Model Kolaboratif Pengusaha Pariwisata dan Pengungsi dalam Konteks Bencana Erupsi Gunung Agung di Desa Wisata Kerta, Kabupaten Gianyar, Bali
on
p-ISSN: 2338-8811, e-ISSN: 2548-8937
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Model Kolaboratif Pengusaha Pariwisata dan Pengungsi dalam Konteks Bencana Erupsi Gunung Agung di Desa Wisata Kerta, Kabupaten Gianyar, Bali
Saptono Nugrohoa, 1, I Nyoman Sukma Aridaa, 2, I Nyoman Jamin Ariana b,3
-
1 saptono_nugroho@unud.ac.id, 2 sukma_arida@unud.ac.id, 3 jaminariana@unud.ac.id
-
a Program Studi S1 Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia
-
b Program Studi Sarjan Terapan Pengelolaan Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia
Abstract
This article seeks to find a sustainable model of handling refugees based on the kind of social solidarity that builds between refugees and tourism entrepreneurs amid the disaster. The research took place in Kerta Tourism Village, Gianyar Regency, Bali with the consideration of the unique phenomenon of productive and professional working relationship between the two actors. This fact is seen as able to deconstruct the stereotype of refugees as a group that only needs pity, resulting in a "santa claus" model of assistance. The implementation of research uses a qualitative approach. Qualitative approach to describe and explain phenomena or relationships between phenomena that are systematically reviewed, factual and accurate. The results showed the following findings: (i) economic settings between refugees and entrepreneurs are framed in the context of semi-productive relations; (ii) social settings between refugees and entrepreneurs are built on mechanical solidarity; and (iii) cultural settings between refugees and entrepreneurs are framed in the context of a volatile patron-client relationship, as well as (iv) the discovery of formulations in the form of participatory models of tourism stakeholders in the context of catastrophic eruptions.
Keywords: Tourism Entrepreneurs, Refugees, Disaster Eruptions, Collaborative Models
Pariwisata Bali telah berlangsung selama lebih dari satu abad (Anom, dkk,; 2017). Hal ini jika bertitik tolak dari bilangan waktu tahun 1914 ketika dibukanya Official Tourist Bureau di Buleleng. Dalam kurun waktu tersebut berbagai cerita manis dan terkadang getir mengiringi perjalanan pariwisata Bali (Dharmaputra, 2017).
Prestasi Bali sebagai destinasi wisata utama tidak diragukan. Pernah meraih predikat sebagai destinasi wisata terbaik di dunia 2017 versi Travellers Choice Award versi Tripadvisor (industri.bisnis.com) dan sebagai pulau terbaik berdasarkan Destin Asian Readers Choice Award (RCA) 2017 (www.solopos.com).
Tetapi di sisi lain terdapat masa-masa jeda pariwisata Bali. Bali telah berulang-ulang mengalami masa jeda disebabkan oleh multidimensi (dimensi alam, dimensi politik, dimensi ekonomi, dimensi kesehatan, dimensi keamanan dan dimensi lainnya). Pariwisata dengan demikian sangat tidak stabil karena rentan terhadap hal-hal yang menyangkut keamanan dan kenyamanan wisatawan serta masyarakat lokal (Mahagangga, 2020).
Seperti memasuki akhir tahun 2017, Bali telah mengalami ujian dengan adanya bencana erupsi Gunung Agung. Aktivitas Gunung Agung yang dimulai sejak pertengahan September 2017 menyebabkan adanya penurunan jumlah kunjungan wisatawan terutama wisatawan mancanegara (wisman) karena dikeluarkannya travel warning dari masing-masing negara asal wisatawan.
Badan Pusat Statistik (BPS) pusat mencatat kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) sepanjang waktu tersebut trennya terus menurun. Sebulan sebelum aktivitas seismik Gunung Agung
terlihat, kedatangan wisman ke Bali Juli 2017 mencapai 592.046 orang. Angka ini mengalami peningkatan 17,44 persen dibanding sebulan sebelumnya. Sepanjang September 2017, kunjungan wisman ke Bali tercatat 550.520 orang atau turun 8,53 persen dibanding sebulan sebelumnya. Tren penurunan ini kembali terjadi Oktober 2017 di mana kunjungan wisman di Bali hanya 465.085 orang atau turun dua kali lipat dibanding sebulan sebelumnya, yaitu 15,52 persen (BPS Bali, 2017).
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali juga mencatat kedatangan wisatawan menurun drastis selama krisis Gunung Agung. Turunnya kunjungan wisatawan juga berdampak pada kemampuan pengusaha melunasi utang bank. Perlu dilakukan reschedule atau penjadwalan ulang pelunasan kredit. Terlebih yang berada di zona bahaya Gunung Agung, usahanya pasti tidak berjalan (kompas.com).
Erupsi Gunung Agung selain berdampak pada dunia usaha yang dirasakan berat oleh pengusaha pariwisata, yang tak kalah menyedihkannya adalah kondisi masyarakat yang tinggal di daerah yang dinyatakan sebagai daerah terdampak. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyatakan berbasis hasil pemetaan terdata sejumlah desa di Kabupaten Karangasem yang berpotensi terdampak jika terjadi letusan Gunung Agung, yang disebut sebagai kawasan rawan bencana (KRB). Setidaknya terdapat 23 desa yang beresiko terdampak berbagai muntahan hasil erupsi dan diminta untuk mengungsi, yaitu: Ababi, Pidpid, Nawakerti, Datah, Bebandem, Jungutan, Buana Giri, Tulamben, Dukuh, Kubu, Baturinggit, Ban, Sukadana, Menanga, Besakih, Pempatan, Selat, Peringasari, Muncan, Duda Utara, Amertha Bhuana, Sebudi dan
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Buda Keling. Kawasan yang paling dianggap paling rawan dan paling terdampak berada pada KRB III. Pada area ini, desa akan terkena awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu pijar dan abu lebat.
Pada KRB II merupakan area terdampak dengan intensitas menengah. Pada wilayah ini akan terkena awan panas, lontaran lava, lahar, lontaran material dan batu pijar. Sedangkan, pada KRB I yang merupakan paling minimal akan terkena lahar dingin dan lahar hujan. Diperkirakan pemerintah dan pihak terkait harus melakukan evakuasi sebanyak 90.000100.000 penduduk di sekitar Gunung Agung. Sebagian masyarakat yang telah memulai melakukan evakuasi mandiri. Meskipun demikian, menurut catatan sementara kemungkinan sudah ada lebih dari 40.000 masyarakat mengungsi di beberapa tempat.
Desa Wisata Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar merupakan salah satu lokasi yang menampung kaum pengungsi. Terdapat keunikan di lokasi ini terkait penanganan terhadap pengungsi. Jika umumnya penampungan merupakan sebuah tempat darurat yang disediakan untuk pengungsi secara bersama-sama dan dalam memenuhi kebutuhan keseharian dibantu oleh pemerintah dan para dermawan (karitatif), di Desa Wisata Kerta justru menjadi antitesis pola tersebut.
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan diperoleh sejumlah fakta bahwa pengungsi menempati lahan dan rumah sederhana yang disediakan oleh seorang pengusaha pariwisata. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka diberikan pekerjaan. Artinya, para pengungsi melakukan aktivitas produktif tidak pasif hanya menunggu uluran bantuan dari para penderma. Mengingat durasi waktu di pengungsian yang harus dilewati umumnya memakan waktu lama serta berbalut ketidakpastian, para pengungsi bisa terperangkap pada kejenuhan dan keputusasaan.
Melakukan aktivitas produktif di tempat pengungsian, para pengungsi dapat mengusir kebosanan dan bahkan dengan mendapatkan pekerjaan baru menjadikan mereka lebih berkembang. Pengetahuan serta keterampilan bertambah, serta memperoleh penghasilan yang dapat dijadikan bekal kelak ketika mereka pulang dari pengungsian. Satu hal penting lainnya adalah diperolehnya jaringan baru, sehingga dapat menjadi modal sosial kelak.
