p-ISSN: 2338-8811, e-ISSN: 2548-8937

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021

Respon Desa Adat Terhadap Perkembangan Pariwisata di Desa Adat Manuaba, Desa

Kenderan, Kabupaten Gianyar

Ni Wayan Ratni a, 1, I Nyoman Sukma Arida a, 2

¹ratni1995@gmail.com, 2 sukma.arida@gmail.com

a Program Studi S1 Destinasi Pariwisata, Fakultas Pariwisata,Universitas Udayana, Jl. Dr. R. Goris, Denpasar, Bali 80232 Indonesia

Abstract

Various tourist destinations based culture can be found in Bali. One of them is Manuaba villages in Tegalalang Gianyar Regenc. Manuaba is one of the villages which have already started to be influenced by tourism. The majority of the livelihoods of Indigenous Village Manuaba was agriculture. Along with the influx of tourism there is a change in the way the community point of view, investors are starting to get in and the farmers start to sell their land to the investors. Most of the investors build an acomodation on the agricultural land.This research used qualitative methods with of observation techniques, interview techniques and the study of documents. Sample techniques used purposive sampling for determinate informants. Based of the research results that the public began to feel the impact of the changes of the land function. Communities creating a perarem to limit the new building in the agricultural land. There are some suggestions that are proposed to the Government the more sensitive areas to monitor the development of the tourism in Bali.

Key Words : investors, the conversion of agricaltural land functions, tourism, perarem, society.

  • I.    PENDAHULUAN

Pariwisata merupakan sebuah kegiatan perjalanan dari daerah asal wisatawan menuju daerah tujuan wisata. Pariwisata sudah menjadi sebuah industri andalan bagi negara – negara di dunia untuk mendapatkan devisa, termasuk Indonesia.

Pariwisata merupakan suatu sektor yang kompleks yang juga melibatkan industri-industri klasik seperti kerajinan tangan dan cinderamata, serta usaha-usaha penginapan, restoran dan transportasi (Pendit, 1990). Dampak positif pariwisata terhadap perekonomian negara Indonesia membuat semua kalangan berusaha untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dengan berbagai macam upaya.

Pariwisata Bali dikenal karena keunikan kebudayaan dan masyarakatnya. Keunikan adat istiadat, kebudayaan dan keramahtamahan masyarakatnya yang berpadu dengan panorama alam merupakan modal pariwisata Bali sejak awal perkembangannya. Pembangunan pariwisata di Bali menunjukkan sudah pada perkembangan puncak sehingga Bali dilihat secara geneologi (riwayat) sulit

dipisahkan dari sektor pariwisata. Secara langsung maupun tidak langsung, sektor pariwisata memberikan banyak implikasi positif dan juga impikasi negatif pada hampir keseluruhan masyarakat Bali dalam segala aspek. Pariwisata Bali saat ini tidak stagnan melainkan menyebar ke seluruh wilayah di Bali (Anom, dkk., 2017; Anom, dkk.,;2020; Anom, dkk., 2020).

Bali adalah daerah tujuan wisata yang sudah sangat terkenal. Perkembangan pariwisata Bali telah mengalami kemajuan pesat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Bali menjadi sasaran para investor karena ragam potensi alam, manusia dan budaya (Hariyana, dkk., 2015).

Menurut Arida (2014), secara pasti luas sawah-sawah di Bali terus menerus mengalami penciutan setiap tahunnya sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 yang mencapai 560,1 Ha/tahun, dan Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 2006 yang mencapai 1000 Ha/tahun. Ini merupakan hal yang serius bagi pariwisata Bali, jika hal ini tetap berlanjut akan menjadi sebuah kehancuran bagi pariwisata itu sendiri. Sawah

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021

memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali sekaligus dalam menunjang kepariwisataan. Fakta di atas diikuti dengan pertumbuhan pariwisata yang sudah mulai memasuki daerah pedesaan, tentunya pariwisata memerlukan ruang untuk beraktivitas yang diambil dari lahan kepemilikan warga masyarakat. Jika terencana dengan baik dan seimbang pariwisata akan benar-benar mampu memberikan dampak positif untuk semua pihak, jika tidak maka terjadilah fenomena-fenomena yang mengancam keberlangsungan kehidupan secara holistik.

