KOMPOSISI JENIS DAN KONDISI MANGROVE DI TELUK GILIMANUK, TAMAN NASIONAL BALI BARAT
on
Komposisi Jenis dan Kondisi Mangrove di Teluk.., [Miftachudin Syaiful Ma’ruf, dkk]
KOMPOSISI JENIS DAN KONDISI MANGROVE DI TELUK GILIMANUK, TAMAN NASIONAL BALI BARAT
Miftachudin Syaiful Ma’ruf*, I Wayan Arthana, Ni Made Ernawati
Prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Denpasar-Bali
*Email: miftahudin691@gmail.com
ABSTRACT
COMPOSITION OF TYPES AND CONDITIONS OF MANGROVES IN GILIMANUK BAY, WEST BALI NATIONAL PARK
Mangrove ecosystems have an important role, both for biota and humans. The level of density and mangrove cover is one illustration to determine the level of damage to mangroves. This study aims to determine the species composition and the level of mangrove damage based on the density and percentage of canopy cover of mangroves in Gilimanuk Bay. This research was conducted in February 2021. The determination of the sampling point was carried out using the purposive sampling method. Mangrove data retrieval was performed using a plot 10x10 m2 with a total number of plots were 31 plots. The results showed that there were 11 types of mangroves from 7 different families in Gilimanuk Bay. The most common type of mangrove found was Ceriops tagal (45,84 %) and the least was Xylocarpus granatum (0,13 %). Mangrove density in Gilimanuk Bay is 2390,32 ind/ha, and canopy cover is 83,84%, which shows that the condition of mangroves in Gilimanuk Bay is included in the good category (very dense).
Keywords: Mangrove; Gilimanuk Bay; Density; Canopy coverage
Mangrove adalah kelompok tumbuhan yang dapat bertahan hidup di daerah intertidal atau pasang surut. Komunitas mangrove hidup di kawasan pesisir yang terlindung di daerah tropis dan subtropis, dimana hampir 75% tanaman mangrove hidup di antara 35o LU - 35o LS (Supriharyono, 2009). Mangrove memegang peran penting dalam ekosistem, dimana interaksi yang kompleks antara sifat fisik, kimia dan biologi terjadi pada ekosistem ini. Ekosistem mangrove yang tumbuh di wilayah pesisir dapat menjadi habitat yang sangat potensial bagi beragam biota perairan. Berdasarkan fungsi fisiknya mangrove berguna untuk melindungi
pantai dari gempuran ombak dan angin, mencegah abrasi serta erosi, dan mampu menahan intrusi air laut. Selain itu akar dari mangrove juga mampu mengikat serta menstabilkan substrat lumpur. Berdasarkan fungsi ekologis, mangrove memiliki peran sebagai tempat memijah, mencari makan serta tempat pembesaran bagi beragam jenis biota perairan. Selain itu mangrove juga memiliki fungsi sebagai penghasil serasah, yang penting bagi plankton dan menjadi salah satu sumber makanan utama biota laut (Lestari, 2015).
Pentingnya peran ekosistem mangrove bagi lingkungan sekitar membuat ekosistem ini harus dikelola dan dijaga kelestariannya dengan baik. Salah satu lembaga yang mengelola ekosistem mangrove adalah Taman
Nasional Bali Barat (TNBB). TNBB memiliki ekosistem hutan mangrove yang terletak di wilayah pesisir (coastal tidal area) yang terus menerus atau teratur tergenang air laut. Penyebaran luas hutan mangrove di TNBB meliputi Teluk Gilimanuk, Tegal Bunder, Teluk Terima dan Teluk Banyu Wedang. Sementara untuk sebaran yang relatif kecil ada di wilayah Prapat Agung, Teluk Kelor dan Teluk Kotal (Balai Taman Nasional Bali Barat, 2013).
Mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dapat diklasifikasikan sebagai mangrove yang berasosiasi maupun mangrove asli (mayor dan minor). Untara (2009) menemukan kurang lebih 18 spesies dari 13 suku, baik berupa pohon, perdu maupun herba, terdapat di hutan mangrove TNBB. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendata jenis mangrove
dan mengetahui kondisi mangrove berdasarkan kerapatan dan tutupan kanopinya.