Fenomena ini menarik untuk dikaji, guna mengikis anggapan awam bahwa pengungsi hanya akan merepotkan dan menerima mereka terkadang hanya berbasis rasa kasihan an sich. Selain itu, dari sudut pandang pengungsi sendiri migrasi kecil yang mereka lakukan akan senantiasa berbalut nestapa. Rasa frustasi akibat tercerabut dari tanah kelahiran (walau hanya sementara) diyakini sebelumnya sebagai sebuah musibah. Akan tetapi apa yang terjadi di Desa Wisata Kerta menjadi sebuah pengecualian.
Pola relasi antara pengungsi dan penderma sebelumnya senantiasa berbasis karitatif, antara aktor yang meminta dan yang memberi, antara yang “the have” dengan yang “the have not”, sehingga memunculkan relasi sosial asimetris (Kusuma Negara, dkk.: 2017).
Untuk diperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap fenomena menarik tersebut, perlu diformulasikan terlebih dahulu pertanyaan penelitian sehingga diperoleh analisis yang sistematis, komprehensif, serta komprehensif. Sistematis dalam arti diperoleh alur pembahasan yang step by step dimulai dari latar belakang kejadian, dinamika interaksi antar aktor, dan pola yang dapat dikonstruksi. Komprehensif mengandung makna keluasan aspek data yang terdiri dari konsep-konsep yang dijadikan sebagai alat bantu analisis sehingga realitas menjadi lebih mudah diidentifikasi. Sedangkan koherensif adalah upaya merangkai dan menghubungkan antar konsep tersebut sehingga menjadi bangunan cerita yang mendalam dan utuh. Pergeseran cara pandang dalam konteks relasi hostguest (baca: tuan rumah-pengungsi) dari karitatif menjadi produktif perlu ditelaah lebih lanjut. Hal ini penting untuk mendapatkan pemahaman mendalam sehingga diperoleh gambaran dan pola interaksi antar aktor dalam situasi bencana. Inti dari bangunan relasi yang terjadi adalah aspek solidaritas sosial yang menjadi instrumen penting dari sebuah praktik sosial. Dengan teridentifikasinya tipologi solidaritas sosial secara spesifik akan menjadi basis bagi perancangan model kolaborasi stakeholder bencana, khususnya antara pengusaha pariwisata dan pengungsi.
Hal ini menjadi penting dan mendesak, mengingat resiko bencana yang senantiasa mengintai dan dapat terjadi lagi sewaktu-waktu. Sehingga dari penelitian ini dapat berkontribusi terhadap model penanganan pengungsi yang non-karitatif (tidak berdasarkan belas kasihan saja), non-vertikal (tidak mengandalkan bantuan pemerintah semata), dan non-pasif (produktif). Model ini dapat menjadi pilihan alternatif bagi penanganan pengungsi, selain dari model yang sudah ada selama ini.
Penelitian ini bertujuan untuk:
-
1. Mengetahui latar belakang terjadinya fenomena pengungsian di Desa Wisata Kerta.
-
2. Mengidentifikasi konsep-konsep yang muncul terkait setting ekonomi, sosial, dan budaya pada pengusaha pariwisata dan pengungsi.
-
3. Mendapatkan pola relasi yang terbangun diantara kedua aktor berbasis setting tersebut sebagai basis perancangan model.
-
4. Menemukan model penanganan pengungsi secara berkelanjutan.
Dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap praktik pengungsian di Desa Wisata Kerta terkait aspek latar belakang terjadinya fenomena
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
pengungsian, konsep-konsep yang ditemukan (berbasis setting ekonomi, sosial, dan budaya) pada pengusaha pariwisata dan pengungsi, serta diperolehnya pola relasi yang terbangun diantara kedua aktor berbasis setting tersebut, dapat dijadikan landasan dalam merancang model penanganan pengungsi. Model penanganan pengungsi yang dirancang bersifat non-karitatif (tidak berdasarkan belas kasihan saja), non-vertikal (tidak mengandalkan bantuan pemerintah semata), dan non-pasif (produktif).
Model ini diharapkan dapat bermanfaat secara akademis dan praktis. Secara akademis diharapkan dapat menambah referensi terkait kajian terhadap fenomena bencana dalam konteks pariwisata. Saat ini wacana penangan terhadap bencana (mitigasi) di Indonesia masih dalam bingkai paradigma elitis, terpusat, dan top-down. Kajian tersebut menyingkirkan peran partisipatif masyarakat. Terlebih lagi, pola tersebut juga diterapkan pada suatu destinasi pariwisata, sehingga tidak ada pola khusus terkait manajemen bencana terhadap DTW yang menjadi andalan penerimaan devisa negara dari bidang pariwisata. Penelitian ini secara akademis diharapkan berkontribusi dengan ditemukannya pola-pola alternatif penangan bencana berbasis partisipasi masyarakat, istilah, dan konsep-konsep baru yang bermuara pada model penangan bencana pada suatu DTW berbasis partisipasi stakeholder pariwisata
Secara Praktis, model ini dapat menjadi pilihan alternatif terhadap penanganan pengungsi bagi stakeholder pariwisata, selain dari model yang sudah ada selama ini. Sehingga dapat memberikan variasi bagi pemerintah dan komponen masyarakat luas dalam rangka penanganan pengungsi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan pengungsi dengan memberikan ruang kreativitas agar tetap produktif. Model ini memberikan ruang yang lebih partisipatif dan produktif, dalam arti saling menguntungkan bagi pengusaha pariwisata dan pengungsi. Terlebih lagi, sejatinya kedua aktor inilah yang paling merasakan dampak ketika terjadi bencana.
Tinjauan tentang Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat
Bencana seringkali didefinisikan dalam berbagai arti. Beberapa definisi cenderung merefleksikan karakteristik yang mengikuti, seperti:
-
1. Penyimpangan yang terjadi didalam pola hidup yang normal. Beberapa penyimpangan umumnya terjadi dan juga tiba-tiba, tidak diharapkan dan meluas (meliputi wilayah yang luas).
-
2. Menyebabkan penderitaan pada manusia, seperti kematian, terluka/cedera, kesulitan hidup serta gangguan kesehatan.
-
3. Menyebabkan kerusakan struktur sosial seperti terganggunya sistem pemerintahan, kerusakan gedung, komunikasi dan infrastruktur pelayanan publik ataupun pelayanan yang penting.
-
4. Terganggunya kebutuhan masyarakat, seperti tempat tinggal makanan, pakaian, kesehatan dan pelayanan sosial.
Carter (1991) dan Widyastuti (2005) menyatakan penanganan bencana tidak memadai jika hanya mengandalkan kemampuan pemerintah. Pemerintah memiliki keterbatasan baik dalam sumber daya manusia, pendanaan, perlengkapan maupun logistik. Manajemen bencana harus bersifat kesemestaan, melibatkan semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Ketiga komponen tersebut harus mampu menjadi pelaku yang setara, semua harus berperan utama, bukan hanya berperan serta. Sasaran implementasinya adalah masyarakat mengetahui ancaman bahaya di lingkungan masing-masing dan masyarakat harus mampu menolong dirinya sendiri.
Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat adalah upaya meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat. Besaran bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, kondisi alam yang sensitif, ketidak-berdayaan dan berbagai tekanan dinamis lainnya. Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman bahayanya pun berbeda-beda jenisnya. Pada umumnya permasalahan bencana di Indonesia menjadi rumit karena terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias rentan dan lokasinya pun jauh dari pusat pemerintahan dan sulit dicapai. Oleh sebab itu paradigma baru manajemen bencana harus dapat mengatasi permasalahan tersebut, dengan manajemen bencana berbasis masyarakat, yaitu menuju masyarakat yang mampu mandiri, mampu mengenali ancaman bahaya di lingkungannya dan mampu menolong dirinya sendiri.
