KAJIAN KERUSAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) GILI SULAT DAN GILI LAWANG LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT
on
ECOTROPHIC • 8 (1) : 9 - 16
ISSN : 1907-5626
KAJIAN KERUSAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) GILI SULAT DAN GILI LAWANG LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT
Ahmad Subhan1) , I.P.G Ardhana2) , Joko Wiryatno2)
-
1) Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Udayana
-
2) Fakultas MIPA Universitas Udayana
Email : [email protected]
ABSTRACT
Coral reef and its life within is a high value natural resources. Management of KKLD GiliSulat-GiliLawas has been going for 8 years, however the management was still not maximal, in particular on preservation of coral reef ecosystem in the conservation area, and community commitment in managing and conserving fish resources and other biota. Therefore, to improve management planning, study need to be done with the aim to find out destruction level of coral reef at KKLD GiliSulat – GiliLawang, based on coverage percentage, fishermen, private sector and government perception. Also to identify policy related with coral reef management in this area, then to formulate its management strategies. Results of the survey shows that in general, average condition of the coral reef in this area is fair (lifeform= 49,26%). Recommended management strategies in KKLD GiliSulat-GiliLawang include SO strategies (Strength - Opportunity) which are coral reef management should be based on ecotourism, increasing community involvement in managing the coral reed and improve institutional strength of KPPL, and maximizing function and task of UPTD KKLD. WO strategies (Weakness - Opportunity) are increasing monitoring, give training on coral reef conservation, improving partnership in management, and increasing quality and quantity of KKLD human resources. ST strategies are (Strength – Threats) socialization of regulation, increasing effective coordination among stake holder, accurate analysis of environmental impact and improve research and sustainable diversification on fishing businesses. WT strategies are (Weakness-Threats) compliance to law, involving all parties in every decision made and making a good coastal areas plan.
Key words : Marine conservation; coral reef; GiliSulat-GiliLawang
Salah satu bentuk upaya perlindungan sumberdaya alam yang dapat dilakukan adalah melalui konservasi dengan cara menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL).Melalui program Co-fish di Kabupaten Lombok Timur di akhir tahun 2003 dilakukan penataan kawasan konservasi laut (KKL) di kawasan Gili Sulat dan Gili Lawang. Penataan kawasan konservasi laut ini dilakukan karena terjadinya penurunan sumberdaya perikanan di Kecamatan Sambelia (Indrawasih dan Imron, 2004).
Pengelolaan KKLD Gili Sulat–Gili Lawang sudah berjalan 8 (delapan) tahun, namun pengelolaannya masih belum maksimal terutama pada perlindungan ekosistem terumbu karang yang ada didalam kawasan konservasi dan komitmen masyarakat dalam rangka pengelolaan dan pelestarian fungsi sumberdaya ikan dan biota lainnya. Berdasarkan pertimbangan potensi yang ada di kawasan KKLD Gili Sulat–Gili Lawang dan
sekitarnya dengan beberapa ekosistem pesisir laut yang ada, khususnya terumbu karang, maka kawasan ini memerlukan sebuah strategi pengelolaan secara optimal dengan memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutan dan perlindungan kelestariannya, khususnya terhadap pengelolaan terumbu karang. Oleh karena itu, agar arah pengelolaan terencana dengan baik maka perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang tingkat kerusakan terumbu karang dan strategi pengelolaannya di kawasan konservasi dan strategi pengelolaan terumbu karang yang ada di KKLD Gili Sulat–Gili Lawang.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kerusakan terumbu karang yang ada di sekitar Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Gili Sulat – Gili Lawang dilihat dari persentase tutupan, Identifikasi kebijakan yang terkait dengan pengelolaan terumbu karang yang ada di KKLD Gili Sulat - Gili Lawang dan untuk mencari strategi pengelolaan terumbu karang yang ada di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Gili Sulat – Gili Lawang.
Lokasi penelitian dilakukan di KKLD Gili Sulat dan Gili Lawang Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan unit analisis persentase tutupan karang (life form), persepsi masyarakat nelayan, swasta dan pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Mei 2012. Data primer tentang kondisi terumbu karang diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan dengan metode Line Intercept Transect, besar persentase tutupan karang mati, karang hidup, dihitung dengan rumus seperti pada persamaan 1 (English et al., 1997):
a
C = x 100% (1)
A
Dimana :
C = Presentase penutupan lifeform i a = Panjang transek lifeform i
A = Panjang total transek
Data primer dari persepsi masyarakat berupa data pengetahuan, sikap dan prilaku yang terkumpul dari hasil kuesioner, dilakukan analisis dan dibahas secara deskriptif kuantitatif yang selanjutnya dikualitatifkan, dengan tujuan untuk menyajikan, mendeskripsikan atau menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan secara jelas dan sistimatis Selanjutnya untuk menyusun strategi pengelolaan terumbu karang di KKLD Gili Sulat dan Gili Lawang dilakukan analisis faktor internal dan eskternal berpengaruh yang mencakup kondisi
terumbu karang, persepsi masyarakat nelayan peran swasta, dan peran pemerintah daerah Kabupaten Lombok Timur. Kegiatan analisis ini dilakukan dengan menggunakan metode KEKEPAN/ SWOT yaitu analisis alternatif yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis (Rangkuti, 2006).
