujian kadar COD yang terdeteksi menjadi lebih tinggi dibandingkan sebelum pengolahan.
Tabel 2.Hasil Perbandingan Uji Parameter Air Limbah Kerajinan Endek Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pengolahan Limbah pada Bak Penampungan Anaerobik
Kode Sampel |
Nilai pH |
Nilai COD (mg/L) |
Nilai Kadar Warna (PtCo) |
Q1 |
8,50 |
390 |
499,724 |
Q2 |
7,56 |
420 |
260,693 |
Keterangan :
Q1 = sebelum pengolahan anaerobik selama 24 jam (parameter awal)
Q2 = setelah pengolahan anaerobik selama 24 jam
Pada parameter kadar warna yang sebelumnya (Q1) sebesar 499,724 unit PtCo setelah pengolahan pada bak penampungan anaerobik turun (Q2) menjadi 260,693 unit PtCo, hal ini dapat disebabkan karena adanya proses pemecahan senyawa warna oleh mikroorganisme serta adanya proses penyimpanan selama 24 jam sehingga kadar warnanya menjadi turun, namun kadar warna pada pengolahan anaerobik ini juga belum memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Menurut Maulidya (2020) degradasi secara anerobik pada limbah yang
mengandung zat warna tekstil akan berupa pemotongan reduktif ikatan zat warna tersebut, sedangkan proses degradasi secara aerobik merupakan pengolahan lanjutan hingga menghasilkan produk akhir yang aman untuk dilepaskan ke lingkungan perairan.
Pengolahan air limbah yang dilakukan pada bak biofilter aerobik dimana dilakukan pengamatan tiga parameter yaitu pH, COD dan kadar warna dalam waktu tertentu. Hasil pengukuran pH dalam waktu 408 jam ditunjukkan pada Gambar 7.

Grafik Hasil Pengukuran Parameter pH
Berdasarkan dari grafik diatas ditunjukkan pengolahan limbah dengan bak biofilter bahwa terjadi penurunan pH setelah aerobik. Pada jam ke-0 dan jam ke-6
diperoleh pH masing-masing sebesar 7,49 dan 6,95. Pada jam tersebut pH masih memenuhi standar baku mutu. Pada ke-12 hingga jam ke-408 pH terus mengalami penurunan hingga menjadi kondisi asam yaitu sebesar 3,19. Semakin rendah nilai pH perairan maka semakin bersifat toksik terhadap kehidupan perairan seperti ikan, tumbuhan air, zooplankton dan lainnya. Nilai pH yang rendah dapat menurunkan pH darah ikan yang disebut dengan proses asidosis sehingga fungsi darah dalam
Kadar COD tertinggi terletak pada jam ke-0 dengan kadar sebesar 2000 mg/L. Kadar COD mulai menurun dibawah 1000 mg/L terjadi pada waktu pengolahan ke-264 jam. Kadar COD terendah adalah pada waktu ke-408 jam dimana kadarnya sebesar 160 mg/L namun masih melebihi standar baku mutu yang telah ditetapkan. Persamaan regresi linier antara waktu pengolahan dengan nilai COD akan menghasilkan tiga persamaan yang membentuk garis kemiringan seperti pada Gambar 8, dimana kemiringan tersebut
pengangkutan oksigen juga menurun, selain itu juga mempengaruhi penurunan pada jumlah zooplankton, peningkatan filamen alga hijau dan tumbuhan hijau akan mengalami kematian. Penurunan pH ini terjadi akibat adanya penguraian atau degradasi senyawa-senyawa organik oleh mikroorganisme karena dalam proses penguraiannya melepaskan CO2 yang dapat menurunkan pH (Supriatna et al., 2020)
merupakan laju penurunan yang terjadi dalam waktu tertentu. Berikut adalah persamaannya:
Persamaan 1 waktu pengolahan (0-24) jam: y = 2000 – 8,3333x dengan laju penurunan 8,3333.
Persamaan 2 waktu pengolahan(48-72) jam: y = 1891,7 – 10,417x dengan laju penurunan 10,417
Persamaan 3 waktu pengolahan(264-408) jam: y = 815,48 - 1,5591x dengan laju penurunan 1,5591.

Gambar 8.
Grafik Hasil Pengukuran Parameter COD
Pada parameter ketiga yaitu kadar warna juga mengalami penurunan setelah dilakukan pengolahan dengan
memanfaatkan kultur lokal dalam bak biofilter aerobik. Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna fisik air
limbah yang terjadi, dimana sebelumnya pengolahan air limbah endek berwarna hitam setelah dilakukan pengolahan
warnanya berubah menjadi lebih bening. Perubahan warna ini ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9.