Penelitian ini dilakukan di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat. Penelitian dilakukan di bulan Februari 2021 selama 1 bulan, dan pengambilan data dilakukan saat air laut sedang surut. Subyek penelitian ini adalah vegetasi mangrove di kawasan Teluk Gilimanuk (Gambar 1). Dalam penelitian ini terdapat 31 plot, dimana setiap plot ditentukan secara purposive sampling, dimana setiap lokasi titik ditentukan dengan pertimbangan tertentu seperti askes masuk, keragaman jenis, ketebalan mangrove, dan jarak antar plot.
apa saja yang terdapat di Teluk Gilimanuk

Gambar 1.
Lokasi Penelitian di Kawasan Teluk Gilimanuk Taman Nasional Bali Barat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kamera, buku identifikasi mangrove, alat tulis, roll meter, GPS, tali rapia, meteran, pH meter, refraktometer, dan termometer.
-
A. Identifikasi Jenis dan Kerapatan Mangrove
Pengamatan kerapatan dan
identifikasi jenis mangrove dilakukan dengan menggunakan plot sampling yang berukuran 10 x 10 m2. Pemilihan plot dengan jarak 1 plot ke plot berikutnya ditentukan sepanjang garis tegak lurus hutan mangrove dari arah perairan ke arah daratan. Jarak antar transek garis ke transek lainya adalah ± 100 meter,
sedangkan banyaknya transek dari perairan kearah daratan bergantung kepada ketebalan dari hutan mangrove. Plot-plot berbentuk persegi berukuran 10 x 10 m2 digunakan untuk mengamati tingkat pohon (keliling ≥ 16 cm) (Bengen, 2004).
-
B. Pengamatan Tutupan Kanopi
Mangrove
Persentase tutupan mangrove dihitung dengan metode hemisperichal photography. Hemispherical photography merupakan suatu metode fotografi yang dapat melihat tutupan kanopi mangrove atau tutupan kanopi hutan darat melalui foto dengan menggunakan alat bantu kamera handphone. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kamera handphone untuk mengambil foto yang diarahkan tegak lurus ke arah langit dengan posisi tangan lurus setinggi dada (Purnama et al., 2020). Setiap plot 10 x 10 m2 dibagi menjadi beberapa
subplot/kuadran dimana posisi
pengambilan foto tergantung dari kondisi
hutan mangrovenya (Dharmawan et al., 2020).
-
C. Parameter lingkungan
Parameter lingkungan yang diukur pada tiap plot di Teluk Gilimanuk meliputi suhu, salinitas dan pH.
-
A. Perhitungan Nilai Kerapatan Mangrove
Kerapatan suatu jenis dalam
komunitas merupakan jumlah nilai individu atau jenis per luas petak contoh. Nilai kerapatan merupakan cara yang dipakai untuk mengetahui nilai kerapatan jenis untuk semua jenis (Syarifuddin dan Zulharman, 2012). Perhitungan nilai kerapatan ditentukan dengan rumus yang ada pada Dharmawan et al. (2020), yaitu:
K = - (1)
Keterangan:
K= nilai kerapatan jenis (ind/ha); ni=jumlah total tegakan spesies; A=luas daerah sampling (ha).
Penentuan status kondisi kerusakan mangrove mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, dengan kriteria yang tertera dalam (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan
Mangrove
Kriteria |
Tutupan (%) |
Jumlah (Ind/ha) |
Sangat |
≥ 75 |
≥ 1500 |
„ Padat | ||
Baik a a | ||
≥ 1000 – | ||
Sedang |
≥ 50 - < 75 |
1500 |
Rusak Jarang |
< 50 |
< 1000 |
Penelitian ini menunjukkan bahwa komposisi mangrove di Teluk Gilimanuk terdiri dari 7 suku yang berbeda yaitu Sonneratiaceae, Rhizophoraceae,
Combretaceae, Euphorbiaceae,
Myrsinaceae, Myrtaceae, Meliaceae. Terdapat 11 spesies mangrove yang ditemukan yakni Sonneratia Alba, Ceriops tagal, Rhizophora apiculata, Rhizophora Stylosa, Rhizphora lamarckii, Lumnitzera racemose, Excoecaria agallocha,
Aegiceras floridum, Osbornia octodonta,
Xylocarpus granatum, dan Xylocarpus moluccensis. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini lebih banyak dibandingkan dengan mangrove yang ditemukan pada kawasan pesisir Kabupaten Muna Barat di Sulawesi Tenggara, dimana pada kawasan tersebut ditemukan sebanyak 10 jenis mangrove (Rahman et al., 2020). Jumlah mangrove yang ditemukan di kawasan Teluk Gilimanuk masih lebih sedikit jika di bandingkan dengan jenis mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai di Bali, dimana jumlah jenis yang ditemukan di kawasan tersebut berjumlah 12 jenis mangrove (Andika et al., 2019).