Struktur komunitas terumbu karang yang ada di KKLD Gili Sulat–Gili Lawang berdasarkan hasil survey secara umum teridentifikasi sebanyak 18 jenis diantaranya Acropora millepora, A. nobilis, A. intermedia, A. valenciennesi, A. humilis, Anacropora spinosa, Pavona venosa, Echinopora pacificus, Porites cylindrical, Euphylla ancora, E. crstata, E. glabrenscens, E.divisa, Ctenactis echinata, Fungia concinna, Millepora intrincata, Goniastrea ramose, dan Goniastrea minuta.
Secara umum persentase tutupan karang hidup (lifeform) terumbu karang tergolong kategori sedang (lifeform = 49,26%). Berdasarkan hasil pengamatan terumbu karang di KKLD Gili Sulat–Gili Lawang menunjukan kondisi persentase tutupan karang hidup dan karang mati bervariasi disetiap transek (Tabel 1).
Tabel 1 menunjukkan terumbu karang yang kondisinya dalam kategori buruk ditemukan di transek 3 (tiga) dengan persentase terumbu karang
Tabel 1. Persentase Tutupan Terumbu Karang di KKLD (Gili Sulat - Gili Lawang)
Life Form Catagory |
Code |
Percent Cover/ Transect | |||
1 |
2 |
3 |
4 | ||
HARD CORAL |
42,46 |
41,48 |
27,08 |
49,58 | |
Acropora | |||||
Branching |
ACB |
8,04 |
17,00 |
6,48 |
19,00 |
Digitate |
ACD |
7,90 |
0,84 |
0,70 |
16,58 |
Anacropora | |||||
Branching |
CB |
- |
19,86 |
- |
6,52 |
Foliose |
CF |
13,50 |
- |
- |
- |
Massive |
CM |
9,42 |
3,44 |
0,48 |
7,48 |
Mushroom |
CMR |
0,50 |
0,34 |
- |
- |
Millepora |
CME |
3,40 |
- |
19,40 |
- |
OTHERS FAUNA |
- |
- |
- |
36,14 | |
Soft Coral |
SC |
- |
- |
- |
36,14 |
Sponges |
SP |
- |
- |
- |
- |
Zoanthids |
ZO |
- |
- |
- |
- |
ABIOTIK |
57,24 |
58,52 |
72,94 |
14,28 | |
Dead Coral |
DC |
- |
- |
- |
1,76 |
Dead Coral with Algae |
DCA |
2,26 |
- |
- |
- |
Sand |
S |
14,84 |
14,14 |
15.10 |
3,06 |
Rubble |
R |
29,46 |
37,38 |
49,24 |
8,36 |
Waters |
WA |
- |
- |
8,10 |
- |
Rock |
RCK |
10,68 |
7,00 |
0,50 |
1,10 |
hidup hanya 27,06 % berada di sebelah Barat Daya Gili Sulat pada titik koordinat 08o18’59.9" LS dan 116 o 42’18.8" BT, sedangkan kondisi persentase tutupan terumbu karang dengan kategori sedang ditemukan di transek 1 (satu) dengan titik koordinat 08o17’15.3" LS dan 116 o 40’51.3" BT dan transek 2 (dua) pada titik koordinat 08°18’12.3" LS dan 116°41’37.1" BT yang posisi kedua transek berada di sebelah selatan Gili Lawang. Nilai persentase tutupan di kedua transek ini adalah 42,76 % di transek 1 (satu) dan 41, 48 % di transek 2 (dua). Persentase tutupan yang kondisinya sangat baik berdasarkan pengamatan di lapangan terdapat di transek 4 (empat) pada titik koordinat 08o20’52.1" LS dan 116 o 44’28.5" BT dengan persentase tutupan 85, 72 %.