Desa Adat Manuaba, Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar merupakan salah satu desa yang sudah mulai menjadi tempat aktivitas pariwisata. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Adat Manuaba adalah pertanian, sedangkan di Desa Adat Manuaba mulai dibangun akomodasi-akomodasi yang lahannya merupakan bekas lahan pertanian warga sekitar. Dalam perbedaan itu tentunya terdapat kesenjangan yang diperlukan penyesuaian antara masyarakat sebagai petani dan pengaruh pariwisata yang masuk. Selain itu keberagaman kualifikasi SDM menyebabkan perbedaan sudut pandang masyarakat menyikapi masuknya pengaruh pariwisata tersebut. Dalam hal ini diperlukan campur tangan lembaga Desa Adat dalam menyikapi hal-hal yang menjadi dasar-dasar keputusan di antara keduanya.

Berdasarkan fakta di atas peneliti bermaksud untuk menganalisis bagaimana respon masyarakat mengenai masuknya pengaruh pariwisata khususnya dalam pembangunan akomodasi vila di dalam lingkup Desa Adat yang berkaitan dengan strategi pertahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan. Karena hal itu merupakan hal yang sangat signifikan dalam keberlanjutan sinergi antara pertanian dan pariwisata.

  • II.    TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini menggunakan Teori Tourism Area Life Cycle, Teori ini diperkenalkan oleh Butler pada tahun 1980. Menurut Butler (1980) sebuah area wisata pasti akan mengalami sebuah siklus kehidupan area wisata yang

terdiri dari empat bagian, yaitu Discovery, Local Control, Institutionalism,   dan Stagnation,

Rejuvenation or Decline. Dalam Penelitian ini terdapat beberapa konsep yang digunakan untuk menganalisis data yang didapat dilapangan, yaitu:

  • 1.    Konsep Aspek-aspek Praktik Pariwisata menurut Sihite (dalam Marpaung dan Bahar, 2000) sebagai berikut:

“Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan orang untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain meninggalkan tempatnya semula, dengan suatu perencanaan dan dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati kegiatan pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam. ”

  • 2.    Konsep    pariwisata    menurut    UU

Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan yaitu : Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. ”

  • 3.    Konsep Respon. Respon    merupakan

balasan atau tanggapan seseorang terhadap sesuatu. Proses merespon dilatarbelakangi oleh tiga hal yakni sikap, persepsi, dan partisipasi. Respon juga dapat memulai atau membimbing tingkah laku individu yang bersangkutan karena tanggapan yang dihasilkan merupakan pengaruh dari lingkungan tersebut (Swastha dan Handoko, 1997).

  • III.    METODE

Penelitian ini berlokasi di Desa Adat Manuaba, Desa Kenderan, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah Respon Desa Adat terhadap perkembangan pariwisata di Desa Adat Manuaba, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Jenis dan sumber data yang digunakan menggunakan data kuantitatif dan data kualitatif (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000). Penelitian ini menggunakan Data primer dan

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021

data sekunder (Moleong 2005). Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono, 2015). Dalam mengumpulkan data terdapat tiga teknik, yakni: Teknik observasi (pengamatan) (Ghony dan Almanshur, 2014), Teknik wawancara mendalam (Moleong, 2005). dan Teknik Studi kepustakaan (Wardiyanta, 2010). Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif (Sugiyono , 2009).

  • IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Adat Manuaba berdiri di bawah naungan Bendesa Adat Manuaba yang membawahi kelian-kelian adat yang ada di wilayah Desa Adat Manuaba. Desa Adat Manuaba membawahi tujuh Banjar Adat yaitu : Banjar Pande, Banjar Tangkas, Banjar Triwangsa, Banjar Dukuh, Banjar Gunaksa, Banjar Tengah dan Banjar Pinjul.

Setiap keputusan dan kesepakatan yang ada di Desa Manuaba yang termasuk ke dalam ranah Desa Adat akan dikelola oleh Bendesa Adat Manuaba dan akhirnya diteruskan ke masing-masing pimpinan Banjar Adat yaitu Kelian Adat masing-masing wilayah di lingkungan Desa Adat Manuaba. Dalam hal ini, semua tokoh masyarakat di Desa Adat Manuaba memiliki peran yang sama berkaitan dengan keharmonisan warga masyarakat Desa dengan warga pendatang termasuk investor.