Tinjauan tentang Solidaritas Sosial
Solidaritas diartikan dengan suatu hubungan yang mengikat dari dalam diri tiap individu dalam masyarakat yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama. Sedangkan menurut Durkheim (dalam Johnson, 1994; Ritzer: 2004, 2012) bahwa masyarakat modern tidak terikat atas dasar kesamaan antara orang-orang yang pekerjaannya sama, tetapi lebih karena pembagian kerja yang membuat masyarakat modern ini saling ketergantungan. Terdapat dua tipe solidaritas:
-
1. Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanik ini adalah masyarakat atau kelompok sosial yang didasarkan pada kesadaran
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
kolektif, kebersamaan, dan hukum yang bersifat menekan. Ikatan dalam solidaritas mekanik terjadi karena kesamaan aktivitas dan merasa memiliki tanggung jawab yang sama, sehingga ikatan nya sangat erat. Solidaritas mekanik dibentuk oleh hukum represif. Hukum represif sendiri adalah hukum yang sifatnya mendatangkan penderitaan pada pelanggar. Sanksi nya sendiri bisa berupa perampasan kemerdekaan pada hidupnya.hal ini disebabkan karena dalam solidaritas mekanik, pelanggaran dianggap sebagai pencemaran pada kepercayaan bersama. Dalam masyarakat solidaritas mekanik, individualitas tidak berkembang karena yang diutamakan adalah kepentingan bersama. Ciri yang khas dari solidaritas mekanik ini adalah masyarakatnya homogen dalam kepercayaan, sentimen, dan kebersamaan yang sangat tinggi. Mungkin bisa dicontohkan pada masyarakat pedesaan yang masih sederhana dimana memiliki kebersamaan yang sangat erat, kemudian hukumnya yang represif dapat dilihat ketika seseorang melakukan kesalahan hukumannya dapat berupa pengasingan. Selain itu dalam masyarakat desa tidak saling ketergantungan dan rata-rata mereka bisa melakukan sesuatu dengan kemampuan sendiri.
-
2. Solidaritas Organik
Solidaritas organik adalah masyarakat yang didasarkan pada ketergantungan antar individu dan adanya spesialisasi pekerjaan. Dalam solidaritas organik motivasi nya biasanya karena ada faktor ekonomi seperti misalkan karena ia memiliki peran dalam sebuah kelompok atau masyarakat ia menginginkan gaji atau setidaknya balas jasa. Jadi dalam kegiatannya selalu berhubungan dengan faktor ekonomi dalam soldaritas organik ini. Solidaritas organik juga dibentuk oleh hukum restitutif. Hukum restitutif ini tujuannya adalah hanya untuk memulihkan keadaan seperti semula, sebelum terjadinya kegoncangan akibat dari adanya kaidah yang dilanggar. Kaidah-kaidah tersebut menyangkut hukum perdata, hukum dagang, hukum administrasi, hukum Negara, hukum administrasi dan hukum Negara. Masyarakat solidaritas organik ini dapat dilihat pada masyarakat perkotaan yang lebih modern dan kompleks. Yaitu masyarakat yang ditandai dengan adanya pembagian kerja yang kompleks.
Solidaritas sosial akan memberikan penciri tentang eksistensi masyarakat tradisional dan masyarakat moderen dalam pariwisata. Teori Iridex contohnya berangkat dari perangkat solidaritas sosial pada suatu masyarakat host (Doxey, 1975; Marius, 2006; Anom, dkk.,: 2020).
Tinjauan tentang Stakeholder Pariwisata
Komposisi stakeholder pariwisata modern dipandang sangat antroposentris, ketika semua
elemen yang ada semuanya terkait dengan manusia. Beberapa definisi yang jamak dirujuk, seperti: Dwyer dan Edwards (2000) menyebutkan enam kelompok stakeholder utama yang dapat mempengaruhi pola pengembangan dan kebijakan pariwisata dalam kawasan dengan keanekaragaman hayati yang siginifikan secara global adalah sebagai berikut: Sektor publik (badan pemerintahan lokal, nasional, regional, dan global); Sektor privat; Lembaga donor bilateral dan multilateral; Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); Komunitas lokal dan penduduk terasing; dan Konsumen. Sementara Damanik (2006) mendefinisikan stakeholder pariwisata (secara lebih spesifik ekowisata) sebagai berikut: Sektor Industri, Sektor Publik, Organisasi Non Pemerintah, Lembaga-Lembaga Donor Internasional, Lembaga-Lembaga Penelitian Wisatawan, dan Masyarakat Setempat^
Sedangkan Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian dari tujuan suatu organisasi atau jaringan. Kapasitas menyangkut dua hal, yaitu containing dan ability (berupa pemikiran maupun tindakan aktor). Secaragaris besar kapasitas stakeholder adalah hal yang dapat membuat suatu jaringan bekerja dan berfungsi secara baik. Dalam konteks ini, kapasitas stakeholder dapat disejajarkan dengan kapasitas komunitas. Stakeholder itu sendiri merupakan komunitas yang dapat memberikan pengaruh dan juga dapat dipengaruhi oleh kegiatan yang dikerjakan oleh kelompok yang sama.
Menyimak beberapa definisi tentang stakeholder pariwisata seperti yang telah dikemukakan para ahli tersebut, sangat terlihat adanya pengarusutamaan terhadap manusia, entah perorangan, kelompok, maupun institusi. Cara pandang ini bias terhadap alam, dan mengandaikan adanya superioritas manusia yang berada di atas alam. Alam hanya diposisikan sebagai properti/aset yang digunakan untuk kepentingan manusia secara ekonomistik. Cara pandang ini disebut sebagai dualisme.
Penyertaan alam sebagai stakeholder pariwisata merupakan salah satu strategi untuk mengatasi dualisme yang terjadi. Dekomposisi
stakeholder pariwisata konvensional ini berdasarkan perspektif dualitas yang bertujuan meminimalisasi penguatan hanya pada pada salah satu elemen saja yang berimplikasi terjadinya kekerasan berbasis pariwisata (Nugroho, 2017). Perspektif dualitas merupakan basis bagi praktik pariwisata lestari. Berikut komposisi stakeholder pariwisata lestari:
-
1. Negara sebagai Regulator dan Fasilitator
Negara memiliki peran sebagai produser “narasi tengah”, sebuah kontra wacana dari dualisme antara narasi besar modernisme dan narasi kecil posmodernisme. Narasi tengah dimaksudkan sebagai wacana yang bersifat kritis untuk tidak
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
2.
3.
4.
terserap ke narasi besar globalisasi yang dibangun oleh para agen global dengan isu standarisasi dan takluk pada narasi kecil yang diproduksi para agen lokal berbasis primordialisme sempit. Posisi tengah diperlukan sebagai filter dari ekstrimisme wacana apakah totalitarianisme global atau separatisme lokal. Wacana tengah dibangun untuk memperoleh kearifan bangsa, yang mampu menyerap sisi produktif dari globalisasi dan lokalisasi. Sehingga regulasi dan fasilitasi yang diproduksi negara merupakan pencerminan dari perspektif dualitas yang mampu memilih serta memilah spirit produktif dari globalisasi dan lokalisasi tersebut. Posisi tengah ini juga mencegah
pemusatan kuasa pada negara karena adanya kontrol berupa aspirasi global dan lokal,
sehingga mencegah kuasa negara yang totaliter. Pengusaha sebagai Investor
Pengusaha pariwisata memiliki peran sebagai investor, yang dalam konteks tulisan ini menginvestasikan tidak melulu modal ekonomi semata, tetapi juga investasi modal sosial, dan modal budaya. Jika investasi hanya berupa modal ekonomi, yang terjadi adalah upaya untuk maksimalisasi keuntungan material belaka sehingga dikhawatirkan terjadi fenomena monopoli atau oligopoli pada suatu destinasi ketika pemusatan kuasa ekonomi hanya dimiliki elemen stakeholder ini. Investasi berupa modal sosial dibangun dalam rangka menciptakan jaringan yang luas, dengan cara membangun “trust” dengan berbagai elemen stakeholder lainnya. Sementara investasi modal budaya ditujukan untuk meningkatkan kompetensi skill, penguatan daya nalar guna mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Masyarakat Lokal sebagai Partisipator
Dalam pariwisata lestari peran masyarakat lokal adalah sebagai partisipator. Sebagai salah satu elemen stakeholder yang penting, seyogyanya elemen ini memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam praktik pariwisata yang nota bene diselenggarakan di wilayah mereka. Sebagai partisipator diharapkan, masyarakat lokal memiliki kuantitas dan kualitas yang tinggi dalam pengambilan keputusan pariwisata dan pembagian keuntungan pariwisata. Sebagai tuan rumah yang baik, mereka harus bisa lepas dari primordialisme sempit dengan membuka wawasan secara global, tetapi tetap bertindak secara lokal (kultural), dan memiliki spirit nasionalisme.