Kondisi terumbu karang di transek 3 (tiga) diindikasikan adanya kerusakan fisik (lampiran 10) yaitu adanya bongkahan karang mati dan serpihan karang disebabkan oleh aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potassium, hal ini didukung dari hasil kuisioner dari 48 responden yang dihimpun seputar pertanyaan penangkapan ikan dengan bom dan potassium, 27 responden menyatakan bahwa aktifitas penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (bom) dan bahan beracun (potassium) masih sering terjadi. Rendahnya persentase tutupan terumbu karang hidup di (transek 3) mengindikasikan bahwa masih ada tekanan terhadap ekosistem terumbu karang di sekitar transek. Hasil survei membuktikan bahwa di lokasi transek 3 masih ada aktivitas nelayan yang menangkap ikan baik menggunakan alat tangkap bagan perahu maupun aktivitas penyelaman untuk mencari ikan. Aktivitas nelayan untuk menangkap ikan di area terumbu karang dilakukan siang hari maupun malam hari. Westmacoot et.al, (2000), mengatakan bahwa terumbu yang mendapatkan gangguan manusia seringkali menunjukkan kemampuan yang rendah untuk pulih.
Kondisi terumbu karang pada transek 1 dan 2 berdasarkan persentase tutupan karang hidup termasuk dalam kategori sedang (42,46 % pada transek 1 dan 41,48 % pada transek 2). Kerusakan karang yang terjadi pada (transek 1 dan 2) di indikasikan karena aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom yang sudah lama terjadi yang ditandai dengan bentuk kerusakan karang berupa pecahan karang (rubble) sekitar 29,46 % pada transek 1 dan 37,38 % pada (transek 2).
Berdasarkan pengamatan in situ, tutupan terumbu karang hidup pada transek 4 tergolong sangat baik (sekitar 85,72 %), hal ini diduga karena letaknya berhadapan dengan Selat Alas yang dapat menyebabkan arus yang cukup deras, sehingga aktifitas nelayan untuk menyelam menangkap ikan dengan menggunakan racun sianida sedikit kesulitan. Letak transek 4 yang berdekatan dengan aktifitas budidaya kerang mutiara juga dapat
menambah keamanan dari aktifitas nelayan yang merusak, karena di lokasi sekitar 10 Ha area budidaya dilakukan pengawasan ketat oleh petugas keamanan untuk menjaga kerang yang dibudidayakan. Setiap saat, tidak jauh dari transek 4 petugas keamanan melakukan patroli mengelilingi kawasan budidaya.
Pada transek 4 juga ditemukan adanya kerusakan karang, terutama pada jenis karang Porites cylindrical (Lampiran 12). Kerusakan karang ini diduga disebabkan karena pemangsaan oleh jenis bintang laut (Achantaster plancii), secara visual selama pengamatan ditemukan jenis bintang laut ini sebanyak satu individu terdapat di sekitar transek. Fraser et al. (2000) dalam Sudiono, (2008) menyatakan bahwa Crown–of–Thorn starfish/ COTs (Achantaster plancii) adalah predator karang yang dapat memakan karang seluas 5–13 meter persegi karang hidup dalam satu tahun. Menurut Kusumastuti (2004), Achantaster plancii merupakan salah satu penyebab kerusakan biologis terumbu karang, merupakan hewan pemangsa karang yang sangat ganas. Achantaster plancii menyukai daerah terumbu karang yang padat dengan persentase tutupan karang yang tinggi. Pada umumnya menyukai karang yang bercabang dengan bentuk pertumbuhan seperti meja.
Bervariasinya kerusakan disetiap titik pengamatan dari persentase tutupan terumbu karang dengan kategori sangat bagus sampai dengan persentase tutupan dengan kategori buruk dapat disebabkan karena perbedaan kondisi oseanografi yang memungkinkan keberadaan ikan yang jumlahnya berbeda-beda pula. Seperti pada transek 3 yang letaknya berdekatan dengan selat antara Gili Sulat dengan Gili Lawang yang berarus (arus pasang surut selalu ada) oleh karena posisi selat tegak lurus antara laut lepas dengan Pantai Sambelia. Selat ini memungkinkan tempat keluar masuknya ikan dari laut lepas menuju pantai pada saat arus pasang surut. Menurut Laevastu dan Hayes (1987) bahwa migrasi ikan-ikan dewasa disebabkan oleh arus.
Kerusakan karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) berdasarkan hasil pengamatan in situ jika dilihat dari bentuk kerusakannya yang berupa serpihan karang dan bongkahan karang dapat disebabkan oleh aktivitas nelayan dalam menangkap ikan dengan menggunakan bom dan potassium. Kerusakan karang juga dapat disebabkan oleh jangkar perahu nelayan yang berlabuh di lokasi terumbu karang. Aktifitas nelayan yang belum dapat terkendalikan di kawasan Gili Sulat dan Gili Lawang tersebut diindikasikan karena kurangnya pengawasan, dan kesadaran masyarakat atas peraturan-peraturan yang berlaku di kawasan konservasi. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap aturan yang ada dapat disebabkan karena rasa memiliki masyarakat nelayan terhadap ekosistem terumbu karang masih kurang.