Berkaitan dengan masuknya pariwisata, prajuru Desa Adat Manuaba mendukung adanya pariwisata termasuk pembangunan akomodasi vila di lingkungan Desa Adat Manuaba. Hal itu disampaikan oleh Bapak I Made Rudeg selaku Bendesa Desa Adat Manuaba dalam sebuah wawancara sebagai berikut :

“Perubahan yang terjadi adalah desa kami sangat terbantu oleh kontribusi investorinvestor yang masuk, beban ayahan masyarakat diringankan, contohnya dalam pembangunan atau renovasi tempat suci dan upacara piodalan. Selain itu warga juga bisa kerja di perusahaan yang terbangun, mengenai alih fungsi lahan memang berpengaruh buruk terhadap subak. Kalau sawah di Desa kami habis, Pura Ulun Suwi

tidak ada lagi yang “menyungsung”. Namun sejauh ini mengenai peraturan menjual tanah bagi warga, kami belum berani ikut campur. Karena itu merupakan hak milik secara pribadi dan kami tidak berhak mencampuri terlalu dalam. Mengenai masuknya investor, kami masyarakat Manuaba masih terbuka menerima datangnya investor.”

(Wawancara, 25 mei 2016)

Dalam wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa dampak positif dari investor sangat dirasakan oleh masyarakat Desa Adat Manuaba terhadap setiap aspek yang tersentuh oleh perkembangan pariwisata. Namun terlihat prajuru Desa Adat Manuaba telah menyadari dampak negatif dari perkembangan pariwisata yang memicu peningkatan alih fungsi lahan pertanian di daerah setempat, khususnya alih fungsi lahan pada lahan basah atau sawah dapat berimbas secara langsung terhadap kultur masyarakat, yaitu Pura Ulun Suwi.

Ada wilayah lain di Indonesia yang memiliki sumber daya yang sama bahkan jauh lebih indah dari Bali, misalnya flores. Tapi pariwisatanya belum mampu berkembang seperti Bali, semua itu karena Taksu atau kewibawaan Bali yang terjalin atas segala sumber daya yang ada, kebudayaan yang cerdas dan unik serta kearifan masyarakat lokalnya dalam mengaplikasikan pola kebudayaannya. Maka untuk menjaga Bali ini agar tetap menjadi Bali yang seutuhnya adalah dengan memegang teguh semua pola yang sudah diciptakan oleh leluhur Bali diiringi dengan penyesuaian terhadap revolusi jaman yang terus mengalir. Jika semua itu terjadi secara bersinergi Bali mampu bergerak secara glokal yaitu bertindak dalam lingkup lokal dengan pola pikir sebagai manusia global.

Mengenai Desa Pekraman Manuaba, masih terlihat prajuru Desa Adat Manuaba belum memiliki aturan yang kuat untuk membatasi jual beli tanah dan alih fungsi lahan di wilayahnya. Hal tersebut karena masih menyerahkan keputusan kepada masing-masing warga masyarakat dengan alasan tanah merupakan hak kepemilikan warga secara pribadi dan Desa Adat tidak memiliki hak

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021

untuk mengaturnya terlalu ketat dalam perdes ataupun perarem.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014, Desa adalah desa adat atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa memiliki hak dan wewenang untuk membuat aturan sesuai dengan kesepakatan masyarakat setempat atas sesuatu yang dipandang perlu sebagai upaya pertahanan dan keamanan. Aturan yang dibuat harus mengacu pada aturan pemerintah NKRI. Dengan adanya fenomena pariwisata di Desa Adat Manuaba yang tidak dapat terlepas dari dampak baik dan buruk yang akan ditimbulkannya, maka lembaga desa adat memiliki wewenang untuk membentuk aturan atau kesepakatan yang bersifat melindungi keberlangsungan Desa adat secara holistik termasuk masyarakat yang ada di dalamnya, fasilitas kepemilikan desa, nilai-nilai luhur dan local genius di desa adat termasuk nilai-nilai kebudayaan yang harus dijunjung tinggi oleh warga masyarakat sebagai warga Bali pada umumnya.