Wisatawan sebagai Kontributor
Wisatawan tidak hanya dipandang sebagai pundi-pundi uang yang berjalan. Cara pandang impersonal materialistik ini tidak kompatibel dalam praktik pariwisata lestari. Dengan adanya
fenomena volunteer tourist akhir-akhir ini, sesungguhnya ada sisi “sense of belonging” dari wisatawan, ketika mereka bersedia untuk share pengetahuan atau skill yang bermanfaat bagi destinasi wisata yang dikunjungi. Dengan massifnya media sosial, menjadikan interaksi antara host dengan guest dapat diekstensifikasi, tidak hanya terjadi dalam waktu liburan semata akan tetapi bisa berlangsung melalui pola: pra kunjungan-kunjungan-pasca kunjungan. Dalam pariwisata lestari, aktivitas wisatawan tidak hanya something to see, something to do, something to buy, dan something to learn saja, tetapi juga something to share.
-
5. Alam sebagai Katalisator
Alam sebagai katalisator memiliki arti sebagai sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dan menimbulkan kejadian baru atau mempercepat suatu peristiwa. Kekhasan dari pariwisata lestari adalah dengan masuknya alam sebagai salah satu elemen stakeholder pariwisata. Kapasitas alam sebagai entitas yang memberikan suasana yang representatif bagi terselenggaranya pariwisata merupakan realitas tak terbantahkan. Secanggih apapun formulasi pariwisata yang dikreasi para stakeholder yang terdiri dari elemen manusia, jika alam tidak memberikan situasi yang kondusif (misalnya bencana alam), maka dapat dipastikan pariwisata tidak akan terselenggara. Alam mempunyai hukumnya sendiri dalam rangka mencari keseimbangan. Dalam pariwisata lestari terdapat tiga unsur yang saling berkelindan, yaitu: alam, manusia, dan pariwisata.
Tinjauan tentang Tafsir Aktor
Tafsir aktor terkait dengan ideologi yang dimilikinya, sehingga aktor akan mempunyai cara pandang yang khas terhadap realitas. Ideologi yang menjadi basis kesadaran mengenai bagaimana pariwisata dipraktikkan, tidak lepas dari filsafat yang melatarbelakangi cara pandang tersebut. Setiap praktik pariwisata oleh stakehoder pariwisata dalam suatu destinasi pariwisata ditentukan oleh jenis ideologi yang menjadi basis kesadarannya. Setiap ideologi ditentukan oleh latar belakang filsafatnya, apakah modern atau posmodern. Filsafat modern berangkat dari asumsi dualisme yamg melahirkan cara pandang subyek-obyek, memproduksi tiga jenis ideologi dalam praktik pariwisata: antroposentisme (pariwisata massal), ekosentrisme (pariwisata temporer dan terbatas), dan etnosentrisme (pariwisata lokal). Filsafat posmodern berangkat dari asumsi dualitas (relasi subyek-subyek), memproduksi perspektif ekofenomenologis yang merupakan landasan bagi praktik pariwisata lestari (Nugroho, 2015).
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Tinjauan tentang Pengungsi
Akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman). Sedangkan pengungsi adalah kata benda yang berarti orang yang mengungsi (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pengungsi terjadi karena adanya bahaya misalnya, bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Mengungsi jaadi dapat terjadi bukan disebabkan karena bencana alam (non-natural disaster), tetapi karena konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan sebagainya. Mengungsi dapat dilakukan baik dilingkup satu wilayah negara ataupun negara lain karena adanya perbedaan haluan politik (Achmad Romsan, dkk, 2003).
Perbedaan antara refugee (pengungsi lintas batas) dan IDP (Internally Displaced Person)/ pengungsi internal menurut Hukum Internasional, yaitu:
-
1. Refugee (pengungsi lintas batas)
Pengungsi lintas batas adalah seseorang yang “oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.”
-
2. Internally Displaced Person (Pengungsi Internal) Pengungsi internal ialah orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama sebagai akibat dari atau dalam rangka menghindarkan diri dari, dampak-dampak konflik bersenjata, situasisituasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaranpelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional.
Tinjauan tentang Pariwisata sebagai Praktik Sosial
Nugroho (2015) dengan menggunakan tilikan Giddens (2010) tentang dualitas agensi-struktur, menyebutkan bahwa pariwisata sebagai praktik sosial merupakan titik temu dari tindakan para aktor pariwisata konkret (misalnya: wisatawan, pramusaji restoran, menteri pariwisata) dengan aturan-aturan (roles) yang diistilahkan sebagai struktur pariwisata. Artinya, tindakan yang dilakukan aktor tidak bisa lepas dari struktur yang ada karena memberi panduan dalam bertindak, akan tetapi
struktur tersebut bukanlah struktur yang bersifat mengekang (constraint) tetapi memberdayakan (enabling). Tidak mengekang karena aktor sosial bukanlah robot yang tidak bisa melakukan refleksi terhadap struktur yang menaunginya. Memberdayakan, karena hanya lewat strukturlah suatu tindakan sosial menjadi mungkin dan menjadi memiliki makna.
Di antara struktur sosial dan praktik sosial terdapat sistem sosial. Untuk lebih memperjelas konsep tersebut, berikut deskripsi dalam bentuk gambar:
Gambar 1. Praktik Sosial Giddens
Sumber: Nugroho, 2015
Gambar di atas dibaca dari kanan ke kiri. Praktik sosial terjadi dalam suatu sistem sosial. Sistem sosial dalam pemikiran Giddens dapat disamakan dengan lembaga sosial. Sistem sosial merupakan wadah bagi berlangsungnya praktik sosial, yang dimungkinkan terealisasi karena adanya struktur sosial yang memandunya. Gambar tersebut jika dilihat dari kiri ke kanan, berangkat dari hal yang abstrak menuju konkret. Artinya, struktur sosial bersifat abstrak karena tidak bisa diindera (berupa seperangkat aturan pemandu yang ada dalam mind sett kolektif agen / aktor), sistem sosial lebih bersifat konkrit karena merupakan wadah tempat berlangsungnya interaksi sosial, dan, praktik sosial merupakan hal yang paling konkret karena menyangkut aktivitas para aktor yang bersifat empiris.
Jika konsep tersebut digunakan guna
meninjau praktik pariwisata, gambar akan menjadi: Gambar 2. Praktik Pariwisata
Sumber: Nugroho, 2015
Jika dikaitkan dengan salah satu contoh fenomena pariwisata:
Gambar 3. Praktik Fenomena Pariwisata
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
aturan-aturan pemilihan
kelompok sadar wisata
rapat pemilihan pengurus
Sumber: Nugroho, 2015
Gambar 3 di atas mengambil permisalan rapat pemilihan kelompok sadar wisata di desa x. Jika kita diperhatikan alurnya, rapat pemilihan pengurus merupakan praktik sosial yang konkret karena bersifat empiris (diindera menggunakan panca indera manusia). Rapat tersebut berlangsung pada suatu lembaga konkret yang bernama Kelompok Sadar Wisata Desa X, katakanlah di ruang rapat kantor lembaga tersebut. Pokdarwis merupakan sistem sosial, tempat atau wadah bagi berlangsungnya praktik pemilihan pengurus. Sedangkan, pemilihan tersebut yang berada di ruang rapat lembaga pokdarwis, dimungkinkan berlangsung karena adanya aturan-aturan yang menjadi pemandu proses pemilihan tersebut, yang merupakan struktur sosial.