Berdasarkan hasil analisis persepsi masyarakat nelayan yang ada di Kecamatan Sambelia didapatkan sikap, pengetahuan dan partisipasi yang bernilai posistif dimana tingkat persetujuan masyarakat nelayan terhadap pengelolaan KKLD Gili Sulat – Gili Lawang sekitar 77,81 % (rata-rata sangat setuju), tingkat pengetahuan masyarakat nelayan terhadap ekosistem terumbu karang sekitar 67,58 % (rata-rata tahu) dan persetujuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan terumbu karang sekitar 71,01 % (rata-rata setuju). Persepsi masyarakat nelayan di sekitar KKLD merupakan kekuatan dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Hasil analisis persepsi dan partisipasi masyarakat mengenai sikap masyarakat yang rata-rata setuju (sekitar 77,81 %) dengan pengelolaan KKLD Gili Sulat - Gili Lawang dan pengetahuan yang cukup baik atau rata-rata mempunyai pengetahuan terhadap kelestarian dan manfaat ekosistem terumbu karang (67,58%), menunjukkan keadaan yang kontradiksi dengan kenyataan dilapangan. Di sekitar kawasan konservasi berdasarkan hasil kuisioner dari masyarakat nelayan, bahwa masih ada aktifitas nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bom dan potassium serta tidak ada peningkatan hasil tangkapan nelayan. Hasil analisis persetujuan masyarakat nelayan terhadap pernyataan dalam kuisioner “Setelah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut daerah ada peningkatan hasil tangkapan dan tidak ada lagi aktifitas penangkapan menggunakan bom dan potassium´ persetujuan masyarakat nelayan terhadap butir pertanyaan tersebut sekitar 54,43% (rata-rata tidak setuju).
Masih adanya aktifitas pengeboman dan penangkapan ikan dengan potassium karena aktifitas ini dilakukan oleh nelayan luar (pendatang). Hasil wawancara dengan petugas pengelola KKLD Gili Sulat – Gili Lawang tahun 2011 terjadi 1 kali kasus penangkapan nelayan yang menggunakan bahan peledak yang kemudian diproses, nelayan ini diketahui berasal dari Pulau Sumbawa.
Aktifitas nelayan menggunakan bom dan potassium masih terjadi karena pengawasan oleh petugas maupun masyarakat belum maksimal. Walaupun tingkat persetujuan masyarakat nelayan untuk berpartisipasi cukup baik, tetapi dari hasil wawancara secara mendalam dengan petugas KKLD masyarakat masih mengandalkan keberadaan KKLD untuk menjaga dan mengawasi kawasan terumbu karang. Kegiatan pengawasan masih dianggap hanya dilakukan oleh petugas (pemerintah). Masyarakat juga tidak berani untuk menangkap pelaku pengeboman/potassium untuk menangkap ikan karena sulitnya mendapatkan bukti. Kondisi ini menunjukkan program kemitraan dalam pengelolaan KKLD belum terlaksana dengan baik,
sesuai dengan PP No. 60 Tahun 2007, pasal 18, menyebutkan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam mengelola KKP dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan / atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat adat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.
Konflik perebutan daerah penangkapan ikan diantara nelayan yang menggunakan alat tangkap bagan perahu dan nelayan yang menggunakan jaring bendera pernah terjadi pada tahun 2011, hal ini mengindikasikan bahwa adanya keterbatasan daerah penangkapan ikan (fishing ground) disekitar KKLD Gili Sulat dan Gili Lawang. Kawasan Konservasi Laut (KKL) seharusnya menunjukkan manfaat yang berarti berupa peningkatan biomas. Hasil studi Halpern (2003) dalam Hilyana (2011), menunjukkan bahwa secara rata-rata, kawasan konservasi telah meningkatkan kelimpahan (abundance) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keaneka ragaman hayati meningkat tiga kali lipat.
Rendahnya kualitas sumberdaya masyarakat menyerap teknologi untuk mendukung pengembangan perekonomian yang pada akhirnya menyebabkan tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah (rata-rata pendapatan masyarakat nelayan sekitar Rp 400.000,-) juga diduga menjadi penyebab adanya pemanfaatan sumberdaya perikanan tanpa memperhitungkan keberlanjutan. Tadjudin dan Effendi (1999) mengatakan rendahnya kualitas sumberdaya manusia menghambat perkembangan dan mendorong sumberdaya manusia terpuruk kedalam situasi tidak berdaya dan hidup dalam kemiskinan. Sebagai akibatnya sumberdaya manusia kehilangan kepercayaan diri dan banyak mengalami keputusasaan dan frustasi yang kemudian melahirkan sikap apatis dan diikuti dengan melemahnya keswadayaan masyarakat.