-
■ Ceriops tagal
-
■ Sonneratia alba
-
■ Rhrizophora apiculata
-
■ Rhizophora Stylosa
-
■ Rhizophora lamarckii
-
■ Lumnitzera racemosa
-
■ Excoecaria agallocha
-
■ Aegiceras floridum
-
■ Osbornia octodonta
-
■ Xylocarpus granatum
Gambar 2.
Persentase Jenis Mangrove Ditemukan dalam Plot
Berdasarkan Gambar 2 di atas dapat diketahui bahwa jenis yang paling banyak ditemui adalah jenis Ceriops tagal dengan presentase sebesar 45,84%, dan jenis yang paling sedikit ditemui adalah jenis Xylocarpus granatum dengan presentase sebesar 0,13%. Hal ini dapat terjadi karena substrat di wilayah Teluk Gilimanuk sebagian besar merupakan lumpur berpasir dan merupakan wilayah yang selalu terkena pasang surut sehingga salinitas di lingkungan tersebut tegolong tinggi yang sangat cocok dengan tempat hidup dari jenis Ceriops tagal. Menurut
Noor et al. (2006) mangrove jenis Ceriops tagal biasanya tumbuh dengan membentuk belukar yang rapat dan terletak di tepi daratan dari hutan yang terjadi pasang surut dan/atau di daerah yang tergenang dengan substrat yang memiliki sistem drainase yang baik.
Jenis suku yang paling banyak ditemukan pada kawasan mangrove yang ada di Teluk Gilimanuk adalah suku Rhizophoraceae. Yang mana hal ini terjadi juga dalam penelitian yang dilakukan oleh Hidayatullah dan Pujiono (2014) di kawasan Goo Sepang, Kecamatan Boleng,
Kabupaten Manggarai Barat, dimana komposisi jenis mangrove yang ditemukan serta mendominasi adalah mangrove yang berasal dari suku Rhizophoraceae. Hal ini juga yang terjadi pada penelitian Kiruba-Sankar et al. (2018) yang dilakukan di kawasan mangrove Kepulauan Andaman, dimana suku mangrove yang mendominansi berasal dari suku Rhizophoraceae. hal ini mungkin terjadi dikarenakan kondisi dari lingkungan di lokasi penelitian sesuai bagi suku ini untuk menunjang pertumbuhan serta penyebarannya, sehingga proses adaptasi dari suku ini dapat lebih baik dibandingkan dengan suku lainnya. Hal tersebut juga didukung dengan pernyataan Silaen et al. (2013) bahwa kemampuan suku ini dapat beradaptasi lebih baik dengan faktor-faktor lingkungan jika dibandingkan dengan jenis lainnya.
Total jumlah nilai kerapatan pohon yang didapat di kawasan Teluk Gilimanuk
adalah 2390,32 ind/ha dan kondisi mangrove masuk dalam kategori baik (sangat padat). Tingkat kerapatan tertinggi ada pada jenis Ceriops tagal dengan jumlah 1174,19 ind/ha dan terendah ada pada jenis Xylocarpus granatum dengan jumlah 3,23 ind/ha. Data selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai kerapatan dari jenis Ceriops tagal menjadi yang tebesar diantara jenis lainnya, hal ini dapat terjadi dikarenakan jumlah dari jenis ini ditemukan dalam plot terbilang paling banyak dibanding jenis lainnya, sebaliknya nilai kerapatan dari jenis Xylocarpus granatum memiliki nilai paling rendah dikarenakan jenis ini paling sedikit dijumpai dalam plot. Hal ini juga disampaikan oleh Mughofar et al. (2017) bahwa nilai kerapatan yang didapat pada suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas. Semakin tinggi kerapatan suatu jenis yang didapat, maka dapat dikatakan semakin banyak individu jenis tersebut dijumpai dalam per satuan luas.