Desa Adat Manuaba belum memiliki perarem khusus untuk mengatur tentang pembatasan penjualan tanah di lingkungan Desa Adat Manuaba, karena menimbang bahwa tanah merupakan hak milik dari setiap warga adat jadi Desa Pekraman tidak berhak mencampuri urusan pribadi perseorangan, namun semuanya mengalir dan menyesuaikan dengan desa, kala dan patra, jika suatu saat nanti terjadi hal-hal yang memicu perarem tersebut harus ada, maka Desa adat dengan terbuka akan mendiskusikan hal tersebut dengan warga masyarakat Desa Manuaba secara musyawarah untuk keputusan mufakat dan untuk kebaikan semua sektor yang ada di lingkungan Desa Adat Manuaba.

Namun untuk menanggulangi dan meminimalisir dampak negatif yang muncul dari masuknya investasi besar di bidang pembangunan pariwisata di Desa Adat Manuaba, kelembagaan

banjar-banjar di lingkungan Desa Adat Manuaba mempunyai perarem atau perjanjian secara tertulis dan wajib disetujui oleh investor dan warga pendatang yang akan berinvestasi atau tinggal di lingkungan Desa Adat Manuaba. Setiap Banjar memiliki aturannya masing-masing, namun berpegang pada dasar konsep yang sama. Berikut adalah perarem dari Banjar Tengah/Triwangsa, Perarem tersebut memuat tentang aturan-aturan fundamental yang harus diikuti oleh warga pendatang termasuk investor yang akan berinvestasi di Desa Adat Manuaba khususnya Banjar Tengah/Triwangsa, dalam perarem ini terdapat bagian yang mencantumkan besaran biaya yang harus dibayarkan kepada Banjar jika terjadi transaksi jual – beli ataupun sewa tanah antara warga masyarakat dengan investor ataupun dengan sesama warga sebagai investasi awal, aturan tersebut tercantum dalam Bab III nomor I Perarem banjar Tengah Triwangsa Nomor I tahun 2015 sebagai berikut:

Untuk investor yang membeli atau menyewa lahan (tanah sawah atau tegalan) dengan tujuan membangun sarana akomodasi pariwisata atau untuk investasi yang akan dijual lagi dikemudian hari maka pihak investor atau pembeli tanah harus membayar penanjung batu sebagai dana investasi awal kepada Banjar Tengah Triwangsa dengan ketentuan sebagai berikut :

  • a.    Bagi investor dan pembeli tanah dikenakan administrasi awal sesuai dengan jumlah tanah yang dibeli :

  • 1.  1 – 10 are :           dikenakan

administrasi seharga 5 karung beras kelas 1

  • 2.  11 – 50 are :           dikenakan

administrasi seharga 10 karung beras kela I

  • 3.  51 – 100 are :            dikenakan

administrasi seharga 20 karung beras kelas I

  • 4.  > 100 are :            dikenakan

administrasi

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021

searga 30 karung beras kelas I

  • b.    Bagi investor yang menyewa tanah dikenakan biaya administrasi awal sesuai dengan jumlah tanah yang disewa

  • 1. 1 – 10 are : dikenakan

administrasi seharga 3 karung beras kelas 1

  • 2. 11 – 50 are : dikenakan

administrasi seharga 5 karung beras kelas I

  • 3. 51 – 100 are : dikenakan

administrasi seharga 10 karung beras kelas I

  • 4. > 100 are : dikenakan

administrasi seharga 15 karung beras kelas I

Dibayar paling lambat setelah keluarnya perijinan atau sertifikat tanah atas nama pemilik tanah yang baru.

(sumber : Perarem

Banjar Tengah Triwangsa)

Aturan ini dimaksudkan bahwa setiap transaksi jual beli tanah harus atas sepengetahuan lembaga banjar adat dan dipastikan agar semua transaksi benar-benar memiliki manfaat baik bagi banjar adat. Selain itu dikenakannya administrasi ke banjar terhadap pembelian tanah ini bermaksud untuk memfiltrasi masuknya investor yang ingin berinvestasi di wilayah Banjar Tengah Triwangsa.