Persepsi pemerintah daerah berdasarkan jawaban 11 responden terhadap 7 butir pertanyaan didapatkan nilai sekor (159), setelah dianalisis diperoleh sekitar 51,62 % dari interval nilai tertinggi (308). Nilai 159 mendekati titik kurang baik artinya persepsi pemerintah daerah dalam upaya pengelolaan belum maksimal. Hal ini disebabkan karena dalam pengelolaan terumbu karang yang ada di KKLD Gili Sulat – Gili Lawang belum dilakukan program kemitraan, dalam Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi di Daerah, DKP (2008) dikatakan bahwa bahwa keterlibatan para pihak dalam pengelolaan sebuah KKLD dimaksudkan selain untuk mengakomodasi kepentingan para pihak terhadap KKLD, juga sebagai partner kerja unit organisasi pengelola dalam melakukan pengelolaan KKL. Keterlibatan para pihak dapat diakomodir dalam bentuk sebuah forum atau mitra KKLD atau sebutan lain yang sesuai dengan kondisi setempat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, bahwa pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 kegiatan pemerintah melalui proyek co fish sangat baik dalam pengelolaan Daerah Perlindungan Laut. Penguatan kelembagaan masyarakat yang mengelola kawasan laut daerah di bentuk Komite Pengelolaan Perikanan Laut (KPPL) yang terdiri dari anggota masyarakat. Koordinasi dengan intansi terkait juga dilakukan, pada tahun 2002 juga terdapat forum rapat koordinasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan dengan instansi terkait dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Pada saat itu juga di tetapkannya awiq-awiq pada setiap kawasan perairan Kabupaten Lombok Timur yang mengatur pemanfaatan sumberdaya kelautan. Setelah program co fish berakhir, program pengelolaan tersebut diatas tidak dapat dilanjutkan karena keterbatasan anggaran daerah.
Keberadaan KKLD yang telah berjalan sejak diterbitkannya No. SK 188.45/452/KP/2004 tentang Penetapan KKLD Gili Sulat – Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur dan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), hingga saat ini belum dapat memberikan perubahan yang signifikan baik pengaturan dan pengelolan sumberdaya alam pesisir, laut dan pulau-pulau kecil khususnya ekosistem terumbu karang yang ada di kawasan tersebut. Hasil kuesioner dari responden pemerintah sekitar 51,62 % menunjukkan peranan pemerintah berada didekat titik kurang baik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa komitmen Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kebijakan pemerintah belum maksimal.
Komitmen pemerintah daerah dalam mengelola KKLD belum maksimal, diduga karena biaya pengelolaan tidak secara langsung dapat meningkatkan pendapatan daerah. Keterbatasan anggaran daerah merupakan kendala utama pengelolaan kawasan konservasi terutama terkait dengan proses penerapan dan pemantauan pengelolan terumbu karang di kawasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari program-program kegiatan pengelolaan KKLD yang masih terfokus pada pengelolaan sarana dan prasarana dan tergantung pada program-program pemerintah pusat Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Program operasional pengawasan dan perlindungan laut diperuntukkan untuk semua daerah perlindungan laut yang ada di seluruh perairan Kabupaten Lombok Timur. Operasional kawasan konservasi laut daerah ditujukan untuk operasional kantor saja, selanjutnya program lainnya lebih banyak merupakan program pengembangan sarana dan prasarana.
Umumnya sarana prasarana yang dibangun jauh dari kantor pengelola berdasarkan pengamatan
dilapangan kondisinya tidak terawat dan sudah beberapa kali diperbaiki. Bahkan bahan kayu penyusun konstruksi bangunan pos jaga dan rumah jaga serta jembatan kayu (jetty) kondisi saat ini sebagian diambil oleh nelayan.
Pengelolaan pariwisata oleh Unit Pelaksana Teknis KKLD telah dilakukan dengan bekerjasama dengan kelompok Sugian Diving Club yang ada di masyarakat setempat. Aktivitas pariwisata di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang masih terbatas, bersifat insidental dan terbatas pada kegiatan penelitian. Hilyana (2011) bahwa kunjungan wisatawan mancanegara juga terbatas baik jumlah maupun lama waktu kunjungan ke obyek wisata di kawasan sekitar Gili Sulat - Gili Lawang. Wisatawan umumnya merupakan paket wisata travel skala internasional, meliputi Pulau Bali - Pulau Lombok (Mataram, Senggigi), - ke Gili Matra (Gili Air, Gili Meno, dan Gili Terawangan). Sebelum menuju obyek wisata Pulau Satonda Kabupaten Dompu wisatawan rata-rata tiga jam menikmati indahnya terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun yang berada di KKLD Gili Sulat - Gili Lawang. Rendahnya aktivitas wisata ini diakibatkan oleh masih terbatasnya sarana dan prasarana pendukung pariwisata seperti hotel, transportasi darat, transportasi laut, dan lainnya.