Di level struktur sosial inilah ideologi bercokol. Kesamaan cirinya dengan struktur sosial, yakni sama-sama bersifat abstrak dan memberi kerangka panduan dalam aktor bertindak, menjadikan ideologi dapat disejajarkan sebagai sebuah struktur sosial. Artinya, ideologi yang berbeda akan memberikan panduan yang berbeda pula bagi suatu praktik sosial, sebagaimana aturan yang berbeda akan menghasilkan proses pemilihan yang berbeda pula (Nugroho, 2015).
Pendekatan
Pendekatan penelitian dilakukan secara kualitatif. Pendekatan kualitatif untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena atau hubungan antar fenomena yang diteliti secara sistematis, faktual, dan akurat (Creswell, 2014).
Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Wisata Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa di desa tersebut tersebut menyajikan fenomena unik terkait relasi antara pengusaha pariwisata dan pengungsi dari kawasan rawan bencana (KRB) Erupsi Gunung Agung.
Teknik Pengumpulan Data
Terdapat lima metode yang digunakan untuk mengumpulkan data primer dalam penelitian ini, yaitu: (1) Focus Group Disscusion (FGD) (Irwanto,
2006), digunakan untuk mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan pola interaksi dan kerjasama antara pengungsi dangan stakeholder pariwisata; (2) Wawancara Mendalam (in-depth interview) digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan aktor secara lebih mendetail (Creswell, 1994); (3) Pengamatan Lapangan digunakan untuk mengetahui dengan lebih baik tentang kondisi riil di tingkat lapangan yang berkaitan dengan topik penelitian (Miles dan Huberman, 2014); dan (4) Social Mapping (pemetaan sosial) (Rudito, 2010) guna mendapatkan variabel-variabel terkait dengan potensi berjaringan stakeholder pariwisata (khususnya pengusaha pariwisata) dengan pengungsi. Sedangkan kebutuhan data sekunder dipenuhi melalui studi pustaka dari berbagai sumber terkait. Beberapa sumber data sekunder diantaranya Pemerintahan Desa (Adat maupun Dinas), Media, maupun sumber lainnya yang bisa dipercaya.
Teknik Analisis Data
Menurut Miles dan Huberman (2014) tahap analisis data berupa:
-
1. Reduksi data adalah proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan
transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bentuk analisis menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data.
-
2. Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dapat berupa teks naratif dan matriks, grafik, jaringan, dan bagan.
-
3. Penarikan kesimpulan dalam hal ini mencakup juga verifikasi atas kesimpulan tersebut dengan cara: memikir ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapangan, peninjauan kembali, dan tukar pikiran antar teman sejawat.
Sekilas Fenomena Pengungsian Erupsi Gunung Agung: Transformasi Mindsett Aktor dari
Insidental menuju Struktural
Pada Jumat tanggal 22 September 2017 pukul 20.30 WITA, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi meningkatkan status Gunung Agung dari Siaga level III menjadi Awas level IV. Sebagai respons dari situasi tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Hari Sabtu, 23 September 2017, mengevakuasi penduduk yang menetap di sekitar Gunung Agung, Karangasem, Bali, ke titik-titik posko pengungsian. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, terdapat 15.142 jiwa berstatus sebagai pengungsi yang tersebar di 125
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
titik pengungsian. Mereka tersebar di 7 (tujuh) kabupaten yang berada di Provinsi Bali.
Terdapat 5 titik di Kabupaten Badung sebanyak 35 jiwa, 17 titik di Kabupaten Bangli sebanyak 465 jiwa, dan 10 titik di Kabupaten Buleleng sebanyak 2.423 jiwa. Di Kabupaten Denpasar terdapat 6 titik sebanyak 343 jiwa, dan di Kabupaten Karangasem ada 54 titik sebanyak 7.852 jiwa. Berikutnya, Kabupaten Klungkung di 21 titik sebanyak 3.590 jiwa dan Kabupaten Tabanan di 3 titik dengan 252 jiwa. Sedangkan di Kabupaten Gianyar ada 9 titik dengan jumlah pengungsi sebanyak 182 jiwa. Para pengungsi dievakuasi ke berbagai tempat, seperti gelanggang olahraga, balai desa, dan rumah-rumah penduduk. Banyak masyarakat yang menawarkan rumah dan bangunannya untuk tempat pengungsian (Nugroho dan Arida, 2018).
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali telah membangun posko tanggap darurat. Posko ini bertujuan untuk mendata para pengungsi serta untuk bantuan. Khusus untuk permintaann bantuan, dibuka pelayanan call center Pusdalops Denpasar 0361 223333 dan emergency call Denpasar 112. Selanjutnya, pihak BNPB mengimbau masyarakat untuk memberikan donasi kepada pengungsi Gunung Agung, berupa barang ataupun uang. Donasi dapat disetor melalui satu pintu, yaitu Posko Utama Satgas Siaga Darurat, Dermaga Cruise Tanah Ampo, Manggis, Kabupaten Karangasem.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo dalam siaran persnya, Sabtu, 23 September 2017, petugas kesusahan menyalurkan logistik karena lokasi pengungsian terpencar.
"Pemerintah pasti akan memberikan bantuan kepada para pengungsi, namun ada beberapa kendala di lapangan yang sangat dinamis." (Sutopo Purwo, 2017) Fakta bahwa lokasi pengungsi tersebar ke seluruh wilayah Bali dengan pola yang terus berubah, semakin mempersulit mekanisme pemberian bantuan.
Divergensi titik kumpul pengungsi dan arus pergerakannya yang tidak sepenuhnya terdata, menjadi permasalahan pelik bagi pemerintah dalam konteks penanggulangan bencana. Hal ini perlu dianalisis untuk mendapatkan model alternatif bagi mekanisme penanganan bencana. Bencana itu sendiri pada dasarnya melekat dalam arus kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya, dan Bali khususnya yang de facto menetap pada jalur ring of fire dan titik temu lempeng dua benua. Artinya, kesadaran dan kewaspadaan terhadap bencana sudah harus menjadi habitus keseharian kita.
Dalam konteks penanggulangan bencana, termasuk penanganan terhadap pengungsi, di Indonesia pada umumnya masih mengandalkan
peran pemerintah sebagai aktor utama. Artinya, pola penanganannya bersifat top-down dalam bentuk bantuan model karitatif atau sinterklas. Walaupun masyarakat umum cenderung ikut memberikan bantuan, tetapi polanya sporadis. Belum ada sistem yang mengatur mekanisme penyaluran bantuan secara partisipatif yang melibatkan seluruh stakeholder bencana.
Fenomena tersebut mengindikasikan belum siapnya kita dalam menghadapi bencana alam. Bencana masih dipandang sebagai sesuatu yang eksternal dan insidental. Terlebih, terdapat mitos budaya Timur yang memandang bencana sebagai musibah, cobaan dari Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas jika tidak mau diistilahkan sebagai pasrah. Sikap berpasrah seperti ini menciptakan mentalitas skeptis, yang cenderung untuk pasif. Diperparah lagi masyarakat dengan tipe seperti ini sangat mudah untuk lupa. Sehingga pasca bencana yang terjadi, kehidupan akan berlangsung lagi seperti biasa dan tidak bersiap dan bersigap menghadapi bencana lagi.