Gambar 3.
Kerapatan Mangrove di Teluk Gilimanuk
Hasil perhitungan pada komposisi mangrove yang di temukan menunjukan bahwa nilai kerapatan tertinggi terdapat pada jenis Ceriops tagal dengan nilai kerapatan jenis sebanyak 1174,19 ind/ha
dan nilai kerapatan terendah terdapat pada jenis Xylocarpus granatum dengan nilai kerapatan jenis sebanyak 3,23 ind/ha. Nilai kerapatan dari jenis Ceriops tagal menjadi yang terbesar diantara jenis
lainnya hal ini dikarenakan jumlah dari jenis ini yang di temukan dalam plot terbilang paling banyak dibanding jenis lainnya, sebaliknya nilai kerapatan dari jenis Xylocarpus granatum memiliki nilai paling rendah karena jenis ini paling sedikit dijumpai dalam plot. Nilai total kerapatan dari seluruh jenis adalah 2390,32 ind/ha yang mana berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, hasil tersebut masuk ke dalam kategori kondisi mangrove baik (sangat padat).
Kondisi kerapatan yang baik ini dapat terjadi dikarenakan kondisi lingkungan di kawasan Teluk Gilimanuk sangat baik bagi pertumbuhan mangrove dimana tidak terdapat banyak sampah yang dapat menghambat pertumbuhan dari mangrove itu sendiri, selain itu kawasan Teluk Gilimanuk sendiri dapat dikatakan masih belum banyak terdapat aktifitas manusia yang dilakukan di kawasan tersebut. Hal ini juga seperti yang disampaikan dalam pernyataan Salim et al. (2019) dimana tingginya kerapatan jenis mangrove disuatu kawasan dapat disebabkan oleh kondisi lingkungannya seperti dari jenis substrat, kurangnya sampah disekitar lokasi plot sehingga tidak menghambat pertumbuhan mangrove, dan jarak dari pohon satu ke pohon lainnya tidak terlalu berjauhan. Nanulaitta et al. (2019) juga mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi sebab mengapa rendahnya tingkat kerapatan pohon pada
suatu kawasan, faktor yang paling sering terjadi karena adanya aktifitas pembangunan sehingga tingkat vegetasi dari pohon mangrove berkurang. Selain aktivitas manusia, faktor lain yang juga turut berpengaruh terhadap rendahnya nilai kerapatan jenis pada mangrove adalah bagian akar pohon mangrove itu sendiri yang cenderung besar sehingga dapat menghambat pertumbuhan dari mangrove tersebut dan berakhir menjadi tidak optimal pertumbuhannya, rendahnya nilai kerapatan mangrove pada tingkat pohon juga memiliki keuntungan bagi semai yang tumbuh, karena cahaya matahari dapat dengan mudah masuk menembus dan menyinari semai yang tumbuh.
Pada penelitian ini hasil tutupan kanopi rata-rata adalah 83,84%. Gambar 4 menunjukkan grafik nilai presentase tutupan kanopi dari setiap plot yang diambil pada saat penelitian. Tajuk pohon terbentuk dari cabang – cabang dan daun pohon yang saling tumpang tindih. Peran kanopi pada mangrove dapat mempengaruhi proses fotosintesis. Purnama et al. (2020) mengatakan bahwa berdasarkan bentuk dan kerapatan tajuk, jika semakin rapat tajuk maka semakin sulit cahaya matahari menembus kanopi pohon sehingga mangrove dengan kategori anakan dan semai kurang mendapatkan sinar matahari yang cukup.

Gambar 4.