Program - program penelitian untuk melengkapi data perkembangan sumberdaya perikanan belum terkoordinir dengan baik oleh pengelola (UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan). Berdasarkan data kuisioner dan hasil pengamatan dilapangan bahwa pengelolaan dokumentasi hasil penelitian oleh pengelola tidak dilakukan dengan baik, sebagian besar hasil penelitian tidak dikirimkan ke pengelola begitu juga pihak pengelola tidak berusaha untuk mencari dan mengumpulkan hasil penelitian tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah, Pasal 8 ayat (2) Dalam rangka usaha pelestarian fungsi KKLD, Pemerintah Daerah mengikutsertakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan, lembaga penelitian swasta/Pemerintah ataupun Perguruan Tinggi secara langsung maupun tidak langsung didalam pengelolaannya.
Persepsi swasta untuk mendukung pengelolaan KKLD Gili Sulat-Gili Lawang sangat penting, terlihat dari hasil jawaban kuisioner bahwa 62,86 % dari responden swasta menunjukkan respon positif. Persepsi swasta terlihat menonjol pada sub pertanyaan mengenai keterlibatan lembaga swasta dalam pengawasan KKLD hal ini terutama pelaku wisata. Respon positif dari pihak swasta ini disebabkan karena pihak swasta yang ada di sekitar KKLD mendapatkan manfaat langsung dari indahnya panorama alam laut (terutama Pelaku Wisata) yang dapat dijual oleh mereka.
Hasil wawancara dengan beberapa pihak swasta (pemilik Home Stay dan Sugian Diving Club) yang langsung memanfaatkan sumberdaya daya perikanan untuk tujuan ekowisata akan berusaha untuk menjaga ekosistem tersebut dari aktifitas yang tidak bertanggung jawab. Begitu juga dengan pelaku budidaya mutiara, perusahaan telah ikut dalam menjaga ekosistem terumbu karang di sekitar kawasan budidayanya yang setiap saat di jaga ketat oleh karyawan (security). Terkait dengan penelitian sebagian besar pihak swasta tidak melakukan program kegiatan tersebut kecuali lembaga perguruan tinggi walaupun masih dilakukan oleh mahasiswa.
Strategi pengelolaan terumbu karang di KKLD Gili Sulat – Gili Lawang berdasarkan hasil analisis SWOT terdiri dari strategi SO (StrengthOpportunity), strategi WO (Weakness-Opportunity), strategi ST (Strength-Treats), dan strategi WT (Weakness-Treats).
Strategi SO (Strength-Opportunity) yaitu memanfaatkan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya diantaranya:
-
1. Strategi SO (Strength-Opportunity) bidang fisik terumbu karang bahwa dengan adanya dukungan faktor oseanografi dengan keberadaan ekosistem lain seperti mangrove dan padang lamun akan dapat menunjang pertumbuhan terumbu karang, maka perlu memanfaatkan teknologi rehabilitasi terumbu karang seperti kegiatan transplantasi karang dan pembuatan terumbu karang buatan. Terumbu karang yang kondisinya baik tentunya mempunyai nilai estetika, kondisi ini akan menunjang pengelolaan terumbu karang berbasis ekowisata.
-
2. Strategi SO (Strength-Opportunity) bidang persepsi. Kekuatan yang paling mendukung kegiatan pengelolaan adalah persepsi masyarakat nelayan yang positif dan adanya KPPL sebagai wakil masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang. Kekuatan persepsi masyarakat nelayan ini memberikan peluang dilakukannya pengelolaan berbasis masyarakat. Untuk itu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan keterlibatan masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan terumbu karang dan penguatan kelembagaan KPPL.
-
3. Strategi SO (Strength-Opportunity) bidang kebijakan. Banyaknya landasan hukum, peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman pelaksanaan pengelolaan terumbu karang merupakan kekuatan dalam pengelolaan, sehingga pengelolaan terumbu karang sesuai aturan-aturan dan status hukum yang ada, dan memaksimalkan fungsi serta tugas UPTD KKLD akan menjadi peluang prioritas program-
program pusat untuk masuk serta peluang penetapan KKLD menjadi KKP.
Strategi WO (Weakness-Opportunity) adalah mengurangi kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi WO diantaranya:
-
1. Strategi WO (Weakness-Opportunity) bidang fisik terumbu karang, adalah untuk melindungi terumbu karang agar tidak rusak, maka perlu dilakukan peningkatan pengawasan di sekitar kawasan, baik dilakukan oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah.dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, karena kemiskinan masyarakat dapat menyebabkan pemanfaatan sumberdaya laut yang eksploitatif.