Dalam bingkai konstruksi pikir yang demikian, dekonstruksi menjadi sebuah hal yang mendesak. Dekonstruksi setidaknya berlangsung di dua aras, yaitu: konstruksi pikir (mind-sett) dan tatanan sistem. Diperlukan kepekaan terhadap seluruh stakeholder bencana bahwa realitas yang ditempuh dalam proses kehidupan adalah kebersamaan antara manusia dan bencana alam. Artinya, bencana bukanlah sesuatu yang berasal dari eksternal, tetapi melekat dan beriringan dengan manusia. Ia adalah bagian dari kita. Sehingga dalam konteks kesadaran seperti ini akan melahirkan relasi ontologis antara manusia dengan alam, bukan hanya relasi etik atau relasi instrumental.
Relasi ontologis mengandung arti, bahwa eksistensi manusia dengan alam adalah bersifat hakekat. Tidak ada manusia tanpa alam, dan alam sendiri tidak akan dikenali tanpa adanya tafsir dari manusia. Hal ini melahirkan pendekatan koeksistensif (saling mengandaikan/saling melengkapi). Implikasinya, jika relasi ini tidak dibangun akan punahlah salah satu, hilanglah eksistensi. Sedangkan relasi etis bermakna bahwa alam merupakan sesuatu yang harus dihormati, yang melahirkan pendekatan moral (kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan). Perasaan bersalah dan berdosa akan timbul jika kewajiban moral tersebut tidak dijalankan. Terakhir, relasi instrumental. Dalam bingkai hubungan seperti ini terjadi penindasan manusia terhadap alam. Alam dipandang sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia an-sich, karena manusia merasa dirinya sebagai pusat semesta karena memiliki akal (rasio). Pendekatan yang muncul adalah antroposentrik-ekonomistik, dengan kesadaran jika alam tidak dieksploitasi maka manusia akan disebut merugi
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
karena menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa hidup nyaman dan sejahtera.
Penelitian ini akan berpijak pada kerangka relasi ontologis antara manusia dengan alam dalam bingkai analisisnya. Diperlukan praktik sosial yang terorganisir para aktor yang dalam hal ini disebut sebagai stakeholder bencana dalam relasinya dengan alam. Praktik sosial mengandaikan adanya bangunan kesadaran yang sama dan massif antar aktor dan juga terlembagakan. Adanya lembaga atau institusi inilah yang akan memproduksi langkah atau tindakan rutin karena adanya regulasi yang tidak hanya tertulis, tapi sudah terbenam dalam kesadaran praktis para stakeholder. Kesadaran praktis ini menjadi kunci bagi keberhasilan suatu program yang dijalankan oleh lembaga. Hal ini dikarenakan kesadaran praktis merupakan basis tindakan dari praktik sosial.
Setting Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada Pengusaha Pariwisata dan Pengungsi
Made Semara Putra merupakan seorang pengungsi di Desa Kerta akibat dari adanya erupsi gunung agung yang berasal dari Desa Pemuteran Perempatan Rendang Karangasem. Adapun beliau mengungsi bersama keluarganya yaitu istri dan anaknya yang dipindah sekolahkan dari SD di Desa Pemuteran ke Desa Kerta beserta dua keluarga lainnya. Namun kini saat kondisi erupsi Gunung Agung sudah kondusif, dua keluarga lainnya di luar keluarga Bapak Made Semara Putra, kembali ke desanya dan melanjutkan aktivitas kesehariannya yaitu berkebun. Disaat keluarga lainnya kembali ke desanya di Karangasem, keluarga Pak Made Semara Putra (Pak Made) tetap tinggal sementara di Desa Kerta. Awal mulanya kedatangan Pak Made mengungsi ke Desa Kerta saat erupsi Gunung Agung mengeluarkan belerang disaat sebelum bandara I Gusti Ngurah Rai ditutup.
Latar belakang Pak Made memilih mengungsi ke Desa Kerta yaitu awalnya Pak Made mengungsi ke Desa Pengotan namun karena menurutnya mengungsi disana tidak mendapat penghasilan dan tidak ingin terlalu berhadap kepada pemerintah. Di samping itu bertepatan dengan adanya relasi dimiliki oleh paman Pak Made yang mengajaknya kerja, sehingga datang pemikiran dari beliau untuk mengungsi sembari bekerja. Pak Made sangat nyaman mengungsi disini dan sangat berterima kasih kepada Pak Kadek Gunarta (Pak Gun), karena berkat beliau Pak Made mendapat pekerjaan dan tempat pengungsian yang dimana kini menjadi tempat tinggal sementara Pak Made.
Tempat tinggal Pak Made sebelumnya merupakan lahan kosong yang tidak tergarap dan terpelihara, sehingga Pak Made diberi saran untuk mengelola lahan ini baik untuk tempat tinggal dan berkebun. Dengan luas keseluruhan lahan seluas 70 are, Pak Made tidak sendirian dalam mengelola tanah tersebut terdapat tiga orang yang ikut membantu pak
made dalam mengelola lahan itu. Tamanan yang ditanam di kebun tersebut antara lain buah-buahan, sayur sayuran, cabai dan tomat. Selain berkebun, kegiatan lain yang dilakukan Pak Made adalah mengelola ternak, yang dimana didalamnya terdapat hewan ternak seperti kambing dan ayam. Istri Pak Made sendiri ikut mengelola ternak di lahan tersebut. Penghasilan dari Pak Made sendiri didapat dari gaji harian yang dimana kisaran yang di terima oleh Pak Made sendiri yaitu Rp. 60.000 diluar dari konsumsi yang didapat setiap harinya, sedangkan jika konsumsi diuangkan beliau menerima Rp. 20.000. Selain itu, Pak Made tidak membayar sewa tempat tinggal karena sudah di tanggung oleh Pak Gun. Di samping kegiatan Pak Made saat mengungsi, kegiatan keagamaan yang diadakan di desanya, Pak Made selalu menyempatkan hadir untuk ikut ngayah (membantu) jika ada upacara agama. Sehingga terdapat ketidakpastian mengenai seberapa sering Pak Made untuk pulang ke desanya. Hal ini tergantung kesibukan pekerjaan upacara keagamaan yang diselenggarakan di desa asalnya.
Jika suatu saat Pak Made kembali ke desanya dan lalu terjadi kembali erupsi Gunung Agung, Ia berharap bisa ke Desa Kerta kembali jika tenaganya masih dibutuhkan lagi. Hal ini mengandaikan adanya proses yang berkesinambungan terkait pola bantuan terhadap para pengungsi. Sementara dari sisi pengusaha pariwisata, motivasi Ia membantu pengungsi didasarkan alasan kemanusiaan. Pak Gun, demikian ia biasa dipanggil, bersama dengan teman-temannya menggalang dana untuk membantu pengungsi. Dana yang telah dikumpulkan tersebut dibelikan ternak di Karangasem, karena harganya yang turun drastis ketika terjadi erupsi Gunung Agung. Jadi ternak yang dibeli tersebut kemudian diternak lagi oleh para pengungsi yang diberi tempat dikediaman sekaligus tempat usaha Pak Gun. Para pengungsi selain mengurus ternak juga membantu untuk berkebun, serta difasilitasi tempat tinggal sementara. Pak Gun berkomitmen, jika suatu saat kembali terjadi bencana erupsi Gunung Agung, Ia bersedia untuk membantu lagi sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
Jika dicermati, asipirasi para pengungsi dan kesediaan pengusaha untuk fasilitasi jika bencana terjadi lagi, mengindikasikan adanya titik temu untuk tetap saling berinteraksi secara berkesinambungan. Untuk itu diperlukan penggalian data lebih komprehensif dan analisa yang mendalam terkait resultansi kedua aktor tersebut guna mendapatkan model yang representatif.