Perubahan Warna Air Limbah Setelah Dilakukan Pengolahan
Berdasarkan dari data pengukuran kadar warna Gambar 10, awal pengolahan jam ke-0 kadar warna masih tinggi yaitu sebesar 286,541 Unit PtCo. Pada waktu pengolahan mulai dari 48 jam, 60 jam, 72 jam hingga 408 jam kadar warna telah memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan, dimana kadar warna terendah pada waktu pengolahan 408 jam yaitu sebesar 66,908 Unit PtCo. Penurunan yang terjadi berkaitan juga dengan waktu pengolahannya, dimana semakin lama waktu pengolahan semakin rendah jumlah kadar warna yang diperoleh. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Maulidya (2020) konsentrasi warna masih tinggi dalam waktu pengolahan 24 jam dan mulai menurun pada 72 jam pengolahan. Tingginya kadar warna pada 24 jam disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan koloni mikroorganisme indigenous namun tidak disertai dengan produksi enzim yang berpotensi sebagai pendegradasi sehingga air limbah yang berisi bakteri semakin keruh dan berpengaruh dalam proses pengujian kadar warna.

Grafik Hasil Pengukuran Parameter Kadar Warna
Berdasarkan dari grafik yang dihasilkan diperoleh kemiringan garis dari persamaan regresi linier. Persamaan regresi linier antara waktu pengolahan limbah dengan kadar warnanya, dimana dari hubungan tersebut menghasilkan tiga persamaan, yaitu:
Persamaan 1 waktu pengolahan (0-24) jam: y = 288,59 – 1,7827x dengan laju penurunan 1,7827
Persamaan 2 waktu pengolahan (48-72) jam: y = 454,44 – 4,5463x dengan laju penurunan 4,5463
Persamaan 3 waktu pengolahan (264-408) jam: y = 68,537 – 0,0039x dengan laju penurunan 0,0039
Efektivitas yang dihasilkan mengacu pada efektivitas terhadap baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dimana hasil efektivitas parameter COD ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tingkat efektivitas dari parameter COD terhadap baku mutu setelah pengolahan secara garis besar dapat dinyatakan tidak efektif pada semua waktu, karena persentase efektivitas COD pada waktu pengolahan lainnya tidak ada yang melebihi persentase standar acuan yaitu 93%.
Tabel 3.Efektivitas Parameter COD terhadap Baku Mutu (BM)
Waktu Pengolahan (Jam) |
Nilai COD (mg/L) |
Efektivitas Acuan |
Efektivitas COD terhadap BM |
Keterangan |
0 |
2000 |
93% |
0% |
Tidak efektif |
6 |
1950 |
93% |
3% |
Tidak efektif |
12 |
1900 |
93% |
5% |
Tidak efektif |
24 |
1800 |
93% |
10% |
Tidak efektif |
36 |
1650 |
93% |
18% |
Tidak efektif |
48 |
1400 |
93% |
30% |
Tidak efektif |
60 |
1250 |
93% |
38% |
Tidak efektif |
72 |
1150 |
93% |
43% |
Tidak efektif |
240 |
1000 |
93% |
50% |
Tidak efektif |
264 |
400 |
93% |
80% |
Tidak efektif |
384 |
240 |
93% |
88% |
Tidak efektif |
408 |
160 |
93% |
92% |
Tidak efektif |
Hasil perhitungan efektivitas kadar warna terhadap baku mutu dapat dilihat pada Tabel 4. Secara garis besar ada beberapa waktu pengolahan yang efektif dan ada yang tidak efektif. Efektivitas kadar warna yang terendah terletak pada
jam ke-6 yaitu sebesar 2%, sedangkan efektivitas kadar warna yang tertinggi terletak pada jam ke-384 dan jam ke-408 yaitu sebesar 77%. Waktu pengolahan yang termasuk efektif adalah dari jam ke-60 hingga jam ke-408.