-
2. Srategi WO (Weakness-Opportunity) bidang persepsi, walaupun persepsi masyarakat nelayan dan swasta positif tetapi tindakan masyarakat nelayan dalam penangkapan ikan secara eksploitatif yang bersumber dari rendahnya pendapatan masyarakat dan sumberdaya manusia masih terjadi sehingga perlu memberikan pelatihan-pelatihan dalam bidang konservasi terumbu karang, dan memotivasi masyarakat untuk berpatisipasi dalam pengawasan.
-
3. Strategi WO (Weakness-Opportunity) bidang kebijakan pemerintah. Jika melihat kelemahan mendasar dalam pengelolaan karena masalah anggaran maka perlu mengembangkan pola kemitraan dalam pengelolaan, dan untuk memaksimalkan fungsi UPTD KKLD dilakukan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas SDM petugas KKLD.
Strategi ST (Strength–Treats) ditentukan dengan mengurangi adanya ancaman potensial dengan kekuatan-kekuatan yang ada diantaranya adalah:
-
1. Strategi ST (Strength–Threats) bidang fisik terumbu karang. Ancaman masuknya aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan luar, maka diperlukan sosialisasi peraturan perundang-undangan terumbu karang. Ancaman kerusakan terumbu karang akibat berkembangnya ekowisata maka perlu diantisipasi dengan pembuatan pelampung tambat (mooring buoy)
-
2. Strategi ST (Strenght–Threats) bidang persepsi. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang mungkin terjadi dalam pengelolaan terumbu karang perlu melakukan koordinasi yang efektif antara stake holder
-
3. Strategi ST (Strenght–Threats) bidang kebijakan. Ancaman-ancaman terhadap terumbu karang dapat teratasi dengan pelaksanaan AMDAL yang akurat dalam setiap pembangunan di kawasan
KKLD sesuai dengan peraturan-peraturan dan pedoman yang ada dan pengembangan penelitian-penelitian. Untuk mengatasi ancaman terbatasnya fishing ground akibat diterapkannya no take zone maka yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah diversifikasi usaha bidang perikanan yang berkelanjutan.
Strategi WT (Weakness–Threats) merupakan strategi dengan mengurangi kelemahan-kelemahan pengelolaan dan mengantisipasi ancaman-ancaman yang dapat terjadi, diantaranya:
-
1. Strategi WT (Weakness–Threats) bidang fisik terumbu karang. Mengatasi berbagai ancaman kerusakan terumbu karang dan adanya kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan maka yang paling penting adalah penegakan hukum terhadap tindakan pelanggaran-pelanggaran sehingga menimbulkan efek jera terhadap pelaku.
-
2. Strategi WT (Weakness–Threats) terkait dengan persepsi. Mengantisipasi munculnya konflik horizontal dan vertikal dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Gili Sulat – Gili Lawang maka diperlukan keterlibatan semua pihak dalam setiap pengambilan keputusan dengan mengedepankan kelestarian ekosistem terumbu karang, ekonomi masyarakat, dan sosial budaya.
-
3. Strategi WT (Weakness–Threats) bidang kebijakan, untuk mengurangi ancaman yang akan terjadi dalam setiap kebijakan pengelolaan terumbu karang dan memperhatikan kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan sangat dibutuhkan penyusunan rencana tata ruang pesisir.
-
4. SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian tentang kerusakan terumbu karang dan strategi pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Gili Sulat – Gili Lawang dapat disimpulkan sebagai berikut:
-
1. Kondisi terumbu karang di KKLD Gili Sulat –
Gili Lawang menunjukkan kondisi yang bervariasi dari kategori rusak sampai dengan sangat baik yang secara umum persentase tutupan karang hidup (lifeform) terumbu karang tergolong dalam kategori sedang (lifeform = 49,26%).
-
2. Persepsi masyarakat nelayan berupa sikap persetujuan masyarakat nelayan terhadap pengelolaan terumbu karang di KKLD Gili Sulat – Gili Lawang menunjukkan rata-rata setuju (77,81 %), rata-rata mengetahui tujuan dan manfaat pengelolaan terumbu karang (67,58 %), persetujuan untuk berpartisipasi rata-rata
(71,01 %) dan swasta menunjukkan persepsi cukup baik (62,86 %).
-
3. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat dapat mempengaruhi kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan terumbu karang di daerah. Kebijakan Pusat tidak dapat menciptakan kemandirian Pemerintah Daerah dalam pengelolaan terumbu karang, karena Pemerintah Daerah khususnya Kabupaten Lombok Timur dihadapkan dengan permasalahan minimnya sumberdaya manusia dibidang konservasi dan keterbatasan anggaran yang akhirnya berakibat pada ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap kebijakan pusat.