Setting Ekonomi Pengungsi dan Pengusaha
-
1. Latar Belakang Ekonomi Pengungsi
Secara umum, para pengungsi di Desa Kerta memiliki background profesi sebagai petani, peternak, dan buruh bangunan. Dua profesi
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
awal, yaitu petani dan peternak, diasumsikan memili keterkaitan erat dengan tanah kelahirannya. Mereka sangat mengandalkan sumber daya alam di tempat tinggal asalnya. Sedangkan, mereka yang berprofesi sebagai buruh bangunan relatif relatif lebih fleksibel, karena telah terbiasa dipakai jasanya di luar tempat tinggalnya. Berdasarkan komposisi pekerjaan seperti ini, petani dan peternak relatif lebih rapuh secara psikis ketika berstatus sebagai pengungsi. Hal ini dapat dipahami karena intensitas interaksi mereka dengan alam di tempat asalnya sangatlah tinggi. Ketika terjadi bencana dan harus meninggalkan tanah kelahiran, muncul perasaan tercerabut dan
kehilangan yang mendalam dirasakan oleh
mereka. Sementara untuk profesi buruh
bangunan relatif lebih kuat secara psikis. Terkait dengan latar belakang ekonominya berdasarkan profesi yang digeluti sebelumnya, kaum pengungsi dapat dikatakan mengalami dua hal, yaitu: kerapuhan psikologis terutama perasaan home sick, serta hilangnya penghasilan.
-
2. Latar Belakang Ekonomi Pengusaha Pariwisata Aktor utama yang terkait dengan status sebagai pengusaha pariwisata di Desa Kerta sesungguhnya bukanlah warga asli setempat. I Made Gunarta (sering juga dipanggil oleh masyarakat setempat dengan nama Bapak Kadek Gun) merupakan pendatang dari Ubud. Ia memiliki beberapa bidang usaha di bidang pariwisata, seperti restoran, penyelenggaraan event, dan tempat meditasi (yoga). Selain
memiliki restoran besar di Ubud, pengusaha pariwisata ini merupakan pelopor dari sebuah event pariwisata terkenal berskala internasional yakni Bali Spirit Festival. Acara ini merupakan perhelatan tahunan yang digelar oleh Komunitas Bali Spirit, sebuah komunitas yang ingin membangun kembali spirit / ‘jiwa’ Bali pasca tragedi bom yang terjadi di Legian yang menewaskan banyak orang. Bali Spirit Festival pada mulanya hanya menggelar workshop Yoga dan Musik. Saat ini telah semakin berkembang, mampu mempertemukan banyak instruktur
yoga, tari dan meditasi serta musisi dunia. Festival ini mampu mendatangkan ribuan
pengunjung. Sedangkan untuk usaha restoran yang dijalankan oleh Kadek Gun adalah berbasis bahan makanan organik. Restoran ini memerlukan bahan baku khusus dan membutuhkan pasokan yang harus dikelola sendiri, guna meyakinkan bahwa seluruh suplai bahan baku diperoleh dari cara dan proses yang benar. Karena itulah lalu dibutuhkan lahan yang cukup luas guna menanam sayur mayur dan buah organik. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Desa Kerta dipandang memenuhi
kriteria, yakni tidak terlalu jauh dari Ubud dan memiliki lahan yang luas dan subur. Saat ini dapat diproduksi sayur mayur dan buah organik untuk menyuplai kebutuhan bahan baku restorannya. Sisa makanan restoran selanjutnya dikirim ke Desa Kerta untuk diolah menjadi pupuk organik. Terjadi siklus rantai produksi dan reproduksi agraris berbasis organik. Penanganan pertanian organik tidak bisa disamakan dengan pertanian konvensional. Pertanian organik menghilangkan sama sekali proses pemeliharaan dan penanganan berbasis bahan kimia buatan pabrik. Dalam konteks ini, dibutuhkan tenaga kerja yang handal, telaten, dan cekatan untuk mengerjakan pertanian organik. Dengan latar belakang usaha yang dijalankan tersebut, pengusaha pariwisata ini dapat dikatakan memiliki sumber daya ekonomi yang cukup memadai.
Pola interaksi terbangun antara pengungsi dan pengusaha pariwisata di Desa Kerta adalah “relasi ekonomi semi produktif.” Praktik yang terjadi adalah pengusaha pariwisata menyediakan tempat tinggal sementara, merektrut sebagai tenaga kerja pertanian organik, dan memelihara ternak sapi, kambing, ayam, dan babi. Juga menyekolahkan anak pengungsi yang ingin melanjutkan pendidikannya. Digunakannya istilah relasi ekonomi semi produktif karena praktik pengungsian yang bersifat sementara (non reguler) sehingga istilah semi dipilih. Selain itu, mereka menjalankan kegiatan secara aktif (produktif). Tata relasi yang demikian membuka peluang transfer of knowledge and skills bagi para pengungsi, yang dapat menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan ketika mereka pulang ke daerah asal pasca pengungsian (Nugroho dan Arida, 2018).
Setting Sosial Pengungsi dan Pengusaha Pariwisata
-
1. Latar Sosial Pengungsi
Konteks berjejaring dengan komunitas luar secara terbatas dimiliki oleh pengungsi, bersifat lokal, dengan pola relasi kekerabatan.
-
2. Latar Sosial Pengusaha Pariwisata
Jaringan sosial yang cukup luas, berskala nasional dan global dimiliki pengusaha pariwisata, karena persaingan usaha
kontemporer menuntut adanya pola relasi berskala luas berbasis trust kepercayaan / trust. Upaya akumulasi modal dibangun dengan membangun relasi sebanyak-banyaknya dan terpercaya. Terjadilah pola pertemanan global sesama mereka.
-
3. Pola relasi khas terbangun antara pengungsi dan pengusaha pariwisata di Desa Kerta, dengan basis solidaritas mekanis. Tipe solidaritas ini adalah relasi sosial yang terbangun berbasis kepercayaan antar individu dan kelompok untuk
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
melakukan aktivitas sosial secara kolektif. Umumnya tanpa perhitungan untung-rugi ekonomistis, tetapi praktik sosial ini dijalankan karena ingin menyenangkan kedua belah pihak guna menghindari sanksi sosial.
Setting Budaya Pengungsi dan Pengusaha Pariwisata
-
1. Latar Budaya Pengungsi
Di daerah asalnya, basis budaya pengungsi adalah komunalisme dengan produksi tata relasi egalitarian (kesetaraan). Umumnya di antara mereka memiliki hubungan genetis, sehingga masyarakat yang terbentuk merupakan komunitas berbasis kekerabatan. Aspirasi sosial yang terjadi adalah keinginan mendalam untuk saling untuk menyatu di antara mereka (need for affiliation).
-
2. Latar Budaya Pengusaha
Habitus profesionalisme dimiliki oleh pengusaha pariwisata karena kompleksitas tuntutan bisnis yang dihadapinya. Cara yang dilakukan dengan mengembangkan jaringan yang luas serta, serta membangun kepercayaan yang mendalam dengan berbagai pihak. Selain itu, Ia memiliki tanggung jawab secara ekonomi dan sosial terhadap anak buahnya. Tipe etos yang dimilikinya adalah keinginan untuk berprestasi (need for achievement).
-
3. Selanjutnya dapat diidentifikasi terkait dengan tata relasi yang terbangun diantara mereka adalah berbasis budaya dengan pola relasi kuasi patron-client.
Tata relasi yang terjadi di antara kedua aktor tersebut berdasarkan latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya masing-masing memproduksi jaringan yang khas. Secara ekonomi menghasilkan relasi agraris semi produktif, secara sosial menciptakan relasi berdasarkan solidaritas mekanis, dan secara budaya terjadi relasi kuasi patron-client.
Berikut skemata pola relasi aktor pengungsi dan pengusaha di Desa Wisata Kerta berdasarkan latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya, yang disajikan dalam tabel 1.
Sumber: Hasil Penelitian, 2018.
Pemetaan Pola Relasi yang Terbangun Diantara Kedua Aktor Berbasis Setting Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Selanjutnya, berdasarkan pemetaan sosial yang di lokasi penelitian diperoleh skemata pola relasi yang terbangun antara aktor pengungsi dengan pengusaha pariwisata.