Nilai Persentase Tutupan Kanopi (%), dari Plot 1 sampai dengan Plot 31
Nilai presentase tutupan tertinggi ada pada plot 18 dengan nilai 94,62%, dan nilai presentase tutupan tertendah ada pada plot 65,41%. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, nilai tutupan mangrove yang ada di Teluk Gilimanuk pada saat penelitian ini dilakukan termasuk dalam kategori baik sangat padat dikarenakan nilai presentase tutupannya lebih dari 75%. Tinggi rendahnya nilai tutupan kanopi diduga berhubungan dengan kondisi dari lingkungan hidup dari mangrove itu sendiri. Nilai tutupan mangrove yang baik ini dapat terjadi dikarenakan lingkungan mangrove di Teluk Gilimanuk termasuk subur bagi kehidupan mangrove sehingga nilai tutupannya menjadi tinggi. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Purnama et al. (2020) bahwa tinggi rendahnya nilai tutupan kanopi akan berhubungan dengan kondisi dari lingkungan hidup dari mangrove itu sendiri. Berdasarkan bentuk dan kerapatan kanopi, semakin rapat kanopi maka akan semakin sulit cahaya matahari dapat menembus kanopi pohon sehingga mangrove dengan kategori anakan dan semai akan kurang dalam mendapatkan kebutuhan sinar matahari dan menyebabkan pertumbuhannya kurang optimal.
-
3.4 Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan Ekosistem Mangrove Teluk Gilimanuk
Hasil pengukuran rata-rata parameter lingkungan menunjukan bahwa suhu rata-rata dari ke-31 plot adalah 28,7oC, nilai salinitas rata-rata adalah 28 ppm, dan nilai pH rata-rata adalah 6,6. Suhu yang didapatkan pada saat penelitian dari ke-31 plot yang diambil memiliki rata-rata nilai sebesar 28,7oC yang artinya suhu di wilayah Teluk Gilimanuk masih sesuai untuk tempat tumbuh kembang mangrove. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Parmadi et al. (2016) yang
mengatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan mangrove tidak kurang dari 20oC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5oC.
Nilai salinitas rata-rata pada lokasi penelitian bekisar sebesar 28 ppt, yang berarti nilai salinitas rata-rata pada lokasi masih berada pada batas normal. Menurut pendapat Mughofar et al. (2018)
lingkungan asin (bergaram) diperlukan untuk kestabilan ekosistem mangrove, seperti halnya banyak spesies yang kurang bersaing di bawah kondisi air tawar. tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 ± 30 ppt. Alwidakdo et al. (2014) juga
menambahkan bahwa tingkat perbedaan
salinitas sendiri dapat dipengaruhi oleh beragam faktor lain seperti curah hujan.
Pada penelitian ini nilai pH rata-rata di kawasan Teluk Gilimanuk berkisar 6,6 yang berarti substrat yang ada kawasan tersebut bersifat asam. Usman et al. (2013) mengatakan bahwa kondisi tanah pada area mangrove biasanya bersifat asam karena banyaknya bahan organik di kawasan itu. Samsumarlin et al. (2015) menambahkan bahwa nilai pH yang ada pada hutan mangrove akan lebih tinggi dibanding hutan lain yang tidak terpengaruh oleh salinitas air. Umumnya pH tanah pada hutan mangrove berada pada kisaran 6-7, meskipun ada beberapa yang nilai pH tanahnya di bawah 5.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan total nilai kerapatan mangrove di Teluk Gilimanuk adalah 2390,32 ind/ha dan nilai tutupan mangrove rata-ratanya adalah 83,84%. Berdasakan nilai kerapatan dan tutupan tersebut, mangrove di Teluk Gilimanuk masuk dalam kategori baik (sangat padat) sesuai dengan baku mutu yang ada pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 dimana nilai presentase tutupannya lebih dari 75% dan nilai total jumlah kerapatan lebih dari 1500 ind/ha.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa komposisi jenis mangrove yang ada di Teluk Gilimanuk terdiri dari 11 jenis mangrove dari 7 suku yang berbeda dan kondisi mangrove masuk ke dalam kondisi mangrove (kerapatan dan tutupan kanopi) masuk dalam kategori baik (sangat padat) sesuai dengan baku mutu yang ada pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 dimana nilai presentase tutupannya lebih dari 75% dan nilai total jumlah kerapatan lebih dari 1500 ind/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Alwidakdo, A., Azham, Z., dan Kamarubayana, L. 2014. Studi Pertumbuhan Mangrove Pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan
Mangrove. Agrifor, 13(1): 11–18.
Andika, I. B. M. B., Kusmana, C., Nurjaya, I. W. (2019). Dampak Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara Terhadap Ekosistem Mangrove di Teluk Benoa Bali. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural
Resources and Environmental
Management), 9(3): 641–657.