-
4. Strategi pengelolaan terumbu karang di KKLD Gili Sulat – Gili Lawang yang direkomendasikan dalam penelitian ini:
-
a. Strategi SO (Strength - Opportunity) yaitu memanfaatkan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya diantaranya:
-
• Strategi SO (Strength - Opportunity) bidang fisik terumbu karang adalah memanfaatkan teknologi rehabilitasi terumbu karang seperti kegiatan transplantasi karang dan pembuatan terumbu karang buatan dan pengelolaan terumbu karang berbasis ekowisata.
-
• Strategi SO (Strength - Opportunity) bidang persepsi yaitu pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat dan meningkatkan keterlibatan masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan terumbu karang dan penguatan kelembagaan KPPL.
-
• Strategi SO (Strength - Opportunity) bidang kebijakan yaitu pengelolaan terumbu karang sesuai aturan-aturan dan status hukum yang ada, dan memaksimalkan fungsi serta tugas UPTD KKLD.
-
b. Strategi WO (Weakness - Opportunity) adalah mengurangi kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Strategi WO diantaranya:
-
• Strategi WO (Weakness - Opportunity) bidang fisik terumbu karang adalah peningkatan pengawasan di sekitar kawasan, baik dilakukan oleh masyarakat, swasta maupun pemerintah.dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir.
-
• Srategi WO (Weakness - Opportunity) terkait dengan persepsi yaitu memberikan pelatihan-pelatihan dalam bidang konservasi terumbu karang, dan memotivasi masyarakat untuk berpatisipasi dalam pengawasan.
-
• Strategi WO (Weakness - Opportunity) bidang kebijakan pemerintah yaitu mengembangkan pola kemitraan dalam pengelolaan, dan peningkatan kualitas dan kuantitas SDM petugas KKLD.
-
c. Strategi ST (Strength – Treats) ditentukan dengan mengurangi adanya ancaman potensial dengan kekuatan-kekuatan yang ada diantaranya adalah:
-
• Strategi ST (Strength – Threats) bidang fisik terumbu karang yaitu sosialisasi peraturan perundang-undangan terumbu karang dan pembuatan pelampung tambat (mooring buoy).
-
• Strategi ST (Strenght – Threats) bidang persepsi adalah meningkatkan koordinasi yang efektif antara stake holder.
-
• Strategi ST (Strenght – Threats) bidang kebijakan adalah pelaksanaan AMDAL yang akurat dalam setiap pembangunan di kawasan KKLD sesuai dengan peraturan-peraturan dan pedoman yang ada dan pengembangan penelitian-penelitian serta diversifikasi usaha bidang perikanan yang berkelanjutan.
-
d. Strategi WT (Weakness – Threats) merupakan strategi dengan mengurangi kelemahan-kelemahan pengelolaan dan mengantisipasi ancaman-ancaman yang dapat terjadi, diantaranya:
-
• Strategi WT (Weakness – Threats) bidang fisik terumbu karang adalah penegakan hukum.
-
• Strategi WT (Weakness – Threats) terkait dengan persepsi adalah melibatkan semua pihak dalam setiap pengambilan keputusan dengan mengedepankan kelestarian ekosistem terumbu karang, ekonomi masyarakat, dan sosial budaya.
-
• Strategi WT (Weakness – Threats) bidang kebijakan yaitu penyusunan rencana tata ruang pesisir.
Untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan terumbu karang di KKLD Gili Sulat – Gili Lawang, maka yang perlu dilakukan adalah:
-
1. Diperlukan komitmen dan kemandirian Pemerintah Daerah dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Gili Sulat – Gili Lawang berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
-
2. Pengelolaan dan pengembangan data terumbu karang secara berkala sebagai dasar pertimbangan tindak lanjut pengelolaan.
-
3. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu dengan memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Hilyana S. 2011. “Optimasi Pemanfaatan Ruang Kawasan Gili Sulat – Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur” (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
English, S, C. Wilkinson, dan V. Baker, 1994, Survey manual for tropical marine resources, Austtralian Institute of Marine Science, Townsville.
Kusumastuti A. (2004). “Kajian Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Perairan Bontang Kuala dan Alternatif Penanggulangannya” (Tesis). Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Laevastu, T., and M.L. Hayes. 1987. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing New Books Ltd. Farnham, Surrey. England.
Rangkuti F. 2006, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudiono G. 2008. Analisis Pengelolaan Terumbu Karang Pada Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Randayan dan Sekitarnya Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat. (tesis). Semarang: Program Megister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Semarang.
Tadjudin N dan Effendi, 1999. Strategi Pengembangan Masyarakat. Alternatif Pemikiran Reformatif. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik Vol. 3: No. 2 Tahun 1999.
Westmacott S., Teleki K., Wells S., dan West J., 2000. Pengelolaan Terumbu karang Yang Telah Memutih dan Rusak Kritis, Diterjemahkan oleh Jan Hanning Steffen IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, Inggris Information Press,Oxford.
16
Discussion and feedback