Tabel 1. skemata pola relasi aktor pengungsi dan pengusaha di Desa Wisata Kerta
Aktor |
Tata Relasi Aktor | |||||||
Pengungsi |
Pengusaha |
Ek. |
Sos. |
Bud. | ||||
Latar |
Latar | |||||||
Ek. |
Sos. |
Bud. |
Ek. |
Sos. |
Bud. | |||
Petani, Peternak, Buruh; Subsisten |
Jaringan Lokal, Berbasis Kekerabatan |
Komunal; Egalitari-an; Etos: Need for Affiliation |
Pemilik beberapa bisnis pariwisata; Mapan |
Jaringan Nasional dan Global, Berbasis Pertemanan |
Profesional; Etos: Need for Achievement |
Agraris Semi Produktif |
Solidaritas mekanis |
Kuasi Patron Client |
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Model Kolaboratif Stakeholder Pariwisata dalam Konteks Bencana Erupsi
Selanjutnya, berdasarkan matriks Relasi Aktor Pengungsi-Pengusaha Pariwisata Berbasis Setting Ekonomi, Sosial, dan Budaya di Desa Wisata Kerta, diperoleh model sebagai berikut:

Simpulan
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, diperoleh poin-poin temuan sebagai berikut:
-
1. Terbangun pola relasi khas antara pengungsi Gunung Agung dengan pengusaha pariwisata dalam konteks pengungsian di Desa Wisata Kerta
-
2. Pola relasi yang terbangun berbasis setting ekonomi, sosial, dan budaya.
-
3. Berdasarkan setting ekonomi pola interaksi yang terjadi adalah ekonomi agraris semi produktif; selanjutnya, berdasarkan setting sosial adalah solidaritas mekanis; dan, terakhir, berdasarkan setting budaya adalah kuasi patron-client.
-
4. Ditemukannya Model Kolaboratif Stakeholder Pariwisata dalam Konteks Bencana Erupsi.
Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut berdasarkan temuan model yang telah diperoleh, terkait dengan beberapa aspek yang belum digali lebih jauh. Aspek tersebut antara lain: dinamika konflik yang
kemungkinan besar akan terjadi, baik secara horizontal antara pengungsi dengan pengusaha, maupun antara pengungsi dengan masyarakat lokal dimana mereka beraktivitas. Lalu aspek pengelolaan pengungsi dengan melibatkan stakeholder lainnya, seperti pemerintah maupun masyarakat. Lalu terakhir, kemungkinan pengintegrasian para pengungsi dengan praktik pariwisata yang ada di tempat pengungsian.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Romsan, dkk. 2003. Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional. Bandung: Sanic Offset bekerjasama dengan
UNHCR Jakarta
Anom, I Putu, dkk. 2017. Turismemorfosis: Tahapan Selama Seratus Tahun Perkembangan dan Prediksi Pariwisata Bali. Yogyakarta: Pustaka Larasan
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
Anom, M. Par., Dr. Drs. I Putu, dkk. 2020. Spektrum Ilmu Pariwisata: Mitos sebagai Modal Budaya dalam Pengembangan Pariwisata Bali. Jakarta: Kencana (Prenada Media Group).
Carter, Nick W. 1991. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook. Manila: Asian Development Bank.
Cresswel, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: SAGE Publications
Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Andi Offset
Dharmaputra, I Nyoman, dkk. 2017. Metamorfosis Pariwisata Bali Tantangan Membangun Pariwisata Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka Larasan
Doxey, G. V. (1975): A causation theory of visitor-resident irritants: Methodology and research inferences. Proceedings of 6th Annual Conference of the Travel and Tourism Research Association. San Diego, CA. pp. 195-198.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: INSIST Press
Freeman, R. Edward. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman
Giddens, Anthony. 2010. Metode Sosiologi: Kaidah-kaidah Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Irwanto.2006. Focused Group Discussion (FGD): Sebuah Pengantar Praktis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Negara, I. M. K., Adikampana, I. M., & Nugroho, S. MEMUTUS LOGIKA KARITATIF DALAM PRAKTIK PARIWISATA DI UBUD, BALI. Jurnal Kawistara, 7(3), 265-274.
Mahagangga, I., Oka, G. A., & Suryawan, I. B. Anom, I Putu dan Kusuma Negara, I Made. 2019. Evolusi Pariwisata Di Indonesia,
Turismemorfosis di Kabupaten Badung, kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Luwu Timur. Denpasar: Cakra Media Utama.
Mahagangga, I Gusti. 2020. Masa Jeda dan Masa Depan Pariwisata Bali I.G.A.O. Mahagangga. https://www.researchgate.net/publication/346 657548_Masa_Jeda_dan_Masa_Depan_Pariwisata _Bali_IGAO_Mahagangga. Number of
DOI:10.13140/RG.2.2.14335.84648.
Mannheim, Karl. 1991. Ideology and Utoppia, An introduction to the sociology of knowledge,
terjemahan F. Budi Hardiman, Yogyakarta:
Penerbit Kansius
McIntosh, R. W., and Goeldner, C. R. (2006). Tourism: Principles, Practices, Philosophies. New York: Wiley. Chicago (12th ed.)
Miles, Matthew B., A. Michael Huberman, and J. Saldana. 2014. Qualitative Data Analysis, A.
Methods Sourcebook Edition 3. USA: Sage
Publications.
Nugroho, Saptono dan I Putu Anom. 2015. Basis Ideologi Praktik Pariwisata. (dalam: Paradigma dan Kebijakan Pariwisata. Editor: I Nyoman Sukma Arida). Denpasar: Cakra Press
Nugroho, Saptono, I Nyoman Sunarta, I Nyoman Jamin Ariana. 2017. Alam sebagai Stakeholder: Cara Pandang Baru dalam Praktik Pariwisata Lestari. (dalam: Tren Pariwisata Milenium. Editor:
Saptono Nugroho, dkk). Yogyakarta: Pustaka Larasan
Nugroho, Saptono dan I Nyoman Sukma Arida. 2018. Prosiding Seminar Nasional Pariwisata dalam Pusaran Gelombang Revolusi digital 4.0.
Denpasar: Fakultas Pariwisata UNUD dan
Kemenparekraf RI
Page, Stephen. 1995. Urban Tourism. London: Routledge
Rudito, Bambang dan Melia Famiola. 2010. Social Mapping Metode Pemetaan Sosial: Teknik Memahami Suatu Masyarakat Atau Komuniti. Bandung: Rekayasa Sains
Simpson, M.C. 2008. Community Benefits Tourism Initiative – a Conceptual Oxymoron. Tourism Management. 29 (1) pp. 1-18
Priyono, B. Herry. 2003. Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers
Putri, Luh Gede Saraswati. 2013. Dimensi Ontologis Relasi Manusia dan Alam, Suatu Pendekatan Eco-Phenomenology terhadap Problem
Disequilibrium. Disertasi Filsafat, Depok: Universitas Indonesia
Thompson, John B. 2014. Analisis Ideologi Dunia, Yogyakarta: IRCiSoD
Widyastuti, Mita. 2005. Manajemen Bencana: Kajian dan Ruang Lingkup. Jurnal Madani Edisi II November.
Sumber Lain:
http://regional.kompas.com/read/2017/12/13/110 72051/pariwisata-bali-lesu-akibat-erupsi-gunung-agung-pengusaha-surati-presiden (diakses pada tanggal 14 Februari 2018, pukul 06.00 WITA).
http://www.solopos.com/2017/02/16/pariwisata-indonesia-selamat-bali-jadi-pulau-terbaik-793667 (diakses pada tanggal 14 Februari 2018, pukul 06.00 WITA).
http://bali.bisnis.com/read/20170421/16/66047/tr ipadvisor-resmi-serahkan-penghargaan-bali-
Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021
destinasi-terbaik (diakses pada tanggal 14 Februari 2018, pukul 06.00 WITA).
https://kbbi.kemdikbud.go.id/https://bali.bps.go.id/ (diakses pada tanggal 14 Februari 2018, pukul 06.00 WITA).
85
Discussion and feedback