Bengen DG. 2004. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB, Bogor.
Dharmawan, I. W. E., Suyarso, Ulumuddin, Y. I., Prayudha, B., Pramudji. 2020. Panduan Monitoring Struktur Komunitas Mangrove di Indonesia. In COREMAP-CTI LIPI.
Hidayatullah, M., Pujiono, E. (2014). Struktur Dan Komposisi Jenis Hutan Mangrove Di Golo Sepang –
Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 3(2): 151–162.
Kiruba-Sankar, R., Krishnan, P., Dam Roy, S., Raymond Jani Angel, J., Goutham-Bharathi, M. P., Lohith Kumar, K., Ragavan, P., Kaliyamoorthy, M., Muruganandam, R., Rajakumari, S., Purvaja, R., Ramesh, R. (2018). Structural complexity and tree species composition of mangrove forests of the Andaman Islands, India. Journal of Coastal Conservation, 22(2), 217–234.
Lestari, S. 2015. “Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove (Rhizophora sp) di Desa Durian dan Desa Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin kabupaten
Pesawaran” (Skripsi). Jurusan
Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung.
Mughofar, A., Masykuri, M., Setyono, P. (2018). Zonasi Dan Komposisi Vegetasi Hutan Mangrove Pantai Cengkrong Desa Karanggandu Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur. Jurnal Pengelolaan
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management),
8(1) :77-85.
Nanulaitta, E. M., Tulalessy, A. H., Wakano, D. (2019). Analisis Kerapatan Mangrove Sebagai Salah Satu Indikator Ekowisata di Perairan Pantai Dusun Alariano Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah. Ojs Unpati, 3(2):217-226.
Noor, Y.R., Khazali, M., Suryadiputra, I.N.N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor (ID):PHKA/WI-IP
Parmadi, E. H., Dewiyanti, I., & Karina, S. (2016). Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove Di Kawasan Kuala Idi , Kabupaten Aceh Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Dan Perikanan Unsyiah, 1(1): 82–95.
Purnama, M., Pribadi, R., Soenardjo, N. (2020). Analisa Tutupan Kanopi Mangrove Dengan Metode
Hemispherical Photography di Desa Betahwalang, Kabupaten Demak. Marine Research, 9(3), 317-325.
Rahman, R., Wardiatno, Y., Yulianda, F., Rusmana, I. (2020). Sebaran spesies dan status kerapatan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural
Resources and Environmental
Management), 10(3): 461-478.
Salim, G., Rachmawani, D., Agustianisa,
-
R. (2019). Hubungan Kerapatan Mangrove Dengan Kelimpahan Gastropoda Di Kawasan Konservasi Mangrove Dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan. Jurnal Harpodon Borneo, 12(1): 9-19.
Samsumarlin, Rachman, I., & Toknok, B. (2015). Studi Zonasi Vegetasi Mangrove Muara di Desa Umbele Kecamatan Bumi Raya Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah. Warta Rimba, 3(2):148–154.
Silaen, I.F, Hendrarto, B., Supardjo, M. N. (2013). Distribusi dan Kelimpahan Gastropoda Pada Hutan Mangrove Teluk Awur Jepara. Journal of Management of Aquatic Resources, 2(3): 93-103.
Supriharyono (2009). Konservasi
Ekosistem Sumberdaya Hayati dan Wilayah Pesisir dan Laut Tropis (Cetakan Pertama, Edisi Kedua).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syarifuddin, A., Zulharman. (2012).
Analisa Vegetasi Hutan Mangrove Pelabuhan Lembar Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat. Jurnal Gamma, 7(2), 1–13.
[TNBB] Taman Nasional Bali Barat. 2013. Laporan Tahunan Kegiatan Penyidikan dan Perlindungan Hutan BTNBB 2012. Bali: Taman Nasional Bali Barat.
Untara, G.D.2009. Buku Informasi Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Bali Barat. Ed: Bambang Darmadja dan IPG Arya Kusdyana. Balai Taman Nasional Bali Barat. Jl.Raya Cekik-Gilimanuk, Bali 82253
Usman, L., Syamsuddin, & Hamzah, S. N. (2013). Analisis vegetasi mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan, 1(1), 11–17.
173
ECOTROPHIC • 16(2): 153-173 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN: 2503-3395
Discussion and feedback