Tapi menurut peneliti, iuran sejumlah itu tidak ada bandingannya dengan harga lahan yang diperjualbelikan dan tidak akan mampu memfilter investor untuk membatalkan transaksinya hanya karena pembayaran ke Banjar Adat sejumlah yang dicantumkan dalam perarem. Terkesan di dalamnya bahwa aturan yang dibuat hanya untuk memperoleh pendapatan bagi Banjar Adat, hal ini sangat mengkhawatirkan bagi masa depan pariwisata Bali yang tidak memiliki road map atau arah perencanaan yang jelas. Pariwisata latah dan berkembang pesat bagaikan jamur di musim hujan hanya tumbuh di tempat yang memungkinkan dan akhirnya mati di tempat yang sama. Pembangunan

akomodasi sudah tidak terkontrol dan melebihi kepentingan ocupancy kamar secara keseluruhan.

Hal semacam ini akan terungkap dengan jelas pada saat pariwisata membahayakan pariwisata itu sendiri. Ketika sumber daya yang harus dijaga menjadi rusak akibat kegiatan pariwisata yang tidak terkelola dengan baik, pada saat sudah minimnya lahan kosong serta minimnya sumber air dan resapan yang memberikan dampak buruk bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada saat masyarakat sudah mengubah pola hidup akibat penjualan tanah leluhurnya, pada saat kebudayaan Bali sudah bergeser jauh dari tatanan pola yang diwariskan oleh leluhur Bali. Terjadilah sebuah keterlambatan besar dalam menentukan sikap pertahanan.

Pararem lainnya juga disebutkan mengenai antisipasi kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh pembangunan fasilitas kepariwisataan di wilayah Banjar Tengah Triwangsa disebutkan dalam Bab III (tiga) Bagian 2 (dua) nomor (b) sebagai berikut:

Pihak

investor/kontraktor/penanggungjawab harus menandatangani surat perjanjian yang berisi : bersedia memperbaiki dan mengganti rugi segala kerusakan fasilitas umum yang ada di wilayah Banjar Tengah Triwangsa yang diakibatkan oleh proyek pembangunan tersebut. Dan bersedia membayar jaminan sejumlah 20 juta rupiah sebagai jaminan sampai proyek tersebut selesai.”

(sumber : perarem Banjar Tengah)

Perarem tersebut menekankan bahwa masyarakat banjar sudah memikirkan pencegahan dalam menanggulangi permasalahan dari dampak negatif dan kemungkinan buruk yang terjadi akibat pembangunan proyek fasilitas pariwisata. Memegang deposit sejumlah 20 juta rupiah dan nilai hukum perjanjian yang telah disepakati, banjar adat sudah mengurangi kemungkinan negatif yang terjadi    apabila    pihak    investor    tidak

bertanggungjawab dalam pelaksanaan proyeknya. Namun terdapat kesenjangan yang ditekankan dalam bagian selanjutnya yaitu pada Bab III (tiga) bagian 2 (dua) nomor c disebutkan bahwa:

Apabila proyek pembangunan telah selesai dan diperiksa oleh prajuru banjar, dan ternyata tidak ada kerusakan apapun yang

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021

diakibatkan maka pihak prajuru / kelihan banjar akan mengembalikan 50% atau 10 juta rupiah dana jaminan tersebut kepada pihak investor/ kontraktor/ penanggung jawab.

(sumber: perarem

Banjar Tengah Triwangsa)

Dinyatakan bahwa ketika proyek pembangunan telah selesai, maka deposit yang diinvestasikan oleh investor akan dikembalikan sejumlah 50% atau 10 juta rupiah tanpa penjelasan alur atau kegunaan dari 50% deposit tertahan itu untuk keperluan apa saja dan atas alasan apa dana tersebut harus dipotong.

Menurut peneliti hal seperti ini harus dijelaskan secara rinci dan diperjelas dalam aturan untuk adanya saling keterbukaan antara pihak investor dengan pihak Banjar Adat agar tidak memunculkan persepsi negatif dan kemungkinan – kemungkinan sumber masalah baru di masa yang akan datang.