Tabel 4. Efektivitas Parameter Kadar Warna terhadap Baku Mutu (BM)
Waktu Pengolahan (Jam) |
Kadar Warna (Unit PtCo) |
Efektivitas Acuan |
Efektivitas Kadar Warna terhadap BM |
Keterangan |
0 |
286.541 |
30% |
0% |
Tidak efektif |
6 |
280.618 |
30% |
2% |
Tidak efektif |
12 |
250.095 |
30% |
13% |
Tidak efektif |
24 |
245.121 |
30% |
14% |
Tidak efektif |
36 |
238.367 |
30% |
17% |
Tidak efektif |
48 |
234.327 |
30% |
18% |
Tidak efektif |
60 |
185.435 |
30% |
35% |
Efektif |
72 |
125.215 |
30% |
56% |
Efektif |
240 |
122.944 |
30% |
57% |
Efektif |
264 |
67.498 |
30% |
76% |
Efektif |
384 |
67.081 |
30% |
77% |
Efektif |
408 |
66.906 |
30% |
77% |
Efektif |

Gambar 11.
Grafik Perbandingan Parameter COD, Warna dan pH pada Pengolahan Limbah Secara Aerobik
Berdasarkan perbandingan antar parameter yang ditunjukkan pada Gambar 11, dimana pada parameter pH efektif dan masih berada pada baku mutu yaitu pada jam ke-0 hingga jam ke-6. Apabila lewat dari jam ke-6, pH akan terus mengalami penurunan dan akan berbahaya bagi kehidupan perairan. Sementara parameter COD dan warna pada jam ke-6 masih sangat tinggi dan belum memenuhi baku mutu. Parameter COD mulai menurun
dibawah 1000 mg/L pada jam ke-264 hingga jam ke-408, namun pada penelitian ini belum memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan. Selanjutnya parameter kadar warna juga mulai menurun menjadi 200 mg/L pada jam ke-60 hingga jam ke-408 dimana kadar tersebut sudah memenuhi standar baku mutu maksimum yang telah ditetapkan, namun pada jam ke-60 hingga jam ke-408 pH menjadi asam sehingga parameter pH
perlu dijaga agar tetap dalam rentang 6-9 sesuai standar baku mutu yang telah ditetapkan karena pH sangat dipengaruhi oleh fluktuasi kandungan O2 maupun CO2, dimana kandungan O2 juga akan dapat mempengaruhi kadar COD dan kadar
warna. Oksigen akan mempengaruhi proses oksidasi yang terjadi, dimana penelitian ini saat diberi penambahan oksigen dengan aerasi menyebabkan warna limbah dari berwarna hitam menjadi lebih bening.

Gambar 12.
Ilustrasi Prototipe Instalasi Pengolahan Air Limbah dari Bak Penampungan Anaerobik dan Bak Biofilter Aerobik
Ilustrasi prototipe Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ditunjukkan pada Gambar 12. Pengolahan limbah diawali dengan pengukuran parameter pH, COD dan kadar warna air limbah awal yang disebut dengan Q0. Tahap berikutnya dilakukan penyimpanan air limbah dengan tertutup dan tanpa cahaya pada bak pengendapan awal, dimana pengolahan limbah ini bersifat anaerobik atau tanpa oksigen selama 24 jam, selanjutnya tiga parameter diukur kembali kemudian disebut dengan Q1. Selanjutnya air limbah yang telah digenangkan selama 24 jam tersebut dituang pada bak biofilm (kultur lokal) dimana ditambahkan aerator untuk suplai oksigen karena bersifat aerobik serta dalam waktu pengolahan tertentu dan tahap terakhir dilakukan penggenangan akhir (sedimentasi) selama 60 menit sebelum dilakukan pengukuran parameter (COD, warna dan pH) dimana kemudian disebut dengan Q2.
Berdasarkan dari hasil yang diperoleh maka dapat dinyatakan bahwa pada pengolahan limbah dengan memanfaatkan kultur lokal ini efektif pada penurunan kadar warna yaitu sebesar 77% pada waktu pengolahan 384 dan 408 jam, sedangkan pengolahan ini tidak efektif dalam penurunan kadar COD.
-
1. Efektivitas pemanfaatan kultur lokal dalam bioreaktor kultur lokal dalam bioreaktor adalah berkaitan dengan pertumbuhan mikroorganisme
(seeding) dimana profil biomasanya cukup tinggi yaitu sebesar 4490 mg/L, kemudian dalam pertumbuhan biofilm profil biomasanya sebesar 3240 mg/L. Pada penelitian ini fokus pada pengolahan limbah bioreaktor dengan media biofilm secara aerobik
dimana pada pengolahan melibatkan penyimpanan awal yang bersifat anaerobik kemudian selanjutnya diolah dalam bak biofilm dan dilakukan penggenangan sebelum dilakukan pengukuran parameter akhir.