Dalam operasionalnya lembaga Banjar Adat mempertegas tentang keterlibatan warga masyarakat dari Banjar Tengah Triwangsa di dalam operasional perusahaan yang berdiri di wilayahnya sekaligus untuk memastikan perkembangan yang ada mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Hal tersebut dijelaskan dalam Bab III nomor 3 bagian b, disebutkan sebagai berikut :

Pihak investor / pengelola harus siap memenuhi kuota 40% tenaga kerjanya berasal dari lingkungan Banjar Tengah Triwangsa diluar dari jatah kepada pemilik tanah sebelumnya dan jatah kepada prajuru /Kelihan Banjar Tengah Triwangsa.

(sumber : Perarem Banjar Tengah Triwangsa)

Bagian dalam perarem ini menunjukan bahwa Banjar Adat berusaha untuk mengupayakan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat sekitar yang memiliki keahlian atau skill yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan yang tersedia di perusahaan tersebut. Besaran kuota 40% tersebut tercipta dari pertimbangan bahwa warga masyarakat Banjar Tengah Triwangsa tidak memiliki skill yang lengkap di bidang kepariwisataan sehingga tidak mampu mengisi

lowongan secara penuh sedangkan dalam perusahaan tersebut diperlukan multidimensi ilmu untuk kelancaran operasional.

Atas keseimbangan hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh banjar adat selaku penengah bagi masyarakat dan investor adalah disebutkan sebagai berikut dalam Bab III bagian 4 nomor (d) sebagai berikut :

Untuk mempertanggungjawabkan kinerja seluruh karyawan dari Banjar tengah Triwangsa yang bekerja di perusahaan tersebut serta memantau situasi keamanan dan ketertiban di perusahaan tersebut, maka karma banjar tengah Triwangsa melalui tim atau perwakilannya akan mengadakan kontrol atau evaluasi rutin per bulan ke perusahaan dan selalu mengadakan koordinasi dengan pihak perusahaan. Dan bilamana diketahui terdapat karyawan dari banjar tengah triwangsa yang melakukan kesalahan yang : tidak disengaja, tidak disengaja, berulang-ulang dan kesalahan yang sangat fatal. Maka permasalahan tersebut akan dibawa dan dibahas di tengah paruman karma Banjar tengah triwangsa untuk penentuan sanksinya. Sanksi yang paling berat adalah penarikan atau pemberhentian karyawan oleh Krama Banjar Tengah Triwangsa.

(sumber : Perarem Banjar Tengah Triwangsa) Seperti itulah cara Banjar Tengah Triwangsa menghadapi arus perkembangan pariwisata yang terjadi di daerahnya. Segala aturan yang disahkan dalam perarem ini adalah upaya pertahanan masyarakat dan Desa Adat terhadap perubahan yang terjadi dengan sangat cepat di wilayah mereka dan memastikan Banjar/Desa adat dan masyarakat dapat merasakan dampak positif dari perkembangan pariwisata di Desa Adat Manuaba secara umum. Masih diperlukan kajian ulang atas kesepakatan-kesepakatan yang harus dijalankan oleh kedua belah pihak antara masyarakat dengan investor agar sesuai dengan konsep    pariwisata    berkelanjutan    untuk

menciptakan keselarasan pertumbuhan pariwisata di Desa Adat Manuaba dan Bali secara umum. Dengan adanya perarem seperti ini pada masing-masing banjar di Desa Adat Manuaba diharapkan pariwisata menjadi bagian yang bersinergi dengan

Jurnal Destinasi Pariwisata Vol. 9 No 1, 2021

baik terhadap kearifan lokal di wilayah tersebut serta memberikan kesejahteraan yang merata terhadap masyarakat sekitar. Selain itu dapat juga menjadi aturan yang membatasi penjualan lahan sawah atau tegalan yang semakin marak di lingkungan masyarakat Desa Adat Manuaba.