-
2. Pemanfaatan kultur lokal dalam bioreaktor dalam penelitian ini efektif pada penurunan parameter kadar warna yaitu sebesar 77% pada waktu pengolahan 384 dan 408 jam secara visualiasai terjadi perubahan warna limbah dari warna hitam menjadi warna merah muda bening, dan penurunan pH hanya efektif pada waktu pengolahan 6 jam serta pada penurunan COD tidak efektif dalam waktu pengolahan yang diamati.
-
1. Untuk meningkatkan kualitas air limbah perlu dilakukan penjagaan pH agar tidak terlalu asam yaitu dapat menggunakan bahan yang bersifat basa seperti penambahan dikalium fosfat (K2HPO4) dimana selain
sebagai nutrien mikroorganisme dalam media cair, juga dapat
menstabilkan pH.
-
2. Untuk meningkatkan pemanfaatan
kultur lokal dalam bioreaktor perlu dilakukan optimalisasi pada
pertumbuhan biofilm dengan
menggunakan media penopang yang berbeda seperti moving bed biofilm yang khusus dirancang untuk pertumbuhan biofilm selain itu dapat menggunakan media Trickling Filter seperti pecahan genting, kerikil, batu vulkanik. atau menggunakan botol plastik bekas yang digulung.
-
3. Untuk meningkatkan pemanfaatan kultur lokal dalam bioreaktor ini perlu menemukan kombinasi antara waktu dan biomassa (speed growth), dilakukan optimasi mikroorganisme yang menghasilkan enzim
pendegradasi warna dengan
penambahan oksigen atau nutrien serta pengolahan yang dibatasi misalnya maksimal 3 hari sehingga pengolahan lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Askuroini, M. 2019. Evaluasi Biodegradasi Kandungan Logam dan Dissolve Organic Carbon
Limbah Tenun Desa Troso, Tugas Akir, Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia.
Gaikwad, V., Panghal, A., Jadhav, S., Sharma, P., Bagal, A., Jadhav, A., Chhikara, N. 2018. Designing of Fermenter and Its Utilization in Food Industries. Preprints.
Janah, I.N., Muhimmatin, I. 2019. Pengelolaan Limbah Cair Industri Batik Menggunakan
Mikroorganisme di Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi.
Warta Pengabdian, 13 (3) : 106115.
Martiningsih, Rahmi, S.U. 2019.
Efektivitas Bakteri Indigenous Limbah Cair Batik untuk
Dekolorisasi Sisa Pencelupan Tekstil dengan Zat Warna Remazol Blue. Jurnal Wastukancana, Vol 9 (2) : 1-7.
Maulidya, I. 2020. Efektivitas Bakteri Indigenous dalam Mereduksi Zat Warna Pada Limbah. Tugas Akhir.
Program Studi Teknik
Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Universitas
Islam Indonesia. Yogyakarta.
Puspita, F., Ali, M., Pratama, R. 2017.
Isolasi dan Karakterisasi
Morfologi dan Fisiologi Bakteri Bacillus sp. Endofitik dari
Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). J. Agrotek.Trop., Vol.6(2):44-49. Sari, L.P. 2019. Pembuatan Media Pertumbuhan Bakteri dengan Menggunakan Umbi Jalar Cilembu (Ipomoea batatas (L.) Lam) untuk Bakteri Lactobacillus acidophilus, Salmonella typhii dan Escherichia coli. Tugas Akhir. Program Studi Sarjana Farmasi. Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera Utara. Medan. |
Supriatna, Mahmudi,M., Musa, M.,Kusriani. 2020. Hubungan pH dengan Parameter Kualitas Air pada Tambak Intensif Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Journal of Fisheries and Marine Research, Vol 4 (3): 368-374. Widiantara, I.K., Suyasa, I.W.B., Diara, I.W. 2018. Implementasi Biosistem untuk Pengolahan Air Limbah Laundry. Ecotrophic, Vol.12 (1):28-33. |
Simbolon, N.C., Wijaya, I.M.M., Gunam, I.B.W. 2018. Isolasi dan Karakterisasi Khamir Potensial Penghasil Bioetanol dari Industri Arak di Karangasem Bali. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Agroindustri, Vol.6(4):316-326. |
Zasada, A.A., Mosiej, E. 2018. Contemporary Microbiology and Identification of Corynebacterium spp. Causing Infections in Human, National Institute of Public HealthNational Institute of Hygiene. Departement of Sera and Vaccines Evaluation. Chocimska 24. 00-791 Warsaw. Poland. |
ECOTROPHIC • 16(1): 20-35 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN: 2503-3395
35
Discussion and feedback