V. SIMPULAN DAN SARAN

Respon Desa Adat Manuaba terhadap perkembangan pariwisata di Desa Adat Manuaba tergolong positif, namun dalam tindakan positif tersebut tidak berarti lembaga Desa Adat memberikan kebebasan secara penuh terhadap investor untuk membangun dan mengoperasionalkan usahanya secara bebas. Desa adat menyerahkan kewenangan bagi setiap banjar yang ada di wilayah Desa Adat Manuaba untuk mengelola wilayahnya secara mandiri namun tetap dalam kontrol Bendesa Adat selaku pimpinan adat di Desa Adat Manuaba. Terkait dengan perkembangan pariwisata di wilayah Manuaba, setiap banjar memiliki perarem yang mengatur kerja sama Banjar Adat dengan penduduk pendatang serta investor yang berkaitan. Seperti Banjar Tengah Triwangsa dengan perarem : Keputusan Bersama Krama Banjar Tengah Triwangsa Nomor : 1 Tahun 2015 Tentang Hak Dan Kewajiban Warga Penduduk Pendatang dan Investor di Banjar Tengah Triwangsa.

Adapun Saran kepada Lembaga Desa Adat Manuaba agar melaksanakan aturan yang ada dengan tegas dan konsisten. Selalu peka terhadap perubahan yang terjadi di lapangan dan siap berevolusi jika diperlukan penyesuaian perarem terhadap kenyataan di lapangan. Saran kepada Pemerintah Kabupaten Gianyar adalah untuk turut memantau dan memetakan perkembangan pariwisata di lapangan, agar pembangunan yang terjadi tetap dalam kontrol dan batas normal sehingga tetap memberikan dampak positif bagi lingkungan alam, sosial dan kebudayaan Desa Adat Manuaba. Saran kepada masyarakat Desa Adat Manuaba adalah selalu memantau perkembangan pariwisata di wilayah Desa Adat Manuaba termasuk pelaksanaan perarem yang dimiliki oleh masing – masing banjar.

KEPUSTAKAAN/ DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2014. Undang – undang Republik Indonesia No 9 Tahun 2014. Tentang Desa

Anom, I. P., Suryasih, I. A., Nugroho, S., & Mahagangga, I. G. A. O. (2017). Turismemorfosis: Tahapan selama seratus tahun perkembangan dan prediksi pariwisata Bali. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), 7(2), 59-80.

ANOM, I., MAHAGANGGA, I., SURYAWAN, I., & KOESBARDIATI, T. (2020). Case Study of Balinese Tourism: Myth as Cultural        Capital. Utopía        y       Praxis

Latinoamericana, 25(6), 122-133.

Anom, M. Par., Dr. Drs. I Putu , dkk., 2020. Spektrum Ilmu Pariwisata Mitos Sebagai Modal Budaya Dalam Pengembangan Pariwisata Bali. Jakarta: Kencana Divisi dari Prenadamedia Group.

Arida, I Nyoman Sukma. 2009. Meretas Jalan Ekowisata Bali. Denpasar: Udayana University Press.

Butler, R. W. 1980. The Concept of a Tourism Area Cycle of Evolution:  Implications for the Management of

Resources. The Canadian Geographer, 24(1), 5-16

Hariyana, I. K., & Mahagangga, I. G. A. O. (2015). Persepsi masyarakat terhadap pengembangan Kawasan Goa Peteng Sebagai Daya Tarik Wisata Di Desa Jimbaran Kuta Selatan Kabupaten Badung. Jurnal Destinasi Pariwisata, 3(1), 24-34.

Kusmayadi & Endar Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 123-129.

Perbekel Desa Kendran. 2011. Profil Desa Kendran. Gianyar: Perbekel Desa Kendran.

Pratiwi, Wahyuni dkk. 2013. Ada Apa dengan Pondok Wisata? Seluk Beluk Keberadaan Pondok Wisata di Ubud. Penelitian Lapangan II, Fakultas Pariwisata: Universitas Udayana

Subiyantoro, Arief & FX. Suwarto. 2007. Metode & Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: Andi.

Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Tosun, Cevat. 2006. Expected Nature of Community Participation in Tourism Development. Tourism Management, 27,

493-504.

Utomo, Muhajir dkk. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung.

Wayoga, Rama.2015 Relasi Pertanian dan Pariwisata di persimpangan jalan. jurnal

224